Kamis, 18 Juni 2009

LUMPUHNYA DEMOKRASI KITA
Oleh : Agus P. Pasaribu, S.H.



Pesta demokrasi dalam sebuah negara secara eksplisit dapat dilihat ketika tiba peralihan kekuasaan dalam manifestasi keterwakilan rakyat di pemerintahan, apakah itu melalui pemilu legislatif (pileg) maupun pemilihan presiden (pilpres), meskipun yang demikian itu merupakan penilaian demokrasi yang bersifat parsial. Sederhananya perwujudan demokrasi merupakan bagian yang integral dengan pesta demokrasi itu sendiri dalam bentuk pemilihan. Rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi berkesempatan untuk menggunakan hak politiknya melalui pemberian suara.
Berkaitan dengan persoalan demokrasi yang dimaksudkan diatas, dalam konteks ranah perpolitikan di negeri ini sebagaimana sedang berlangsung persiapan masing-masing kandidat presiden (capres) dan wapres untuk masa jabatan 2009 s/d 2014. Berbagai kampanye terselubung telah dimulai, dikatakan terselubung karena kampanye melalui media cetak, elektronik maupun kampanye terbuka telah dilakukan, padahal secara yuridis normatif kampanye sedianya baru akan dilaksanakan beberapa minggu kedepan.
Keterselubungan kampanye pilpres kali ini ditandai proses pencitraan diri dari masing-masing kandidat, dan bahkan terkesan memuji disendiri sendiri (baca : narsisme), sepertinya masing-masing tim kampanye mencoba menerapkan sugesti kepada rakyat dengan segala isu keberhasilan yang diklaim masing-masing kandidat. Kampanye kali ini lebih cenderung sebagai upaya masing-masing kandidat untuk membentuk interpolasi dalam kerangka menciptakan opini terkesan baik kandidat-kandidat tertentu dimata masyarakat. Jadi, jangan heran apabila kemudian ada kandidat presiden tertentu (SBY) yang menyerang kandidat lain dengan melemparkan isu bahwa “tidak pantas seorang penguasaha menjadi presiden”.
Meskipun isu yang dilemparkan itu terkesan biasa-biasa dilihat dari kacamata awam, namun sebenarnya jika jujur melihat persoalan maka yang terjadi itu adalah adanya upaya mengeliminir kandidat lain. Dalam hal ini capres SBY mengumbar isu “pengusaha tidak bisa menjadi presiden”, cenderung merupakan pernyataan yang bersifat emosional, sentiment, negative thinking, dan tak dewasa. Padahal, konstitusi saja menjamin hak setiap warga negara untuk mencalonkan diri, berserikat dan berkumpul. Nuansa pernyataan isu kepemimpinan SBY ini merupakan manifestasi demokrasi yang samar-samar (terselubung) dan cenderung menyerang pribadi pihak lain, sehingga jauh diluar makna demokrasi itu sendiri.
Demikian perwujudan demokrasi yang pada saat ini telah dinilai dan diaplikasikan menurut kepentingan belaka. Apakah tepat apabila demokrasi selamanya telah diartikan sebuah kebebasan yang tanpa dasar ?, berfikir negatif atau curiga terhadap orang lain dan bahkan cenderung memojokkan competitor lain yang dianggap akan menghalangi misi pemenangan pemilu?.


Kesesatan Memaknai Demokrasi
Dalam berbagai kesempatan pidato, tim sukses dan kandidat SBY sekalipun, seringkali lebih mengkampanyekan diri lewat pemujian terhadap diri sendiri dalam pola klaim keberhasilan selama lima tahun ini. Selain itu, adanya upaya menjatuhkan kredibilitas kandidiat lain secara tidak beradab. Dikatakan tidak beradab, karena capres SBY berani menuduh kandidat lain sesuatu hal yang diluar konteks pembuktian hukum, sehingga kesan yang timbul adalah SBY seolah-olah merasa diri yang paling mampu (perfeksionis) dibandingkan kandidat lain, padahal secara realitas sudah terbukti selama lima tahun bagaimana SBY menciptakan kegagalan demi kegagalan yang justru sangat merugikan hak-hak sipil masyarakat. Contoh sederhana saja, persoalan Lumpur lapindo merupakan bukti nyata bagaimana SBY selaku kepala pemerintahan gagal mencari solusi demi kepentingan rakyat. Ada lagi contoh yang sangat menarik, yaitu bahwa selama masa pemerintahan SBY mengkalim diri bebas dari utang IMF, padahal SBY tidak berani membeberkan fakta dan bukti hukum yang sebenaranya dimana justru dimasa pemerintahan SBY utang Indonesia terhadap negara-negara maju, khususnya eropa semakin meningkat tajam. Demokrasi telah diartikan secara sesat, yakni model pengkampanyeean diri sebagai kandidat didasarkan pada orientasi kebebasan memberikan infomasi, tanpa persoalan apakah informasi yang diisukan ke khalayak ramai bersifat menyesatkan atau tidak, mengandung kebenaran fakta mutlak atau tidak. Jadi informasi yang disebarkan semata-mata kebaikan yang dianggap dimiliki, terlepas dengan segala kebobrokan dan kegagalan pemerintahan yang ada selama ini. Padahal menurut hitung-hitungan logika sederhana saja, masyarakat tentu tau dan paham bahwa bahwa jika memang SBY berhasil menjalankan visi dan misinya selama lima tahun memimpin negeri ini, namun bagaimana mungkin SBY pada pilpres kali ini bersaing dengan wakilnya sendiri?, terlebih lagi mungkinkah SBY berhasil sendiri tanpa melihat peranan wakilnya?. Dalam dimensi lainnya, masyarakat tentu sangat mudah melihat dan menilai bagaimana perseteruan antara SBY dengan wakilnya selama lima tahun ini. Lantas, dimana wujud demokrasi itu, apakah demokrasi hanya mencerminkan kekebasan yang teramat kebabalasan ?. Pantaslah, apabila demokrasi pada ruang lingkup terkecil (baca : akar rumput) di negeri ini semakin parah, karena pemerintah (elite politk) saja yang konon dianggap terdidik dan paham essensi demokrasi, malah menerapkan demokrasi secara salah. .


Ketidakdewasaan Politik
Upaya kandidat SBY bersama tim suksesnya yang menyebarkan isu-isu keberhasilan sebagaimana yang diklaim lewat media, tentu saja secara sederhana dapat dinilai sebagai usaha sekedar ingin memenangkan pemilu belaka, tanpa berfikir sudah berapa banyak kepentingan masyarakat yang sangat dirugikan dengan cara-cara seperti itu. Bahkan, lebih jauh lagi, ada kesan bahwa SBY tidak mempunyai rasa malu dengan mengklaim sejumlah keberhasilan ditengah-tengah realitas persoalan yang semakin melilit rakyat, sehingga bertolak belakang dengan apa yang diklaim olehnya.
Faktanya selama ini, jumlah penganggur meningkat tajam, sistem pendidikan tidak terencana dengan baik karena sistem pendidikan yang ada sekarang hanya sekedar bagian dari warisan pemerintah sebelumnya, penegakan hukum yang belum optimal, kondisi ekonomi yang tidak stabil, harga kebutuhan pokok (termasuk BBM) yang turun-naik tak menentu, munculnya berbagai permasalahan sosial sepert kekerasan dalam bentuk tekanan kelompok tertentu terhadap kelompok lain, nasionalisme yang semakin pudar, lingkungan hidup yang semakin buruk, dan masih banyak lagi persoalan lain yang secara fakta membuktikan bagaimana SBY melakukan semua kegagalan itu.
Seharusnya sebagai pemimpin yang memahami atau paling tidak tahu politik sudah sepantasnya apabila SBY bertindak bijaksana mengukur segala kegagalannya, sehingga keegoisan sebagai pemimpin tidak merugikan masyarakat. Dikatakan merugikan masyarakat karena SBY tidak pernah mengakui kegagalannya selama lima tahun ini dalam setiap kampanyenya, namun SBY tetap ingin memimpin negeri ini, jadi itu sama saja artinya bahwa SBY tidak perduli dengan kegagalannya yagn merugikan masyarakat, mengapa tidak memberikan kesempatan kepada kandidat lain untuk memimpin jika memang perduli terhadap nasib bangsa ini ???
Dari diuraikan diatas, membuktikan bahwa pola kepemimpinan di negeri ini sudah salah mendasar, keegoisan dalam bentuk kepemimpinan yagn hanya sekedar ingin memenangkan pemilu sudah ibarat mercusuar yang tak terukur tingginya, sehingga sudah tak perduli pada kepentingan rakyat yang semakin ditelantarkan dan terabaikan. Akhirnya, pertanyaannya siapkah kita kembali terlantar sebagai masyarakat dimasa mendatang? Jika itu yang terjadi, maka demokrasi kita sebenarnya sudah berada dalam keruntuhan, sehingga sia-sialah upaya perjuangan reformasi yang dicetuskan satu dekade yang lalu.


Juni 2009
Penulis

Rabu, 27 Mei 2009

POLITIC ARTICLE


BUALAN CAPRES SBY “INCUMBENT”
By. Agus P. Pasaribu, S.H.
Penulis berprofesi sebagai Advokat di Jakarta, bergabung
pada Law Firm “Johanes Raharjo, SH., MH & Partners dan
terdaftar sebagai anggota dari Jakarta Lawyers Club (JLC)- Indonesian




Pertarungan politik memperebutkan kursi RI-1 dan RI-2 tinggal menghitung hari, perhelatan pendeklarasianpun sudah dilaksanakan masing-masing kandidat capres dan wapres, tanpa terkecuali capres SBY “incumbent” yang turut serta meramaikan bursa calon presiden (capres) untuk periode 2009 - 2014 mendatang. Bahkan, pencalonan kembali SBY ditandai dengan hingar-bingar pendeklarasian yang menunjukkan kemewahan ala negeri Paman Sam, yang disebut-sebut American Style atau Obama-obamaan, tanpa peduli berapapun biaya yang harus dikeluarkan untuk terlaksananya deklarasi yang konon menelan biaya milyaran rupiah. Ironisnya, semua itu berlangsung ditengah-tengah himpitan ekonomi yang mendera sebagian besar masyarakat. Ganjil memang tapi nyata, itulah realitas yang mengemuka, bagaimana seorang capres selaku “incumbent” melakukan pemborosan yang ujung-ujungnya tidak mempunyai relevansi dengan pencapaian kesejahteraan rakyat yang menjadi isu sentral pencalonan. Masyakarat hanya mangut-mangut dan mahfum melihat ulah capres SBY “incumbent”, toh masyarakat sudah terlanjut merasa tidak mempunyai andil dengan segala hingar bingar deklarasi tersebut. Bagi kebanyakan kalangan yang terpenting sekarang ini menjalani hidup agar dapat menopang kebutuhan sendiri, tanpa pernah mengharapkan uluran tangan atau campur tangan pemerintah, hal ini merupakan bentuk pesimisme atau antipati masyarakat untuk segala kebohongan dan janji-janji kandidat yang bersangkutan selama.


