Senin, 25 April 2011

ANTI DUMPING LAW

ANTI DUMPING, DUMPING DAN SAFEGUARD DALAM PERSFEKTIF

INDONESIA SEBAGAI NEGARA BERKEMBANG

By. Agus P. Pasaribu, S.H.


I. Pendahuluan

Indonesia sebagai negara berkembang (development countries) telah merativikasi Konvesi Internasional di bidang Anti Dumping (Agreement Estabilishing), hal mana telah pula dilakukan oleh negara-negara berkembang lainnya maupun negara maju. Bahkan berdasrkan perkembanganya dalam ranah ekonomi, Xuan Gao menyatakan[1] “The past two decades have seen, inter alia, three changes in the world trading system: significantly reduced traditional trade barriers such as tariffs, the proliferation of the adoption of anti-dumping (AD) laws and of the use of AD instruments by national governments, and the dramatically increasing contribution by developing countries to that proliferation”.

Kebijakan anti-dumping WTO semula dimaksudkan untuk tujuan peningkatan perekonomian dan taraf hidup negara-negara dalam kerangka persaingan yang fair dan independence, terutamanya untuk meningkatkan taraf hidup. Sejalan dengan itu, Xuan Gao menyatakan pula : [2] “Without engaging in trade, every person would have to be an autarkist, i.e., she must produce everything (goods or services) she needs to maintain her life – food, clothes, housing, healthcare, etc. Not surprisingly, nobody can achieve expertise in all these fields in a timespan as short as a human life. However, trade makes it possible for one person to concentrate on one line of production (e.g., farming), while another specialises in another line (e.g., housing). This is the law of ‘comparative advantage’, revealed by David Ricardo (1821) and accepted by many others as a standard economic axiom. (Ricardo 1821; Rothbard [1962] 2004; Samuelson and Nordhaus 1998)”.

Namun, belakangan kebijakan anti-dumping dalam kerangka hukum perdagangan internasional justru menciptakan anomali tujuan. Kenyataannya, negara-negara berkembang dirugikan sebagai akibat kebijakan anti-dumping yang secara mutlak hanya menguntungkan negara maju. Contoh sederhana adalah Indonesia. Sejak diberlakukanya Konvensi Internasional Anti-Dumping mengakibatkan banyaknya produk ekspor Indonesia ditolak di pasaran global oleh negara maju dengan alasan adanya hak melakukan “safeguard” bagi produk dalam negerinya. Alhasil, tidak diragukan lagi Indonesia dirugikan dari aspek ekonomi.

Ketimpangan pelaksanaan dumping, anti dumping dan safeguard dalam strata perdagangan internasional antara negara maju dengan negara berkembang paling tidak dikarenakan tiga faktor penting, yaitu : Kesatu, negara maju dari sisi kekuatan modal jauh lebih kuat. Kedua, tidak terdapat pemisahan persaingan (pengecualian) antara negara berkembang dengan negara maju. Ketiga, aplikasi anti-dumping menjadi alat bagi negara maju melalui Multi National Corporation untuk mengontrol perdagangan di negara berkembang yang lajimnya cenderung sebagai pasar konsumen.

Berdasarkan uraian diatas, maka pertanyaan mendasarnya sekarang adalah bagaimanakan persfektif pemberlakuan kebijakan anti-dumping, dumping dan safeguard bagi negara-negara berkembang, khususnya Indonesia?. Tulisan ini akan membahas kebijakan anti-dumping, dumping dan safeguard dalam perspektif Indonesia sebagai negara berkembang dengan batasan pembahasan mengenai data-data menyangkut produk Indonesia yang terkena kebijakan dumping.

II. Berbagai Pengertian dan Defenisi Teoritis

Dalam ilmu ekonomi, dumping diatikan sebagia[3] “traditionally defined as selling at a lower price in one national market than in another”. Sedangkan Dumping dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia[4] diatikan sebagai sistem penjualan barang di pasaran luar negeri dalam jumlah banyak dengan harga yang rendah sekali (dengan tujuan agar harga pembelian di dalam negeri tidak diturunkan sehingga akhirnya dapat menguasai pasar luar negeri dan dapat menguasasi harga kembali)”.

Oleh karena itu, jika merujuk pada dua defenisi diatas maka tujuan dari dilakukannya dumping semata-mata sifatnya untuk persaingan usaha, sehingga atas dasar kenyataan yang demikian itu, maka secara filosofis tujuan hukum diciptakannya pengaturan anti dumping adalah upaya perlidungan bagi pelaku usaha lokal atau nasional dalam suatu negara. Namun anehnya, dalam konteks UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang dimiliki Indonesia, meskipun substansinya memuat pengaturan larangan praktek persaingan tidak sehat (unfair competition) baik dalam bentuk harga maupun barang, tetapi UU tersbeut sama sekali tidak menyinggung perihal anti dumping. Jadi, seolah-olah tidka terdapat keterkaitan antara persaingan usaha tidak sehat dengan upaya dumping yang dilakukan oleh pelaku usaha asing.

Dalam kerangka mendukung adanya teori kebijakan persaingan yang sampai hari ini masih belum mampu menawarkan konsep yang jelas dan konklusif mengenai prasyarat kebijakan persaingan dan implementasi dari undang-undang antimonopoli. Oleh karena itu peran dari lembaga-lembaga pengawas persaingan merupakan satusatunya instrumen yang dapat digunakan untuk mengamankan proses persaingan.[5] Nampaknya terjadi kekeliruan pemahaman hukum atau kekeliruan perumusan undang-undang Persaingan Usaha yang lahir, kemudian nyatanya tidak mengakomodir praktek anti-dumping sebagaimana yang diatur dalam UU No. 10 tahun 1995 tentang Kepabean.

Sedangkan menurut ketentuan Pasal VI ayat 1 GATT 1947 merumuskan defenisi dumping sebagai : “Product of one country are introduce into the commerce of another country at less than normal value of the product is to be condemned if it causes or threated material injury to an estabilished industry in the teritority pf a contracting party or materially retard the estabilishment of a domestic industry”.

Berdasarkan ketentuan IV diatas, maka Artikel VI GATT 1994 ini mengijinkan otoritas di suatu negara untuk mengenakan biaya tambahan dalam bentuk bea anti dumping terhadap produk-produk impor yang diduga dijual dibawah harga normal atau harga lebih murah dari harga pasar di pasar domestik dari negara asal barang, sehingga praktek yang demikian menimbulkan kerugian bagi industri di dalam negeri dari negara tempat dipasarkan barang tersebut.[6]

Selanjutnya, yang dikatakan dengan anti-dumping adalah kebijakan yang dibuat atau diciptakan oleh pemerintah dalam suatu negara untuk mencegah timbulnya berbagai kegiatan curang oleh pelaku usaha asing melalui produk impor, perbuatan curang ini berkaitan dengan aspek harga dan produk. Mekanisme anti dumping ini selanjutnya menciptakan apa yang disebut sebagai safeguard yaitu suatu upaya perlindungan dari pemerintah suatu negara untuk melindungi produk dalam negeri yang dihasilkan pelaku usaha domestiknya.


III. Aturan Anti Dumping Dalam Hukum Indonesia

Dalam hukum Indonesia, anti dumping diatur pada UU No. 7 thaun 1994 tentang Pengesahan Estabilishing the World Trade Organization sebagaimana Lemabran Negara No. 57 tahun 1994, Tambahan Lembaran Negara No. 3564. Untuk selanjutnya, kebijakan sehubungan dengan anti dumping terkait adalah UU NO. 10 tahun 1995 tentang Kepabean.

