Rabu, 11 Maret 2009

KISI-KISI SOAL UJIAN PROFESI ADVOKAT

KISI-KISI
SOAL UJIAN PROFESI ADVOKAT
Disusun : AGUS P. PASARIBU, SH.



Hukum Acara Perdata

1. Kaukus adalah pertemuan antara pihak mediator dengan salah satu pihak yang berperkara
(diatur dalam SEMA NO. 2 Tahun 2003).
2. Surat Kuasa Khusus dan surat kuasa yang dibuat diluar negeri, harus memenuhi persyaratan, sbb :
- Berbentuk tertulis (dapat berbentuk otentik atau dibawah tangan) ;
- Menyebutkan kompetensi relatif ;
- Menyebutkan identitas para pihak yang berperkara ;
- Menyebutkan objek dan jenis sengketa yang diperkarakan
- Legalisasi dari KBRI atau Konsulat Jenderal setempat.

3. Pengajuan gugatan diajukan berdasarkan alternatif sebagai berikut :
- Di Pengadilan Negeri tempat dimana tergugat berdomisili (actor rei forum sequitur) ;
- Jika Tegugat lebih dari satu orang maka gugatan dapat diajukan di Pengadilan Negeri dimana salah satu Tergugat berdomisli ;
- Jika kediaman atau tempat tinggal Tergugat tidak diketahui, maka gugatan diajukan di Pengadilan Negeri dimana Penggugat berdomisili, atau apabila yang digugata adalah barang tidak bergerak (tetap) maka gugatan diajukan di Pengadilan Negeri dimana barang itu berada ;
- Jika Tergugat tidak dikenal atau tempat tinggal juga tidak diketahui, maka gugatan diajukan di Pengadilan Negeri tempat salah satu Penggugat berdomisili;
- Jika dalam suatu perjanjian telah ditentukan tempat kedudukan berdomisili, maka gugatan diajukan di tempat yang dipilih tersebut ;

4. Voeging adalah pihak ketiga yang masuk ke dalam suatu perkara yang sedang berjalan dengan menggabungkan diri kepada salah satu pihak, baik tergugat atau penggugat

5. Vrijwaring adalah ditariknya pihak ketiga dalam suatu perkara yang sedang berjalan untuk melindungi kepentinganya. Milsanya A menggugat B karena barang yang dibeli dari B mengandung cacat tersembunyi, maka untuk melindungi kepentingannya B menarik C untuk masuk ke dalam perkara dengan alasan bahwa barang itu dibeli dari C dan B tidak mengetahui adanya cacat tersebut.

6. Derden verzet adalah masuknya pihak ketiga untuk membela kepentingan (haknya) sendiri ke dalam suatu perkara yang sedang berjalan.

7. Gugatan rekonpensi diajukan bersama-sama dengan jawaban pertama.

8. Syarat-syarat putusan serta merta (uitvoerbaar bijvoeraad) diatur dalam SEMA No. 3 Tahun 2003, antara lain :
a. surat bukti yang diajukan untuk membuktikan gugatan berupa akta otentik atau akta dibawah tangan yang isi dan tanda tanganya diakui oleh pihak tergugat
b. ada keputusan yang berkekuatan hukum tetap
c. ada gugatan provisi yang dikabulkan
d. objek gugatan adalah barang penggugat yang dikuasai tergugat

9. Surat Kuasa Khusus adalah kuasa yang bertujuan hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih (pasal 1795 KUHPerdata)

10. Surat kuasa khusus harus memuat :
- Berbentuk akta otentik atau akta dibawah tangan
- Menyebutkan kompetensi relatif
- Menyebutkan identitas para pihak
- Menyebutkan objek dan jenis sengketa yang diperkarakan

11. Permohonan banding maupun kasasi diajukan paling lama dalam tenggang waktu setelah 14 hari putusan di terima para pihak yang berperkara

12. Conservatoir beslag : sita jaminan terhadap barang milik pihak tergugat

13. Revindikatoir beslag : sita jaminan terhadap barang penggugat yang dikuasai oleh tergugat atau pihak ketiga lainnya.

14. Executorial beslag adalah sita eksekusi yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Apabila sebelumnya telah diletakkan sita jaminan (conservatoir beslag).

15. Pan beslag adalah sita gadai yang diletakkan terhadap uang sewa dari benda-benda tak bergerak. Cnth : dalam sengketa hak sewa.

16. Maritaal beslag : sita terhadap harta bersama suami-istri

17. Alasan permohonan sita jaminan adalah :
- Ada persangkaan yang beralasan bahwa orang yang berhutang selama proses pemeriksaan perkara berupaya menggelapkan barang tetap maupun tidak tetap dengan maksud menjauhkan barang tersebut dari penagih hutang.

18. Alat-alat bukti dalam perkara perdata :
- Tulisan ;
- Saksi-saksi ;
- Persangkaan ;
- Pengakuan ;
- Sumpah.

19. Akta otentik adalah suatu akta yang dibuat oleh atau dihadapan seseorang pejabat umum yang berwenang untuk itu.

20. Tergugat yang dihukum dengna putusan diluar hadir (verstek) apabila tidak menerima putusan tersebut, maka dapat mengajukan upaya hukum verzet.

21. Pencabutan perkara perdata (gugatan) dapat dilakukan secara sepihak sepanjang Tergugat belum menyampaikan jawaban.

22. Perbedaan antara gugatan permohonan dengan gugatan voluntair adalah bahwa gugatan permohonan mengikat secara sepihak kepada pihak yang mengajukan yang produknya dalam bentuk penetapan, sedangkan gugatan voluntir mengandung sengketa antara dua pihak atau lebih yang produknya dalam bentuk putusan.

23. Apabila Penggugat telah dipanggil secara patut (dua kali berturut-turut) namun Penggugat tidak juga hadir dalam persidangan maka perkara akan diputus dengan putusan gugur, sebaliknya apabila Tergugat yang tidak hadir maka perkara akan diputus secara verstek.

24. Eksepsi dibagi dua, yakni :
- Eksepsi Kompetensi Absolut, adalah eksepsi yang menyangkut kewenangan badan peradilan, yang dapat diajukan oleh para pihak yang berperkara selama proses pemeriksaan berjalan, baik banding maupun kasasi.
- Eksepsi Kompetensi relatif harus diajukan pada jawaban pertama. Eksepsi ini terdiri dari :
a. Eksepsi Error in persona, eksepsi ini dapat dalam bentuk subyek/pihak-pihak yang digugat dan atau yang menggugat keliru/tidak berwenang.
b. Eksepsi plurium litis consortium, kesepsi ini adalah apabila pihak yang ditarik sebagai tergugat tidak lengkap.
c. Eksepsi Neb is in Idem (Res Judicata)
d. Eksepsi Obscuur libe (gugatan penggugat kabut/tidak jelas baik posita dan atau petitumnya).

25. Pengertian Unus testis nullus testis adalah larangan terhadap pengajuan saksi satu orang saja. Sedangkan pengertian Testimonium de Auditu adalah kesaksian yang diperoleh berdasarkan hasil pendengaran dari orang lain.

26. Dalam hal bukti akta asli tidak ada lagi (hilang) maka salinan lain yang dapat dijadikan bukti dengan kekuatan pembuktian yang sama, berturut-turut, yaitu :
- Grosse atau salinan yang pertama dikeluarkan ;
- Salinan yang dibuat dengan tidak ada bantuan hakim atau tidak dihadiri kedua belah pihak ;

27. Yang tidak dapat di dengar sebagai saksi, antara lain :
- Keluarga sedarah dan keluarga semenda salah satu pihak yang berperkara ;
- Istri atau suami salahs atu pihak meskipun sudah bercerai ;
- Anak-anak yang umurnya tidak diketahui dengan pasti bahwa mereka sudah berumur 15 tahun ;
- Orang gila, meskipun kadang-kadang ingatannya terang.

28. Yang dapat mengundurkan diri sebagai saksi, adalah :
a. Saudara dan ipar salah satu pihak, baik laki-laki maupun perempuan ;
b. Keluarga sedarah dalam garis lurus dan saudara laki-laki/perempuan dari suami/istri salah satu pihak yang berperkara ;
c. Orang yang karena kedudukannya dan pekerjaannya atau jabatannya yang sah, diwajibkan merahasiakan sesuatu karena jabatan/pekerjaannya tersebut.

29. Terhadap putusan perdamaian tidak dapat dimintakan banding.

30. Keputusan hakim yang dijatuhkan tanpa kehadiran, tidak boleh dijalankan sebelum empat belas hari sesudah pemberitahuan disampaikan.

31. Dalam tiap-tiap perkara tergugat berhak mengajukan tuntutan balik (rekonpensi), kecuali :
- Bila penggugat semula itu menuntut karena suatu sifat, sedang tuntutan balik itu mengenai dirinya sendiri ;
- Bila pengadilan negeri yang memeriksa tuntutan asal tak berhak memeriks tuntutan balik itu, berhubung dengan pokok perselisihan itu ;
- Dalam perkara perselisihan tentang pelaksanaan putusan hakim”.

32. Dalam hal pihak yang kalah tidak mau menjalankan putusan pengadilan, maka hakim menegur pihak yang kalah untuk melaksanakan putusan paling lama delapan hari sejak dilakukan peneguran tersebut.

33. Alasan kasasi, antara lain :
- Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang.
- Salah menerapkan hukum atau melanggar hukum yang berlaku.
- Lalai memenuhi syarat yang ditetapkan dalam undang-undang.

34. Alasan Peninjauan Kembali dalam perkara perdata, antara lain :
a. apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat yang diketahui setelah perkaranya diputus.
b. adanya bukti baru (novum).
c. apabila dikabulkan sesuatu hal yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih dari pada yang dituntut.
d. apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya.
e. Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama atas dasar yang sama oleh pengadilan diberikan putusna yang bertentangan satu dengan yang lain.
f. Apabila suatu putusan hakim terdapat kehilafan dan kekeliruan yang nyata.

35. Tenggang waktu untuk Peninjauan Kembali adalah 180 hari, untuk :
- Sejak diketahui adanya kebohongan.
- Sejak ditemukan bukti baru.
- Alasan PK sebagaimana Poin c, d,dan f sejak putusan berkekuatan hukum tetap
- Alasan poin e, sejak putusan yang terakhir itu telah berkekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan.

36. Syarat pemanggilan sidang yang sah harus dilakukan dengan urutan pemanggilan sebagai berikut :
- Pemanggilan disampaikan ke tempat tinggal Tergugat ;
- Apabila tergugat tidak diketahui, maka pemanggilan disampaikan kepada kepala desa tempat tergugat terakhir berdomisili ;
- Apabila kedua hal tersebut diatas juga tidak diketahui, maka pemanggilan dilakukan melalui pengumuman di pengadilan negeri setempat ;
- Terhadap tergugat yang berada di luar negeri, maka pemanggilan dilakukan melalui pemerintah (menteri luar negeri) untuk diterukan ke negara dimana Tergugat berada.

37. Jangka waktu pemanggilan, meliputi :
- 8 hari apabila jarak tempat tinggal tergugat tidak jauh dari Pengadilan Negeri yang akan memeriksa dan mengadili perkara ;
- 14 hari apabila tempat tinggal tergugat agak jauh dari Pengadilan Negeri yang akan memeriksa dan mengadili perkara ;
- 21 hari apabila jarak tempat tinggal Tergugat jauh dari Pengadilan Negeri ;

catatan : Dalam hal sidang dilakukan dalam keadaan mendesak maka pemanggilan tidak boleh kurang dari 3 hari.