Kesesatan Propaganda
Dalam pendeklarasian calon presiden (capres) SBY “incumbent” pidato-pidato yang disampaikan terkesan seremonial dan formalistis belaka, karena muatan tiap pidato yang disampaikan capres SBY “incumbent” maupun koalisinya penuh kebohongan publik, yang justru jauh dari kesan apa adanya (baca : kenyataan) sehingga tidak mencerminkan kejujuran seorang pemimpin. Kenyataan ini tentu sangat mengkhawatirkan, karena masyarakat disuguhin dengan segala propaganda informasi yang menyesatkan tentang kinerja SBY selama 5 (lima) tahun ini. Lihat saja, mulai dari pengistilahah penyebutan calon SBY-berbudi (sing. SBY bersama Budiono) yang terkesan bermakna kabur dan dapat saja berarti konotatif yang seolah-olah SBY punya budi selama ini, sampai kepada narsisme diri yang mengklaim sejumlah keberhasilan selama lima tahun ini, apakah itu berbau kebijakan Bantuan Langsung Tunia (BLT), kemajuan ekonomi, berkurangnya jumlah penganggur, dan lain sebagainya. Keseluruhan propaganda yang baru saja disebutkan tidak cukup sampai disitu, karena masih banyak cara-cara yang dijadikan atribut sebagai modal kampanye yang lebih mengarah pada orientasi sekedar ingin memenangkan pemilu belaka tanpa program yang jelas dan kongkrit. Bagaimanapun, sejatinya kampanye belum resmi dinyatakan dimulai, namun capres SBY “incumbent” sudah mengklaim sekian banyak isu-isu keberhasilan yang sifatnya populis belaka dan terkesan membentuk opini di masyarakat, tanpa berani membeberkan fakta-fakta kebenaran kepada masyarakat apa yang sebenarnya terjadi lima tahun ini. Padahal, secara kasat mata jika ditelaah berbagai kerusakan dan ketimpangan telah timbul selama ini.
Pertama, berbicara soal berkurangnya jumlah pengangguran yang diklaim kubu capres SBY dan koalisinya sebagai wujud keberhasilan dan dijadikan modal kampanye, tidak sesuai kenyataan yang ada. Lihat saja, contoh sederhana berdasarkan pemberitaan “Poskota” (25/05/2009), dalam jangka waktu 14 hari terakhir, jumlah pekerja yang di PHK naik hingga 12,26 persen, dari total 32.981 orang pada 8 Mei 2009 menjadi 36.963 orang per 22 Mei lalu. Hal ini terjadi di empat provinsi terbesar yang melakukan PHK yakni DKI Jakarta, Jawa Tengah, Banten, Kalimantan Timur. Data Depnakertrans secara nasional, juga tercatat jumlah korban PHK dalam periode yang sama naik dari 51.506 menjadi 52.226 orang (Pos Kota : 9). Data-data tersebut diatas, belum termasuk jika dihitung daerah lainnya yang tentu saja tidak jauh berbeda mengalami nasib yang sama. Jadi bagaimana mungkin seorang capres “incumbent” menyampaikan informasi yang menyesatkan ke ruang publik (masyarakat) dengan mengklaim pengagguran berkurang ?, bukankah menjadi pertanyaan bagi kita bahwa kejujuran apa yang dimiliki jika melihat fakta ini ?.
Kedua, pada persoalan yang berbeda, isu yang dihembuskan capres SBY “incumbent” dan kolalisinya dalam bentuk klaim utang Indonesia yang telah lunas ke International Moneter Fund (IMF) dijadikan mesin politik baru dan terkesan isu yang dibesar-besarkan untuk membentuk citra diri dalam konteks sebuah keberhasilan. Padahal capres SBY “incumbent” dan koalisinya tidak memberikan informasi yang akurat atau akurat kepada masyarakat sehubungan dengan jumlah utang Indonesia, justru utang Indonesia tidak berkurang secar signifikan ke pihak asing (negara maju). Secara yuridis, Indonesia mempunyai utang ribuan trilyun rupiah ke negara-negara Eropa maupun negara lain. Berdasarkan fakta empiris ini, apakah SBY dan koalisinya mengungkapkan kejujuran, patut dipertanyakan maksud dan tujuan koalisi mereka yang cenderung cuma sekedar memikirkan kepentingan memenankan pemilu belaka.
Ketiga, dalam setiap pidato pendeklarasian capres SBY “incumbent” terbukti tidak ‘fair’ dalam mengkampanyekan diri karena hanya berbicara janji-janji belaka, meskipun sudha nyata selama lima tahun kepemimpinannya gagal total, namun capres SBY “incumbent” tanpa berani membeberkan berbagai kebobrokan yang timbul selama kepemimpinanya. Sederhananya, dikemukakan contoh-contoh kegagalam mendasar, antara lain, Kesatu : pemilu legislatif (pileg) lalu sudah merupakan bukti banyaknya kecurangan partai politik dan mekanisme pemilu yang sangat sembraut sehingga tidak mencerminkan wujud demokrasi, padahal Pemerintah (baca : SBY selaku Presiden) mempunyai tanggung jawab fungsional atas terselenggaranya pesta demokrasi tersebut jika ditinjua secara hukum, lantas dimana letak tanggungjawabnya ?. Kedua : pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat dipandang sebagai wujud suatu keberhasilan, padahal hanya merupakan upaya eksploitasi kemiskinan belaka, yang cederung bukan sebagai upaya mendidik warga negaranya, melainkan budaya yang mengajarkan ketidakmandirian. Bahkan, yang lebih parahnya lagi bilapun BLT dipandang sebagai wujud keberhasilan dari suatu proses kebijakan, namun jika dibandingkan dengan terbengkalainya penegakan hukum berkenaan kasus BLBI yang mengakibatkan negara rugi 700 Triliyun rupiah, apakah pantas diklaim sebagai bentuk keberhasilan ?. Sebagai penekanan yang harus patut diingat oleh masyarakat dan perlu diketahui bahwa justru diera Pemerintahan SBY mengemuka usaha atau upaya untuk mengehentian penyelematan dana BLBI dari tangan para konglomerat pengutang (debitor). Selain itu, kebijakan publik yang diterapkan capres SBY “incumbent” selalu menelan korban, seperti kebijakan BLT yang disebutkan diatas misalnya, masyarakat kisruh pada saat pembagian BLT, tak mengherankan apabila puluhan jiwapun melayang demi antrian BLT. Ada lagi kebijakan capres SBY “incumbent” yang sangat teramat buruk yaitu kebijakan dibidang Bahan Bakar Minyak (BBM) yang harganya selalu tidak stabil, namun naik turun, sehingga secara sadar atau tidak justru kebijakan yang demikian itu justru mengakibatkan terganggunya perekonomian dalam skala makro maupun mikro, karena ketidakpastian harga. Namun persoalan BBM ini pun telah diajdikan isu sentral sebagai klaim keberhasilan dengan alasan telah menurunkan harga BBM berkali-kali. Berdasarkan realitas itu, pantaskah capres SBY “incumbent” mengklaim diri sebagai sosok pemimpin yang berhasil ?, jika demikian dimana sebenarnya letak keberhasilan seorang pemimpin ?
Keempat, pengurangan anggaran bagi pertahanan keamanan negara adalah buktinya nyata bahwa capres SBY “incumbent” gagal menentukan prioritas utama dalam bidang pertahanan keamanan negara, padahal capres SBY “incumbent” bertindak selaku panglima tertinggi Angkatan Bersenjata. Paling tidak, sedikit banyaknya pengurangan anggaran militer dalam rangka perrtahanan keamanan negara telah mengakibatkan timbulnya kecelakaan pesawat militer kita berulangkali, ratusan nyawapun melayang dalam menjalankan tugas. Lantas dimana letak keberhasilan ?. Namun sayangnya, ketika setiap bencana yang demikian itu timbul, dengan mudahnya capres SBY “incumbent” justru hanya sekedar beretorika dengan menyatakan bahwa anggaran militer tidak dikurangi namun cuma dilakukan pemotongan saja.


Pembodohan Politik
Bagi sebagian kalangan masyarakat yang kurang pendidikan dan kurang arus informasi seperti di pedesaan, tentu propaganda keberhasilan capres SBY “incumbent” dengan koalisinya akan menelan korban, karena masyarakat yang kurang paham kinerja capres SBY “incumbent” selama ini akan menganggap bahwa capres SBY “incumbent” telah berhasil memimpin bangsa ini, sebagaimana didengung-dengungkan melalui media massa maupun elektronik, sehingga masyarakat secara tidak langsung akan disesatkan. Situasi ini tentu sangat tragis dan miris bagi kemajuan pendidikan politik masyarakat kita. Apapun alasannya hal yang demikian sangat tidak patut dilakukan seorang calon presiden, apalagi mengingat calon yang bersangkutan merupakan “incumbent”.
Pada persoalan lain, tentu masyarakat akan semakin antipati dan kecewa dimasa mendatang jika melihat propaganda capres SBY “incumbent” yang pada akhirnya terbukti tidak sesuai dengan kenyataan, hal ini tentu akan berpengaruh besar pada peta perpolitikan dimasa mendatang. Hal ini dapat menimbulkan teladan yang teramat buruk bagi masyarakat sekaligus keburukan itu dianggap pantas dilakukan dengan meniru berpolitik ala capres SBY “incumbent” dengan segala ketidakjujuran, terlepas apakah itu mencederai masyarakat atau tidak.
Pastinya, pembodohan politik yang ada semakin merugikan bangsa ini kedepannya, karena pembodohan politik yang dilakukan demikian terselubung dengan mengatasnamakan keberhasilan semu. Hal yang demikian itu justru akan semakin menjauhkan tujuan kesejahteraan rakyat yang menjadi cita-cita sebuah negara beradab dan dijamin konstitusi. Persoalannya sudikah kita ???


Penutup
Dengan semakin dekatnya pemilu presiden (pilpres) pada bulan juli mendatang, merupakan momen yang tepat bagi segenap elemen bangsa untuk memilih calon yang dekat dengan cita-cita kesejahteraan rakyat, dibutuhkan kebijaksanaan dalam menggunakan hak pilih, karena akan menentukan nasib bangsa ini lima tahun ke depan. Agar nasib bangsa ini tidak jatuh ke dalam lobang yang sama dimasa mendatang, maka perlu kiranya masyarakat merefleksikan diri untuk dapat memilih pemimpin yang benar - benar memiliki karakter yang jujur dan berbicara apa adanya tentang suatu kinerja kepemimpinan.


Penulis, ⓒ Mei 2009

Selasa, 19 Mei 2009

ARTIKEL

PATAMORGANA “SBY-BERBUDI”



Pemilihan Presiden (pilpres) tinggal menghitung hari, sinkron dengan itu koalisi antar partai telah melahirkan kandidat capres dan wapres dengan mengusung tiga pasangan yang akan berkompetisi memperebutkan kursi RI-1 dan RI-2 untuk masa 2009 s/d 2014. Namun proses seleksi kandidat capres dan wapres pemilu kali ini diwarnai berbagai kejanggalan, mulai dari penggunaan istilah penyebutan calon, proses pengambilan keputusan koalisi, sampai pada pencitraan calon (kandidat) yang berlebihan (dalam arti : over confident). Pertanyaaannya adalah kemanakah arah bangsa ini, jika melihat realitas yang demikian itu, sementara diujung jalan telah menanti segudang persoalan bangsa yang terbelenggu sekian lama ?.
Proses pendeklarasian capres-wapres “SBY-Berbudi” (singk. SBY bersama budi) sepintas memang terlihat biasa-biasa saja, namun jika ditelisik secara tajam, sebenarnya banyak hal-hal yang tidak patut dan janggal dilakukan oleh capres dan wapres ini. Mengingat, esensi utama kepemimpinan bukan membutuhkan hal-hal yang janggal itu, tetapi yang paling penting adalah seberapa bisa kandidat capres dan wapres yang bersangkutan benar-benar menunjukkan ide-ide nyata (real) untuk membangun masa depan negeri ini, sehingga mampu menciptakan kesejahteraan bagi rakyat banyak.


Seremonial
Pada saat deklarasi Capres Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selaku incumbent dan Cawapres Budiono berlangsung, detik-detik hingar-bingar penyambutan deklarasi yang berlebihan ditandai dengan persiapan tempat yang terkesan sangat wah, ekslusif, image tinggi dan lain sebagainya. Bahkan, seremonial pendeklarasian terkesan mubazir dan cenderung bersifat aspek hiburan (entertain). Dikatakan mubazir karena kompetisi belum berakhir, namun SBY-Berbudi seolah-olah sudah merayakan kemenangan pemilu, terbukti acara pendeklarasian jauh-jauh hari telah dipersiapkan secara teramat ekslusif. Ditambah lagi, biaya yang dikeluarkan tergolong tidak sedikit, sehingga sangat dilematis mengingat ditengah-tengah penderitaan rakyat yang dibalut kesulitan hidup. Dikatakan cenderung menghibur, karena capres dan wapres tersebut lebih memilih pidato-pidato yang tidak menyentuh langsung perjuangan kepentingan rakyat. Seandainya bisa diibaratkan, maka deklarasi capres SBY dan wapres Berbudi tak ubahnya seperti peluncuran (launcing) produk industri ke dunia pasar yang semata-mata bertujuan menarik hati konsumen belaka, tanpa memperhatikan keinginan masyarakat.
Lihat saja proses pencitraan diri yang dibuat kedua kandidat tersebut dengan menyebutkan dirinya sebagai “SBY-Berbudi”. Pidato pembukaan yang bersifat formalitas sangat tidak patut apabila diisi dengan pidato yang menggunakan istilah-istilah menyesatkan pikiran. Padahal, oritentasi kedua calon dapat dipastikan hanya terkesan familiar sehinga rakyat memilih dan mudah mengingat, demi memenangkan pemilu mendatang. Andaikan saja jujur melihat persoalan, siapapun tahu bahwa di republic ini masih banyak rakyat yang mudah termakan isu yang bersifat slogan-slogan belaka, mengingat tingkat pendidikan politik masyarakat sebagian besar belum memadai. Oleh karena itu, sangat tidak fair rasanya apabila pengistilahan kandidat "SBY-Berbudi" digunakan sebagai slogan kampanye kelak. Kekeliruan persepsi masyarakat tentang kedua calon ini akan semakin parah, jika melihat pidato-pidato capres dan wapres tersebut yang mengaku berhasil membayar utang negara, tanpa berani membeberkan fakta bahwa tahun 2004 - 2009 utang Indonesia justru semakin membengkak ke negara-negara maju, walaupun memang ada pelunasan utang ke International Moneter Fund (IMF). Itukah wujud dari keberhasilan?. Aneh memang, namun yang lebih mempriharinkan lagi, wapres Budiono yang didengung-dengungkan sebagai ahli ekonomi, justru berangkat dari latarbelakang persoalan BLBI yang tidak jelas juntrungannnya sampai saat ini. Sangat diragukan kredibilitas pasangan tersebut, terkesan orientasi pendeklarasian semata-mata cuma ingin memenangkan pemilu belaka. Jika sudah demikian, sebenarnya dimana itikad baik seorang calon pemimpin yang ingin menyejahterakan rakyat ?.
Bagi rakyat yang jauh dari arus informasi maupun pendidikan formil yang tertinggal tentu saja dengan penggunaan istilah "SBY-berbudi" akan dimaknai menurut apa yang tertulis (letterlijk), bahwa kandidat itu benar-benar berbudi dalam arti berjasa. Permasalahan ini sangat dilematis, karena bagaimanapun oritentasi rakyat memilih kandidat hanya karena kesesatan pola pikir akibat isu kata “SBY-Berbudi”. Jika ini terjadi, maka sebenarnya demokrasi sudah kehilangan arah tujuan (miss-orientation).
Pada konteks yang berbeda, seremonial pendeklarasian kandidat “SBY-Berbudi” tadi dibungkus dengan pidato-pidato bualan yang mengajak rakyat di republik ini berhalusinasi dengan sejuta impian yang sangat kabur alias patamorgana belaka, tanpa adanya ide kongkrit yang menjadi patron kandidat ini. Bahkan, secara tidak bijak pidato yang disampaikan secara keliru, seperti klaim keberhasilan SBY selama lima tahun ini. Padahal, contoh sederhana telah membuktikan baru-baru ini bahwa pemilihan legislatif lalu (pileg) merupakan tanggung jawab pemerintah, namun kenyataannya pileg tersebut gagal. Padahal, SBY selaku Incumbent berpidato tanpa berani menyatakan kegagalannya. Apakah itu bukan bagian dari kegagalan pemerintah (dalam arti sempit presiden) atau jangan-jangan pileg lalu dianggap juga keberhasilan, ironis memang !!
Sedangkan pada sisi calon wapresnya Budiono, selama ini kita mengetahui dia bukan siapa-siapa. Lihat saja kegagalannya selama ini, mulai dari skandal BLBI, penjualan asset-aset BUMN ke pihak asing, semua itu tidak terlepas dari peranannya di pemerintahan yang ada. Menyakitkan memang, masa menjadi capres dan wapres saja sudah dimulai dengan kebohongan publik dengan memberikan kesesatan informasi, malah terkesan memuji diri sendiri (narsisme), harusnya jadikanlah rakyat sebagai tolok ukur penilaian keberhasilan, bukan suara orang-orang disekitarnya yang perlu didengar masing-masing kandidat.
Pendeklarasian kandidat capres-wapres "SBY-Berbudi" sangat sarat dengan seremonial belaka yang tidak mempunyai hubungan dengan kepentingan rakyat, sangat memprihatinkan. Apalagi, penggunaan istilah SBY-Berbudi yang jelas-jelas dapat menyesatkan pikiran rakyat, oleh karena itu pemilu presiden kali ini akan sangat terkesan menonjolkan persaingan belaka, yang nota bene bukan bagian dari kepentingan rakyat banyak.