Dalam Undang-Undang dan ketentuan yang berhubungan dengna anti dumping termuat dalam Bab IV. Bab ini terbagi atas dua bagian yaitu bagian pertama menyingung tentang bea masuk anti dumping yang dimuat dalam pasal 18, sedangkan bagian kedua menyinggung tentang Bea Masuk Imbalan yang berhubungan dengan masalah subsidi yang dimuat dalam pasal 21 s/d 23.[7]

Untuk melaksanakan amanat yang digariskan oleh Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabean maka dibuatlah Peraturan Pelaksanaan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 34 tahun 1996 tentang Bea Masuk Bea Masuk Anti Dumping dan Bea Masuk Imbalan. Sistematika dari Peraturan Pemerintah (PP) ini adlaah sebagai berikut :[8]

Bab I : Ketentuan Umum (Pasal1 s/d Pasal 5)

Bab II : Komite Anti Dumping Indonesia (Pasal 6 s/d Pasal 7)

Bab II : Penyelidikan (Pasal 8 s/d Pasal 12)

Bab IV : Bukti dan Informasi (Pasal 13 s/d Pasal 16)

Bab V : Tindakan sementara (Pasal 17 s/d 20)

Bab VI : Tindakan Penyesuaian (Pasal 21 s/d Pasal 25)

Bab VII : Penetapan Bea Masuk Anti Dumping dan Bea Masuk Imbalan (Pasal 26 s/d Pasal 33)

Bab VIII : Ketentuan Lain-lain (Pasal 34 s/d Pasal 37).[9]

Namun, harus diakui bahwa dari peraturan-peratuan anti dumping yang diberlakukan Indonesia, secara umum karakteristik pengaturannya belum menunjukkan kekhususan orientasi hukum anti du,ping. Sebenarnya, jika melihat perumusan pasal-pasal maupun penamaan undang-undang, belum menyiratkan secara tegas adanya usaha perlindungan bagi pelaku usaha nasional. Indonesia sudah seharusnya menerapkan penamaan Undang-Undang Anti Dumping. Karena jika melihat konteks UU Kepabean. Kepabean sendiri secara hukum tidak selalu mempunyai karakteristik defenitif usaha untuk melindungi persaingan usaha antara asing dengan lokal dari tindakan kecurangan bisnis, terutamanya penawaran produk di Indonesia. Padahal anti dumping yang diatur dalam WTO sendiri secara substantif dapat diartikan sebagai instrumen hukum untuk mencegah atau mengantisipasi barang dumping. Sehingga, secara normatif pertanyaannya, mengapa Indonesia tidak langsung saja menerapkan UU Anti-Dumping ??? atau paling tidak dicari kesepadanan kata anti-dumping dalam perspektif hukum Indonesia. Dengan lain perkataan, meskipun Indonesia menganggap telah merativikasi kebijakan WTO di bdiang anti dumping sebagaimana UU No. 10 tahun 1995 tentang Kepabean, namun jika mencermati UU No. 10 tahun 1995, ternyata tidak ada satu pasal pun yang megnatur secara tegas pemberlakuan atau pendefenisian anti-dumping secara normatif, hal ini menimbulkan kekaburan hukum yang seringkali menjadi ketidakjelasan dalam lapangan praktek.

Dilain pihak, hukum persaingan usaha di Indonesia, kebijakan persaingan usaha dilaksanakan melalui pengawasan terhadap struktur pasar dari perilaku pasar berdasarkan analisis terhadap masukan inforamsi yang diperoleh dari kinerja pasar.[10] Sedangkan kebijakan persaingan usaha (competition policy) adalah kebijakan yang berkaitan dengan upaya-upaya untuk mencapai kepentingan konsumen.[11] Oleh karena itu, terdapat keterkaitan antara pasar, pelaku pasar dan konsumen. Berkenaan dengan pelaku pasar disini terdapat pelaku usaha asing dan domestik. Apabila terjadi usaha memonopoli harga dalam rangka menciptakan persaingan yang tidak sehat, secara hukum apakah dalam hal ini dikwalifisir sebagai upaya dumping ???. Hal ini yang tidak kita temukan dalam UU No. 5 tahun 1999. Jadi, baik dalam UU Kepabean maupun UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat tidak terdapat ketegasan mengenai perilaku dumping pelaku usaha asing sehubungan dengan mekanisme pasar. Padahal, hukum persaingan usaha Indonesia dapat dikategorikan melakukan pendekatan terbatas. Dimana, larangan tehadap praktik-praktik yang secara khusus dirancang untuk mengurangi atau menghilangkan pesaingnya seperti transaksi yang ekslusif (exclusive dealing) menolak untuk memasarkan barang (refused to deal) atau boikot (boycott).[12]

IV. Berbagai Persoalan Anti Dumping Yang dihadapi Indonesia

Praktek dumping merupakan merupakan tindakan yang jelas-jelas dapat merugikan kerugian yang sangat serius terhadap perekonomian setiap negara yang mana setiap negara memerlukan perlindungan (protection) yang memadai sehingga lahirlah suatu instrumen kebijakan perdagangan yang dikenal dengan istilah antidumping.[13] Jadi, dalam situasi yang demikian, ketentuan pasal VI WTO memberikan kepastian sehubungan dengan penerapan anti-dumping di suatu negara importir. Demikain sebaliknya, bagi negara eksportir dilarang melakukan dumping di negara yang menjadi pasar konsumen.

Persoalannya, seberapa mampukah negara-negara berkembang menegakkan kebijakan anti dumping di negaranya jika mengingat kenyataan bahwa prinsip pelaksanaan anti dumping mempengaruhi implikasi ekonomi antara persaingan negara maju dengan negara berkembang ??. Dalam banyak kasus penerapan anti dumping yang dijalankan ole negara berkembang, pada hakekatnya kebijakan anti dumping tidak dapat dijalankan secara tegas mengingat negara berkembang pada dekade ini masih bergantung kepada investasi asing. Sedangkan investai asing ini diwujudkan dalam bentuk Multi Nasional Corporation (MNC) yang justru berasal dari negara maju.

Kegiatan yang dilakukan oleh Transnasional Corporation (TNC) atau Multinasional Corporation (MNC) adalah perusahaan yang mempunyai jaringan kerja yang mendunia.[14] Melalui MNC ini, cenderung negara-negara berkembang ditekan oleh negara maju dalam memasarkan produk di pasar konsumen. Jadi manakala MNC terbukti melakukan persaingan curang dalam bentuk harga sehingga mempengaruhi pelaku usaha domestik, maka negara berkembang sangat sulit untuk menegakkan anti dumping, mengingat jika hal tersbeuit ditegakkan maka negara maju akan memboikot investasi di negara berkembang dengan bergai cara, apakah melakukan pengurangan modal, atau memberlakukan subsidi, dan sebagainya. Kenyataan ini sudah dialami oleh Indonesia sebagai negara berkembang, dimana banyak kasus-kasus yang sudah direkomendasikan KADI sebagai tindakan dumping, namun pemerintah Indonesia sama sekali tidak berani menerapkan larangan yang tegas. Alhasil, pelaku usaha domestik di Indonesia kalah bersaing. Bahkan, jika dilihat jenis produk di pasaran konsumen dewasa ini, tesisnya adalah Pemerintah Indonesia tidak mampu melindungi pelaku usaha domestik dalam bentuk penerapan kebijakan anti dumping.

Disamping itu MNC dapat meminta pemerintahnya untuk memperjuangkan kepentingan mereka dalam forum internasional. Salah satunya adalah dalam pembentukan perjanjian internasional.[15] Jadi dengan kata lain, MNC mendorong pemerintah negaranya agar menggagas terciptanya perjanjian internasional ayng menguntungkan MNC didalam menjalankan usaha atau bisnisnya di negara berkembang, termasuk didalamnya memonopoli kegiatan pasar dengan jalan persaingan tidak sehat (unfair competition). MNC menerapkan harga murah untuk produk yang dihasilkan di pasaran konsumen. Fakta ini yang kurang disadari oleh pemerintah negara berkembang. Sebagai contoh, di Indonesia banyak sekali produk china, seperti konveksi, peralatan kantor, kebutuhan rumah tangga, alat komunikasi dan sebagainya berasal dari Negara China. Dimana keseluruhan produk China tersebut berada pada level harga terrendah di pasar konsumen. Akhirnya yang terjadi, konsumen meninggalkan produk domestik yang berakibat pada kerugian kalangan pelaku usaha domestik. Pada tingkatan lanjut apabila kondisi ini dibiarkan terus menerus, maka dimasa mendatang Indonesia akan mengalamai ketergantungan terhadap produk impor sebagai akibat rubuhnya pelaku usaha lokal.

Dalam persoalan lain, untuk produk-produk “branded” kualitas barang yang jauh diatas rata-rata dibanding produk domestik akan menimbulkan gesekan kepentingan dalam meraih konsumen di pasar global. Sebagaimana lajimnya produk negara-negara mau, barang-barang bermerek akan diburu oleh konsumen negar aberkmebang, sehingga produk dalam negeri untuk barang yagn sama akan tidak mampu bersaing.