38. Jawaban (eksepsi) terhadap gugatan, dibagi dua :
- Eksepsi yang menyangkut kewenangan relatif hanya dapat diajukan pada saat jawaban pertama ;
- Eksepsi yang menyangkut kewenangan absolut dapat diajukan setiap saat selama proses berperkara.

39. Terhadap Putusan perdamaian tidak dapat dimintakan banding, karena putusan perdamaian mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (in Krcaht van gewijde).

40. Tergugat berhak mengajukan gugatan rekonpensi dalam suatu gugatan, kecuali dalam hal :
- Kalau Penggugat mengajukan gugatan karena suatu sifat, sedangkan gugatan baliknya mengenai dirinay sendiri ;
- Kalau Pengadilan Negeri yang memeriksa gugatan a-quo tidak berhak untuk memeriksa gugatan balik berhubungan dengan pokok perkaranya ;
- Dalam perkara tentang perselisihan menjalankan keputusan hakim.
- Jika dalam pemeriksaan pertama tidak diajukan gugatan balik, maka pada pemeriksaan tingkat banding gugatan balik tidak dapat diajukan.

41. Pengertian testimodium de auditu adalah kesaksian yang didasarkan pada hasil pendengaran dari orang lain, artinya saksi tidak melihat dan mengalami sendiri tentang peristiwa yang menjadi sengketa.

42. Permohonan provisos adalah permohonan yang diajukan yang berisi tindakan hukum sementara, cnth : permohonan agar menghentikan pembangunan di lahan sengketa selama pemeriksaan perkara masih berjalan atau selama belum ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

43. Permohonan sita terhadap benda/barang apapun diperkenankan, kecuali pensitaan terhadap barang-barang yang sekiranya dipergunakan untuk kebutuhan sehari-hari atau barang-barang yang merupakan alat untuk mata pencaharian.

44. Gugatan Class Action (CA) yakni gugatan yang didasarkan pada kepentingan yang sama, berkenaan dengan fakta atau dasar hukum yang sama dan kesamaan tuntutan hukum.

45. Syarat-syarat untuk adanya gugatan nebis in idem, antara lain : Objek tuntutan sama, Alasan (dasar hukum) yang sama, Subjek gugatan sama.

46. Syarat substansi gugatan :
- Identitas para pihak
- Posita (fundamentum petendi)
- Petitum.

47. Perbaikan gugatan diperkenakan sepanjang tidak merugikan tergugat dalam membela haknya. Dalam hal Penggugat ingin mengadakan perubahan gugatan setelah Tergugat memberikan jawaban, maka terlebih dahulu harus meminta ijin kepada Tergugat.




Hukum Acara Pidana

1. Alat bukti dalam perkara pidana, berupa :
- Keterangan saksi ;
- Keterangan ahli ;
- Surat ;
- Petunjuk ;
- Keterangan Terdakwa.

2. Fungsi pra-peradilan, antara lain :
- sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan.
- Ganti rugi dan rehabilitasi.

3. Putusan pra-peradilan tidak dapat dimintakan banding. Putusannya berbentuk penetapan.

4. Dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa pengadilan, sedangkan pemeriksaan praperadilan belum selesai, maka dengan sendirinya permintaan pra peradilan tersebut gugur.

5. Seorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila telah diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum, yang putusannya telah berkekuatan hukum tetap.

6. Peradilan koneksitas adalah peradilan yang tindak pidananya dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer.
7. Tenggang waktu penahanan, meliputi :
1) Penyidik ------------------------------------- 20 hari
2) Diperpanjang Penuntut umum ----------- 40 hari
3) Penuntut Umum ---------------------------- 20 hari
4) Diperpanjang Ketuan PN ------------------ 30 hari
5) Hakim PN yang memeriksa perkara ----- 30 hari
6) Diperpanjang Ketua PN ------------------- 60 hari
7) Hakim PT ----------------------------------- 30 hari
8) Diperpanjang Ketua PT ------------------- 60 hari
9) Hakim MA ----------------------------------- 50 hari
10) Diperpanjang Ketua MA ------------------ 60 hari

8. Penggeledaan, dapat dilakukan dengan syarat :
- Ada Surat ijin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat.
- Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh dua orang saksi dalam hal pemilik rumah atau tersaksa menyetujui.
- Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh Kepala desa atau Ketua lingkungannya dengan dua orang saksi dalam hal pemilik rumah atau tersangka menolak atau tidak hadir.

9. Dalam waktu 2 hari setelah dilakukan penggeledaan, maka dibuat berita acaranya yang turunanya disampaikan kepada tersangka atau pemlik rumah yang bersangkutan.

10. Kecuali dalam hal tertanggap tangan, penyidik dilarang memasuki :
- Ruang sedang berlangsungnya sidang MPR, DPR, dan DPRD.
- Tempat sedang berlangsung ibadah keagamaan.
- Ruang dimana sedang berlangsung sidang pengadilan.

11. Yang dapat dikenakan penyitaan adalah :
- Benda atau tagihan tersangka yang diduga sebagian atau seluruhnya diperoleh dari tindak pidana.
- Benda yang dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana.
- Benda yang digunakan untuk menghalang-halangi tindakan penyidikan.
- Benda yang khusus dibuat dan diperuntuhkan untuk melakukan tindak pidana
- Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.

12. Penyidik adalah kepolisian dan atau PNS yang diangkat menurut ketentuan UU

13. Penyelidik adalah kepolisian

14. Penangkapan dapat dilakukan untuk paling lama satu hari

15. Jenis penahan, meliputi :
- Penahanan rumah ;
- Penahanan rumah tahanan negara ; dan,
- Penahanan kota.

16. Hal-hak tersangka atau terdakwa :
- Berhak segera mendapat pemeriksaan.
- Berhak untuk diberitahukan secara jelas tentang apa yang disangkakan atau didakwakan padanya.
- Berhak memberikan keterangan secara bebas
- Berhak mendapat bantuan hukum
- Berhak mendapat bantuan hukum cuma-cuma dalam hal terdakwa dituntut/ diancam pidana lima belas tahun atau lebih.
- Berhak mendapat juru bahasa dalam hal tersangka atau terdakwa tidak mengerti.
- Tersangka atau terdakwa yang ditahan berhak diberitahukan kepada keluarganya atau orang lain yang serumah denganya tentang penahanan itu.




HUKUM ACARA P. H. INDUSTRIAL

1. Perundingan Bipartite maksimal 30 hari lamanya.
- Konsiliasi maksimal 30 hari lamanya.
- Arbitrase maksimal 30 hari lamanya.
- Ditingkat Pengadilan Negeri (PHI) 50 hari lamanya.
- Ditingkat MA maksimal 30 hari lamanya.

2. Jenis perselisihan hubungan industrial, mencakup :
- Perselisihan hak ;
- Perselisihan kepentingan ;
- Perselisihan PHK ;
- Perselisihan antara serikat pekerja.

3. PHI berwenang untuk mengadili perkara :
- Ditingkat pertama mengenai perselisihan hak ;
- Ditingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan ;
- Ditingkat pertama mengenai PHK ;
- Ditingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antara serikat pekerja dalam satu perusahaan.

4. Mahkamah Agung berwenang mengadili perkara :
- Mengenai perselisihan hak ;
- Mengenai perselisihan PHK.

5. Setiap perundingan Bipartit harus dibuat risalah yang ditandatangani para pihak.

6. Dalam hal perselisihan hubungan industrial ditingkat tripartit (mediasi), maka mediator harus mengeluarkan anjuran tertulis kepada para pihak paling lambat 30 hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan.

7. Apabila penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi gagal, maka para pihak berhak untuk memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase.

8. Dalam hal salah satu pihak menolak anjuran dari pihak Mediator, maka dapat mengajukan gugatan.

9. Gugatan perselisihan hubungan industrial diajukan kepada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat pekerja/buruh.

10. Gugatan pekerja atas PHK hanya dapat diajukan dalam tenggang waktu 1 (satu) tahun sejak diberitahukanya keputusan oleh pihak pengusaha.

11. Gugatan harus dilampiri risalah penyelesaian melalui mediasi.

12. Hakim berkewajiban memeriksa isi gugatan, dan bila terdapat kekurangan, maka hakim meminta penggugat untuk menyempurnakannya.

13. Gugatan yang diajukan lebih dari satu penggugat dapat diajukan secara kolektif dengan memberikan kuasa khusus.

14. Dalam hal perselisihan hak dan atau perselisihan kepentingan diikuti dengan perselisihan PHK, maka Pengadilan Hubungan Industrial wajib terlebih dahulu memutus terlebih dahulu perkara perselisihan hak dan atau perselisihan kepentingan.

15. Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu selambat-lambatnya 7 tujuh) hari kerja setelah menerima gugatan harus sudah menetapkan majelis hakim yang terdiri dari satu orang hakim sebagai ketua majelis dan dua orang hakim ad-hoc.

16. Dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah sejak penetapan majelis hakim, maka ketua majelis hakim harus sudah melakukan sidang pertama.

17. Sidang sah apabila dilakukan oleh Majelis Hakim.

18. Dalam hal para pihak tidak hadir, maka ditetapkan sidang berikutnya paling lama selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal penundaan.

19. Penundaan ketidakhadiran salah satu pihak atau para pihak diberi sebanyak dua kali penundaan.

20. Apabila dalam persidangan pertama, secara nyata-nyata pihak pengusaha terbukti tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 153 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003, maka Hakim Ketua harus menjatuhkan putusan sela berupa perintah kepada pengusaha untuk membayar upah beserta hak-hak lainnya yang bisa diterima pekerja yang bersangkutan.

21. Dalam hal selama pemeriksaan sengketa masih berlangsung dan putusan sela tidak juga dilaksanakan oleh pengusaha, maka Ketua Majelis sidang memerintahkan Sita Jaminan dalam sebuah Penetapan Pengadilan Hubungan Industrial.

22. Terhadap Putusan sela tidak dapat diajukan perlawanan dan atau tidak dapat digunakan upaya hukum.

23. Apabila terdapat kepentingan mendesak dari para pihak dan atau salah satu pihak, maka dapat dimohonkan pemeriksaan sengketa dipercepat.

24. Dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah diterimanya permohonan pemeriksaan cepat, Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan atau tidaknya permohonan.

25. Dalam hal dikabulkannya permohonan pemeriksaan cepat, Ketua Pengadilan Negeri dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah dikeluarkannya penetapan, menentukan majelis hakim, hari, tempat dan waktu sidang tanpa melalui proses pemeriksaan.

26. Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian kedua belah pihak, masing-masing ditentukan tidak melebihi 14 (empat belas) hari kerja.

27. Selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah salinan putusan ditandantangani, panitera muda harus sudah menerbitkan salinan putusan.

28. Putusan PHI mempunyai kekuatan hukum tetap apabila tidak diajukan kasasi dalam tenggang waktu selambat-lambatnya 14 (hari), sejak :
§ Putusan dibacakan dalam sidang majelis, (bagi pihak yang hadir) ; dan,
§ Tanggal menerima pemberitahuan putusan (bagi yang tidak hadir).