Tanggung Jawab “Incumbent”.
Secara garis besar siapapun tahu bahwa lima tahun belakangan keadaan perekonomian bangsa ini tidak mempunyai perubahan yang signifikan, bahkan kasarnya dapat dibilang diam (stag), meski banyak orang-orang disekitar presiden SBY Incumbent mengklaim sejumlah keberhasilan. Namun nyatanya, justru membuktikan sebaliknya, sebut saja misalnya permasalahan harga minyak (BBM), yang perumusannya tidak propesional, sehingga tidak mengherankan apabila kemudian harga BBM naik-turun tidak menentu yang justru menggangun laju pertumbuhan ekonomi. Proses pengambilan kebijakan (decision making) sangat terburu-buru, rakyat pun semakin menderita, bingung, ditengah-tengah membludaknya jumlah pengangguran karena PHK yang meningkat. Lantas, dari pembeberan fakta-fata diatas, dimana letak keberhasilan SBY selaku incumbent ?,
Kegagalan-kegagalan itu ternyata tidak membuka mata capres SBY sehingga masih mempunyai nyali untuk mencalonkan diri sebagai presiden untuk pemilu juni mendatang, ditambah lagi dalam setiap pidatonya SBY berpura-pura lupa dengan kegagalannya, sehingga hanya memuji keberhasilannya sendiri yang terkesan fatamorgana. Bagaimanapun, ukuran keberhasilan harus nyata bukan keberhasilan yang teoritis yang selalu diukur dari data-data maupun grafik belaka.
Detik-detik peralihan kekuasaan sudah semakin dekat, namun sayangnya bagaimana kita dapat menuntut tanggung jawab kegagagalan SBY, sementara kegagalan itu tidak pernah diakui, terbukti masih mencalonkan diri sebagai presiden dimasa lima tahun ke depan, dengan mengiming-imingi rakyat sejuta khayalan, yang sebenarnya hanya fatamorgana belaka.


Penutup
Perlu menjadi pemikiran bagi kita, agar pada saat pemilu presiden dan wakil presiden juni mendatang, kiranya rakyat bijak dalam menggunakan hak pilihnya. Terlebih lagi, memilih pemimpin yang berani menyatakan dirinya sesuai kebenaran, mengakui kegagalan, bijak, sehingga rakyat tidak tertipu oleh fatamorgana impian-impian belaka yang dibangun atas dasar khayalan kata “sejahtera”, yang tidak pernah terwujudkan selama ini.

Selasa, 12 Mei 2009

ARTICLE

IDEALKAH CALON PEMIMPIN KITA ?
by. Agus P. Pasaribu, S.H.



Belakangan, mass media kita diramaikan dengan berita gonjang-ganjing partai politik yang menyoalkan hasil perolehan suara pemilihan legislatif (pileg) lalu. Ditambah lagi, suhu perpolitikan semakin memanas menjelang Perebutan kursi Presiden dan Wakil Presiden yang sedianya akan digelar bulan juni mendatang. Pertarungan sengit antar kandidat semakin sengit untuk memperebutkan kursi presiden dan wakil presiden, bak primadona yang siap dijadikan pingitan sang pangeran. Aktivitas partai politik semakin gencar melakukan pendekatan-pendekatan dalam rangka koalisi. Dalam konteks disiplin ilmu politik, hal yang demikian lumrah terjadi, mengingat fakta bahwa partai-partai politik peserta pemilu kali ini tidak satupun memperoleh quota perolehan suara 25 % sebagaimana diamanat UU Pemilu, sehingga hanya melalui mekanisme koalisi saja yang dimungkinkan mengajukan calon presiden dan wakil presiden. Sejalan dengan itu, bentuk koalisi sendiri memang diperkenankan dalam UU No. 22 tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum.
Namun, persoalan yang patut disoroti dalam pilpres mendatang adalah seberapa idealkah kandidat yang telah memastikan diri mencalonkan diri sebagai pemimpin di negeri ini?. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis yang mencoba mengkritisi tentang rumitnya sistem demokrasi di Indonesia, yang bermuara pada kepemimpinan yang sudah stagnasi (berhenti) tanpa adanya alternatif pilihan, hal ini tentu saja akan berujung pada kerugian masyarakat dalam suatu negara demokratis.


Idealime Politik
Berdasarkan situasi yang mengemuka belakangan, sangat jarang kita melihat partai politik benar-benar mau menerapkan aturan partai yang real demi kepentingan bangsa dan negara (baca : kepentingan rakyat), yakni : tidak mengenal kompromi, sebagaimana pada saat hingar-bingar mengiklankan diri pada kampanye pileg lalu. Hampir semua partai politik di negeri ini menerapkan pola tawar-menawar kekuasaan yang bersifat politik pragmatis. Anehnya, partai politik secara sadar memerankan standar ganda cuma demi menyelematkan kepentingan kekuasaan belaka (baca : terpilih menjadi capres/wapres). Jika sudah demikian, sebenarnya dimana hak rakyat selaku pemegang otoritas tertinggi dalam sebuah negara berdaulat?. Pemahaman tentang demokrasi pun telah bergeser secara mendasar, tanpa memperhatikan ekspektasi masyarakat selaku patron. Partai-partai politik yang berkoalisi mengaku-mengaku mewakili kepentingan rakyat, padahal sebaliknya jika melihat fatamorgana yang diciptakan koalisi, sejalan dengan membumbungnya nilai kekuasaan yang dielu-elukan, termasuk atur-mengatur siasat demi memperoleh kemenangan pemilu, maka tidak jelas keinginan siap yang sebenarnya hendak diperjuangkan partai poltik.
Sederhananya, jika dinilai dengan hitung-hitungan logika, sebenarnya partai-partai politik teramat ambisius berkuasa di pemerintahan, meskipun mereka mengatasnamakan demi kepentingan bangsa, negara, atau rakyat sekalipun. Namun rakyat yang mana diperjuangkan, sementara partai politik lebih menekankan nilai koalisi daripada kesinergisan untuk membangun bangsa ke depannya. Bukankah tidak lebih baik apabila partai politik bersatu dan duduk bersama memikirkan kepentingan rakyat, tanpa harus mempersoalkan posisi tawar-menawar yang cenderung mengabaikan kepentingan rakyat, inilah bentuk real politik praktis, sebagaimana yang dikemukakan diatas. Kekuasaan pun menjadi sesuatu yagn istimewa bagi kalangan partai politik, padahal sudah seharusnya yang menjadi perdebatan bukan posisi tawar-menawar yang diracuni kata “koalisi belaka”, melainkan partai-partai sewajarnya bersinergi dalam koalisi demi menyatukan visi dan misi untuk mencapai kesejahteraan rakyat.
Aneh memang, karena kebanyakan kandidat capres dan wapres sudah terbukti tidak mampu memimpin negeri ini, hal ini bila melihat kilas balik track record masing-masing kandididat, tanpa bermaksud mengecilkan kemampuannya. Namun, mengapa masih mencalonkan diri, pemimpin sejatikah itu ?, jangan-jangan orang-orang gagal itu masih penasaran dengan “kekuasaan” jadinya memaksakan diri untuk memimpin negara yang sebenarnya tak pernah dipahami dengan baik. Sangat beralasan apabila kemudian kita mempertanyakan apakah partai-partai yang mengusung kandidatnya mempunyai idealisme politik?
Untuk mencapai suatu pemahaman mendasar tentang idealisme politik, tentu terlebih dahulu masing-masing kandidat harus memahami politik secara kompleks. Dimana didalamnya ada unsur kekuasaan yang berorientasi pada pencapaian cita-cita kesejahteraan rakyat dan adanya kesinergian elemen-elemen yang bekerja didalamnya sebagai suatu proses sistem.


Karakter Kepemimpinan
Pemilihan pemimpin di negeri ini sangat tidak responsif, sehingga sama sekali tidak mencerminkan adanya kehendak rakyat didalamnya. Pilihan pun dibatasi melalui mekanisme undang-undang. Alhasil, kandidat yang mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden hanya diisi oleh orang-orang yang itu-itu saja, tanpa adanya alternatif lain semisal pencalonan independen..
Karakter kepemimpinan para kandidat presiden dan wakil presiden sebenarnya sudah tidak ideal bila melihat banyaknya tantangan persoalan yang dihadapi bangsa ini. Namun, sayangnya pemahaman bagi para kandidat tentang kebutuhan kepemiminan yang ideal bagi bangsa ini sangat jauh dari kenyataan, jadi tidak mengherankan apabila kemudian tidak diberikannya sama sekali peluang terhadap generasi muda selaku pemegang estapet kepemimpinan. Pemimpin yang berkarakter tidak selamanya harus bicara kemenangan diatas kertas dalam sebuah pertarungan politik, melainkan adanya kedewasaan politik untuk mengayomi generasi muda. Kesempatan harus diberikan kepada pemimpin muda agar tumbuh kembang dalam wujud regenerasi kepemimpinan dimasa mendatang.
Andaikan saja para calon kandidat menyadari makna kepemimpinan yang berkarakter, tentu akan paham betapa pentingya pengayoman bukan sekedar bicara perebutan kekuasaan belaka. Bagaimanapun, kepentingan rakyat akan menjadi pertaruhan jika yang terpilih tidak mempunyai kemampuan yang baik. Kemampuan yang baik ini hanya ditemukan dalam diri pemimpin yang berkarakter, bukan dari partai politiknya. Siapkah kita menaruh harapan kepada pemimpin-pemimpin yang telah gagal?. Perlu direnungkan bahwa para kandidat dapat disebut sebagai pemimpin, namun belum tentu mereka mempunyai jiwa kepemimpinan. Hanya orang yang mempunyai jiwa kepemimpinan yang sanggup mengeluarkan bangsa ini dari berbagai kemelut yang melanda.

Jumat, 01 Mei 2009

ARTICLE

KREDIBELKAH PEMERINTAH KITA ?
by. Agus P. Pasribu, S.H.



Pelaksaan pemilu legislatif (pileg) telah berlalu, namun berbagai persoalan pileg masih saja terus mendera tiada henti, sebagaimana dilansir media nasional maupun lokal selaku tonggak kebebasan informasi. Sangat tidak mengherankan apabila Komisi Pemilihan Umum (KPU) mulai kelimpungan seolah-olah sudah kehilangan logika untuk menyelesaikan berbagai konflik, ditengah-tengah belum rampungnya hasil penghitungna suara. Berbagai kecurangan pelaksanaan pileg sudah ditemukan, bahkan tak ketinggalan pula kecurangan tidak saja terjadi di Indonesia, melainkan di daerah pemilihan luar negeri tempat dimana warga negara Indonesia memberikan hak suaranya sebagaimana diberitakan media massa maupun elektronik belakangan ini. Aneh memang, tapi realitas itu setidaknya memberikan gambaran bahwa secara empiris pileg kali ini sangat jauh dari harapan masyarakat.
Banyak pihak telah melancarkan pernyataan (statement) untuk mengkritisi hasil pileg kali ini, termasuk kritikan tajam dari partai-partai politik peserta pemilu. Alih-alih mendapat respon positif dari pemerintah, justru “pemerintah” (baca : presiden) malah menaggapi dengan nada sumringah nada sindirian. Pemerintah malah terkesan tidak mau disalahkan dan malah menuduh balik pihak-pihak yang mengajukan protes dengan mengatakan bahwa “agar pihak-pihak tertentu jangan begitu mudah mengatakan curang pemilu kali ini, karena masih terang dalam ingatan saya kenangan pemilu pada tahun 2004 lalu”. Inikah wujud dan tanggung jawab pemerintah, khususnya tanggung jawab presiden selaku Kepala Negara?. Lantas, bagaimana pemerintah menilai fakta kecurangan-kecurangan para caleg yang sudah terang-terangan terbukti adanya. Paling tidak seberanya pemerintah tidak mempunyai alasan yang cukup kuat untuk mengkaitkan antara keberlangsungan pemilu tahun 2004 dengan pileg baru-baru ini. Bagaimanapun pernyataan yang dikemukakan itu tidak relevan dalam konteks permasalahan pemilu yang mengemuka saat ini. Sungguh ironis memang, pemerintah yang seharusnya menetralisir keadaan atas berbagai persoalan, malah cenderung antipati dan bertindak skeptis menilai berbagai fakta kecurangan pileg yang sudah diungkap berbagai kalangan.