Dengan adanya berbagai persoalan diatas, maka seharusnya pemerintah dalam suatu negara berkembang dapat menerapkan prinsip “safeguard” untuk melindungi pelaku usaha domestik dalam kerangka persaingan global, sekaligus membangun kekuatan ekonomi nasional yang diangkat dari devisa pelaku usaha dalam negeri.

Sejak berlakunya Estabilishing Agreement WTO di bidang anti dumping sebagaimana Pasal VI, Indonesia telah dihujani tuduhan dumping di negara-negara tujuan ekspor. Sebaliknya, pemberlakuan anti-dumping di dalam negeri tidak menunjukkan hasil yang menggembirakan pula, mengingat banyak kasus anti dumping yang dialamatkan terhadap pelaku usaha asing yang memasarkan produknya di Indonesia telah terbukti melakukan dumping namun untuk skala penindakan jauh dibawah harapan.

Bagaimanapun, jika ditelisik secara mendalam, sejak berlakunya kebijakan anti dumping WTO secara faktual Indonesia telah dirugikan dari aspek perekonomian. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya fakta bahwa banyaknya produk Indonesia yang seharusnya menghasilkan devisa, namun terjadi sebaliknya. Banyak produk Indonesia yang ditolak di negara-negara maju. Bahkan, baru-baru ini produk Indonesia ditolak oleh negara Turki. Ada juga produk lain pelaku usaha Indonesia yang ditolak oleh negara maju, seperti negara Korea dan Ameriksa Serikat.

Prinsip anti dumping ini sebenarnya dapat membantu membangun perekonomian nasional Indonesia jika pemerintah mampu memanfaatkan secara jelas. Proses penegakan hukum anti dumping (law enforcement) akan mampu melindungi pelaku usaha domestik jika pemerintah melalui peraturan perundang-undangan ditempatkan dalam tatanan yang sinkron. Disamping itu, perlu dilakukan perbaikan normatif hukum yang mengatur secara tegas hukum anti-dumping, safeguard dan dumping.

Untuk tujuan lain, dalam jangka panjang kebijakan anti dumping yang tidak selaras dengan tujuan perlindungan pelaku usaha nasional akan mengakibatkan hilangnya kemampuan persaingan dari pelaku usaha lokal dalam tatanan perdagangan inernasional.

Sebagai logika ekonomi sederhana dikemukakan disini, produk Indonesia telah terkena larangan beredar untuk 116 jenis produk di negara-negara maju dan berkembang. Jika dihitung kalkulasi keuntungan yang seharusnya didapat dan keberlangsungan ekonomi nasional, karena adanya penyerapan tenaga kerja, pemanfaatan sumber daya alam, dan pajak dalam negeri, maka jelas secara sederhana Indonesia telah mengalami kerugian besar. Secara fakta, kurangnya daya saing pemerintah negara berkembang dalam merumuskan kebijakan internasional telah berdampak bagi keberlangsungan pelaku usaha domestik di masa mendatang.

Oleh karena itu perlu diterapkan strategi perlindungan yang jelas terhadap pelaku usaha domestik. Strategi ini dapat dicapai melalui berbagai instrumen. Paling tidak didasrkan pada tiga elemen penting, yaitu : Budaya Hukum, Institusi (aparat hukum) dan Substansi Hukum. Ketiga elemen ini dalam lapangan praktek yang seringkali tidak padu.

Misalnya saja, Disatu sisi, peredaran produk China di pasar konsumen sangat besar, padahal disisi lain, pemerintah telah menerapkan bea-masuk atas produk impor tersebut untuk menyeimbangkan harga antara produk domestik dan asing untuk jenis produk yang sama. Pertanyaannya, jika memang telah tercipta keseimbangan harga di pasar konsumen melalui bea masuk, namun mengapa produk impor China pada kenyataanya masih jauh lebih murah apabila dibandingkan dengan produk nasional ???. Disini perlunya aparat instansi dilakukan pengawasan dalam proses penegakan kebijakan anti-dumping. Belum lagi pemerintah harus berupa menggalakkan budaya masyarakat kita yang cenderung memilih produk negara maju atas nama branded apabila dibandingkan produk lokal. Budaya masyarakat berkenaan dengan mindset, oleh karena itu budaya masyarakat ini yang perlu diadaptasi melalui instrumen hukum agar beralih kepada prioritas mengutamakan produk dalam negeri.

V. Penutup

Bercermin dari uraian pembahasan yang disebutkan diatas, maka kesimpulan yang diperoleh sehubungan dengan permasalahan sebagai berikut :

a. Penerapan anti-dumping, dumping dan safeguard dalam hukum Indonesia masih dalam tahap sinkronisasi, bahkan kecenderungan UU yang ada tidak menegaskan apa itu dumping, anti dumping dan safeguard. Hal ini dapat dilihat dari lahirnya UU Kepabeaan dan UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehata ;

b. Kebijakan Anti-dumping, dumping dan safeguard dalam perspektif Indonesia sebagai negara berkembang pada kenyataanya telah merugikan perekonomian, sehingga jika dimasa mendatang pemerintah tidak melakukan upaya penegakan hukum, melalui : budaya hukum, substansi dan Institusi (aparat hukum), maka akan timbul ketergantungan produk asing yang justru mutlak menguntungkan pelaku usaha asing dan merugikan pelaku usaha domestik yang ujung-ujungnya merugikan perekonomian nasional dalam jangka panjang.


END NOTE :

[1] Xuan Gao, “Proliferation of Anti-Dumping and Poor Governance in Emerging Economic”, Case Sutdy of China and Africa, Nordiska Africainstitute, UPPSALA, GML Print on Deman AB, Stockholm, 2009, hal. 7

[2] Xuan Gao., Ibid. hal 8

[3]John H Jackson and William J. Davey, “Legal Problems of Economics International”, Cases, Materials and Tax (2nd Edition), hlm. 654-655.

[4]Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta, 1997 hal 246

[5]Sukarmi,Praktek Dumping Dalam Persfekti Hukum Persaingan Usaha”, Makalah disampaikan pada acara Seminar : Implementasi Peraturan Anti dumping Sera Pengaruhnya Terhadap Persaingan Usaha Dan Perdagangan Internasional, diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 21 Juni 2008 hal 5.

[6]Rita Erlina, “Anti Dumping Dalam Perdagangan Internasional : Sinkronisasi Peraturan Anti Dumping Indonesia Terhadap WTO Anti Dumping Agreement”, Tesis, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2007, hal iv.

[7] Christhopurus Barutu, “Antidumping Dalam General Agreement on Tariff and Trade (GATT) dan Pengaruhnya Terhadap Peraturan Anti Dumping Indonesia”, Mimbar Hukum Volume 19, Nomor 1, Februari 2007, hal 57.

[8] Christhopurus Barutu, hal 58

[9] Lebih lanjut upaya hukum dibidang anti dumping di Indonesia dalam konstruksi yang lebih luas menyangkut pula pemberlakuan Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

[10]Johnny Ibrahim, “Hukum Persaingan Usaha”, Bayumedia, Malang, 2009, hal 96.

[11]Johnny Ibrahim, Ibid.

[12]Johnny Ibrahim., Ibid., hal 99.

[13]Chisthoporus Barutu, op.,cit hal 54.

[14]Hikmahanto Juwana, “Hukum Internasional Dalam Perspektif Indonesia Sebagai Negara Berkemabng”, Yarsif Watampone, Jakarta, 2010, hal 17

[15]Hikmahanto Juwana., Ibid hal 19

HUKUM DAN PEMBANGUNAN EKONOMI

PEMBAJAKAN HASIL KARYA CIPTA LAGU DAN MUSIK

DALAM DIMENSI PENEGAKAN HUKUM

(Kajian Dari Sudut Pandang Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi)[1]

By. Agus P. Pasaribu, SH.[2]

Abstract

Pembajakan hak cipta atas musik dan lagu merupakan salah satu persoalan hukum di negara berkembang seperti Indonesia. Bahkan, pembajakan tersebut dianggap lumrah adanya di masyarakat, tanpa peduli strata ekonomi. Pembangunan ekonomi yang didasarkan pada pembaharuan pondasi hukum berkenaan dengan tiga elemen pernting, yaitu : struktur, budaya dan substansi hukum, oleh karena itu ketiga elemen tersebut merupakan titik tolak penting dalam menciptakan penegakan hukum, sehingga sarana check and balance dalam penegakan hukum di bidang hak cipta lagu dan musik dapat diupayakan.