29. Tenggang waktu penyelesaian perselisihan hubungan industrial tidak boleh lebih dari 140 hari





HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA

1. Wewenang absolut peradilan agama, mencakup :
- Perkawinan.
- Kewarisan, wasiat, hibah yang dilakukan berdasarkan hukum islam.
- Wakah dan sodaqah.

2. Wewenang relatif (pengadilan agaman mana yang berwenang mengadili perkara), dalam hal :
- Cerai talak (suami pemohon), apabila termohon sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa ijin pemohon atau termohon bertempat tinggal di luar negeri, maka gugatan diajukan di pengadilan agama tempat pemohon berada ;
- Cerai gugat (istri pemohon), gugatan diajukan di pengadilan agama tempat penggugat berada, tetapi apabila penggugat sengaja meninggalkan tempat tinggal bersama tanpa ijin tergugat, maka gugatan diajukan di pengadilan agama dimana tergugat berada.
- Dalam hal termohon atau pemohon berada di luar negeri maka gugatan diajukan di tempat peradilan agama yang mewilayahi perkawinan dahulu dilangsungkan.

3. Alasan-alasan perceraian, dapat berupa :
- salah satu pihak dipidana.
- tergugat megnalami cacat badan atau penyakit.
- Syqaq (ribut terus menerus).
- zina

4. Pembuktian dalam hal perceraian yang didasarkan pada alasan rebut terus menerus (syqaq), maka saksi yang didegar adalah keluarga yang terdekat dan berasal dari suami istri.

5. Putusan peradilan agama dimulai dengan kalimat “Bissmillahirrahmanirrahim”.





HUKUM ACARA PERADILAN MILITER

1. Penyidiknya adalah atasan yang berhak menghukum (ANKUM), Polisi Militer dan Oditur Militer. Sedangkan pembantu penyidik adalah provost angkatan. Penuntutnya adalah Oditur Militer.

2. Maksimal penahanan pada peradilan militer adalah 200 hari.

3. Kewenangan Polisi MIliter adalah :
- Melakukan penyidikan.
- Upaya paksa terbatas.
- Melakukan penahanan.
- Melakukan penggeledaan.

4. Kewenangan Atasan yang berhak Menghukum (ANKUM) adalah :
- Memerintahkan dan mengatur satuan yang berada dibawah wewenangnya.
- Memeriksa dan menjauthkan hukuman disiplin.
- Melakukan epmeriksaan prajurit yang berada dalam wewenangnya.
- Penahanan justitisial selama 20 hari, termasuk penangguhan penahanan.

5. Pejabat penyerah perkara (PAPERA) kewenangan adalah :
- Melimpahkan perkara ke Pengadilan Militer.
- Menutup perkara untuk kepentingan umum atau militer.
- Memberikan perpanjangan penahanan 6 X 30 hari




KODE ETIK ADVOKAT

1. Pengaduan terhadap advokat sebagai teradu harus disampaikan secara tertulis kepada Dewan Kehormatan Pimpinan Cabang/Daerah atau DPP.

2. Setelah pengaduan tertulis diterima oleh Dewan kehormatan cabang/daerah/ pusat, maka selambat-lambatnya dalam waktu 14 hari dewan kehormatan meyampaikan kepada teradu (advokat ybs) tentang adanya pengaduan tersebut.

3. Selambat-lambatnya dalam tenggang waktu 21 hari teradu harus harus memberikan jawabn tertulis kepada Dewan Kehormatan Cabang/Daerah yang bersangkutan.

4. Dalam hal advokat yang bersangkutan tidak mengirimkan jawabannya, maka Dewan Kehormatan mengirimkan pemberitahuan kedua dengan peringatan bahwa dalam tenggang waktu 14 hari teradu belum menjawab, maka advokat ybs dianggap melepaskan hak jawabnya.

5. Besar honorarium advokat ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara advokat ybs dengan klien.

6. Dewan kehormatan advokat ditingkat daerah bertugas mengadili pada tingkat pertama pelanggaran kode etik dan dewan kehormatan pusat mengadili pada tingkat banding dan terakhir.

7. Sidang dewan kehormatan mengambil putusan yang dapat berupa :
- Menyatakan pengaduan tidak dapat diterima.
- Menerima pengaduan.
- Menolak pengaduan.

8. Sanksi (hukuman) yang diberikan dalam hal advokat terbukti melanggar kode etik, dapat berupa :
- Peringatan biasa (diberikan apabila sifat pelanggaran tidak berat).
- Peringatan keras (diberikan apabila sifat pelanggaran berat atau mengulangi kembali melanggar kode etik).
- Pemberhentian sementara waktu (diberikan apabila tidak mengindahkan kode etik dan telah pernah mendapat peringatan keras sebelumnya).
- Pemecatan keanggotaan organisasi profesi (diberikan apabila pelanggaran kode etik yang dilakukan dimaksudkan untuk merusak citra serta martabat profesi advokat).

9. Dalam waktu 14 hari setelah keputusan sidang kode etik diucapkan, maka salinan putusan disampaikan kepada :
- Teradu (advokat ybs).
- Pengadu.
- Dewan Pimpinan Cabang.
- Dewan Pimpinan Pusat.
- Dan instansi lainnya yang dianggap perlu
10. Dalam hal pengadu atau teradu tidak puas dengan hasil keputusan sidang kode etik, maka dapat diajukan banding beserta memori banding yang sifatnya wajib, dalam waktu 21 hari sejak diterimanya salinan keputusan.

11. Beberapa aturan kode etik :
- Advokat dalam perkara-perkara perdata harus mengutamakan penyelesaian dengan jalan damai.
- Advokat dilarang memberikan keterangan yang menyesatkan kepada klien tentang perkara yang ditangani.
- Advokat dilarang menjamin kepada klien bahwa perkara yang ditangani akan menang.
- Advokat harus menolak mengurus perkara yang menurut keyakinannya tidak ada dasar hukumnya.
- Advokat wajib memegang rahasia jabatan.
- Advokat tidka diperkenankan melepaskan tugas yang dibebankan pada saat situasi yang tidak menguntungkan.
- Advokat tidak diperkenankan merebut klien teman sejawat.
- Keberatan terhadap tindakan teman sejawat tidak diperkenankan untuk disiarkan di media massa.




HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

1. Pihak yang dapat mengajukan gugatan tata usaha negara adalah seseorang atau badan hukum yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan tata usaha negara

2. Alasan-alasan gugatan tata usaha dapat berupa :
- Keputusan tata usaha negara yang bersangkutan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
- Pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan keputusan tersebut, telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain.

3. Keputusan tata usaha negara adalah keputusan yang bersifat kongkrit, individual dan final.

4. Yang tidak termasuk dalam keputusan tata usaha negara adalah :
- Keputusan tata usaha negara yang merupakan perbautan hukum perdata.
- Keputusan tata usaha negara yang bersifat pengaturan umum.
- Keputusna tata usaha negara yang masih memerlukan persetujuan.
- Keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan berdasarkan KUHPidana atau peraturan perundang-undangan dibidang pidana lainnya.
- Keputusan tata usaha negara ABRI.
- Keputusan panitia pemiihan baik pusat maupun daerah.

5. Gugatan tata usaha negara diajukan ke pengadilan yang mewilayahi tempat tinggal Tergugat. Apabila tergugat lebih dari satu badan maka gugatan diajukan di pengadilan di tempat salah satu tergugat. Apabila tergugat maupun penggugat berada di luar negeri maka gugatan diajukan di pengadilan tata usaha negara Jakarta.

6. Gugatan tata usaha negara hanya dapat diajukan dalam tenggang waktu 90 hari terhitung saat diterimanya atau diumumkannya keputusan tata usaha negara tersebut.

7. Disnissal proses adalah proses pemeriksan persiapan oleh hakim untuk memeriksa gugatan yang kurang jelas, dalam hal ada kekurangan maka hakim wajib memberi nasihat kepada penggugat untuk memperbaiki atau menyempurnakan gugatan dalam jangka waktu 30 hari.

8. Dalam jangka waktu 30 penggugat tidak melakukan penyempurnaan gugatan, maka hakim yang memeriksa perkara memberikan putusan dengan gugatan tidak dapat diterima. Terhadap putusan yang demikian tidak dapat diajukan banding, melainkan penggugat harus mengajukan gugatan baru.

9. Pengajuan gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya keputusan tata usaha negara yang bersangkutan. Penggugat dapat memohon untuk penundaan pelaksanaan putusan sampai dengan adanya keputusan yang berkekuatan hukum tetap.

10. Permohonan penundaan pelaksanaan keputusan tata usaha negara yang digugat dapat dikabulkan hanya apabila terdapat keadaan yang sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingan penggugat sangat dirugikan jika keputusan tata usaha negara yang bersangkutan dilaksanakan. Permohonan tidak dikabulkan apabila kepentingan umum yang mengharuskan dilaksanakannya keputusan tersebut.

11. Yang tidak boleh didengar sebagai saksi dalam pemeriksaan perkara tata usaha negara adalah :
- keluarga sedarah atau semenda menurut garis keturunan lurus keatas dan kebawah samapi derajat kedua.
- Istri atau suami dari salah satu pihak ayng berperkara meski telah bercerai.
- Anak yang belum berusia 17 tahun.
- Orang yang sakit ingatan.

12. Orang yang dapat mengundurkan diri sebagai saksi :
- saudara laiki-laki atua perempuan, ipar laki-laki atau perempuan dari salah satu pihak yang berperkara.
- Setiap orang yang karena martabat, pekerjaab dan jabatannya diwajibkan merahasiakan segala sesuatu tentang martabat atau pekerjaannya tersebut.

13. Putusan pengadilan tata usaha negara dapat berupa : gugatan ditolak atau gugatan dikabulkan, atau gugatan tidak diterima atau gugatan gugur.

14. Dalam hal gugatan tata usaha negara dikabulkan, maka pejabat TUN berkewajiban :
- mencabut keputusan yang bersangkutan.
- Mencabut keputusan tata usaha negara yang bersangkutan dengan menerbitkan keputusan tata usaha yang baru.
- Kewajiban tersebut dapat disertai ganti rugi.

15. Pemeriksaan cepat dimungkinkan dalam mengajukan gugatan tata usaha negara, dalam hal :
- Apabila terdapat kepentingan penggugat yang cukup mendesak. Dalam waktu 14 hari setelah Ketua Pengadilan menerima permohonan pemeriksaan cepat tersebut, maka mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan atau ditolaknya permohonan penggugat tersebut.

16. Pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan dengan hakim tunggal.

17. Alat bukti dalam perkara tata usaha negara, berupa : surat, keterangan ahli, keterangan saksi, pengakuan dan pengetahuan hakim.

18. Dalam waktu 4 bulan setelah keputusan tata usaha negara memperoleh kekuatan hukum tetap dan mengabulkan permohonan penggugat, maka keputusan tata usaha negara ybs tidak mempunyai kekuatan mengikat lagi.

19. Dalam hal tergugat ditetapkan melaksanakan kewajiban dan kemudian setelah 3 bulan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka penggugat mengajukan permohonan ke ketua pengadilan tata usaha negara yang bersangkutan.