Ketidakdewasaan Pemerintah

Sebagai pemerintah yang bermartabat dalam suatu tatanan negara demokratis tidak sepantasnya pemerintah mencari-cari alasan dengan mengeluarkan berbagai statement yang terkesan mengalihkan perhatian rakyat untuk segala kejanggalan dan kekurangan pemilu yang sudah terlanjur terjadi. Justru hal ini membuktikan pemerintah bukan sosok yang menjadi panutan warga negaranya alias tidak dewasa dalam konteks negara hukum. Lantas, apakah rakyat yang harus mahfum untuk setiap kesalahan birokrasi yang dilakukan oleh KPU dan menanggung sendiri semua akibat kejanggalan / kesalahan pileg yang lalu ?, atau jangan-jangan pemerintah lupa bahwa tanggung jawab KPU merupakan bagian dari fungsi tugas dan tanggung jawabnya sendiri. Masih pantaskah kita menganggap ‘fair’ pelaksanaan pileg yang demikian itu, bila merefleksikan berbagai kecurangan para caleg ?. Padahal, masing-masing caleg adalah pihak yang nota bene sebagai motor (penggerak) untuk memastikan perolehan suara partai ?. Perlu untuk diingat, bahwa kecurangan para caleg pada pileg kali ini sedikit banyaknya telah menguntungkan partai, karena siapapun tidak dapat memungkiri bahwa tidak ada jaminan apapun tentang perolehan suara yang ada sekarang ini benar-benar murni sebagai suatu kompetisi yang jujur (fairness), bila menilik kembali berbagai kecurangan para caleg yagn merupakan bagian dari sistem partai politik.
Sebagai acuan perlu ditegaskan kembali bahwa pemerintah secara hukum bertanggung jawab dalam pelaksanaan pemilihan umum, hal ini didasarkan pada alasan-alasan sebagai berikut :


Pertama, menurut ketentuan pasal 12 ayat (1) UU No. 22 tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum yang berbunyi : “Presiden membentuk Tim Seleksi calon anggota KPU”. Sedangkan pada pasal 14 lebih lanjut secara tegas bahkan menyatakan : “Presiden menetapkan 21 (dua puluh satu) nama calon atau 3 (tiga) kali jumlah anggota KPU untuk selanjutnya diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat”.
Kedua, pemerintah secara organisatoris kelembagaan negara bertanggung jawab menjalankan roda pemerintahan tanpa terkecuali termasuk didalamnya menjamin terlaksananya pesta demokrasi sebagai perwujudan dari pelaksanaan UUD ’45.
Ketiga, pemerintah secara moralitas bertanggung jawab terhadap masyarakat dalam hal dirugikannya hak-hak politik warga negara yang dijamin oleh UU dalam sebuah tatanan demokrasi, dimana rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara yang berdasarkan hukum (rechtstaat), bukan kekuasaan belaka (machstaat).
Keempat, Bagaimanapun pelaksanaan pemilu yang telah berlangsung, jika merujuk pada fakta persoalan yang timbul, maka benang merah yang dapat ditarik sebagai kesimpulan adalah banyaknya warga negara yang tidak dapat menggunakan hak pilihnya, dengan lain perkataan pemerintah secara tidak langsung telah memasung hak-hak politik warga negara melalui ketidakikutsertaan warga negara memilih. Oleh karenanya, jelas hal yang demikian merupakan pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) yang teramat sangat serius.
Secara sederhana berdasarkan alasan-alasan tersebut diatas, maka sudah sepantasnya jika pemerintahan yang ada sekarang dipertanyakan kapabilitas dan responsibilitasnya oleh masyarakat. Bagaimanapun, dalam suatu negara yang berdaulat dan demokratis pemerintahanan mutlak harus menjamin hak-hak politik warga negara yang diwujdukan dalam bentuk pertanggungjawaban secara moral maupun hukum manakala timbul kekacauan (chaos).


Mempertanyakan Itikad Baik Pemerintah

Berbagai konflik secara sadar atau tidak ditengah-tengah masyarakat semakin hari semakin bertambah sejak dilaksanakannya pileg lalu. Secara gamblang hal tersebut tentu saja sangat meresahkan kehidupan sosial warga negara. Munculnya berbagai konflik merupakan manifestasi ketidakberesan pemerintahan yang ada, mulai dari manajemen kependudukan yang amburadul, pendidikan politik warga negara yang cenderung miss-orientasi, atau bahkan pemahaman yang keliru dalam menilai makna dan manfaat pesta demokrasi.
Pemerintah kurang memahami akar persoalan demokrasi dalam ranah perpolitikan di negeri ini. Kecenderungannya, jika dianalisis maka yang terjadi adalah di saat pemerintah yang berkuasa masih menjalankan roda pemerintahan sebelum menuju pemilihan presiden berikutnya, namun disaat yang bersamaan pula pemerintah justru disibukkan dengan berbagai manuver politik yang tidak ada hubunganya dengan menjalankan roda pemerintahan itu sendiri, bahkan pemerintah sangat berani mengeluarkan pendapat-pendapat yang tidak mewakili kepentingan rakyat banyak. Pemerintah bertindak tidak ideal diujung sisa kepemimpinanya, hal ini tentu sangat merugikan bangsa dan negara, terutama masyarakat. Bagaimanapun, kegagalan pemerintah melaksanakan pileg yang lalu membuktikan bahwa pemerintah telah menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power), sehingga tujuan utama kepemimpinan untuk memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara sangat jauh dari harapan.



Penutup

Persoalan negara berdemokrasi memang tidak mudah untuk dilaksanakan, meskipun demikian bukan berarti pemerintahan dalam suatu negara hukum yang demokratis dapat dengan mudah begitu saja mengelak dari tanggung jawab hukum terhadap rakyat, khususnya menyangkut kegagalan pileg lalu. Apalagi, pemerintahan (baca : Presiden) yang ada merupakan pilihan langsung dari rakyat. Perlu menjadi sebuah pemikiran bagi seluruh rakyat di negeri ini untuk meminta pertanggungjawaban nyata (real responsibility) untuk semua kegagalan yang ada, mengingat sebentar lagi masa kepemimpinan pemerintahan yang ada akan berakhir. Kredibelkah pemerintah ?


Penulis,
Advokat pada Law Firm “Johanes Raharjo, SH & Partners”
e-mail : lawapp_office@yahoo.co.id Mobile : 0819644410 or 02191171700
ⓒ April 2009

Kamis, 23 April 2009

ARTICLE

PEMILU, MAHALNYA SEBUAH NEGARA DEMOKRASI.
Oleh : Agus P. Pasaribu, S.H.

Pemilu Legislatif tanggal 9 April 2009 telah dilangsungkan, namun masih terang dalam ingatan kita bagaimana kekacauan pemilu yang timbul, mulai dari skup wilayah terkecil sampai nasional, sehingga tak heran apabila belakangan sebagian besar masyarakat maupun partai politik sudah tidak respek terhadap hasil pencapaian pemilu dalam suatu tatanan negara demokrasi. Bahkan, masyarakat cenderung skeptis apabila bicara sistem pemilihan yang diterapkan, padahal ke depannya tidak lama lagi pemilihan presiden (pilpres) telah menunggu. Hal ini tentu menjadi pertanyaan bagi kita mengapa hal yang demikian terjadi, pemilu yang seharusnya bertujuan mengakomodir hak pilih masyarakat untuk menentukan nasib bangsa kedepannya, justru menjadi sesuatu yang ironis karena warga negara kehilangan hak pilih. Alih-alih mendapat hak suara, terdaftar saja sebagai pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) tidak.

Banyak masyarakat yang ada di daerah tidak mengetahui kapan diadakan pemilihanan umum (pemilu). Sampai-sampai pernah terjadi sesuatu kejadian yang jenaka sekaligus memprihatinkan, dimana seorang warga bertanya kepada Panitia Pemilu pasca pemilihan legislative lalu dengan mengajukan : “mencontreng sudah selesai, kapan mencoblosnya?. Jadi pertanyaan bagi kita, apa saja yang dilakukan pemerintahan setelah sekian lama berkenaan dengan pendidikan berpolitik warga negaranya ?? Bukankah pendidikan politik merupakan hak asasi?. Namun fakta empiris membuktikan, pada pemilu legislative lalu warga negara banyak yang secara tidak langsung dipaksa untuk tidak berpartisipasi dalam pesta demokrasi sekali lima tahun tersebut. Seolah-olah masyarakat kita secara de jure (baca : menurut hukum) dianggap bukan sebagai warga yang mempunyai hak pilih di republik ini. Bahkan, warga negara yang memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) sekalipun tidak serta merta menjadi jaminan secara hukum untuk mempunyai hak pilih. Terbukti, KTP tidak cukup menjadi alas hak mendapat hak pilih sebagai warga negara. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis dengan maksud untuk memberikan refleksi tentang kenyataan sistem kesembrawutan manajemen pemilihan umum kita yang bermuara pada dirugikannya hak politik warga Negara, sehingga merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat.

Pemilu, Tanggung Jawab Siapa ?
Sejak terbuktinya ketidakberesan pemilu 9 April 2009 lalu, banyak pihak yang seharusnya patut dimintai “tanggung jawab”, malah justru berpura-pura tidak tahu-menahu dan cenderung saling menyalahkan, bahkan sebisa cuci tangan atas segudang persoalan yang menimpa pemilu legislative (pileg). Sangat tidak mengherankan, panggung perpolitikan kita semakin hari diramaikan oleh kontradiktif komentar tentang dunia politik dan mekanisme pemilu kita.
Kenyataannya, siapapun tahu bahwa Komisi Pemilihan Umum jauh-jauh hari telah dibentuk oleh pemerintah dan orang-orang yang terpilih telah pula di uji kelayakan (fit and propertest) melalui mekanisme UU di lembaga legislatif (DPR), sehingga masih menjadi alasankah mempertanyakan siapa pihak yang patut dimintai pertanggung-jawaban atas kekacauan pemilu, atau jangan-jangan kekacauan sistem pemilu jangan-jangan dikehendaki oknum-oknum tertentu sebagai suatu upaya sitemik yang berorientasi pada harapan mendapat andil dengan situasi yang tercipta. Pemilu yang terlaksana dengan berbagai kekurangannya yang dipadu dengan kekacauan disana-sini, justru sempat ditanggapi dingi oleh pemerintah, seolah-olah menutup mata sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk terselenggaranya pesta demokrasi sekali lima tahun tersebut. “Pemerintah” justru bersikap pasif dan apriori tanpa pernah memberikan penjelesan kepada publik atas persoalan yang sedang dihadapi. Pemerintah baru memberi respon atau tanggapan setelah arus demonstrasi dan konflik mulai bermunculan di daerah-daerah satu demi satu, niat baikkah pemerintah ?, mengapa pemerintah selalu telat menyikapi setiap persoalan di negeri ini. Andaikan saja tidak ada yang protes dengan berbagai kecurangan pileg lalu, jangan-jangan pemerintah akan diam. Anehnya lagi, pemerintah tidak menunjukkan sikap yang determinatif untuk berusaha meminimalisir, mengakomodir, maupun menengahi silang pendapat antara berbagai pihak yang justru semakin meruncing. “Pemerintah” disibukkan dengan manufer politik partai untuk mempersiapkan pemilu presiden (pilpres) yang sudha menunggu. Bagaimanapun, secara moralitas dan struktur organisasi, pemerintah adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas kekacauan pemilu yang ada. Tapi apakah pemerintah secara fair berani mengakui kesalahan dan dewasa dalam hal ini ???. Jadi sangat patulaht apabila masyarakat maupun partai-partai di republik ini menyampaikan mosi tidak percaya.
Pada konteks yang berbeda, KPU selaku penyelenggara pemilihan umum tidak mempunyai keberanian diri secara ksatria untuk mengakui dan menyatakan kesalahan kepada publik sehubungan dengan penyelenggaraan pemilu yang terkesan amatiran. Masing-masing anggota KPU malah disibukkan dengan berbagai usaha untuk menuntaskan persoalan yang ada secara membabi buta tanpa memahami kondisi apa yang telah terjadi. Malahan, para anggota komisi KPU terkesan mencoba-coba lepas tanggung jawab dengan mengemukakan berbagai alasan pembenar untuk berbagai kesalahan yang sudha dialkukan. Padahal, sejak semula pada saat pemilihan anggota komisi, sudah banyak pihak yang menyampaikan protes dan mempertanyakan kredibilitas / kemampuan (skill) orang-orang tersebut, namun pemerintah maupun DPR nampaknya sepakat untuk tidak mendengarkan kritik yang dikemukakan banyak pihak tersebut. Alhasil, pada saat fakta sudha membuktikan bagaimana ketidakmampuan anggota KPU, DPR kita pun cuma bisa terdiam, tanpa pernah berpikir bahwa sebenarnya DPR juga punya andil dan tanggung jawab selaku wakil rakyat yang menguji kompetensi orang-orang yang ada di komisi opemilihan umum tersebut. Jadi dimana tanggung jawab moral yang diemban wakil rakyat kita ?.
Kekacauan jumlah pemilu tetap membuktikan bahwa KPU dan pemerintah tidak mempunyai manajemen kependudukan yang layak, sehingga wajar bila muncul berbagai kontra-produktif sehubungan dengan jumlah masyarakat yang berhak memilih. Padahal Negara ini telah menggelontorkan dana triliunan rupiah untuk terselenggaranya pemilu. Inikah manfaat negara demokrasi ??