Keywords : Pembajakan, Hak Cipta, Struktur, Budaya, Substansi

I. Pendahuluan

Dewasa ini pembajakan Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) di Indonesia khususnya hasil karya cipta seni (lagu dan musik) sudah sampai pada taraf yang sangat mengkhawatirkan, sehingga kalangan produsen, pelaku usaha, pencipta, musisi, dan penyanyi mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, berupaya memikirkan langkah antisipatif apa yang harus dilakukan untuk mencegah kerugian yang lebih besar dimasa yang akan datang. Bayangkan,[3] sebuah lagu yang belum resmi diedarkan pun, cakram bajakannya sudah beredar luas di lapak-lapak. Pajak penjualan yang seharusnya masuk negara menyelonong ke kantong pembajak. Sebagai contoh, menurut Direktur Nagaswara Rahayu Kertawiguna menyatakan, dikutib:[4]

“Pembajakan atas lagu-lagu produksi nagaswara mencapai puncaknya. Penjualan CD dan MP3 kami tinggal 7.000 keping sebulan dari biasanya 15.000 keping. Tapi, CD bajakan laku keras”.

Untuk mengatasi perdagangan CD dan MP3 bajakan (piracy) tersebut, pihak Nagaswara mengambil kebijakan strategi pemasaran sebagai berikut :

“....bersiasat dengan membuka Nagaswara Original Story (NOS), toko yang menjual CD dan MP3 asli produksi Nagaswara di Plaza Glodok, Jakarta. Harga produk asli alias original itu sama dengan harga cakram bajakan, yakni Rp. 6.000,- per keping. Tidak tanggung-tanggung, NOS dibuka tepat ditengah-tengah pedagang cakram bajakan yang ada”.[5]

Lebih lanjut Rahayu Kertawiguna menyatakan pula (dikutib) :[6]

“Langkah tersebut merupakan simbol melawan pembajakan dengan damai. Kalau pakai cara-cara razia, mereka sudah tidak mempan”.

Persoalan pembajakan hak atas kekayaan intelektual memang persoalan klasik yang mendera negara-negara berkembang pada umumnya, tanpa terkecuali Indonesia, sehingga tidak mengherankan apabila Indonesia dimasukkan sebagai salah satu negara yang patut mendapatkan pengawasan ketat dalam hal penggunaan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HaKI). Bahkan, belakangan Amerika Serikat (USA) sebagai negara maju telah memasukkan Indonesia ke daftar hitam (black list) salah satu negara pembajak HaKI terbesar di dunia. Kondisi yang demikian sangat tidak menguntungkan perekonomian Indonesia dalam jangka panjang, mengingat Indonesia sebagai negara tujuan investasi masih bergantung kepada penanaman modal asing. Kurang maksimalnya penegakan hukum HaKI di Indonesia dengan sendirinya mengurangi kepercayaan investor asing. Namun, persoalannya penegakan hukum HaKI di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia memang sangat rumit dan kompleks, karena mengubah wajah hukum melalui pembenahan sistem hukum yang diletakkan pada tiga elemen, yaitu : struktur, budaya dan substansi hukum. Dimana ketiga elemen tersebut masih dalam keadaan tidak terdesain dengan baik.

Sehubungan dengan pelanggaran HaKI, kepedulian Pemerintah Indonesia terhadap nilai-nilai pengaturan kekayaan intelektual menjadi lebih berbobot dalam situasi sekarang ini, khususnya Hak Cipta yang dimulai dari peraturan kolonial sampai dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 telah mengalami beberapa kali dikeluarkannya Undang-Undang yang mengatur tentang Hak Cipta. Bahkan sebagai anggota dari beberapa organisasi dunia Pemerintah Indonesia telah ikut meratifikasi beberapa peraturan-peraturan internasional tentang Hak Kekayaan Intelektual, dengan meratifikasi Bern Convention of the Protection of Liberary and Artistik Works (Konvensi Bern 1886).[7] Perkembangan perdagangan internasional juga memunculkan HKI sebagai issu yang penting yang dipakai sebagai bagian dari instrumen perdagangan oleh negara-negara maju untuk memaksakan kehendaknya kepada negara berkembang dengan memasukkan HKI sebagai bagian tak terpisahkan dalam Perundingan Putaran Uruguay yang ditandai dengan terbentuknya the World Trade Organisation yang dalam Annex atau lampirannya memuat TRIPs (Trade Related Aspects on Intellectual Property Rights and Counterfeit Goods). Pemerintah Indonesia yang meratifikasi perjanjian WTO maka Indonesia juga harus meratifikasi Konvensi Bern karena konvensi ini merupakan salah satu dari tiga konvensi yang wajib diratifikasi oleh negara peserta WTO. KEPPRES no 18/1997 tentang ratifikasi Konvensi Bern pada tanggal 7 mei 1997 menjadi dasar bagi Pemerintah Indonesia untuk menyesuaikan UU hak cipta sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Konvensi Bern.[8]

Sebagai gambaran kasar, disini diuraikan data pembajakan hak atas kekayaan inteletual terhadap musik sebagai berikut :[9]

Pembajakan merupakan ancaman terbesar dalam industri musik
Menurut data ASIRI 2007, penjualan musik ilegal atau bajakan mencapai 95,7% sementara musik legal hanya tinggal 4,3%. Hal ini menunjukkan gagalnya penegakan terhadap UU No.19/2002 tentang Hak Cipta.

Bahkan, kasus pembajakan, dalam tahun 2007 saja diestimasikan bahwa jumlah unit bajakan yang terjual naik 15% dibandingkan tahun 2006.[10]
Kasus pembajakan di bidang hak cipta musik tersebut diatas, pada tahun sebelumnya lebih kecil, artinya, tahun demi tahun usaha pembajakan telah menguasai pangsa pasar konsumen.

Fakta diatas merupakan data empiris tentang pembajakan hak atas kekayaan intelektual (musik dan lagu) yang terjadi di Indonesia. Meskipun pemerintah telah berupaya memperbaiki instrumen hukum, namun hasilnya tidak begitu signifikan. Dalam proses penegakannya, Pemerintah sepertinya enggan menyeret para pelaku pembajakan ke meja hijau, hal ini terbukti dari volume kasus di bidang pembajakan musik dan lagu sangat sedikit atau bahkan jarang. Pada konteks yang berbeda, aparat penegak hukum (kepolisian) telah gencar melakukan sweeping di lapangan untuk menangkap para pedagang CD bajakan, namun sangat ironis karena ditengah-tengah upaya penegakan hukum yang demikian, perdagangan CD bajakan justru semakin luas menguasai pasar konsumen, bahkan pembajakan sudah sampai pada taraf industri, sehingga mengakibatkan kerugian pendapatan negara, musisi, penyanyi dan produsen. Budaya pembajakan menjadi sesuatu yang tren dilakukan dan bukan rahasia lagi bahkan terkesan legal. Pelanggaran HaKI tidak perlu ditakuti para pedagang. Sekarang ini, sudah menjadi fakta bahwa penjualan CD bajakan telah memasuki pasar modern seperti pusat perbelanjaan, seperti Mall. Dengan adanya situasi yang demikian itu, secara sederhana masyarakat akan menangkap suatu asumsi bahwa penjualan CD bajak bukan merupakan pelanggaran hukum yang serius. Artinya, secara tidak langsung ditengah-tengah masyarakat terbentuk budaya hukum menurut pola kebiasaan jual-beli produk bajakan yang seolah-olah legal. Meminjam istilah Lawrence M. Friedman, ia mengartikan budaya hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum – kepercayaan, nilai, pemikiran serta harapan.[11]

Pelanggaran hukum HaKI di negara berkembang tidak kalah menariknya jika dibandingkan dengan kerugian yang ditimbulkan karenanya di negara maju, sebagai perbandingan diuraikan data kerugian pembajakan (piracy) HaKI di negara maju sebagai berikut :

“....many software user there also pirate what they use : United State (27 percent of software application in user), Japan (32 percent), Germany (33 percent), and France (44 percent). The dollar losses to software pirates in the United States in 1997 were estimated at nearly US$ 2.8 billion, twice the figure for China, and many of the U.S. “losses” were in fact lose sales. U.S. Dollar losses to pirates in Japan are an estimated 750 million and in Germany more than 500 million (Bussiness Software Alliance 1998).[12]

Dengan tingginya kuantitas maupun kualitas pembajakan hak atas kekayaan inteletual (HaKI) di negara berkembang dalam kaitannya dengan kerugian yang ditimbulkan, maka implikasi nyata yang timbul karenanya adalah kerugian pendapatan, baik bagi pemerintah negara maju maupun berkembang. Negara dari aspek ekonomi akan kurang diuntungkan persoalan tersebut. Kerugian ekonomi ini sebenarnya masih dapat diminimalisir jika saja pemerintahan di tiap-tiap negara berkembang maupun maju melakukan pembenahan terhadap bangunan hukum yang ada dalam bentuk sinergi.