20. JIka tergugat masih tetap tidak melaksanakan kewajibannya, maka ketua pengadilan mengajukan hal ini kepada atasannya menurut jenjang jabatan, dan dalam waktu 2 bulan sejak jejang atasa menerima pemberitahuan dari ketua pengadilan tata usaha negara harus sudah memerintahkan pejabata tata usaha negara ybs untuk melaksanakan kewajibannya.

21. Dalam hal instansi atasan juga tidak mengindahkan pemberitahuan ketua pengadilan tersebut, maka ketua pengadilan mengajukan hal tersebut kepada presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi pemerintahan.



Note :
Materi soal-soal ujian ini penyusun sampaikan
pada acara latihan menjawab soal bagi calon advokat tahun 2007 di Jakarta

KDRT ARTICLE

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA BERBASIS GENDER
(Suatu Kajian Normatif Terhadap UU No. 23 Tahun 2004
Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga)
By. Agus P. Pasaribu, S.H.




I. Pendahuluan
Kekerasan dalam rumah tangga (Domestic Violance) sebagai salah satu tindak pidana yang merupakan genus dari tindak pidana tertentu yang diatur oleh KUHP. Lahirnya UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang merupakan dimensi baru hukum positif kita sebagai hukum yang bersifat “lex spesialis’ dari Kitab Undang Undang Hukum Pidana yang bersifat ‘lex generalis’. Kekerasan dalam rumah tangga sebagai tindak pidana yang berbasis gender dewasa ini sangat memprihatinkan, karena secara kwalitatif maupun kwantitatif meningkat dari waktu ke waktu, sebagaimana pemberitaan massa media, elektronik, maupun berdasarkan laporan penelitian lembaga pemerhati sosial yang ada. Kenyataan empiris ini menggambarkan kompleksitas budaya masyarakat kita pada masa ini dan dimasa mendatang.
Pada dasarnya kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi dimasyarakat kita lebih dititiberatkan oleh faktor budaya bangsa yang masih menganut paham tiadanya kesetaraan antara kaum wanita dengan pria. Dimana masih mendominasinya kaum pria dalam berbagai aspek kehidupan, sehingga dalam berbagai kasus justru selalu menempatkan gender pada posisi lemah dan bersalah. Belum lagi, budaya kita yang cenderung menutup-nutupi tindak pidana yang demikian itu makanala terjadi di masyarakat, dengan berbagai alasan yang dikemukakan, semisal adanya anggapan bahwa kekerasan dalam rumah tangga dianggap tabuh atau aib untuk diperbincangkan atau dengan lain perkataan, kekerasan dalam rumah tangga dipandang sebagai masalah pribadi oknum yang bersangkutan (privasi), sehingga tidak patut diketahui oleh orang lain (baca : masyarakat). Pandangan yang demikian telah lama terbentuk dan melekat pada masyarakat kita, sehingga jika ditelisik lebih jauh, sebenarnya maka masih banyak kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga yang belum dapat diungkap.
Sementara itu dari sisi yuridis, alternatif pemecahan masalah kekerasan dalam rumah tangga biasanya ditempuh gender selaku korban dengan jalan mengajukan gugatan perdata melalui pengadilan dalam bentuk gugatan cerai. Sedangkan upaya hukum pidananya, sangat sedikit korban yang mempunyai keberanian untuk mengajukan. Pengajuan upaya hukum pidana ini pun bukan tidak beresiko terhadap si korban, karena praktis hukum pidana yang kita anut masih belum secara untuh memberikan perlindungan terhadap korban. Adakalanya, pihak korban seringkali menanggung berbagai resiko intimidasi akibat upaya hukum pidana yang ditempuh, baik itu dari keluarga si pelaku maupun ancaman dari pelakunya sendiri.
Dalam berbagai kasus jenis kekerasan yang berbasis gender, seperti perkosaan, pelacuran, pronografi, pelecehan seksual dan sebagainya, ternyata yang paling menonjol saat ini adalah kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence) yang dapat digolongkan kepada tindak kejahatan seperti pemukulan dan serangan fisik dalam rumah tangga (Rika, S., 2006 : 16). Kekerasan yang demikian, seringkali dibarengi pula dengna kekerasan yang menitiberatkan pada aspek psikologis, misalnya : masalah penafkahan, intimidasi (terror) dan atau tindakan lainnya yang mengancam kejiwaan orang lain secara psikologis.



II. Fakta Empiris Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Kekerasan dalam rumah tangga berbasis gender berdasarkan Laporan Komisi Perempuan Indonesia menunjukkan bahwa kasus demi kasus dalam setiap tahunnya semakin meningkat tajam. Sebagai perbanding, bahwa pada tahun 2002 jumlah kasus kekerasan dalam rumah tangga yang berbau gender berdasarkan hasil laporan, temuan, maupun lainnya sebesar 3160 kasus. Namun pada tahun berikutnya, yakni tahun 2003 jumlah kasus kekerasan yang berbau gender menjadi sebanyak 5.163 kasus, sedangkan selama tahun 2004 jumlah kekerasan yang berbau gender ditemukan sebanyak 7.787 kasus. Pada perkembangan lebih lanjut, tahun 2005 diperoleh data bahwa kekerasan berbau gender sebanyak 14.020 kasus. Berdasarkan hasil penelitian lembaga pemerhati sosial diperoleh data bahwa dari 14.020 kasus yang berbau gender tersebut, sebanyak 4310 kasus (31 %) diantaranya merupakan kekerasan dalam rumah tangga (The Jakarta Post : Wednesday, 9 March 2005).
Berdasarkan data lapangan tersebut diatas, dikaitkan dengan perolehan data kwantitaif dari lembaga “Rifka Anissa Women’s Crisis Center”, menunjukkan hasil bahwa dari tahun 1994 sampai dengan tahun 2003 kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga sebanyak 1511. Perkembangan kasus kekerasan dalam rumah tangga bukan saja dari segi kwalitas, namun juga kwantitas, yang sekali lagi tentu membuat kita tercengang. Sebagai perbandingan, dirinci data Kekerasan Dalam Rumah Tangga berikut : bahwa dari 1511 kasus, pada tahun 1994 hanya ditemukan sebanyak 18 kasus, tahun 1995 sebanyak 82 kasus, tahun 1996 sebanyak 134 kasus, tahun 1997 sebanyak 188 kasus, tahun 1998 sebanyak 208 kasus, sedangkan pada tahun 1999 sebanyak 282 kasus. Pendeskripsian ini secara sosiologis membuktikan bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan tindak pidana yang patut diperhitungkan serta dibutuhkan pencarian solusi yang signifikan, sehingga dapat berkurang.
Sehubungan dengan disahkannya UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, maka kekerasan dalam rumah tangga berbasis gender dewasa ini tidak dapat lagi dipandang sebagai persoalan yang menyangkut privasi antara korban dengan pelaku. Melainkan, sebagaimana amanat yang terkandung dalam UU tersebut, telah secara limitative menyatakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga telah menjangkau ranah publik yang dianggap sebagai permasalahan bersama.
Sebagaimana contoh delik (tindak pidana) yang dianggap sebagai bagian dari kekerasan dalam rumah tangga adalah apa yang diatur pada pasal 5 UU No. 23 tahun 2004, antara lain, dikutib bunyinya :
Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkungan rumah tangganya, dengan cara :
a. kekerasan fisik ;
b. kekerasan psikis ;
c. kekerasan seksual ;
d. penelantaran rumah tangga.”

Mencermati isi ketentuan pasal 5 tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga sudah dipandang sebagai permasalahan hukum yang menyangkut hukum publik antara negara dengan warga negaranya, baik berdasarkan aspek sosiologis maupun yuridis, hal ini ditandai pula dengan ketentuan pasal 15 yang menegaskan :
“Setiap orang yang mendegar, melihat atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk :
a. mencegah berlangsungnya tindak pidana ;
b. memberikan perlindungan kepada korban ;
c. memebrikan pertolongan darurat ; dan
d. membantu proses pegnajuan permohonan penetapan perlindungan.”

Sejalan dengan ketentuan pasal 5 Jo pasal 15 UU No. 23 tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga tersebut diatas, dalam kaitannya dengan pasal-pasal KUHP yang pada asasnya menentukan bahwa “Setiap orang yang membiarkan terjadinya tindak pidana akan dikenakan pidana,” Dengan demikian, perumusan pasal-pasal mengenai kekerasan dalam rumah tangga, sebagaimana UU No. 23 tahun 2004 secara jelas mengisyaratkan dan mengamanatkan bahwa setiap orang berhak untuk mengajukan pengaduan dan atau laporan tentang terjadinya suatu tindak pidana yang berkenaan dengan kekerasan rumah tangga, apakah itu terhadap gender maupun anak.
III.Aspek-Aspek Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut UU No. 23 Tahun 2004
Lingkup rumah tangga dalam UU No. 23 Tahun 2004 bukan saja hanya menyangkut suami, istri, dan anak, melainkan pula pihak-pihak yang dipandang mempunyai hubungan keluarga, apakah itu pertalian darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, serta perkawinan yang menetap dalam rumah tangga yang bersangkutan, termasuk juga orang yang membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tersebut (lih. perumusan pasal 2 UU No. 23 Tahun 2004), sehingga konsekwensi penetapan ruang lingkup tersebut, sebenarnya secara sosiologis telah menjangkau masyarakat luas, dengan harapan harapan agar semakin meminimalisir timbulnya kekerasan dalam rumah tangga.
Menurut ketentuan pasal 1 ayat (1) UU No. 23 tahun 2004 secara defenitif telah memberikan ruang lingkup dan batasan apa yang dimaksud dengan kekerasan dalam rumah tangga, isinya dikutib sebagai berikut :
“Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaraan rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkungan rumah tanga.”

Sejalan dengan penegasan diatas, kekerasan dalam bentuk psikis diatur pada pasal 7, yang menyatakan :
Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan atau penderitaan psikis berat pad aseseorang.”