Penutup

Melihat realitas tentang penyelenggaraan pesta demoktasi di republik ini, sudah sepatutnya anggota KPU secara sadar untuk bercermin diri untuk merenungkan kembali kemampuannya untuk melaksanakan pemilihan presiden ke depan. Sudah saatnya, apabila ingin melibatkan diri ke dalam suatu sistem pemilihan (baca : anggota komisi pemilihan), terlebih dahulu memahami dan mengukur kemampuan. Dengan demikian, tidak akan merugikan orang lain (baca : masyarakat). Apapun alasannya, pemerintah harus bertanggungjawab terhadap kegagalan pemilu, hal ini menjadi catatan buruk dalam sejarah ketatanegaraan republik ini, terlebih lagi terbukti bahwa di negara ini justru manfaat demokrasi berbanding terbalik dengan yang sebenarnya, bahkan mahalnya sebuah demokrasi harus dibayar dengan hilangnya hak pilih rakyat. Selain itu, pembelajaran politik bagi kita adalah bahwa lembaga legislatif kita telah pula terbukti tidak mampu untuk menguji kelayakan oknum-oknum yang pantas menduduki jabatan sebagai anggota komisi pemilihan umum, sehingga menghasilkan orang-orang yang tidak kredibel dan tidak mampu menjalankan tugas dan tanggung jawabnya menyelenggarakan pemilu. Masihkah kita bertahan dengan ketidakbijakan menggunakan hak pilih kita, mengingat pemilihan presiden kedepan sudah menunggu ? atau masihkah kita mempertahankan orang-orang yang jelas tidak mampu memimpin KPU?, jika itu yang telah dibangun selama ini akan mengalami kemuduran total.
Penulis,
Jakarta April 2009

Senin, 20 April 2009

GOOD CORPORATE GOVERNANCE

RELEVANSI PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP GOOD CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI DI INDONESIA
By. Agus Pranki Pasaribu, S.H.



I. Pendahuluan
Salah satu isu mutakhir yang berkembang dewasa ini, adalah penerapan prinsip good corporate governance dalam rangka meningkatkan perekonomian negara (pembangunan). Adalah fakta, bahwa krisis moneter yang melanda Indonesia pada pertegahan Juni 1997 merupakan salah satu manifestasi dari lemahnya sistem pengawasan terhadap perusahaan, baik yang berskala nasional maupun internasional. Entah itu, yang bergerak dibidang finansial dan atau non finansial (non finance). Namun setidaknya, faktor lemahnya pengawasan merupakan salah satu pemicu utama yang dipandang para ahli cukup esensial melahirkan resiko manajemen invetasi (risk management investment).
Rentanya perusahan-perusahaan di Indonesia terhadap gejolak perekonomian, pada prinsipnya apabila ditinjau dari aspek manajemen dan hukum adalah dikarenakan lemahnya penerapan empat prinsip yang terkandung dalam good corporate governance, yang meliputi : keadilan (fairness), keterbukaan (transparancy), akuntabilitas (accountability), dan tanggungjawab (responsibility). Keempat prinsip tersebut lajimnya harus secara sinergi bekerja untuk terciptanya pengelolaan perusahaan yang baik, tepat dan optimal. Lemahnya penerapan yang demikian tentu saja berdampak pada pembangunan ekonomi yang terhambat dalam suatu negara. Good corporate governance dalam kedudukannya sebagai salah satu aspek penting pembangunan sistem ekonomi, setidaknya harus di mulai dari penerapan yang seimbang. Disatu sisi, ditingkat pengusaha berorientasi pada profit perusahaan. Disisi lain, target pemerintah dalam mencapai pembangunan ekonomi yang direncakankan. Dalam keadaan seperti ini, pemerintah dan perusahaan-perusahaan mempunyai peranan yang cukup penting untuk terciptanya sistem perekonomian yang kuat dan dinamis. Dalam pencapaiannya, dibutuhkan internalisasi pengawasan terhadap perusahaan, baik dalam bentuk penilaian tingkat kelayakan operasionalisasi perusahaan maupun prospek kemanfaatannya terhadap perekonomian negara.
Salah satu prinsip yang mencolok dalam good corporate governance sebagaimana telah disinggung sebelumnya adalah prinsip keterbukaan (trasparancy) yang mengharuskan pengelola perusahaan berkewajiban memberikan informasi yang akurat dan berdasarkan kebenaran berkaitan dengan perusahaan, yang menyangkut : keuangan (finance), kepemimpinan (leadership), kinerja, sumber permodalan (capital), dan lain sebagainya. Prinsip keterbukaan (disclosure) ini penting untuk mencegah lahirnya perusahaan-perusahaan yang tidak sehat sehubungan dengan investasi (permodalan) dan kemanfaatannya terhadap pertumbuhan ekonomi, sekaligus penginkatan daya lapangan kerja.



II. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang penulis kemukakan diatas, maka diajukan beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini, sebagai berikut :
A. Apakah prinsip-prinsip Good corporate governance itu ?
B. Apakah manfaat dan implementasi prinsip keterbukaan, akuntabilitas,
tangungjawab, dan keadilan ?
C. Bagaimanakah penerapan prinsip good corporate governance dalam hubungannya terhadap pembangunan ekonomi ?




III. Prinsip Good Corportate Governance, Antara Kebutuhan dan Implementasinya Di Perusahaan-Perusahaan.

A. Apakah prinsip-prinsip Good Corporate Governance itu ?
Pemahaman terhadap prinsip-prinsip good corporate governance sebagai kebutuhan di era modern ini, sebenarnya merupakan esensi yang sangat mendasar sekali. Namun, seringkali penerapannya dalam praktek kurang memperhatikan dasar pemberlakuan yang berorientasi pada prinsip-prinsip yang semestinya. Hal ini justru akan berdampak pada terhambatnya nilai investasi yang berujung pada perekonomian yang tidak meningkat secara signifikan, melainkan mandek (dalam arti : terhambat) dan akan menimbulkan masalah sosial baru. Dalam penerapan good corporate governance perlu dipahami pengertian mendasar atas prinsip-prinsip
yang diaturnya.
Prinsiip penerapan good corporate governance dalam lingkungan perusahaan, sebagaimana disebutkan terdahulu mengandung empat prinsip utama, yakni : keadilan (fairness), keterbukaan (transparancy), akuntabilitas (accountability), dan tanggungjawab (responsibility).
Mengutib dari Forum Good Corporate Governance Indonesia (FCGI), menguraikan prinsi-prinsip tersebut sebagai berikut :

a. Fairness (Kewajaran)
Perlakuan yang sama terhadap pemegang saham, terutama kepada para pemegang saham minoritas dan pemegang saham asing, dengan keterbukaan infomasi (information disclosure) yang penting serta melarang pembagian untuk pihak sendiri dalam perdagangan saham oleh orang dalam (insider trading). Prinsip ini diwujudkan antara lain dengan membuat peraturan korporasi yang melindungi kepentingan saham minoritas, membuat pedoman perilaku perusahaan (corporate conduct) dan atau kebijakan-kebijakan yang melindungi korporasi terhadap perbuatan buruk orang dalam (self dealing), dan konflik kepentingan, menetapkan peran dan tanggungjawab Dewan Komisaris, Direksi, Komite, termasuk sistem renumerasi, menyajikan informasi secara wajar/pengungkapan penuh material apapun, mengedepankan equal job opportunity.

b. Disclosure/Transparancy (Keterbukaan)
Hak-hak pemegang saham, yang harus diberikan infomrasi dengan benar dan tepat waktu mengenai perusahaan, dapat ikut berperan serta dalam mengambil keputusan mengenai perubahan-perubahan yang mendasar dari perusahaan dan turut memperoleh bagian dari perusahaan. Prinsip pengungkapan yang akurat dan tepat pada waktunya serta transparansi mengenai semua hal yang penting bagi kinerja perusahaan, kepemilikan, serta para pemegang kepentingan (stakeholders) diwujudkan antara lain dengan mengembangkan sistem akuntansi (accounting system) yang berbasiskan standar akuntansi dan best practices yang menjamin adanya laporan keunagna dna pengungkapan yang berkwalitas, mengembangkan Information Tehnology (IT) dan Management Information System (MIS) untuk menjamin adanya pengukuran kinerja yang memadai dua proses pengambilan keputusna yang efektif oleh Dewan Direksi dan Komisaris, megnembangkan enterprise risk management yang memastikan bahwa semua resiko signifikan telah diidentifikasi, diukur, dan dapat dikelola pada tingkat toleransi yang jelas, mengumumkan jabatan yang kosong secara terbuka.

c. Accountability (Akuntabilitas)
Tanggungjawab manajemen melalui pengawasan yang efektif (efective oversight) didasarkan atas balance of power antara manajemen, pemegang saham, dewan komisaris, dan auditor.
Merupakan bentuk pertanggungajawaban manajemen kerja kepada pemegang saham dan kepada perusahaan (RUPS). Prinsip ini dwujudkan dalam bentuk penyiapan laporan keuangan (financial satement) pada tepat waktu dan dengan cara yang benar, mengembangkan komite audit sebagai mitra bisnis untuk mendukung fungsi pengawasan oleh Dewan Komisaris, mengembangkan dan merumuskan kembali peran dan fungsi internal audit sebagai mitra bisnis strategik berdasarkan best practices (bukan sekedar audit). Transpormasi menjadi risk based audit, menjaga manajemen kontrak yang bertanggungjawab dan menangani pertentangan (dispute), penegakan hukum (sistem penghargaan dan sanksi), penggunaan eksternal auditor yang memenuhi syarat (berbasis profesional).

d. Responsibility (Responsibilitas)
Peranan pemegang saham harus diakui sebagaimana ditetapkan oleh hukum dan kerjasama yang aktif antar perusahaan serta para pemegang kepentingan dalam mencipkatan kekayaan, lapangan pekerjaan dan perusahaan yang sehat dair aspek keuangan. Ini merupakan tanggungajwab korporasi sebagai anggota masyarakat yang tunduk kepada hukum dan bertindak dengan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan masyarakat sekitarnya.
Prinsip ini diwujudkan dengan kesadaran bahwa tanggungjawab merupakan konsekwensi logis dari adanya kewenangan, menyadari akan adanya tanggungjawab sosial, menyadari profesional dan menjunjung etika, memelihara lingkungan bisnis yang sehat.

Selanjutnya, dari uraian masing-masing prinsip diatas, ada baiknya penulis kemukakan pendapat J. Mark Mobius yang mengemukakan beberapa aspek penting untuk memastikan kinerja manajemen yang efektif dalam pererapan good corporate governance, antara lain :
1. Akuntabilitas (accountability), menurutnya dan yang paling utama pada bagian ini adalah berkenaan dengan masalah nilai, yang termasuk didalamnya aspek responsibilitas. Lebih lanjut lagi disampaikan olehnya Credit Lyonnais Securites Asia (CSLA), dalam penelitiannya mengenai good corporate governance yang berkembang di pasar, telah digunakan beberapa variabel untuk menilai tingkat akuntabilitas, yang antara lain adalah :
a. independece and non-executive nature of board members ;
b. presence of more than half non-executive board members ;
c. presence of foreign nationals on the board ;
d. occurrence of regular full board meeting (once a quarter) ;
e. pportunity for the members to “exercise effective quarter” ;
f. presence of audit committee.
2. Transparansi (transparancy), secara umum dijabarkan bahwa transparansi yang semestinya seharusnya memuat hal-hal sebagai berikut :
a. adoption of accurate accounting methods ;
b. full and prompt disclosure of information relating to the company;
c. timely disclosure of information ;
d. disclosure of conflicts of interest of the directors or majority shareholders ; and,
e. adequate advance notice of meeting and voting so shareholders may prepare.
3. Upaya perlindungan kepada penanam modal minoritas (minority investor protection measures), pada butir ini secara prinsip titik beratnya menyangkut transparansi dan akuntabilitas yang dipandang masih kurang memadai tanpa di dukung oleh upaya kongkrit terhadap penanam modal minoritas yang seringkali diperlakukan secara tidka adil dalam prakteknya di Indonesia.
4. Pemberlakuan perangkat hukum (enforced regulations), instrumen ini merupakan langkah efektif untuk impelementasi pemberlakuan good corporate governance dalam rangka pencapaian kunci sukses di sebuah negara. Dengan kata lain, masing-masing negara yang telah meratifikasi prinsip good corporate governance seharusnya menyadari komitmennya untuk menerapkan kebijakan-kebijakan yang konprehensif dalam bentuk penegakan peraturan, yang merupakan jaminan terselenggaranya prinsip yang dimaksud. Sedangkan, faktor lain yang perlu ditegaskan dan dilaksanakan adalah berkaitan dengan sanksi peraturan (hukum) dalam hal terjadinya pelanggaran-pelanggaran prinsip tersebut.