Bercermin dari uraian latar belakang tersebut diatas, pertanyaan yang relevan untuk dijawab adalah bagaimanakah keterkaitan antara struktur, budaya dan substansi hukum dalam sistem hukum sebagai bentuk upaya penegakan HaKI yang berorientasi pada tujuan pembangunan ekonomi?. Makalah ini akan menganalisis peranan hukum terhadap pembangunan ekonomi. Adapun kajian tulisan bersifat deskriktif. Dikatakaan deskriktif karena pembahasan akan menguraikan hubungan sebab akibat antara perbaikan struktur, budaya dan substansi hukum berkenaan dengan penegakan HaKI.

II. Data Pembajakan HaKI Atas Musik di Indonesia

Diantara jenis-jenis ciptaan yang dilindungi Hak Cipta, terdapat tiga produk ciptaan yang paling parah didera pembajakan. Ketiga produk tersebut adalah musik, film, dan software. Dalam dua dekade terakhir ini, para copyright, holder, film, musik dan software sangat serius memerangi praktek pembajakan. Organisasi atau asosiasi di bidang industri musik, distributor film, dan vendor, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, telah aktif melakukan kampanye anti piracy.[13] Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, tingkat pembajakan terhadap hasil karya seni musik dan lagu di Indonesia telah jauh melampaui perdagangan resmi produk asli (original) sehingga sangat merugikan pembangunan ekonomi Indonesia.

Berikut ini disajikan data peredaran produk ilegal karya rekaman suara (dalam unit) yang dipublikasikan oleh Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI) :[14]

Data ASIRI (Asosiasi Industri Rekaman Indonesia) menggambarkan seberapa parah tingkat pembajakan di Indonesia. Apabila pada tahun 1996, perbandingan antara produk dengan bajakan masing-masing mencapai 77.552.008 (legal) dan 23.068.225 (ilegal), pada tahun 1997 perbandingan itu sudah berbalik. Artinya, produk bajakan jauh lebih banyak dibanding produk asli. Perbandingannya, 112.835.989 bajakan, dan 67.356.071. Pada tahun 2000, tercatat angka pembajakan yang mencapai 240.084.555, sementara produk original hanya seperlimanya. Data terakhir tahun 2007 benar-benar mencatat kondisi terburuk, dengan perbandingan 19.398.208 legal, dan 443.556.298 ilegal.[15]

Berdasarkan data tersebut diatas, kerugian yang diderita industri rekaman sebagai akibat pembajakan, tergambar dalam tabel di bawah ini. Angka-angka itu sudah bersifat self explanatory yang sekaligus menggambarkan parahnya praktek pembajakan.[16]

Perkiraan Kerugian Industri Akibat Pembajakan Rekaman Suara

Keterangan:

Harga Jual Tertinggi : VCD Rp.35.000,00, CD Rp.60.000,00 dan Kaset Rp.22.500,00.

Grafik kerugian materil sebagai akibat pembajakan karya cipta musik dan lagu di Indonesia sebagai berikut :

Dari segi kepentingan negara, Pemerintah juga dirugikan akibat hilangnya pendapatan dari sektor pajak. Data di bawah ini akan menjelaskan, betapa total kerugian yang tahun 1996 baru sebesar Rp14.440.779.375,00 pada tahun 2002 telah mencapai Rp1.194.034.945.600,00 (Satu trilyun seratus sembilan puluh empat milyar tiga puluh empat juta sembilan ratus empat puluh lima ribu enam ratus rupiah) atau dengan US$ 100.019.680,00. Data terakhir, pada tahun 2007, kerugian turun dibanding tahun 2002 dan 2003 menjadi Rp1.122.419.212.975,00 atau dengan US$ 94.044.341,00.

Sejalan dengan data kuantitatif diatas, dikawasan Asia Tenggara bukan hanya Indonesia saja yang merupakan tempat yang dinilai sebagai surga pembajakan tetapi ada juga negara-negara lain seperti Malaysia, Thailand, Filipina, dan Singapura. Indonesia sendiri tingkat pembajakan film seperti film-film Amerika semacam kartun, drama, dokumenter, ilmu pengetahuan, action mencapai 98 %.[17]

Sebagai perbandingan, disajikan pula data kerugian neraca perdagangan Ameriksa Serikat (USA) dalam jumlah Dollar AS sebagai akibat pembajakan (piracy) sebagai berikut :

Film

Rekaman Musik

Buku

Negara

Rugi

Tingkat Pembajak

an

Rugi

Tingkat Pembajak

an

Rugi

Tingkat Pembajak an

Australia

27,0

4 %

3,8

4 %

1,2

n/a

China

124,0

100 %

3000,0

54 %

125,0

n/a

Hongkong

10,0

4 %

5,0

13 %

2,0

n/a

India

58,0

99 %

10,0

30 %

25,0

n/a

Indonesia

15,0

89 %

2,0

9 %

45,0

n/a

Jepang

108,0

10 %

n/a

n/a

1,5

n/a

Malaysia

42,0

85 %

1,9

16 %

6,0

n/a

Filipina

26,0

90 %

3,0

22 %

70,0

n/a

Singapura

1,8

2 %

2,4

9 %

1,0

n/a

Thailand

29,0

65 %

5,0

13 %

32,0

n/a

Taiwan

29,0

15 %

5,0

13 %

6,0

n/a

Sumber : Intelectual Property Alliance IPA dan Eddy Damian (199) sebagaimana dikutib oleh Pretty Rina Prasetyas, dalam tulisan berjudul : “Problematika Hak Cipta di Indonesia : Masalah Upaya Perlindungannya”, Widyariset Vol. 2, 2001, hal. 172[18]

III. Hubungan Stuktur, Budaya dan Substansi Hukum Dalam HaKI

Sebagaimana disinggung diatas, sistem hukum terdiri dari tiga komponen, yaitu : struktur, substansi dan budaya hukum.[19] Stuktur hukum adalah kerangka atau rangkanya, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan keseluruhan. Yang dimaksud dengan substansi adalah aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Budaya hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum – kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Dengan kata lain, bagian dari budaya hukum itulah yang menyangkut sistem hukum.[20]

Ketiga komponen sistem hukum yang disebutkan diatas, akan dibahas pada bagian berikut dalam kaitannya dengan aspek penegakan hukum di bidang Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI). Sebagai komponen dari suatu sistem hukum, maka pembenahan komponen struktur, substansi, dan budaya hukum akan menghasilkan kontrol sosial. Dimana fungsi kontrol sosial disini justru merupakan fungsi daripada hukum. Oleh karena itu, sistem hukum sangat berkait erat pula dengan perilaku aparat yang mengontrolnya.

A. Stuktur

Penegakan hukum dalam sejarahnya selalu berkait erat dengan aparat penegak hukum, seperti Jaksa, Hakim, Pengacara dan Kepolisian. Tanpa adanya aparat penegak hukum, maka sia-sialah rasanya perumusan peraturan yang paling baik sekalipun. Penegakan hukum di bidang HaKI mempunyai relevansi penting dengan peranan hukum dalam pembangunan ekonomi (economic development). Disini, struktur berkenaan dengan tempat para aparat hukum menjalankan fungsi dan kewenangannya untuk menegakkan ketentuan hukum. Penegakan ketentuan hukum dibidang HaKI ini mencakup : proses pengadilan (due process law), pemberian sanksi, pemberian penghargaan (reward), dan mekanisme lain yang dapat ditempuh sepanjang sifatnya menetapkan suatu perbuatan. Meminjam istilah H.L.A. Hart peraturan yang demikian disebut Secondary Rule. Jadi peraturan untuk menegakkan hukum materil HaKI dilandasi oleh aturan penegakan perilaku aparat hukum, seperti: UU Mahkamah Agung, Kejaksaan, Kepolisian, Advokat dan sebagainya yang bersifat hukum formal.