Mengenai kekerasan dalam bentuk psikis ini, secara faktual adalah kekerasan (tindak pidana) terselubung yang paling banyak terjadi, namun hal ini masih kurang disadari oleh masyarakat dan kurang mendapat perhatian, sehingga tidak jarang bahwa kekerasan yang demikian itu dalam masyarakat kita telah terbentuk opini bahwa kekerasan yang bersifat psikis bukan merupakan delik atau tindak pidana yang patut mendapat sanksi.
Berdasarkan pendefenisian kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana cakuban pasal 1 ayat (1) Jo. pasal 5 dan pasal 7 UU No. 23 tahun 2004, pengaturan kekerasan dalam rumah tangga tidak semata-mata dan serta merta hanya ditujukan kepada gender maupun anak-anak, melainkan juga lelaki dewasa. Fakta selama ini bahwa pihak yang banyak mengalami korban kekerasan dalam rumah tangga adalah kaum gender (khususnya istri). Hal ini dikarenakan kaum gender dalam masyrakat kita masih berada dalam kelompok subordinasi yang dipandang belum mempunyai kesetaraan sosial dibandingkan kaum pria, sehingga budaya yang demikian sangat berpeluang besar menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga dalam skala besar. Faktor budaya patriaki secara ideologis sedikit banyaknya dipengaruhi oleh produk perundang-undangan kita, contohnya pada masa penjajahan dimana pemberlakuan pasal-pasal KUH Perdata yang menempatkan perempuan dibawah penguasaan suaminya, sehingga dalam hal perempuan akan melakukan suatu perbuatan hukum, maka terlebih dahulu harus mendapat ijin dari suami. Penerapan pasal ini sudah lama berlangsung sehingga cenderung sudah menjadi budaya, meskipun memang secara yuridis normatif pasal yang demikian itu sudah tidak diberlakukan lagi.
Pada konteks lainnya, budaya patriaki secara yuridis masih tersurat dan tersirat dalam UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Dimana pada pasal 31 ayat 3 misalnya, dikutib bunyinya :
“Suami adalah kepala keluarga dan ibu adalah ibu rumah tangga.”
Ketentuan pasal tersebut, di dalam masyarakat kita menimbulkan opini yang sangat sulit dirubah bahwa suami mempunyai kekuasaan yang jauh lebih besar dari pada istri, sehingga suami dipandang berhak memaksakan kehendaknya yang cenderung akan menghasilkan kekerasan terhadap istri. Ada kecenderungan dari masyarakat yang selalu menyalahkan gender selaku korban, hal ini dipengaruhi oleh nilai-niali masyarakat yang selalu harmonis, dalam hal berbicara kedudukan suami dalam suatu rumah tangga. Walaupun kejadiannya dilaporkan, usaha untuk melindungi gender selaku korban dan menghukum pelakunya, seringkali mengalami kesulitann karena kekerasan dalam rumah tangga khususnya terhadap perempuan tak pernah dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia (ITA, F. Nadia, 1992 : 2).
Faktor lain yang dapat menyebabkan timbulnya kekerasan dalam rumah tangga adalah permasalahan jenjang pendidikan kaum istri (gender) yang rendah dan masalah srata ekonomi. Berbagai alasan sering mengemukan mengapa suami seringkali melakukan kekerasan dalam rumah tangga, misalkan saja disebutkan disini bahwa suami melakukan perselingkungan dengan wanita lain, karena malu bahwa istrinya berpendidikan rendah. Ketika diketahui oleh istrinya, malah istri itu sendiri yang justru diperlakukan oleh suami dengna kekerasan (Pikiran Rakyat, 21 April 2007, Laporan P2TP2 Kota Bandung).
Ada pula anggapan lain bahwa kekerasan dalam rumah tangga murni merupakan urusan intim antara pihak suami dengan istri yang bersangkutan, sehingga hukum yang terikat adalah hukum perkawinan yang bersifat keperdataan, tanpa melihat aspek pidananya. Dengan demikian, tatkala terjadi pelanggaran hubungan antar individu, maka penyelesaiannya adalah dengan mengajukan gugatan perdata melalui Pengadilan.
Dengan meningkatnya angka kasus-kasus berkenaan dengan kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana yang penulis paparkan sebelumnya, maka tuntutan masyarakat dewasa ini semakin mengharapkan adanya upaya hukum pidana yang harus ditegakkan, terutama hukum posistifnya, sebagaimana yang tercermin dalam UU No. 23 tahun 2004 Jo. Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 89 dan 90 yang selama ini hanya mengatur kekerasan dalam bentuk fisik semata. Lahirnya UU No. 23 tahun 2004 tentang KDRT maka diharapkan tindak pidana yang berhubungan dengan kekerasan dalam rumah tangga dapat dijangkau secara luas tanpa terkecuali.
Pada umumnya akibat dari kekerasan dalam rumah tangga, korban lebih memilih upaya perceraian daripada harus menyelesaikannya melalui jalur hukum pidana. Hal ini disebabkan karena, lambannya proses penanganan perkara pidana di Indoensia, belum lagi tidak adanya jaminan kepastian hukum. Berdasarkan hasil penelitian di Yogyakarta beberapa waktu lalu berkenaan dengan tentang solusi yang dipilih korban kekerasan dalam rumah tangga berbasis gender diketahui bahwa mulai dari tahun 2001 sampai tahun 2003, sebagai berikut : 74 orang bertahan dalam keluarga, 179 orang bercerai, 43 orang bermusyawarah, dan 15 orang melapor ke pihak kepolisian (Litbang RAWCC dalam Rika, S, 2006 :1).
Namun dibalik perceraian yang dianggap solusi terbaik bagi kaum gender (istri), pada realitasnya tidak semudah yang dibayangkan, karena dengan bercerai maka pihak istri secara otomatis akan menjadi tumpangan ekonomi bagi keluarga dan anak-anaknya, jika hakim memutuskan bahwa anak-anaknya berada dibawah pengasuhan istri. Belum lagi, secara psikologis beban yang ditanggung kaum istri (gender) dalam hal terjadinya perceraian akan lebih berat karena status janda di masyarakat kita telah terlanjur dinilai dengna segala stereotif yang melekat bersamanya.
Untuk penyelesaian kasus-kasus pidana yang berkenaan dengan kekerasan dalam rumah tangga pun banyak menghadapi kendala. Apabila mau diajukan proses pemeriksaan, maka harus terlebih dahulu menyampaikan laporan sampai tiga kali. Hal ini berakibat pada sulitnya ditemukan barang bukti, karena jarak antar tindak pidana yang dilakukan dengan waktu pemeriksaan laporan atau pengaduan sudah berlangsung lama, sehingga bukti bekas-bekas kekerasan, misalnya tanda-tanda penganiayaan akan sulit ditemukan. Hal ini tentu sangat merugikan bagi pihak korban, karena bisa saja dalam hal laporan dianggap tidak terbukti, maka di pihak lain pelaku tentu akan mengajukan pelaporan balik untuk mengancam si pihak korban dan membatasi ruang geraknya. Akibatnya, yang ada adalah pihak korban akan cenderung menjadi ketakutan dan merasa terancam akibat adanya upaya laporan pidana balik yang disampaikan pelaku kepada kepolisian. Dengan adanya rentang waktu antara pelaporan dengan pemeriksaan tindak pidana yang bersangkutan, maka hal ini akan berpengaruh terhadap “visum et revertum” dimana buktinya akan sangat lemah.
Selain masalah tersebut diatas, hal lain yang patut menjadi perhatian adalah berkenaan dengan bukti saksi, kecenderunganya bahwa dalam banyak kasus, baik pihak keluarga korban maupun pelaku biasanya sama-sama enggan untuk menjadi saksi dalam pemeriksaan perkara pidananya. Hal ini dikarenakan para saksi merasa kurang baik dan kurang etis apabila menjadi saksi terhadap para pelaku maupun korban yang mungkin orang-orang terdekatnya sendiri di dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat. Bahkan, secara yuridis praktis kenyataanya perlindungan saksi di Indonesia masih sangat minimalis dan cenderung terabaikan, sehingga orang yang akan menjadi saksi menjadi berpikir duakali bila dijadikan saksi dalam suatu perkara pidana, khususnya berkenaan dengan kekerasan dalam rumah tangga.
Bentuk upaya lain yang lajim ditempuh oleh kaum gender sehubungan dengan kekerasan dalam rumah tangga adalah dengan melaporkan suami ke atasan tempat dimana suami bekerja. Penyelesaian dengan cara ini tergantung kepada kepekaan masing-masing oknum atasan tempat dimana laporan disampaikan. Kekecewaan akan dialami korban manakala atasan suami yang bersangkutan tidak peduli dengan laporan terhadap kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh bawahannya, sehingga penyelesaian yang bersifat administratif ini pun kurang efektif dan kurang memenuhi rasa keadilan terhadap korban.
Usaha pemerintah dengan lahirnya UU No. 23 tahun 2004 pada dasarnya sudah cukup baik, namun secara praktis asumsi dan atau pandang masyarakat tentang essensi kekerasan dalam rumah tangga yang perlu dirubah Hal ini penting agar semua lapisan masyarakat dapat bekerjasama dalam mengawasi, mengontrol dan melaporkan dalam hal terjadinya tindak pidana yang berkenaan dengan lingkup rumah tangga,

IV. Kesimpulan
Kekerasan dalam rumah tangga sebagai kekerasan yang berbasis gender, disamping kekerasan dalam bentuk seperti perkosaan, pelacuran, pornografi, juga menyangkut kekerasan dalam bentuk psikis, sebagaimana cakuban dalam UU.
Berdasarkan berbagai hasil penelitian ditemukan fakta bahwa kekerasan terhadap gender cenderung meningkat tajam, bahkan bentuk (modus) kejahatannya sangat variatif sehingga cenderung bersifat terselubung, misalnya intimidasi suami terhadap istri secara psikologis, penelantaran rumah tanggan dan sebagainya.
Secara sosiologis, peran serta masyarakat dan cara pandang masyarakat sangat dibutuhkan untuk meminimalisir kekerasan dalam rumah tangga berbasis gender, khususnya pemahaman masyarakat yang perlu dibenahi berkenaan dengan anggapan bahwa kekerasan dalam rumah tangga bukan merupakan tindak pidana melainkan permasalahan privasi oknumnya. Perlunya sosialisasi dari pemerintah maupun lembaga-lembaga terkait lainnya agar dapat memberikan penyuluhan tentang arti pentingnya pemberlakuan UU No. 23 tahun 2004 tentang kekerasan dalam rumah tangga, sehingga berdampak sosiologis sebagai upaya preventif dalam mengurangi tindak pidananya.




REFERENSI




Guse Prayudi, SH, “Berbagai Aspek tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga”, Merkid Press, Jakarta, Januari 2008

La Jamaah, Cs, “Hukum Islam dan Udnagn-Undang Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga, “, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 2008

Nani Kurniasih, “Kajian Yuridis Sosiologis Kekerasan Yang Berbau Gender,” (tanpa penerbit, 2006).

Rika Saraswati, “Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan Dalam Rumah Tangga,” PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006

T.O Ihrom, “Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita,” PT. Alumni, Bandung tanpa tahun terbit





Note :
Penulis adalah Seorang Advokat tinggal di Jakarta.
ⓒ Maret 2007, hak cipta dilindungi oleh UU

Senin, 09 Maret 2009

PERADILAN KITA, HUKUM DITEGAKKAN ?

September 22, 2007
PERADILAN KITA, HUKUM DITEGAKKAN ?
By : Agus P. Pasaribu, S.H.