B. Keberadaan Komite Audit dalam Organ Perseroan Terbatas,
Menuju good Corporate Governance
Menurut prinsip dalam pedoaman good corporate governance ditegaskan : “Dewan Komisaris weajib membentuk komite audit yang beranggotakan satu atau lebih anggota Dewan Komisaris. Dewan Komisaris dapat meminta kalangan luar dengan berbagai keahlian, pengalaman dan kwalitas lain yang dibutuhkan, untuk duduk sebagai anggota komite audit guna mencapai tujuan komite audit. Komite Audit harus bebas dari pengaruh Direksi, external auditor dan dengan demikian hanya bertanggungjawab kepada Dewan Komisaris”.
Mencermati prinsip dasar tersebut diatas, memberikan pemahaman bahwa Komite Audit harus independence untuk memberikan penilaian secara fair, terlepas dari adanya salah satu Dewan Komisaris yang duduk sebagai komite audit. Dalam konteks ini pula Komite Audit berada dibawah Dewan Direksi yang juga bertanggungjawab kepada Dewan Direksi. Namun demikian, adanya Komite Audit ini dalam praktek belum mempunyai landasan hukum yang kuat. Sehingga untuk mengakomodasi hal yang demikian, dibutuhkan instrumen hukum (dalam arti UU Perseroan) yang mengatur secara tegas hal yang demikian. Oleh karena itu, diperlukannya pembaharuan UU perseroan agar mengatur hal yang demikian.
Secara yuridis normatif UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan belum mengatur perihal Komite Audit tersebut. Kalaupun dapat dipaksakan, maka keberadaan Komite Audit hanya mempunyai dasar pembentukan. Sebagaimana pasal 94 ayat (1) UUPT yang menyatakan bahwa : “Perseroan memiliki Komisaris yang wewenang dan kewajibannya ditetapkan dalam anggaran dasar.
Dari ketentuan diatas, meskipun tidak menyatakan secara tegas keberadaan Komite Audit, maka dapat dijadikan dasar untuk pembentukannya, kemudian dalam penjabarannya agar dapat diatur secara lebih rinci tentang keberadaan Komite Audit, setiap perusahaan dapat mencantumkan atau mengaturnya dalam anggaran dasar perusahaan.
Berdasarkan fakta diatas, maka disatu sisi keberadaan Komite Audit, masih terbatas dan tergantung pada itikad baik (good faith) perusahaan. Sedangkan disi lain, Komite Audit tersebut berdasarkan prinsip good corporate governance merupakan hal yang utama dalam rangka pencapaian asas akuntabilitas suatu perseroan, sehingga dapat diketahui oleh publik, khususnya pemerintah selaku pihak yang menciptakan regulasi investasi.
Persoalan lain yang perlu diatur secara tegas adalah menyangkut independensi komite audit dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, halmana dimasukkannya salah satu anggota Dewan Komisaris untuk duduk sebagai Komite Audit. Yang tentu akan membawa dampak tersendiri terhadap anggota Direksi dlaam menjalankan tugasnya. Karena, bagaimanapun fakta membuktikan bahwa selama ini ambruknya perusahaan-perusahaan di Indonesia tidak semata-mata akibat dari ulah Direksi perseroan, melainkan juga ditentukan oleh terlalu campur tangannya anggota Dewan Komisaris terhadap Direksi dalam menjalankan perseroan. Kiranya perlu ditegaskan kembali, pengaturan tentang siapa saja yang dapat menjadi anggota Komite Audit, serta tidak direkrut dari Dewan Komisaris. Sangatlah riskan apabila dimasukkannya anggota Dewan Komisaris dalam suatu Komite Audit.
Komite Audit untuk dapat melaksanakan tugas dan wewenangnya dengan baik, maka tentulah dibutuhkan orang-orang yang mempunyai keahlian dibidang audit, milsanya : audit keuangan (akuntan pulbik), audit hukum (legal audit dalam hal ini konsultan hukum), dan berbagai keahlian lain yang menunjang.
Selanjutnya, menurut pedoman good corporate governance yang menjadi tugas dan tanggungajwab Komite Audit, antara lain :
1. mendorong terbentuknya sistem pengawasan yang memadai ;
2. meningkatkan kwalitas keterbukaan laporan keuangan yang memadai;
3. mengkaji ruang lingkup dan kettepatan eksternal audit, kewajaran biaya eksternal audit dan kemandirian serta objektivitas eksternal audit;
4. mempersiapkan surat yang menguraikan tugas dan tanggungjawab Komite Audit selama tahun buku yang diperiksa oleh internal audit, surat tersebut harus disertakan dalam setiap laporan yang deisampaikan kepada para pemegang saham.
Menurut Keputusan Meteri BUMN No. Kep-103/2002, yang menjadi tugas dan tanggungajwab Komite Audit, antara lain :
1. Menilai pelaksanaan audit dan hasilnya ;
2. Memberikan rekomendasi tentang penyempurnaan ;
3. Sistem pengendalian manajemen perusahaan pelaksanaannya ;
4. Memastikan telah terdapat prosedur review yang memadai tehadap infomasi yang dikeluarkan BUMN ;
5. Mengidentifikasi hal-hal yang perlu diperhatikan Komisaris dan Dewan Pengurus ;
6. Melaksanakan tugas lain dalam lingkup tujuan dan kewajiban Komisaris.

Berdasarkan prinsip-prinsip diatas, maka dalam hubungannya dengan prinsip keterbukaan dalam good corporate governance akan dapat dicapai. Penciptaan prinsip keterbukaan terletak pada tugas Komite Audit untuk mendorong terbentuknya struktur yang memadai dan meningkatkan kwalitas keterbukaan laporan keuangan. Dalam prakteknya Komite Audit akan memberikan pengawasan internal dari pelaporan keuangan yang terbukan kepada Dewan Komisaris. Dan disini, peranan Komisaris sangat diperlukan untuk memberikan nasehat kepada Dewan Direksi sehubungan dengan operasionalisasi perseroan setelah Dewan Komisaris mendapat laporan dari Komite Audit, hal yang demikian telah diatur dalam pasal 97 UU No. 1 Tahun 1995.




C. Fungsi Pengawasan Yang Dilakukan Komisaris Dalam
Pelaksanaan Good Corporate Goernance
Fungsi pengasawan yang dilakukan oleh Komisaris terhadap Dewan Direksi dalam rangka pelaksanaan prinsip good corporate governance, meliputi :

1. Audit Keuangan
Pengawasan dalam bidang keuangan selalu menempati posisi sentral dalam setiap perusahaan, halmana pengawasan dalam bentuk ini dapat berupa : perhitungan laba-rugi (neraca keuangan), penilaian aset-aset perusahaan (dalam bentuk : saham, obligasi, dan surat-surat berharga lain ayng dimiliki oleh perseroan), perpajakan (pajak penjualan, pajak penghasilan dan pajak lain yang dimiliki perseroan). Khusus pengawasan di bidang perpajakan, dengan pembayaran pajak yang berkala dan tetap waktu tentu akan membawa dampak perekonomian terhadap negara, dan laporan pembukuan yang transparan, akan membentuk image perusahaan yang baik, sehingga akan berdampak pada arus investasi yang akan masuk dan keluar. Oleh karena itu, disinilah audit atas cash flow diperlukan untuk memonitor tingkat kesehatan keuangan perusahaan.

2. Audit Organisasi
Pengawasan terhadap struktur organisasi, hubungan antara pemimpin bentuk dan besarnya struktur organisasi, harus selalu disesuaikan dengan tingkat kebutuhan perseroan. Pengawasan di bidang organisasi perseroan dimaksudkan untuk mencegah terjadinya tindakan pemanfaatan perseroan sebagai sarana perbuatan melawan hukum yang bertujuan untuk kepentingan pribadi, bukan kepentingan perseroan. Disinilah manfaat asas piercing the corporate veil dalam penerapan good corporate governance sangat besar dari sudut pengawasan pemerintah terhadap organisasi perseroan. Bila akan diambil suatu kebijakan untuk membentuk suatu bagian tertentu dari perseroan, harus kemanfaatan dan analisis biaya (cost-benefit analyst).

3. Audit Personalia
Pengawasan terhadap personalia, penentuan kriteria untuk mendapatkan personal yang memenuhi kwalifikasi sebagaimana yang dibutuhkan perseroan. Meskipun Direktur berwenang untuk mencari sumber daya manusia (SDM), namun secara selektif dapat diterapkan pedoman umum, seperti : fiduciary duties, duties of loyality, duties of skill, duties of care, dan duties to act lawfully.


IV. Penutup
Berdasarkan uraian diatas, disimpulkan beberapa pokok pemahaman tentang GCG yang berkaitan dengan topik permasalahan yang dibahas, yakni:
1. Good Corporate Governance (GCG) merupakan tata kelola perusahaan yang terdiri dari empat prinsip, yakni : keadilan (fairness), keterbukaan (transparancy), akuntabilitas (accountability), dan tanggungjawab (responsibility).
2. Manfaat penerapan GCG adalah upaya pembangunan prinsip-prinsip ekonomi yang kokoh sebagai landasan terciptanya kesinambungan pembangunan, sehingga mutlak dibutuhkan, khususnya penerapan GCG terhadap perseroan yang berbasis hukum Indonesia.
3. Penerapan prinsip GCG berkaitan erat dengan fleksibilitas manajemen ekonomi dalam tingkat perusahaan (perseroan) yang secara dasriah merupakan sub-sistem pembangunan ekonomi Negara secara nasional.

Jakarta akhir 2006,
Penulis












GOVERMENT ARTICLE

REFORMASI BIROKRASI
Oleh : Agus P. Pasaribu, SH.



Dewasa ini konteks negara modern semakin mengemuka dan gencar disuarakan oleh para ahli politik maupun ketatanegaraan, baik itu melalui media massa, cetak maupun elektronik. Konsep pembenahan birokrasi di era reformasi sekarang ini diharapkan dapat meningkatkan peranan negara dalam ruang lingkup berbangsa dan bernegara. Dikatakan pembenahan birokrasi yang bersifat internal apabila reformasi-nya menyangkut efisiensi bagian-bagian ke dalam instansi pemerintahan. Sedangkan birokrasi eksternal menyangkut aspek-aspek hubungan timbal balik antara lembaga negara dengan masyarakatnya.
Seperti kita ketahui, bahwa selama ini fungsi birokrasi di Indonesia tidak efektif dalam praktek penyelenggaraanya. Hal ini tidak luput dari pengaruh regulasi instansi-instasi pemerintahan yang tidak tepat sehingga menciptakan birokrasi-birokrasi yang tidak relevan dan bahkan terkesan mubajir jika ditinjau dari sudut pandang kemanfaatannya.
Salah satu indikasi adanya usaha pembenahan birokrasi sejak era reformasi adalah pada masa pemerintahan Abdurahman Wahid (baca Gus Dur). Pada masa itu, pemerintahan gus dur membubarkan Kementrian Penerangan. Langkah tersebut patut kita acungkan jempol mengingat kementerian yang bersangkutan pada dasarnya tidak mempunyai peranan dan fungsi yang cukup signifikan.
Bercermin dari sudut pandang efektifitas dalam hubungannya dengan reformasi birokrasi pemerintah, penulis akan menguraikan dalam artikel ini beberapa aspek yang penting untuk dijadikan ukuran perlu atau tidaknya suatu instasi dibuat.


Efektifitas Birokrasi Vs. “Kebutuhan”
Sudah merupakan ajaran umum dalam ilmu adminsitrasi bahwa birokrasi pemerintahan dimaksudkan sebagai suatu sarana (alat) dengan maksud untuk mencapai tujuan tertentu (pelayanan public). Artinya, birokrasi diharapkan dapat memberikan sumbangsih yang optimal dalam rangka menjalankan roda pemerintahan dalam suatu masa tertentu. Misalnya, negara agraris membutuhkan suatu birokrasi pemerintahanan di bidang pertanian. Dengan demikian maka diciptakan departemen atau kementerian terkait. Dalam hal ini birokrasi berfungsi untuk menghasilkan dan atau membuat kebijakan-kebijakan dibidang pertanian. Adapun kebijakan-kebijakan tersebut dimaksudkan dapat memberikan kemanfaatan terhadap masyarakatnya.
Berdasarkan fungsi tersebut, maka kebutuhan akan suatu instansi tertentu yang membidangi aspek-aspek kehidupan masyarakat adalah tujuan utama yang didasarkan pada efektifitas kemanfaatanya. Dengan demikian tidak dapat disangkal bahwa kebutuhan suatu negara terhadap suatu instansi hanya tergantung pada seberapa efisien instansi tersebut diperlukan.
Berdasarkan fungsi kemanfaatan dalam bentuk efisiensi birokrasi pemerintahan tersebut, di Indonesia justru masih menganut paradigma lama, dimana instansi-instansi yang ada justru hanya menjadi birokrasi yang tidak berfungsi. Bahkan, instansi yang ada tidak mempunyai peranan terhadap kepentingan langusng masyarakat banyak. Melainkan justru ditinjau dari sudut pandang ekonomis, birokrasi dan instansi yang ada hanya merupakan pemborosan belaka karena bagaimanapun anggaran belanja negara terkuras habis setiap tahunnya.
Misalnya saja untuk wilayah Jakarta, terdapat Dinas Pertambangan, Dinas Pertanian, dan lain-lain yang dalam prakteknya ditinjau dari kondisi kebutuhan daerah tentu saja dinas-dinas tersebut tidak dibutuhkan di wilayah Jakarta. Contoh lain, di negara kita dikenal pula Menteri Peranan Wanita yang sekali lagi secara logis justru tidak mempunyai peranan apapun. Padahal dengan adanya kementerian yang demikian berapa banyak anggaran belanja yang harus dikeluarkan oleh negara untuk membiayai para pegawainya ???. Belum lagi, kementerian tersebut jika dikaji secara mendalam tidaklah berpengaruh apa-apa selama ini terhadap tingkat kemajuan wanita itu sendiri.


Meng-Optimalkan Birokrasi
Faktor-faktor yang melahirkan birokrasi yang tidak efektif bermacam-macam. Sebut saja factor sumber daya manusia, factor KKN, factor kelebihan tenaga kerjanya (pegawai) yang mana semua factor tersebut tetap berorientasi pada tidak tercapainya tujuan utama birokrasi yakni meningkatkan pelayanan public. Sehingga, bagaimana pun selain rugi dari sisi anggaran negara secara financial, juga telah merugikan kepentingan masyarakat secara luas.
Pemerintah secara substansial sudah urgen untuk melakukan pembenahan melalui melalui mekanisme efisiensi, apakah itu pengurangan pegawai maupun melaksanakan upaya pengawasan secara ketat dan pemberian sanksi tegas terhadap instansi maupun oknum terkait yang melakukan pelanggaran tugas-tugas maupun tanggung jawabnya.
Efektifitas suatu instansi (lembaga) harus dilihat dari seberapa mampu instansi tersebut benar-benar menjangkau tugas dan tanggung jawabnya, khususnya seberapa besar manfaatnya dirasakan oleh masyarakat luas.