Secara non litigasi, mengingat banyaknya kasus-kasus pelanggaran hak cipta musik dan lagu di Indonesia, maka pemerintah perlu mendesain struktur alternatif penyelesaian sengketa HaKI yang bersifat final dan mengikat (final and binding), seperti Arbitrase, Mediasi, atau Konsiliasi. Sehingga, pelaksanaan putusannya lebih mudah, sederhana, dan tidak menelan biaya (cost) yang mahal. Dengan diciptakannya sistem ADR, maka akan memudahkan proses penegakan hukum HaKI secara perdata (civil).

Sistem penyelesaian sengketa non litigasi (di luar pengadilan} ini sejalan dengan prinsip HKI yang lebih bersifat Hak-hak Pribadi (personal rights), dengan demikian penggunaan ADR dalam menyelesaian sengketa sengketa pelanggaran musik lagu adalah tepat. Penggunaan ADR dan arbitrase dalam menyelesaikan sengketa-sengketa HKI mulai banyak dipergunakan. Penggunaan arbitrase itu panting sebagaimana tersebut diatas disimpulkan, peradilan atas kasus HKI buruk,

dan kondisi pembajakan di Indonesia telah mengakar di masyarakat, perlu proses penanganan alternatif untuk menyelesaikan sengketa HKI. Pada kenyataannya, penyelesaian sengketa musik dan Iagu di Indonesia relatif.masih sedikit dan belum banyak digunakan.[21]

Secara empiris, masih sedikit kasus-kasus pelanggaran hak cipta musik dan lagu yang diselesaikan oleh aparat hukum, apakah itu melalui pemeriksan pidana maupun perdata, baik secara kelembagaan pengadilan (litigasi) maupun diluar pengadilan (non litigasi). Sejalan dengan itu, menurut Martin Suryana menyebutkan,[22] dengan dikembangkannya ADR dan Arbitrase diharapkan dapat menjadi alternatif bagi masyarakat untuk mendapat keadilan dalam penyelesaian perselisihan tersebut. Fungsi hukum yang luas dapat disebut sebagai penyelesaian sengketa (dispute settlement).[23] Menurut Richard L. Abel, sengketa (dispute) adalah pernyataan publik mengenai tuntutan yang tidak selaras (incosistent claim) terhadap sesuatu yang bernilai. Kepemilikan hak atas kekayaan intelektual secara filosofis merupakan hak atas kebendaan. Oleh karena itu, setiap orang wajib menjunjung tinggi atas hak kepemilikan HaKI yang dimilik secara sah.

Berkaitan dengan kepemilikan HaKI ini, maka sudah menjadi tugas aparat hukum untuk menentukan dan menetapkan apa yang menjadi perbuatan melanggar hukum, sehingga bagi pihak yang melanggar dengan cara melakukan pembajakan, wajib dikenakan sanksi apakah dalam bentuk pidana maupun ganti kerugian yang bersifat perdata. Dalam proses penegakan hukum ini, maka disinilah letak peranan struktur sebagai mekanisme menemukan keadilan. Struktur menjadi filtrasi untuk menemukan apa yang menjadi hukum dalam kerangka melindungi hak-hak Individu dari tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh manusia. Kepemilikan HaKI dalam bentuk seni musik dan lagu secara hukum mempunyai nilai ekonomis, oleh karenanya sudah menjadi kewajiban negara melalui struktur hukum yang ada menegaskan aturan hukum dalam rangka perlindungan. Pentingnya stuktur dalam sistem hukum

B. Substansi

Penelaahan hukum sebagai sarana (tools) untuk menciptakan keadilan merupakan prinsip dasar tujuan hukum. Dalam lapangan praktis, penegakan hukum dapat dicapai secara maksimal apabila substansi hukum yang dimuat (dalam arti : primary rules) dalam undang-undang tertata dengan baik. Berkenaan dengan substansi hukum, maka perlu diterapkannya sinkronisasi peraturan undang-undang untuk menghindari ketumpang-tindihan aturan, sehingga dalam proses penegakannya memudahkan bekerjanya struktur hukum, sedangkan di dalam struktur hukum itu sendiri terdapat aparat hukum yang menjadi oknum penegak hukum.

Substansi hukum adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sistem hukum. Substansi hukum yang dibuat harus mencerminkan asas keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Landasan hukum sebagai substansi penegakan hukum dalam bidang hak cipta musik dan lagu tercermin pada pasal-pasal UU No. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta. Lahirnya undang-undang hak cipta di Indonesia dalam implementasinya sangat sulit dijalankan, hal ini karena pada dasarnya substansi UU Hak Cipta hanya mengadopsi hukum HaKI yang berlaku di negara penganut sistem hukum common law. Kesulitan penegakan hukum dibidang hak cipta musik dan lagu karena antara substansi hukum dengan budaya hukum masyarakat tidak sinkron.

Undang Undang No. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta dibuat lebih mengendepankan pengambilan kebijakan yang bersifat top-down. Dengan kata lain, hukum hak cipta dihasilkan melalui suatu proses legislasi yang tidak melihat kebutuhan masyarakat berdasarkan hukum yang hidup (living law). Hal ini yang mengakibatkan sulitnya undang-undang hak cipta yang dibuat untuk beradaptasi terhadap hukum di dalam sistem peradilan Indonesia. Secara umum hukum dengan sistem peradilan dalam ekonomi pasar harusnya mampu :

“(1). Estabilish the standart rules of socio-economic interaction ;

(2). Set the rules of interaction between the public ant the private sector ;

(3). Envorce these rules through the court, and

(4). Resolve conflict among individuals and groups”.[24]

Jadi, dengan perumusan substansi hukum Hak Cipta yang bersifat top-down, maka tidak mengherankan apabila kemudian proses penegakannya akan menghadapi banyak kendala di dalam lapangan praktek hukum. Substansi hukum Hak Cipta kurang dipahami para penegak hukum karena proses pembuatannya kurang didasarkan pada riset atau penelitian yang benar-benar mengacu kepada tingkat kebutuhan masyarakat dibidang hukum hak cipta. Oleh karena itu, setiap proses kodifikasi hukum harus didasarkan pada tujuan berdasarkan kebutuhan substansi.

C. Budaya

Budaya hukum adalah salah satu dari tiga pilar utama pembenahan sistem hukum. Berkaitan dengan budaya hukum masyarakat Indonesia yang cenderung permisif, melahirkan ketidaktaatan hukum sebagai akibat dari kurangnya kesadaran arti pentingnya hak ekonomi hak cipta musik dan lagu bagi pencipta, musisi, produser dan pendapatan negara dalam rangka meningkatkan perekonomian.

Alasan konsumen membeli kaset[25] didasarkan pada kelebihan yang dimiliki oleh produk kaset, karena kepraktisan, harganya murah, awet, mudah didapat, mudah digunakandan dapat digunakan dimana saja dibanding membeli produk industri rekaman yang lain seperti VCD, DVD, MP3 yang belum tentu masyarakat memiliki produk-produk tersebut. Dijualnya produk bajakan kaset oleh pedagang kaki lima diantaranya karena :[26]

a. Faktor Ekonomi

Faktor ekonomi ini menjadi pendorong utama terjadinya pembajakan kaset. Kondisi ini tidak lepas dari rendahnya tingkat pendapatan masyarakat serta tingginya angka pengagguran, sehingga ada sebagian masyarakat kita yang mencari produk bajakan memanfaatkan kegiatan-kegiatan yang terjadi dimasyarakat seperti : pasar malam, pasar kaget dan keramaian lainnya,. Pemilihan lokasi penjualan kaset bajakan ini didasarkan strategi bahwa tempat-tempat tersebut hanya berlangsung sesaat, sehingga merasa aman untuk berjualan.

b. Faktor sosisal budaya

Masyarakat kita secara sosial budaya belum terbiasa untuk membeli produk asli, terutama untuk produk industri rekaman.

c. Faktor Pendidikan

Selama ini masyarakat kita kurang mendapat sosialisasi atau penyuluhan mengenai Undang Undang Hak Cipta. Keadaan tersebut mengakibatkan sebagian masyarakat tidak mematuhi ketentuan yang berlaku dalam Undang-Undang Hak Cipta. Ketidakpatuhan terhadap Undang Undang Hak Cipta dipengaruhi oleh faktor ketidaktahuan dan ketidakpahaman masyarakat sebagai akibat kurangnya informasi yang diterima ketidakpatuhan masyarakat terhadap ketentuan yang berlaku dalam Undang Undang Hak Cipta tidak hanya dilakukan oleh masyarakat biasa, tetapi juga dilakukan oleh masyarakat menengah yang mempunyai tingkat pendidikan, sarjana, dan pascasarjana.

d. Rendahnya sanksi hukum yang dijatuhkan

Sanksi hukum terhadap pembajakan kaset dikenakan hanya pada pembajak dan belum sampai keapda konsumen yang membeli produk bajakan”.