Beberapa waktu yang lalu, kasasi terhadap perkara perdata mantan Presiden Soeharto yang diberi register dibawah nomor 3215K/Pdt/2001 telah diputus pada tanggal 28 Agustus 2007 oleh Mahkamah Agung R.I (Media Indonesia, 11-09-2007). Putusan itu menarik untuk dicermati, mengingat salah satu amar putusan berbunyi : “Mengadili, mengabulkan sebagian permohonan kasasi yang diajukan penggugat HM. Soeharto”. Sebelumnya, sekedar catatan bahwa permohonan banding HM. Soeharto ditolak di tingkat Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Sengketa berawal dari gugatan HM. Soeharto terhadap pemberitaan majalah Time Asia, Cs Edisi 24 mei 1999 volume 153 Nomor 20 yang menulis artikel tentang kekayaan mantan Presiden Soeharto dengan judul : “Soeharto Inc How Indonesia’s longtime Boss Built a Family Fortune“ (perusahaan Soeharto bagaimana pimpinan Indonesia dalam waktu lama membangun kekayaan keluarga) (Media Indonesia, 11-09-2007).
Putusan kasasi tersebut sangat tendensius dan menduga-duga sehingga Cuma sebagai anomali penegakan hukum di Indonesia yang konon katanya negara yang berdasarkan hukum, karena alasan-alasan sebagai berikut :
Pertama, putusan perkara a-quo secara yuridis masih prematur. Bahwa putusan di tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung didasarkan pada pertimbangan hukum bahwa : “majelis hakim menilai bahwa gambar dan tulisan yang dibuat para tergugat telah tersiar secara luas dan telah melampaui batas kepatutan, ketelitian dan sikap ketidakhati-hatian”. Padahal, ukuran melampaui batas ketidakpatutan, ketelitian dan sikap ketidakhati-hatian sangat kabur dan tidak jelas. Faktanya, disatu sisi dasar hukum (rechts ground) untuk mengajukan gugatan a-quo belum terbukti menurut hukum pidana. Dalam arti belum ada putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa para tergugat telah melakukan pencemaran nama baik dan kehormatan HM. Soeharto. Disisi lain, apabila dikaji secara cermat maka perlu dipahami bahwa pers sebagai lembaga profesi yang dalam menjalankan tugasnya dipagari oleh kode etik profesi itu sendiri. Sehingga, untuk menilai apakah tindakan para Tergugat melampaui batas kepantasan atau kewajaran harus dibuktikan dahulu dalam sidang kode etik,. Hal ini penting karena kode etik profesi merupakan tolok ukur untuk menilai apakah suatu perbuatan telah melampaui batasan atau tidak dalam menjalankan profesi. Bagaimana pun kode etik merupakan tatanan moral nilainya lebih tinggi daripada sekedar peraturan hukum normatif (baca : undang-undang). Bahkan dalam perkara Kasasi HM. Soeharto, pertimbangan hukum Hamim Mahkamah Agung terkesan dipaksakan. Hukum pun menjadi tidak fleksibel, namun diterapkan secara kaku sehingga menindas rasa keadilan sejati itu sendiri. Persoalan lain yang tidak kalah menariknya dalam kasus ini adalah locus delicti (tempat dilakukan) perbuatan yang menjadi dasar dari gugatan belum jelas. Hal ini penting mengingat Indonesia mengenal asas territorial dalam memberlakukan KUHP.
Kedua, putusan kasasi tersebut tidak mencerminkan rasa keadilan. Bahwa petitum yang dikabulkan oleh Judex Juris (Mahkamah Agung R.I) antara lain : menghukum Para Tergugat untuk membayar ganti rugi sebesar Rp. 1 Triliun, meminta maaf dibeberapa majalah Mingguan yang terbit di Indonesia dan meminta maaf di lima harian umum besar di Indonesia. Padahal, hukum dalam hal ini seharusnya bersifat objektif dan adil. Karena pada dasarnya, pengabulan tuntutan ganti rugi tersebut tidak jelas tolok ukurnya, dan tidak bercermin pada kondisi keadilan yang objektif. Mengingat, apabila dikaji ulang persoalannya adalah : “Secara faktual, benarkah HM. Soeharto menurut pandangan masyarakat luas di Indonesia sebagai tokoh yang kehormatannya tercemar?. Kenyataanya, HM. Soeharto selaku mantan Panglima Jenderal TNI dan mantan Presiden R.I yang dipaksa turun akibat adanya tekanan masyarakat luas yang sangat kecewa pada era kepemimpinanya pada masa itu.
Ketiga, putusan itu menjadi preseden buruk dikemudian hari. Selama ini bukan merupakan rahasia, bahwa Indonesia di mata internasional dipandang sebagai salah satu negara terkorup dan pelanggar hukum di dunia. Bercermin pada putusan perkara kasasi HM. Soeharto, masihkah kita patut mengaku sebagai negara yang penegakan hukumnya sudah mengalami kemajuan ?. Siapapun di negara ini tahu, bahwa selama ini mafia peradilan berkeliaran dimana-mana. Sayang, kita selalu berusaha menutup-nutupi kebobrokan dunia peradilan di Indonesia.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, sekali lagi konsep penegakan hukum bangsa ini masih jauh dari harapan dan patut dipertanyakan. Bahkan, putusan kasasi yang sangat janggal tersebut bisa jadi sebagai anomali penegakan hukum itu sendiri. Dalam hal ini integritas dan profesionalisme para hakim Mahkamah Agung pun patut dipertanyakan. Semoga idealisme penegakan hukum masih ada di negeri ini.


Agus P. Pasaribu, S.H
Advokat pada Law Firm "Johanes Raharjo, SH & Partners",
beralamat di Jl. Cikini IV No. 20 Jakarta pusat.
Mobile : 0819644410, e-mail : pasaribu.prankgmail.com

“LAW ENFORCEMENT”

Friday, January 25, 2008
“LAW ENFORCEMENT” DITINJAU DARI PERSFEKTIF
PEMBANGUNAN SISTEM HUKUM YANG BERKELANJUTAN
By : Agus Pranki Pasaribu, S.H.

Pendahuluan
Salah satu isu besar berkenaan dengan penegakan hukum (law enforcement) dihadapan kita dewasa ini adalah pembangunan sistem hukum yang berkelanjutan (law suistanable) dalam rangka menyongsong globalisasi। Fakta ini tidak dapat dipungkiri atau disangkal kebenarannya oleh semua lapisan masyarakat, baik itu ahli hukum, praktisi, pakar ekonomi, sosial, budaya dan masyarakat awam sekalipun, bahwa sistem hukum kita membutuhkan pembaharuan yang intens serta adanya keseriusan pembenahan agar hukum dapat dijalankan sebagaimana mestinya sehingga berfungsi sebagai sarana dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara, utamanya menghadapi persaingan globalisasi.

Barangkali isu penegakan hukum merupakan salah satu pilar utama penentu cita-cita menuju masyarakat yang berkeadilan dan berkesejahteraan. Apalagi, jika di analisa secara detail kenyataan yang ada, yang mana pasca reformasi yang merupakan motor perubahan telah membawa bangsa kita ke suatu pintu gerbang menuju cita-cita penegakan hukum (law enforcement). Penegakan hukum sangat berkaitan langsung dengan pembangunan sistem hukum. Paling tidak, pembangunan hukum dalam rangka penegakan hukum akan berdampak pada penyelesaian masalah-masalah hukum yang tergolong baru di Indonesia, seperti : money laundering, corporation, environmental, cyber crime, Corruption, dan lain sebagainya. Hal ini dikarenakan hukum yang ada saat ini belum mengatur secara rinci kejahatan-kejahatan tersebut diatas, ironisnya kejahatan yang disebutkan diatas bukan merupakan kejahatan yang bersifat alami (natural). Melainkan, kejahatan yang sejatinya berkait era dengan penggunaan kecanggihan tehnologi. Kejahatan yang demikian dalam terminologi hukum dikenal sebagai "white collar क्रीम"
Tulisan ini merupakan suatu uraian yang mendeskripsikan secara singkat mengenai penegakan hukum ditinjau dari persfektif pembangunan sistem hukum yang berkelanjutan, dengan batasan masalah yang diajukan dalam bentuk pertanyaan : bagaimana persfektif penegakan hukum di Indonesia pada sepuluh sampai tiga puluh tahun mendatang ?


Fleksibilitas “Sistem Hukum”
Sistem hukum merupakan bagian yang integral dengan budaya hukum dan penegakan hukum. Dalam menegakkan hukum dibutuhkan budaya kemasyarakatan yang ada dan hidup sebelumnya. Diantara budaya hukum dengan penegakan hukum, maka terdapat apa yang disebut sebagai sistem hukum. Persoalannya, bagaimana suatu sistem hukum dapat dijalankan secara berkelanjutan, sehingga penegakan hukum tidak apriori ?.
Konsep penegakan hukum pada dasarnya dimulai dari rancangan sistem hukum yang berorientasi pada budaya hukum masyarakatnya menuju penegakan hukum dimasa mendatang। Oleh karena itu, membangun suatu sistem hukum yang berkelanjutan harus didasarkan pada kenyataan apa yang menjadi kebutuhan dan apa yang hidup di dalam masyarakat (ius constituendum) dan apa yang menjadi hukum di masa lalu (ius constitutum). Secara hirarkis menurut latar belakang historis bahwa sistem hukum yang kita anut berasal dari sistem hukum Belanda yang sebelumnya berasal pula dari perpaduan antara hukum Perancis dan Jerman. Sistem hukum ini yang lajim disebut Eropa Continental.
Suatu sistem hukum idealnya harus bersifat fleksibel sehingga mampu menghadapi perubahan jaman seperti yang terjadi saat ini. Dimana era konvensional telah digantikan dengan era globalisasi yang menitiberatkan pada kecenderung aktivitas mengandalkan kecanggihan tehnologi dengan segala ketergantungan didalamnya. Fakta ini merupakan kenyataan yang tidak dapat terhindarkan, terlebih lagi seperti negara dunia ketiga seperti Indonesia yang baru pada tahap/fase menuju perubahan dari negera berkembang menuju negara maju.
Memahami kondisi yang demikian, maka tantangan terberat yang harus dihadapi Indonesia sebagai salah satu negara berkembang (baca : pra-maju) adalah upaya membangun sistem hukum yang berkelanjutan melalui pembenahan aturan-aturan hukum yang ada dan memperlengkapinya dengan aturan-aturan hukum baru yang sekiranya dibutuhkan sebagai solusi terhadap pemecahan terhadap masalah-masalah hukum baru tersebut. Harus kita akui bahwa hukum-hukum yang merupakan peninggalan pemerintahan kolonial masih mempunyai relevansi dengan kebutuhan saat ini, meskipun tidak seluruhnya melainkan untuk beberapa bagian tertentu. Sehingga dalam hal ini, sebenarnya itulah alasan logis mengapa pembangunan sistem hukum kita dikatakan berkelanjutan. Karena pada masa-masa sepuluh sampai tiga puluh tahun ke depan kita tidak mungkin membongkar keseluruhan sistem hukum yang ada dan menggantikannya dengan sistem hukum yang baru.
Ketertinggalan Indonesia dalam mengatur, menentukan dan memperbaharui kebutuhan akan aturan-aturan hukum sebenarnya sudah sampai pada tahap yang mengkhawatirkan. Pada prinsipnya, fakta inilah yang menjadi faktor pendorong/pemicu utama mengapa permasalahan-permasalahan hukum di Indonesia banyak yang terbengkalai dan tidak mendapat jalan penyelesaian. Sayangnya, usaha-usaha yang dilakukan dalam membangun sistem hukum yang berkelanjutan sampai saat ini masih pada tahap mencari corak hukumnya. Sistem hukum kita masih mengambang dan bahkan terkesan tidak terarah. Hal ini dikarenakan kurangnya ketanggapan pemerintah dalam menyiasati dan memprediksi kebutuhan hukum. Sehingga tidak mengherankan apabila sistem hukum kita adalah perpaduan dari hasil campur baur berbagai sistem hukum yang bukan didasarkan pada budaya kemasyarakatannya.