Penutup
Pelaksanaan Refomasi birokrasi harus didasarkan pada strategi fungsi dan kemanfaatan suatu lembaga pemerintah dalam relevansinya dengan tingkat kebutuhan masyarakatnya. Dengan demikian maka reformasi birokrasi baru akan dapat berjalan dengan baik. Reformasi birokrasi hendaknya menjadi sebuah perenungan demi terciptanya negara yang masyarakatnya benar-benar dapat merasakan arti dan fungsi kelembagaan negara tersebut.



Maret 2007,
Penulis.

BUSINESS LAW

KLAUSUL-KLAUSUL Kontrak Standar DALAM HUBUNGANNYA
TERHADAP perlindungan konsumen
(Suatu Kajian dari Aspek Yuridis-Praktis)



A. Pendahuluan
Dengan berkembangnya kehidupan perekonomian dan industri di Indonesia dewasa ini, maka semakin dirasakan pula pesatnya permintaan dan penawaran barang-barang untuk keperluan rumah tangga, niaga bahkan keperluan industri. Akibat dari perkembangan tersebut, para produsen yang nota bene ingin mendapatkan keuntungan (profit/in come) sejumlah uang melalui transaksi penawaran barang dan harga berlomba-lomba memberikan mendapatkan pelangan (konsumen). Salah satu kebutuhan rumah tangga yang sering dijadikan objek perjanjian dalam perjanjian sewa beli misalnya : mobil, sepeda motor, rumah KPR dan perabotan-perabotan rumah tangga lainnya. Dari permintaan dan penawaran barang-barang tersebut biasanya dibarengi dengan berbagai kemudahan yang semuanya bertujuan pada maksud untuk memperoleh hak milik atas suatu barang disatu pihak dan memperoleh imbalan sejumlah uang sebagai imbalan harga di pihak lain, karena itu berakibat pada timbulnya banyak macam variasi sistem pemasaran barang dan variasi sistem pembayarannya. Salah satu dari macam variasi sistem pembayaran yang sering dipergunakan adalah dengan cara perjanjian sewa beli yang tertuang dalam klausul-klausul dalam kontrak standar.
Perjanjian sewa beli adalah salah satu bentuk perjanjian dalam hukum kontrak yang memiliki kekhasan secara perdata. Hukum kontrak yang merupakan bagian dari hukum privat, karena pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam kontrak, murni menjadi urusan dari pihak-pihak yang menyelenggarakan kontrak. Kontrak dalam bentuk yang paling klasik, dipandang sebagai ekspresi kebebasan manusia untuk memilih dan mengadakan perjanjian. Hal mana diatur pada pasal 1338 KUHPerdata.
Perkembangan hukum kontrak dewasa ini telah sampai pada paradigma baru yang timbul dari dua dalil antara lain : pertama, setiap perjanjian kontraktual yang diadakan adalah sah (geoorloofd) dan kedua, sertiap perjanjian kontraktual yang diadakan secara bebas adalah adil dan memerlukan sanksi undang-undang.
Dengan adanya dimensi baru dalam hukum kontrak ini tentu memiliki dampak positif dan negatif yang patut diperhitungkan. Dampak positifnya adalah sebagai salah satu bentuk pembangunan ekonomi melalui dunia usaha. Sedangkan dampak negatif dari adanya variasi dalam melaksanakan/membuat kontrak (perjanjian) adalah berkaitan dengan klausula-klausula yang mengatur perjanjian. Klausula perjanjian biasanya dibuat secara sepihak oleh pihak penjual sehingga kecenderugan isi dari klausula hanya mengatur hak-hak dari penjual, sedangkan pihak pembeli harus tunduk kepada ketentuan/klausula perjanjian yang dibuat secara sepihak tersebut. Hal ini menimbulkan dilema tersendiri bagi pembeli karena disatu sisi si pembeli membutuhkan barang yang menjadi objek perjanjian, sedangkan disisi lain pihak pembeli selalu dibebankan dengan syarat-syarat yang merugikannya.
Dengan bercermin pada ketentuan pasal 1320 KUHPerdata yang memuat tentang syarat-syarat sahnya perjanjian dan relevansinya terhadap Undang Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, tulisan ini akan menguraikan kajian kritis beberapa contoh mengenai permasalahan penerapan kontrak standar dalam praktek dan relevansinya terhadap perlindungan konsumen.


B. Sewa Beli
Pengertian sewa beli sebenarnya merupakan perjanjian campuran antara jual beli dan sewa menyewa. Menurut hukum kebiasaan perjanjian sewa beli (huurkoop) adalah suatu ciptaan praktek yang sudah diakui dalam Yurisprudensi Indonesia, malahan di Nederland sudah pula dimasukkan dalam BW. Berdasarkan pasal 1.a Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 34/KP/II/80 tentang perijinan kegiatan usaha sewa beli (hire purchase), jual beli dengan angsuran sewa (renting) perjanjian sewa beli dikonstruksikan sebagai perjanjian jual beli yaitu jual beli barang dengan memperhitungkan setiap pembayaran yang telah dilakukan oleh pembeli dengan pelunasan atas harga barang yang telah disepakati bersama dan diikat dalam suatu perjanjian, serta hak milik atas barang tersebut baru beralih dari penjual kepada pembeli setelah jumlah harganya dibayar lunas oleh pembeli kepada penjual.
Memperhatikan ketentuan pasal 1.a Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 34/KP/II/80 tersebut, menurut hemat penulis, meskipun sewa beli dikonstruksikan sebagai perjanjian jual beli, tetapi prosedur yang digunakan adalah prosedur kontrak dalam bentuk sewa, yaitu terlihat adanya unsur mengangsur pembayarannya dalam jangka waktu tertentu untuk penggunaan barang-barang yang disewa beli. Dan pada akhirnya sewa beli ini merupakan perjanjian pembelian barang, oleh karena pada perjanjian sewa beli si pemilik barang tidak memperhitungan mengenai keadaan barang yang disewakan pada akhir masa sewa beli, dan barang langsung akan menjadi milik si pembeli sewa. Adapun cara memperhitungkan harga angsuran pada sewa beli, diluar ongkos administrasi adalah harga barang ditambah bunga keseluruhan dibagi dengan jumlah berapa kali angsuran.

1. Sebagai Contoh Pertama
Dalam praktek yang terjadi di Ujung Pandang, perjanjian sewa beli antara PT. M.R.M dengan saudara S.M (di Majene) dilakukan secara tertulis dengan akte dibawah tangan. Dalam perjanjian dinyatakan bahwa untuk 1 (satu) unit mini bus merek Daihatsu merek Zebra tahun 1988 seharga Rp. 12. 160.000,- (harga per satu januari 1989).
Pelaksanaan harga sewa beli tersebut diperjanjian sebagai berikut :
1. Pembayaran pertama sebanyak ................................. Rp. 4.160.000,-
2. Sisa harga sewa beli seharga .................................... Rp. 8.000.000,-
Dan akan dibayar lunas dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) bulan
Dengan bunga 2 % (dua porsen) perbulan dan jumlah sisa angsuran harga sewa beli terhitung dari tanggal penandatanganan perjanjian tersebut.
3. Perincian waktu dan jumlah pembayaran ditambah bunga sebagai berikut :
- Sisa harga sewa beli ............................................ Rp. 8.000.000,-
Bunga 2 % X 30 bulan X Rp. 8.000.000,- ..................... Rp. 4.000.000,-
- Cicilan angsuran :
29 bulan X Rp. 426. 500 ....................................... Rp. 12.368.500,-
1 bulan X Rp. 431. 500 .............................................. Rp. 431. 500,-

Jumlah.............................................................. Rp. 12.800.000,-
(terbilang dua belas juta delapan ratus ribu rupiah).

Kemudian dalam pelaksanaan pembayaran angsuran, biasanya terdapat perjanjian (kontrak standar) yang memuat klausula-klausula khusus yang lajim disebut sebagai klausula baku yang ditandatangani oleh kedua belah pihak, si pembeli sewa maupun si penjual sewa. Klausula tersebut dinyatakan antara lain sebagai berikut :

Pasal VI
1. Bilamana suatu pembayaran sisa harga sewa beli menurut ketentuan dalam pasal I tersebut diatas, tidak dilakukan selama dua bulan berturut-turut menurut tanggal dan bulannya pihak kedua (si pembeli sewa) telah berada dalam keadaan lalai (wanprestasi), sehingga tidak lagi diperlukan pemberitahuan lewat jurusita dalam hal demikian itu, maka pihak pertama (si penjual sewa) ataupun orang yang diperintahkan/kuasanya berhak menarik kembali mobil tersebut ke dalam kekuasaannya dan ataupun mengalihkan kepada pihak ketiga dimanapun dan saat kapanpun tanpa melalui Pengadilan Negeri (parate eksekusi) dan untuk itu pihak kedua tidak berhak/tidak akan keberatan dan/atau menurut apapun juga dari pihak pertama.
2. Bahwa apabila terjadi sebagaimana yang disebutkan dalam butir (1) pasal ini, maka apa yang diserahkan dan atau dibayar pihak kedua kepada pihak pertama adalah menjadi sewa yang tidak bisa ditarik kembali oleh pihak kedua dan menjadi milik pihak pertama.
3. Bahwa apabila terjadi sebagaimana yang disebutkan dalam butir 1 (satu) dan butir 2 (dua) pasal ini, maka bersama dengan surat perjanjian sewa beli ini pihak kedua membuat suatu surat pernyataan penyerahan mobil tersebut dan menjadi lampiran yang tidak terpisahkan dengan perjanjian sewa beli ini.
Sebagaimana telah dimaklumi dalam perjanjian yang didalamnya terdapat klausula khusus yang disepakati para pihak itu, memang diperbolehkan menurut hukum perjanjian yang menganut azas kebebasan berkontrak sebagaimana dikenal dalam kUHPerdata. Dan disisi lain, dalam praktek membuat suatu perjanjian di Indonesia KUHPerdata sendiri mengenal dan menganut azas sistem terbuka dalam hal kontrak. Yang dimaksud dengan sistem terbuka adalah suatu perjanjian/kontrak yang dibuat para pihak bebas menentukan dan membuat jenis kontrak yang disepakati/diinginkan sepanjang isi kontrak tersebut tidak bertentangan dengan KUHPerdata, UU, ketertiban umum, kesusilaan dan kepatutan.
Dalam pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata menentukan bahwa :
”Setiap perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Makna fislosofis dari ketentuan tersebut tak lain tak bukan sebagai aturan yang harus dipatuhi oleh para pihak manakala telah menyepakati suatu perjanjian atau pun kontrak. Dengan ketentuan tersebut dimungkinkan para pihak dapat menuntut pihak lainnya dalam perjanjian untuk memenuhi prestasinya manakala salah satu pihak ingkar janji atau membatalkan perjanjian secara sepihak. Sehingga dengan adanya ketentuan tersebut, maka setiap orang dituntut untuk tidak sewenang-wenang dan membatalkan begitu saja suatu perjanjian yang telah dibuat dan disepakati menurut hukum, tanpa memperhitungkan pihak lain yang telah dirugikan.

a. Permasalahan Kontrak Standart
Dengan adanya klausula kontrak standar seperti yang dicontohkan pada contoh diatas, dimana klausula itu berlaku dan mengkikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, lalu apabila terjadi dalam perjanjian sewa beli a-quo, yaitu seandainya angsuran telah berjalan pada pertengahan masa sewa beli, selanjutnya si pembeli sewa dua bulan berturut-turut tidak mengangsur sehingga dinyatakan wanprestasi dan konsekwensinya harus diterapkan klausula bahwa apa yang telah diserahkan dan atau yang dibayar oleh si pembeli sewa kepada si penjual sewa adalah menjadi sewa yang tidak dapat ditarik kembali dan harus diserahkan kembali kepada si penjual sewa tanpa perhitungan sedikitpun terhadap uang muka dan angsuran yang telah dibayarkan. Apakah hal demikian tidak dibayarkan terdapat perlindungan yang sewajarnya bagi pembeli sewa ?.


b. Kajian Yuridis
Dari permasalahan yang dikemukakan diatas, penulis akan menguraikan aspek yuridis tentang perlunya keseimbangan dalam perjanjian/berkontrak terhadap para pihak sehingga dapat memenuhi sisi keadilan dalam masyarakat.
Dengan berpretensi bahwa perjanjian a-quo telah dibuat sesuai dengan ketentuan syarat sahnya perjanjian menurut pasal 1320 KUHPerdata, maka kalau memperhatikan isi dan bentuk perjanjian, dimana didalamnya terdapat klausula khusus yang tegas-tegas dinyatakan oleh kedua belah pihak yang mengikatkan diri, menurut hemat penulis bentuk perjanjian demikian adalah perjanjian/kontrak standar (standart contract).
Oleh karena merupakan perjanjian standar, dimana hak dan kewajiban serta kalusula yang diadakan antara para pihak telah tegas-tegas dirumuskan dalam perjanjian yang dibuat oleh si penjual, maka mau tidak mau si pembeli sewa in casu harus mematuhinya, dalam arti bilamana si pembeli sewa selama dua bulan berturut-turut tidak/lalai membayar angsuran, meskipun telah mengangsur separuh harga selama separuh perjalanan masa sewa beli, maka apa yang ia bayar kepada si penjual sewa menjadi hak milik si penjual sewa, demikian pula dengan barangnya harus diserahkan oileh si pembeli sewa kepada si penjual sewa.
Namun demikian menurut hemat penulis, hal pertimbangan diatas kurang memenuhi rasa keadilan, mengingat sebenarnya bahwa pihak si pembeli sewa ini diperoleh dan cara pembayaran yaitu si pembeli sewa mengharapkan kemudahan dengan cara pembayaran angsuran, dan setelah semua angsuran dibayar lunas, hak milik barang tersebut harus diserahkan. Oleh karena itu di dalam setiap perjanjian yang berbentuk kontrak standar (standart contract) ini, hendaknya didukung oleh suatu peraturan standar (general condition) yaitu dengan mencantumkan klausula yang mengandung perlindungan bagi pihak yang lemah dan perlindungan pihak yang lemah ini hendaknya tertera didalam rumusan perjanjian yang mengingat kedua belah pihak, karena hakekatnya adanya perjanjian standar tersebut adalah untuk memperoleh hak milik atas objek perjanjian atau barang disatu pihak dan memperoleh sejumlah uang sebagai imbalan harga dilain pihak. Sehingga dengan demikian akan terdapat perlindungan yang seimbang antara kepentingan si pembeli sewa dan kepentingan si penjual sewa.