Berdasarkan uraian penulis diatas, terlihat bahwa timbulnya pembajakan hasil karya cipta seni musik dan lagu berkait erat dengan budaya hukum dan kepatuhan hukum masyarakat. Bagi sebagian kalangan, pembelian produk bajakan dianggap bukan merupakan pelanggaran hukum yang serius. Oleh karena itu, diperlukan pembinaan budaya hukum masyarakat melalui aspek pendidikan. Pembinaan pendidikan hukum dilakukan dengan merubah orientasi kebijakan yang semula represif menuju preventif sebagai bentuk upaya antisipatif untuk meminimalkan kekeliruan konsumen. Bangunan hukum sehubungan dengan pembinaan budaya hukum masyarakat melalui produk perundang-undangan dibidang Hak Cipta dapat dirumuskan melalui politik hukum undang-undang. Selanjutnya, direalisasikan pendidikan hukum yang didasarkan pada paradigma penghargaan terhadap nilai hak kekayaan intelektual berdasarkan pemahaman ekonomi hak individu. Pembinaan perilaku masyarakat dapat dilakukan melalui berbagai penyuluhan hukum atau sosialisasi bentuk lain, sehingga dalam kehidupan masyarakat terbiasa untuk menghargai hak cipta atas musik dan lagu.

IV. Prinsip Penegakan Hukum Hak Cipta Dalam Pembangunan Ekonomi

Penegakan hukum dalam pembangunan ekonomi merupakan salah satu hal yang mutlak untuk mendapat perhatian di era globalisasi ini. Untuk menentukan apakah suatu hukum signifikan terhadap pembangunan ekonomi, maka hukum harus kondusif terhadap pembangunan. Menurut study hukum dan pembangunan yang dilakukan Burg’s menyatakan sebagai berikut : [27]

“...five qualities in law wich render it conducive to development : (1) Stability ; (2) Predictibility ; (3) Fairness ; (4) Education and (5) The special development abilities of the lawyer.”.

Kelima syarat diatas merupakan faktor penentu bagaimana bekerjanya hukum. Uraian lanjut faktor-faktor tersebut dijelaskan sebagai berikut : [28]

“The need for preditability is specially great in countries where not people are entering for the first time into economic relationship beyond their traditional sosial environment. Included in the stability function is the potentia of law to balance and accomodate competing interest.

Aspect of fairness, suc as due process, equalitiy of treatment, and standars for goverment behaviour, have been emphasized by other writters as necessary for both maintenance of the market mecanism and the prevention of bureaucratic excesses. A lack of standards of fairness is said by some scholars to be one of the greatest problem confronting LDC’s”.[29]

Sedangkan faktor pendidikan hukum dalam pembangunan ekonomi dapat dijelaskan sebagai berikut :[30]

“Closely associated with the goal-giving quality ist the law capability to act as a habit forming force that cvan confirm old habits or create new responses amd condition.

Berkenaan dengan faktor kecakapan para penegak hukum, juga merupakan persoalan penting agar dapat bekerjanya hukum dalam pembangunan ekonomi. Disini peranan penegak hukum mempunyai posisi sentral untuk menegakkan aturan yang diterjemahkan dalam bentuk undang-undang, apakah itu undang-undang yang berasal atau bersumber dari kebijakan yang bersifat botton-up maupun top-down. Penegakan hukum hak kekayaan intelektual dibidang hak cipta seni dan musik di Indonesia bisa dikatakan belum menjadi prioritas pemerintah dalam kerangka pembangunan. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila kemudian belum terdapatnya upaya preventif yang maksimal, melainkan masih sebatas pada tindakan represif itu pun bersifat parsial.

Harus diakui, pelanggaran Hak Cipta dibidang musik tidak hanya menghancurkan industri musik domestik, tetapi juga produser asing. Para pembajak sangat diuntungkan dari praktek ini karena mereka tidak mengeluarkan biaya untuk produksi, pemasaran dan promosi. Tidak jauh dari estimasi IFPI, dua dari lima rekaman musik yang diperdagangkan di Indonesia merupakan barang bajakan.[31]

Lemahnya faktor penegakan hukum atas hak cipta musik dan lagu dalam kerangka pembangunan ekonomi akan mempengaruhi tingkat kepercayaan asing terhadap Indonesia, sehingga dengan sendirinya akan mengubah kebijakan investasi negara asing terhadap Indonesia sebagai salah satu tujuan investasi. Pemerintah dan negara asing maupun pemilik hak atas kekayaan intelektual perlu duduk bersama untuk mengkaji kebijakan sekaligus menciptakan berbagai instrumen hukum yang bersifat preventif maupun represif sebagai upaya penegakan hak atas kekayaan inteletual.

Hak atas kekayaan intelektual merupakan hak ekslusif ekonomi yang dimiliki oleh pemegang hak yang tentunya tidak mau dirugikan sebagai akibat adanya tindakan para pembajak musik dan lagu yang dilakukan di Indonesia. Kebijakan yang diambil dapat dikembangkan di pasar kosumen, seperti apa yang telah dilakukan pihak Nagaswara. Persoalan pokok timbulnya pembajakan hasil karya cipta musik dan lagu adalah adanya perbedaan selisih harga antara produk asli (original) dengan harga bajakan. Sementara, konsumen di negara berkembang umumnya masih pada taraf pendapatan perkapita yang rendah, dengan kata lain, faktor ekonomi merupakan salah satu pemicu mengapa produk bajakan begitu mudah dipasarkan. Sebagai contoh, untuk produk asli CD lagu asing biasanya harga dikisaran Rp. 70.000,- s/d Rp. 100.000,- sedangkan CD bajakan untuk jenis produk yang sama dikisaran harga Rp. 35.00,- s/d 6.000,-.

Para pelaku usaha, pemerintah, dan pemilik hak cipta harus mencari solusi jika ingin meminimalisir pembajakan. Perbedaan harga produk yang cukup kontras dapat ditempuh melalui penurunan harga bagi produk asli. Agar produsen atau pemilik hak cipta tidak dirugikan sehubungan dengan penurunan harga produk musik dna lagu, maka diperlukan peranan produsen untuk mencari alternatif langkah untuk mengurangi biaya poduksi.

Peranan pemerintah sebagai penegak hukum sekaligus wadah untuk menjembatani para pelaku usaha dengan konsumen hak cipta musik dan lagu sangat dibutuhkan. Pada tingkatan ini, pemerintah harus mempersiapkan berbagai kebijakan hukum yang sifatnya memberikan kelonggaran dan dorongan bagi produk asli agar mampu melakukan ekspansi untuk mengalahkan produk bajakan. Dari sisi penegak hukum, maka sudah waktunya pemerintah melakukan penegakan hukum secara tegas baik sanksi pidana maupun perdata bagi pembajak maupun konsumen. Langkah ini penting untuk merubah pola kebiasaan konsumen yang secara sadar selama ini turut serta melakukan pelanggaran hak cipta dengan cara membeli produk bajakan.

Selama ini pelanggaran konsumen karena membeli produk bajakan sudah menjadi budaya, sementara itu pemerintah tidak pernah menerapkan sanksi, sehingga budaya ini terus berkembang merambat kelapisan masyarakat yang berpendidikan sekalipun.