Penegakan Hukum Ke Depan
Pembangunan sistem hukum yang berkelanjutan adalah konsep penting untuk memahami persfektif penegakan hukum kita dimasa mendatang. Utamanya adalah sistem hukum sebagai landasan/pondasi yang harus kokoh sehingga akan menghasilkan konsep penegakan hukum yang jelas, baik dan terarah sehingga mampu menghasilkan tujuan hukum itu sendiri, yakni terciptanya ketertiban, keamanan, kenteraman, kesejahteraan sosial dan keadilan serta. Penegakan hukum tidak akan pernah tercapai tanpa diawali dengan pembangunan sistem hukum yang berkelanjutan dan penekanan utama dalam rangka penegakan hukum perlu dipikirkan bahwa kondisi rill dalam masyarakat harus menjadi patokan/tolok ukur, sehingga hukum tidak menyebabkan keguncangan dalam masyarakat di berbagai aspek kehidupan yang pada akhirnya justru menghasilkan kegamangan hukum.
Memprediksi penegakan hukum kita ke depannya dengan melihat kondisi carut-marut yang terjadi di masyarakat dewasa ini, tentu akan menjadi satu pertanyaaan logis bagi kita : “ada apa dengan sistem hukum kita” ?. Pembangunan sistem hukum pada dasarnya dilatarbelakangi suatu pemikiran bahwa kehidupan masa lalu dengan masa sekarang dan masa yang akan datang merupakan satu kesatuan utuh. Sehingga aturan hukumnya pun harus tetap terjaga kesinambunganya. Perencanaan sistem hukum yang berkesinambungan akan mempermudah penegakan aturan hukumnya. Sayangnya, pembangunan sistem hukum negara kita sampai saat ini masih mengalami kendala-kendala, baik itu bersifat teoritis maupun praktis, seperti kurangnya sumber daya manusia, keterbatasan dana, perbenturan kepentingan antara negara dan lain-lainnya. Alhasil, acapkali kita melihat bahwa aturan-aturan hukum yang diundangkan kurang mampu menjangkau kehidupan di masa depan. Bahkan, kebanyakan aturan hukum diterapkan dalam bentuk “trial and error”. Oleh karena itu, wajarlah apabila di masa reformasi ini aturan hukum sedemikian cepat berubah dan berganti dan sering menimbulkan kontroversial. Rentang waktu penggunaan aturan hukum relatif sangat singkat dan manfaatnya kurang dirasakan masyarakat. Dilain sisi, aturan hukum yang diundangkan belakangan ini terkesan tidak mewakili kepentingan masyarakat di Indonesia.
Pembangunan sistem hukum yang berkelanjutan bertujuan untuk memahami hukum dimasa lalu, dan merancangnya dimasa sekarang untuk tujuan di masa mendatang. Pengimplementasian sistem hukum yang berkelanjutan membutuhkan sarana penegakan hukum, pemahaman hukum dimasa lalu dan pencarian corak sistem hukum yang relevan sehingga konsep penegakan hukum tpat sasasran.
Aturan-aturan hukum harus dibuat sedemikian rupa yakni berkesinambungan sehingga secara praktis proses penegakannya dapat meminimalisir kendala-kendala yang ada. Untuk menciptakan aturan hukum yang demikian disinilah diperlukan paduan antara sistem hukum yang berefleksi terhadap budaya hukum. Namun sayangnya, penegakan aturan hukum di negara kita ke depannya jika melihat kondisi rill hukum dan sistem hukumnya yang mana saat ini sepertinya bergerak sangat melambat. Hal ini dipicu oleh aturan-aturan hukum yang dibuat tidak didasarkan pada suatu landasan sistem hukum yang kokoh, berkesinambungan dan mempunyai corak tersendiri. Melainkan, aturan hukum yang dibuat diterapkan secara apriori yagn penegakannya didasarkan pada faktor-faktor lain yang bukan dari alasan hukum, seperti : politik, konflik kepentingan, imprealisme barat dan lain sebagainya.
Penegakan hukum dari persfektif pembangunan sistem hukum yang berkelanjutan ke depannya akan menghadapi kendala-kendala, sebagai berikut : Pertama, faktor budaya : pada faktor ini hukum akan menghadapi benturan kepentingan dengan budaya kemasyarakatan yang hidup karena hukum yang diciptakan bukan berasal dari budaya masyarakatnya. Kedua, corak hukum : pada faktor ini penegakan hukum ke masa mendatang akan mengalami perbenturan arah kebijakan karena sistem hukum kita kurang terencana, melainkan sistem hukum yang ada hanya merupakan paduan dari berbagai sistem hukum, sehingga corak hukumnya menjadi kabur dan kurang jelas. Ketiga, faktor tantangan global : kendala pada faktor ini adalah benturan kepentingan antara sistem hukum dalam lintas negara, penentunya adalah tergantung sistem hukum mana yang paling berpengaruh dan bermanfaat dalam era global.


Penutup
Sebagaimana penutup dari tulisan ini, kiranya sampailah kita pada suatu kesimpulan bahwa penegakan hukum pada sepuluh sampai tiga puluh tahun mendatang jika ditinjau dari perspektif pembangunan sistem hukum yang berkelanjutan adalah tidak akan banyak mengalami perubahan dan perbedaan di masa sekarang. Melainkan, sistem hukum yang ada akan bongkar pasang dan bersifat “trial and error” sehingga terasa kurang ideal dan belum maksimal dalam pencapaian sasaran dalam menyambut globalisasi. Sistem hukum bahkan terkesan tidak terarah. Melihat kenyataan tersebut, maka persfektif penegakan hukum ke masa mendatang cuma ada dua pilihan, yakni : melakukan perubahan sistem hukum besar-besaran ? atau pembiaran sistem hukum yang akan berdampak pada ketertinggalan ?. Patut untuk kita renungkan bersama !!!!.


Jakarta, © January 2008
Penulis adalah Advokat pada “Law Firm Johanes Raharjo & Partners”
Contact Person : 0819644410
email : pangki_pasaribu@yahoo.com or lawapp_office@yahoo.co.id




Pendahuluan
Salah satu isu besar berkenaan dengan penegakan hukum (law enforcement) dihadapan kita dewasa ini adalah pembangunan sistem hukum yang berkelanjutan (law suistanable) dalam rangka menyongsong globalisasi. Fakta ini tidak dapat dipungkiri atau disangkal kebenarannya oleh semua lapisan masyarakat, baik itu ahli hukum, praktisi, pakar ekonomi, sosial, budaya dan masyarakat awam sekalipun, bahwa sistem hukum kita membutuhkan pembaharuan yang intens serta adanya keseriusan pembenahan agar hukum dapat dijalankan sebagaimana mestinya sehingga berfungsi sebagai sarana dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara, utamanya menghadapi persaingan globalisasi.
Barangkali isu penegakan hukum merupakan salah satu pilar utama penentu cita-cita menuju masyarakat yang berkeadilan dan berkesejahteraan. Apalagi, jika di analisa secara detail kenyataan yang ada, yang mana pasca reformasi yang merupakan motor perubahan telah membawa bangsa kita ke suatu pintu gerbang menuju cita-cita penegakan hukum (law enforcement). Penegakan hukum sangat berkaitan langsung dengan pembangunan sistem hukum. Paling tidak, pembangunan hukum dalam rangka penegakan hukum akan berdampak pada penyelesaian masalah-masalah hukum yang tergolong baru di Indonesia, seperti : money laundering, corporation, environmental, cyber crime, cyber space, Corruption, dan lain sebagainya. Hal ini dikarenakan hukum yang ada saat ini belum mengatur secara rinci kejahatan-kejahatan tersebut diatas, ironisnya kejahatan yang disebutkan diatas bukan merupakan kejahatan yang bersifat alami (natural). Melainkan, kejahatan yang sejatinya berkait era dengan penggunaan kecanggihan tehnologi. Kejahatan yang demikian dalam terminologi hukum dikenal sebagai white collar crime.
Tulisan ini merupakan suatu uraian yang mendeskripsikan secara singkat mengenai penegakan hukum ditinjau dari persfektif pembangunan sistem hukum yang berkelanjutan, dengan batasan masalah yang diajukan dalam bentuk pertanyaan, sebagai berikut : Bagaimana persfektif penegakan hukum di Indonesia pada sepuluh sampai tiga puluh tahun mendatang ?


Fleksibilitas “Sistem Hukum”
Sistem hukum merupakan bagian yang integral dengan budaya hukum dan penegakan hukum. Dalam menegakkan hukum dibutuhkan budaya kemasyarakatan yang ada dan hidup sebelumnya. Diantara budaya hukum dengan penegakan hukum, maka terdapat apa yang disebut sebagai sistem hukum. Persoalannya, bagaimana suatu sistem hukum dapat dijalankan secara berkelanjutan, sehingga penegakan hukum tidak apriori ?.
Konsep penegakan hukum pada dasarnya dimulai dari rancangan sistem hukum yang berorientasi pada budaya hukum masyarakatnya menuju penegakan hukum dimasa mendatang. Oleh karena itu, membangun suatu sistem hukum yang berkelanjutan harus didasarkan pada kenyataan apa yang menjadi kebutuhan dan apa yang hidup di dalam masyarakat (ius constituendum) dan apa yang menjadi hukum di masa lalu (ius constitutum). Secara hirarkis menurut latar belakang historis bahwa sistem hukum yang kita anut berasal dari sistem hukum Belanda yang sebelumnya berasal pula dari perpaduan antara hukum Perancis dan Jerman. Sistem hukum ini yang lajim disebut Eropa Continental.
Suatu sistem hukum idealnya harus bersifat fleksibel sehingga mampu menghadapi perubahan jaman seperti yang terjadi saat ini. Dimana era konvensional telah digantikan dengan era globalisasi yang menitiberatkan pada kecenderung aktivitas mengandalkan kecanggihan tehnologi dengan segala ketergantungan didalamnya. Fakta ini merupakan kenyataan yang tidak dapat terhindarkan, terlebih lagi seperti negara dunia ketiga seperti Indonesia yang baru pada tahap/fase menuju perubahan dari negera berkembang menuju negara maju.
Memahami kondisi yang demikian, maka tantangan terberat yang harus dihadapi Indonesia sebagai salah satu negara berkembang (baca : pra-maju) adalah upaya membangun sistem hukum yang berkelanjutan melalui pembenahan aturan-aturan hukum yang ada dan memperlengkapinya dengan aturan-aturan hukum baru yang sekiranya dibutuhkan sebagai solusi terhadap pemecahan terhadap masalah-masalah hukum baru tersebut. Harus kita akui bahwa hukum-hukum yang merupakan peninggalan pemerintahan kolonial masih mempunyai relevansi dengan kebutuhan saat ini, meskipun tidak seluruhnya melainkan untuk beberapa bagian tertentu. Sehingga dalam hal ini, sebenarnya itulah alasan logis mengapa pembangunan sistem hukum kita dikatakan berkelanjutan. Karena pada masa-masa sepuluh sampai tiga puluh tahun ke depan kita tidak mungkin membongkar keseluruhan sistem hukum yang ada dan menggantikannya dengan sistem hukum yang baru.
Ketertinggalan Indonesia dalam mengatur, menentukan dan memperbaharui kebutuhan akan aturan-aturan hukum sebenarnya sudah sampai pada tahap yang mengkhawatirkan. Pada prinsipnya, fakta inilah yang menjadi faktor pendorong/pemicu utama mengapa permasalahan-permasalahan hukum di Indonesia banyak yang terbengkalai dan tidak mendapat jalan penyelesaian. Sayangnya, usaha-usaha yang dilakukan dalam membangun sistem hukum yang berkelanjutan sampai saat ini masih pada tahap mencari corak hukumnya. Sistem hukum kita masih mengambang dan bahkan terkesan tidak terarah. Hal ini dikarenakan kurangnya ketanggapan pemerintah dalam menyiasati dan memprediksi kebutuhan hukum. Sehingga tidak mengherankan apabila sistem hukum kita adalah perpaduan dari hasil campur baur berbagai sistem hukum yang bukan didasarkan pada budaya kemasyarakatannya.