2. Contoh Lain
Muhammad Iqbal, putra seorang lawyer populer di Indonesia, beberapa bulan silam membeli sebuah sedan kelas satu dengan nilai pembelian lebih satu milyar rupiah. Prosedur pembelian dilakukan dengan sistem baku. Iqbal membayar dengan cara transfer ke rekening dealer mobil. Uang masuk, dan mobil luks itu dibawa pulang Iqbal tanpa prosedur bertele-tele. Dari dealer mobil itu, Iqbal memperoleh diskon, dan sejumlah fasilitas lainnya seperti servis gratis setahun sampai pada kilometer kesekian, beberapa hadiah hiburan.
Seperti biasa untuk meraih keamanan mobil, Iqbal mengurus asuransi di sebuah perusahaan asuransi swasta nasional. Pria muda yang mempunyai jaringan bisnis jasa perjalanan cukup besar, menyetor dana lumayan, sebab ia mengambil asuransi "semua risiko". Prosedur yang ia jalani, berjalan seperti biasa. Ada petugas asuransi datang ke kantornya di Jalan Jenderal Sudirman, menjelaskan semua hal tentang perasuransian. Kedua belah pihak setuju, dan kontrak ditandatangani. Pembayaran asuransi dilakukan dengan tunai.
Iqbal tidak meneliti jauh dan sama sekali tidak terlalu memusingkan klausul dan kriteria asuransi yang tertera dalam butir-butir perjanjian. Ia sudah kerap meneken kontrak asuransi dan selama ini sama sekali tidak ada masalah mengganjal. Tidak pernah terjadi konflik, semua berjalan lancar-lancar saja.
Tahu-tahu dua bulan lalu, mobil mewah itu hilang dicuri. Bersama dengan hilangnya mobil, raib pula sopir Iqbal, Poniman (34). Setelah dilakukan upaya pencarian, termasuk meminta jasa polisi, akhirnya diketahui bahwa tersangka pencuri mobil itu adalah sopir Iqbal sendiri. Si Poniman berhasil dibekuk di pinggiran Kota Brebes, dua pekan setelah peristiwa pencurian itu. Sial bagi Iqbal, mobil sudah dijual ke pihak ketiga oleh kepala komplotan perampok (Poniman salah seorang anggota geng perampok yang berbasis di Jakarta). Poniman sendiri, baru mendapat "uang muka" atas jasanya itu sebesar Rp 50 juta.
Sementara itu, Iqbal melakukan upaya yakni mengajukan klaim ke asuransi. Namun, ternyata Iqbal tidak dapat memenuhi harapannya sebab pihak asuransi menyatakan, klaim itu tidak legal diajukan. Apa pasal ? Perampok atau pencuri mobil itu, adalah sopir dan atau pegawai Iqbal sendiri. Sementara dalam klausul perjanjian asuransi yang disepakati dan ditandatangani oleh Iqbal, disebutkan, klaim asuransi itu tidak bisa diajukan kalau kehilangan tersebut diakibatkan, antara lain oleh orang dalam, keluarga atau pegawai tertanggung.
Iqbal merasa sangat geram. Bayangkanlah, uang satu milyar rupiah sekian lenyap begitu saja. Ia hendak melakukan upaya hukum, tetapi terbentur pada kesepakatan yang sudah ia teken. Akhirnya ia menyerah dan tidak melanjutkan klaim itu, kendati ayah kandungnya, seorang advokat papan atas di Jakarta.
Advokat senior di Jakarta, Amir Syamsuddin menyatakan, dengan merujuk ke masalah Iqbal, ia mengimbau semua kalangan yang hendak mengajukan klaim asuransi, agar ekstra berhati-hati atau sangat saksama memperhatikan semua kriteria. "Kadangkala, kita suka terkecoh oleh gaya perusahaan asuransi yang membuat aturan asuransi yang standar atau baku. Kriteria itu, diketik dengan huruf-huruf kecil, yang tidak menarik minat banyak orang untuk dibaca. Isi perjanjian, mengandung hal pokok-pokok, kadangkala tidak dirinci sebagaimana layaknya," tutur Amir Syamsuddin. "Repotnya banyak kalangan terlampau percaya kepada beberapa perusahaan asuransi sehingga enggan memeriksa saksama pelbagai kriteria yang tercantum dalam standar kontrak itu."
Soal lain yang biasa mengemuka dalam hubungan penanggung dan tertanggung, atau pihak asuransi dan pembeli jasa asuransi, ialah servis kendaraan. Para petugas asuransi biasanya dengan sangat ramah, dan penuh percaya diri menyebutkan, bahwa kendaraan tertanggung dijamin asuransi. Jika terjadi masalah dengan kendaraan tertanggung, asuransi akan menanggungnya dengan beberapa kriteria atau klausul yang sudah diatur.
Akan tetapi, terlepas dari persoalan itu, masalah substansi standar kontrak yang diulas di sepanjang tulisan ini, memang perlu diberi perhatian penuh. Sepintas kelihatannya sepele, akan tetapi, di antaranya dengan munculnya beberapa kasus yang tidak mengenakkan, masalah kontrak sama sekali tidak bisa dibuat main-main. Para pihak, terutama konsumen, tak ada jalan lain, harus ekstra teliti, kritis terhadap pedagang mobil/sepeda motor dan pihak asuransi.


C. Putusan Mahkamah Agung R.I Sebagai Tolok Ukur
Sebagai barometer akan penulis kemukakan suatu putusan Mahkamah Agung R.I No. 935 K/Pdt/1985 tertanggal 30 September 1986 dalam kasus perjanjian sewa beli mobil antara Ny. Lie Tjiu Hoa dan Achmad Kartawijaya (A. Liong) Lawan (Vs) Unda bin H. Marsan.
Di dalam pertimbangan putusan Mahkamah Agung R. I tersebut menyatakan pada pokoknya sebagai berikut :
”....... Dipandang dari sudut keadilan dan moral adalah tidak patut bentuk dan sis perjanjian yang melenyapkan hak pembeli sewa atau barang yang dibeli, hanya disebabkan keterlambatan atau kesulitan pembayaran angsuran terakhir, tanpa mempertimbangkan jumlah angsuran yang telah dibayar oleh si pembeli sewa”.
Pertimbangan putusan Mahkamah Agung R.I tersebut menurut hemat penulis telah ternyata telah memperhatikan perlindungan terhadap pihak yang lemah atas atas dasar rasa keadilan dan eksadaran moral dan kepatutan. Karena itu sesuai dengan ketentuan dalam pasal 9 Putusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 34/KP/II/1980 diatas, hendaknya dapat dijatuhkan sanksi terhadap perusahaan yang bergerak dibidang sewa beli barang yang mengabaikan perlindungan pihak yang lemah ini.
Sebenarnya, dari segi yuridis, pencantuman klausul baku sah-sah saja dibuat. Tetapi substansinya tidak boleh mengalihkan tanggung jawab dari pihak pelaku usaha, dari produsen ke konsumen. Dan bahkan seperti contoh perjanjian sewa beli diatas dengan asdanya klausula yang dikutib diatas menunjukkan bahwa pihak pembeli tidak berhak apapun terahdap objek perjanjian manakala si pembeli wanprestasi. Sehingga kebanyakan yang terjadi bahwa pihak penjual dalam membuat klausula baku dalam suatu perjanjian tidak secara objektif. Hal ini yang tidak diperbolehkan atau dinaytakan secara tegas dalam UUK (undang undang konsumen). Dengan kalimat lain, klausul baku tidak boleh membatasi atau menghindari tanggung jawab. Tidak boleh memberikan beban kepada konsumen. Peraturan Daerah DKI Jakarta tentang Perparkiran boleh-boleh saja membenarkan klausul baku, tetapi pengelola parkir harus mengerti betul ada pembatasan-pembatasan klausul yang dimuat dalam perjanjian.
Kasus perparkiran semacam ini memang lazim terjadi. Pemilik kendaraan hanya bisa gigit jari bila kehilangan kendaraannya. Ada argumen yang dibangun seolah-olah tidak mungkin jasa parkir seharga Rp2000, misalnya, harus diganti dengan Rp60 juta jika terjadi kehilangan.
Menurut hemat penulis, argumen semacam itu bukanlah substansi masalah. Dalam kasus kehilangan, persoalannya adalah tanggung jawab atau liability. Kalaupun perparkiran dianggap sebagai jasa, maka harus ada rasa tanggung jawab terhadap konsumen yang telah menggunakan jasa itu.
Dalam kasus lain, Putusan Mahkamah Agung yang 'menolak' kasasi Secure Parking dalam perkara nomor 1264K/Pdt/2005. Dengan tidak menerima permohonan kasasi, maka yang berlaku adalah putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang menghukum Secure Parking membayar Rp 60 juta kepada Anny dan Hontas Tambunan, pemilik yang kehilangan kendaraan. Pengadilan dalam kasus ini, telah mengakomodir filosofi UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Putusan hakim sangat progresif sehingga merupakan kemajuan besar, dimana hukum positif diikuti implementasi dan kemampuan hakim memahami filosofis Undang Undang Perlindungan Konsumen”. Dalam kasus tersebut, pemahaman terhadap klausul baku yang selama ini tercantum pada lokasi atau karcis parkir. Ketentuan semacam itu dianggap masih menggunakan paradigma hukum lama dalam kebebasan berkontrak. Berdasarkan paradigma lama asas kebebasan berkontrak bisa berlaku untuk siapa saja dan dalam posisi apa saja kedua belah pihak. Salah satu wujudnya, ya itu tadi, klausul baku.
Berdasarkan contoh-contoh penerapan kontrak standar tersebut diatas, jelas bahwa Undang Undang Perlindungan Konsumen mempunyai andil yang sangat besar untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen yang selama ini selalu dipihak yang lemah. Hakim dituntut dalam praktek untuk memahami makna filosofis dari pentingnya perlindungan hukum terhadap para konsumen, karena pada kenyataannya klausula-klausula baku yang dibuat pihak penjual selalu cenderung lebih mengutamakan segi bisnis, tanpa menghiraukan hak-hak konsumen.


Hire Purchase Act Sebagai Perbandingan
Kiranya dapat dipakai sebagai perbandingan adalah ketentuan dalam Hire Purchase Act 1965 yang memberikan ketentuan-ketentuan melindungi pihak yang lemah ini dengan mencantumkan larangan bagi si pemilik barang mengambil kembali barangnya begitu saja kalau si pembeli sewa menunggak pembayarannya, apabila sudah dari sepertiga harga telah diangsur sedang penuntutan kembali ini harus melalui pengadilan dengan mengajukan gugatan.

D. Penutup
Berdasarkan uraian diatas, maka perlu digarisbawahi beberapa hal berikut, antara lain :
a. Pencantuman klausul baku tidak bertentangan dengan Undang Undang. Khususnya Undang Undangg Perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999 sepanjang klausul tersebut : dibuat jelas, tidak bertentangan dengan hukum, kesusilaan, dan kepatutan ;
b. Kontrak Standar dalam bentuk klausul baku pada prinsipnya dibuat/sengaja diciptakan untuk meningkatkan efisiensi bisnis terhadap pelaku usaha, sehingga kecenderungannya melindungi kepentingan penjual. Sehingga konsumen harus lebih teliti dan berhati-hati terhadap klausul standar yang diajukan pihak penjual, sebelum menyetujui dan menandatangani perjanjian.








D A F T A R P U S T A K A


Handrias Haryotomo, ”Pungutan di Sekolah dan Perlingungan Konsumen”, Sabtu 27 Agustus 2005

http://hukumonline.com, ”Akademisi : Putusan Tentang Parkir Perkuat Ajaran Baru Kebebasan Berkontrak”, 16 Maret 2006

Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 34/KP/II/80

Makalah : ”Pemahaman Tentang Kontrak (Dimensi Nasional dan Internasional)”

Riduan, S.H., ”Seluk Beluk dan asas-asas Hukum Perdata”, Alumni Bandung 2004

Subekti, Prof., S.H., “Aneka Perjanjian”, Alumni Bandung, 1977

Undang Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Varia Peradilan, ”Majalah Hukum”, Tahun II No. 17 Pebruari 1987

www.kompas.com., “Soal Mobil Di Indonesia, Dari Asuransi Sampai Mobil
Bermasalah”, Selasa 23 Oktober 2001