Pentingya penegakan hukum di bidang hak cipta musik dan lagu akan membawa dampak pada iklim perekonomian Indonesia yang stabil dalam pembangunan. Dengan diatasinya upaya pembajakan terhadap hak cipta musik dan lagu, maka negara diuntungkan dan mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Keuntungan ini dari sektor industri musik ini dapat diprediksi dengan perincian :

a. Pendapatan negara dari sektor pajak penjualan ;

b. Kestabilan industri musik akan menyerap tenaga kerja ;

c. Pendapatan negara dari sektor pajak royalti dan konsumen (pajak pembelian) ;

d. Pendapatan dalam bentuk devisa atas lalu lintas produk impor dan ekspor ;

e. Dan lain-lain.

V. Penutup

Peranan hukum dalam pembangunan ekonomi berkenaan dengan penegakan hukum Hak atas Kekayaan Intelektual berupa hak cipta musik dan lagu sebagaimana berdasarkan uraian diatas, maka disimpulkan hal-hal pokok sebagai berikut :

a. Pentingnya dilakukan upaya pembenahan sistem hukum dalam sub-sistem hukum hak cipta yang berkaitan dengan substansi, budaya dan struktur hukum agar penegakan hukum (law enforcement) dapat dijalankan secara maksimal dan sesuai kebutuhan menurut hukum yang hidup dimasyarakat (living law) ;

b. Peranan pemerintah sebagai pengambil kebijakan (decision maker) sekaligus aparat penegak hukum dengan pelaku usaha, pemilik hak atas kekayaan inteletual, dan pencipta perlu duduk bersama-sama untuk merumuskan instrumen hukum di pasar konsumen sehinga mampu mematikan peredaran produk bajakan atas musik dan lagu. Instrumen hukum yang akan dibuat disini harus dipahami sebagai tindakan yang bersifat represif dan preventif.


Daftar Pustaka

Djuwityastuti, “Kajian Yuridis Penerbitan Sertifiakt Lisensi Pengguna Musik Oleh Yayasan Karya Cipta Musik Indonesia (YKCI)”, Yustisia, Edisi No. 69 Sep-Des 2006

Edgardo Buscaglia., William Ratliff, “The Economic Impact of Legal Norms in Developing Countries”, California Hoover Insittution Press, Standford University, 2000

Kompas (Bsw), “Asli, Bajakan dan Pengawal Naga”, Minggu, 13 Maret 2011.

J.D Nyhart, “The Role of Law in Economic Develpoment”, disampaikan pada Konfrensi hukum dan pembangunan ekonomi Sloan School of Management of the Massachusetts Institute of Technology, Massachusetts, Desember 1961

Leonard J. Theberge, “Law ang Economic Development”, Journal of International Law and Policy, Vol. 9, : 231

Lawrence M. FriedmanAmerican Law”, Norton & Company, New York, London,....

Mari Eka Pangestu, “Cetak Biru Industri Musik Nasional”, Bag. 2, 27 Oktober 2009

Pujiono., Dewi Sulistianingsih, “Latar Belakang Timbulnya Pembajakan Hak Cipta di Bidang Musik dan Format Kaset dan Upaya Penanggulangannya di Kota Semarang”, MMH, Jilid 37 No. 3 September 2008

Pretty Rina Prasetyas, “Problematika Hak Cipta di Indonesia : Masalah Upaya Perlindungannya”, Widyariset Vol. 2, 2001

Suryadi Daru Cahyono, “Penyelesaian Sengketa Hak Cipta Musik Melalui Alternative Penyelesaian Snekgeta Menurut Undang-Undang No. 30 tahun 1999”, Abstrak Tesis Pasca Sarjana Universitas Indonesia, dalam http://www.lontar.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id= 111531&lokasi=lokal

Yuliati, Eni Haryati, Cs.,Efektivitas Penerapan UU No. 19/2002 Tentang Hak Cipta Terhadap Karya Cipta Indilable”, Penulis Dosen pada FH-Universitas Brawijaya, Malang.



END NOTE :

[1] Baca pula teori St. Thomas Aquins yang membagi keadilan ekonomi ke dalam 3 jenis : Commutative Justice, Distributive Justice dan Social Justice. Pertama, Commutative Justice adalah berkaitan dengan beroperasinya ekonomi pasar yaitu penghormatan terhadap kontrak dan hak milik pribadi. Individu mempunyai kepentingan yang alamiah, asal tidak melukai orang lain. Kedua, Distributive Justice adalah penting untuk berfungsinya ekonomi. Hal ini berkenaan dengan pertanyaan bagaimana membagikan keuntungan kegiatan ekonomi. Bagaimana membagi “kue ekonomi”, adalah penting untuk alasan kegiatan ekonomi. Ketiga, Social Justice berkenaan dengan kebutuhan ekonomi untuk mempunyai structures dan institutions – jika hubungan ekonomi tidak baik akan berakibat kurangnya produktivitas (dikutib dari artikel karangan Erman Rajagukguk, “Filsafat Hukum Ekonomi”), www.ermanhukum.com.

[2] Agus P. Pasaribu, SH adalah alumni FH-UNRAM, sekarang berprofesi sebagai Advokat di Jakarta dan menjadi anggota PERADI (Perhimpunan Advokat Indonesia), saat ini sedang menyelesaikan studi pada Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Trisakti Jakarta.

[3]Kompas (Bsw), “Asli, Bajakan dan Pengawal Naga”, Minggu, 13 Maret 2011, hal. 26.

[4]Ibid.

[5]Ibid.

[6]Ibid.

[7]Djuwityastuti, “Kajian Yuridis Penerbitan Sertifiakt Lisensi Pengguna Musik Oleh Yayasan Karya Cipta Musik Indonesia (YKCI)”, Yustisia, Edisi No. 69 Sep-Des 2006, hal. 45.

[8]Yuliati, Eni Haryati, Cs.,Efektivitas Penerapan UU No. 19/2002 Tentang Hak Cipta Terhadap Karya Cipta Indilable”, Penulis Dosen pada FH-Univer. Brawijaya Malang, hal. 4

[9]Mari Eka Pangestu, “Cetak Biru Industri Musik Nasional”, Bag. 2, 27 Oktober 2009,

[10]Ibid

[11]Lawrence M. Friedman selanjutnya menjelaskan : “Budaya hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari dan disalahgunakan. Tanpa budaya hukum, sistem hukum itu sendiri tidak akan berdaya....” (lih. Bab I buku berjudul ‘American Law’ , W. Frieddman, WW Norton & Company, New York, London,).

[12]Edgardo Buscaglia., William Ratliff, “The Economic Impact of Legal Norms in Developing Countries”, California Hoover Insittution Press, Standford University, 2000, hal. 21.

[13]Henry Soelistyo, “Perkembangan Proteksi HKI Global : Sebuah Assesment di Bidang Hak Cipta dan Desain Industri”, Fokus, Vol. VI No. 6 Desember 2009, hal. 2

[14]Ibid. hal. 3

[15]Ibid.

[16] Ibid.

[17]Pretty Rina Prasetyas, “Problematika Hak Cipta di Indonesia : Masalah Upaya Perlindungannya”, Widyariset Vol. 2, 2001, hal. 172

[18] Ibid

[19] Lawrence W. Friedman., log.,cit

[20] Ibid.

[21]Suryadi Daru Cahyono, “Penyelesaian Sengketa Hak Cipta Musik Melalui Alternative Penyelesaian Snekgeta Menurut Undang-Undang No. 30 tahun 1999”, Abstrak Tesis Pasca Sarjana Universitas Indonesia, dalam http://www.lontar.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id= 111531&lokasi=lokal.

[22] Ibid.

[23] Lawrence M. Friedman., log.cit

[24]Edgardo Busgalia., William Ratliff., log.,cit. Hal. 3.

[25]Pujiono., Dewi Sulistianingsih, “Latar Belakang Timbulnya Pembajakan Hak Cipta di Bidang Musik dan Format Kaset dan Upaya Penanggulangannya di Kota Semarang”, MMH, Jilid 37 No. 3 September 2008, hal. 184.

[26]Ibid.184 - 185

[27]Leonard J. Theberge, “Law ang Economic Development”, Journal of International Law and Policy, Vol. 9, : 231, hal. 232

[28]Ibid. 232 - 233

[29]Ibid

[30]J.D Nyhart, “The Role of Law in Economic Develpoment”, disampaikan pada Konfrensi hukum dan pembangunan ekonomi Sloan School of Management of the Massachusetts Institute of Technology, Massachusetts, Desember 1961. hal. 402.

[31]HenrySoelistyo, log.,cit. Hal. 2.