Penegakan Hukum Ke Depan
Pembangunan sistem hukum yang berkelanjutan adalah konsep penting untuk memahami persfektif penegakan hukum kita dimasa mendatang. Utamanya adalah sistem hukum sebagai landasan/pondasi yang harus kokoh sehingga akan menghasilkan konsep penegakan hukum yang jelas, baik dan terarah sehingga mampu menghasilkan tujuan hukum itu sendiri, yakni terciptanya ketertiban, keamanan, kenteraman, kesejahteraan sosial dan keadilan serta. Penegakan hukum tidak akan pernah tercapai tanpa diawali dengan pembangunan sistem hukum yang berkelanjutan dan penekanan utama dalam rangka penegakan hukum perlu dipikirkan bahwa kondisi rill dalam masyarakat harus menjadi patokan/tolok ukur, sehingga hukum tidak menyebabkan keguncangan dalam masyarakat di berbagai aspek kehidupan yang pada akhirnya justru menghasilkan kegamangan hukum.
Memprediksi penegakan hukum kita ke depannya dengan melihat kondisi carut-marut yang terjadi di masyarakat dewasa ini, tentu akan menjadi satu pertanyaaan logis bagi kita : “ada apa dengan sistem hukum kita” ?. Pembangunan sistem hukum pada dasarnya dilatarbelakangi suatu pemikiran bahwa kehidupan masa lalu dengan masa sekarang dan masa yang akan datang merupakan satu kesatuan utuh. Sehingga aturan hukumnya pun harus tetap terjaga kesinambunganya. Perencanaan sistem hukum yang berkesinambungan akan mempermudah penegakan aturan hukumnya. Sayangnya, pembangunan sistem hukum negara kita sampai saat ini masih mengalami kendala-kendala, baik itu bersifat teoritis maupun praktis, seperti kurangnya sumber daya manusia, keterbatasan dana, perbenturan kepentingan antara negara dan lain-lainnya. Alhasil, acapkali kita melihat bahwa aturan-aturan hukum yang diundangkan kurang mampu menjangkau kehidupan di masa depan. Bahkan, kebanyakan aturan hukum diterapkan dalam bentuk “trial and error”. Oleh karena itu, wajarlah apabila di masa reformasi ini aturan hukum sedemikian cepat berubah dan berganti dan sering menimbulkan kontroversial. Rentang waktu penggunaan aturan hukum relatif sangat singkat dan manfaatnya kurang dirasakan masyarakat. Dilain sis, aturan hukum yang diundangkan belakangan ini terkesan tidak mewakili kepentingan masyarakat di Indonesia.
Pembangunan sistem hukum yang berkelanjutan bertujuan untuk memahami hukum dimasa lalu, dan merancangnya dimasa sekarang untuk tujuan di masa mendatang. Pengimplementasian sistem hukum yang berkelanjutan membutuhkan sarana penegakan hukum, pemahaman hukum dimasa lalu dan pencarian corak sistem hukum yang relevan sehingga konsep penegakan hukum tpat sasasran.
Aturan-aturan hukum harus dibuat sedemikian rupa yakni berkesinambungan sehingga secara praktis proses penegakannya dapat meminimalisir kendala-kendala yang ada. Untuk menciptakan aturan hukum yang demikian disinilah diperlukan paduan antara sistem hukum yang berefleksi terhadap budaya hukum. Namun sayangnya, penegakan aturan hukum di negara kita ke depannya jika melihat kondisi rill hukum dan sistem hukumnya yang mana saat ini sepertinya bergerak sangat melambat. Hal ini dipicu oleh aturan-aturan hukum yang dibuat tidak didasarkan pada suatu landasan sistem hukum yang kokoh, berkesinambungan dan mempunyai corak tersendiri. Melainkan, aturan hukum yang dibuat diterapkan secara apriori yagn penegakannya didasarkan pada faktor-faktor lain yang bukan dari alasan hukum, seperti : politik, konflik kepentingan, imprealisme barat dan lain sebagainya.
Penegakan hukum dari persfektif pembangunan sistem hukum yang berkelanjutan ke depannya akan menghadapi kendala-kendala, sebagai berikut : Pertama, faktor budaya : pada faktor ini hukum akan menghadapi benturan kepentingan dengan budaya kemasyarakatan yang hidup karena hukum yang diciptakan bukan berasal dari budaya masyarakatnya. Kedua, corak hukum : pada faktor ini penegakan hukum ke masa mendatang akan mengalami perbenturan arah kebijakan karena sistem hukum kita kurang terencana, melainkan sistem hukum yang ada hanya merupakan paduan dari berbagai sistem hukum, sehingga corak hukumnya menjadi kabur dan kurang jelas. Ketiga, faktor tantangan global : kendala pada faktor ini adalah benturan kepentingan antara sistem hukum dalam lintas negara, penentunya adalah tergantung sistem hukum mana yang paling berpengaruh dan bermanfaat dalam era global ?.


Penutup
Sebagaimana penutup dari tulisan ini, kiranya sampailah kita pada suatu kesimpulan bahwa penegakan hukum pada sepuluh sampai tiga puluh tahun mendatang jika ditinjau dari perspektif pembangunan sistem hukum yang berkelanjutan adalah tidak akan banyak mengalami perubahan dan perbedaan di masa sekarang. Melainkan, sistem hukum yang ada akan bongkar pasang dan bersifat “trial and error” sehingga terasa kurang ideal dan belum maksimal dalam pencapaian sasaran dalam menyambut globalisasi. Sistem hukum bahkan terkesan tidak terarah. Melihat kenyataan tersebut, maka persfektif penegakan hukum ke masa mendatang cuma ada dua pilihan, yakni : melakukan perubahan sistem hukum besar-besaran ? atau pembiaran sistem hukum yang akan berdampak pada ketertinggalan ?. Patut untuk kita renungkan bersama !!!!.



Jakarta, © January 2008
Penulis adalah Advokat pada “Law Firm Johanes Raharjo & Partners”
Contact Person : 0819644410
email : pangki_pasaribu@yahoo.com or lawapp_office@yahoo.or.id

ANOMALI “NEGARA HUKUM”

November, 13, 2007
ANOMALI “NEGARA HUKUM”
by : Agus Pranki Pasaribu, S.H.

Pendahuluan
Konsep negara yang berdasarkan hukum (rechtstaats) sebagaimana diatur UUD 1945 perubahan I, II, III, IV sudah merupakan isu yang lumrah didengungkan dan bahkan seringkali menjadi salah satu head line kancah perpolitikan Indonesia. Terlebih lagi, yang demikian itu sudah dipandang mengakar adanya sejak didirikannya negara kesatuan Republik Indonesia. Bahkan, dalam berbagai kesempatan seperti pidato kenegaraan maupun pandangan para ahli selalu membicarakan konsep negara hukum tanpa merasakan adanya suatu kegamangan bila dibandingkan dengan realitas yang ada. Hal ini membuktikan bahwa secara konsepsional istilah negara yang berdasarkan hukum masih benar adanya, meskipun pelaksanaannya di dalam praktek kurang begitu meyakinkan.

Sebagaimana kita ketahui, sejak reformasi bergulir berbagai harapan pun muncul di semua tingkatan kemasyarakatan. Apakah itu masyarakat golongan bawah, menegah dan atas sekalipun. Reformasi diharapkan sebagai sarana yang efektif untuk menghantarkan bangsa ini ke arah pelaksanaan sistem konstitusi yang membidani negara berdasarkan hukum tersebut.
Persoalannya, ketika reformasi telah berjalan lebih dari satu dekade lebih, namun hukum tetap bercokol pada tempatnya sehingga tidak mampu menjangkau asas kemanfaatan terhdapa kepentingan masyarakat luas. Bahkan, hukum justru terkesan semakin menjauh dari kenyataan sosial yang justru melukai kehidupan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.

Bertitik tolak dari uraian diatas, tentu menjadi pertanyaaan apakah benar konsep negara yang berdasarkan hukum pantas menjadi predikat bangsa ini jika melihat kenyataan yang ada ? atau jangan-jangan konsep negara hukum itu hanya sebagai kamuflase dari kekuasaan sehingga melahirkan anomali negara hukum. Tulisan ini akan menguraikan sejauh mana anomali negara hukum dalam praktek pelaksanaannya.

Kekuasaan menjadi “Hukum”
Idealnya suatu negara yang berasaskan hukum secara logis konstruksi kekuasaannya harus tunduk pada hukum yang ada, terlepas dari baik atau buruknya hukum itu sendiri. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari makna negara hukum. Berbicara masalah legalitas hukum dalam mengatur berbagai aspek kehidupan, apakah itu kehidupan politik, ekonomi, sosial- budaya dalam hal ini hukum bekerja seperti mesin yang menggerakkan seluruh komponen kehidupan. Bahkan lebih radikal lagi, bahwa hukum harus mampu menjangkau segala aspek kehidupan demi terciptanya suatu tatanan kehidupan ke arah yang lebih baik. Konstelasi hukum pasca reformasi sudah menjadi hal yang umum dipahami bahwa hukum menjadi sarana legalistik para penguasa (pemerintah) untuk melakukan tindakan-tindakan yang justru merugikan dan bertentangan dengan kepentingan umum (public order).

Berbagai penyimpangan hukum yang dijadikan sarana kekuasaan (power of tools) setelah pasca reformasi dicetuskan, kita liha misalnya kebijakan-kebijakan pemerintah yang merugikan masyarakat, bahkan dilematisnya lagi secara normatif justru bertentangan dengan nilai-nilai dasar konstitusi UUD 1945. Ada lagi kebijakan pemerintah yang terlalu mencampuri kebebasan beragama, dan lain sebagainya. Anehnya lagi, kebijakan pemerintah cenderung lebih mengarah kepada langkah-langkah represif yang membuktikan ketidakdewasaan (ketidakmatangan) dalam merencanakan arah bangsa dan negara ke depannya. Pemerintah terkesan sekedar menjalankan roda pemerintahan tanpa memahami apa yang menjadi esensi negara yang berdasarkan hukum serta apa yang dibutuhkan bangsa ini.

Kekuasaan menggunakan sarana hukum sebagai alat penjutsifikasian untuk menindas rakyatnya sendiri, kebobrokan pemerintah yang diwakili oleh institusi-institusinya, antara lain : Kepolisian, Peradilan, Kejaksaan. Bahkan, sampai kepada lembaga yang mengaku diri sebagai motor perubahan (baca : partai politik) justru hanya menjadi tempat untuk meraup keuntungan tanpa mementingakan rakyat yang diwakili olehnya, praktek kekuasaan yang mengatasnamakan hukum pun acapkali dilakukan. Realitas yang demikian itu, tentu mengindikasikan bahwa hukum hanya berfungsi sebagai alat kekuasaan, bukan untuk melindungi kepentingan warga negaranya.

Sangat dilematis memang, mengingat harapan masyarakat selama ini bbergantung kepada hukum yang ada sebagai sarana yang diharapkan menghasilkan perubahan menuju kehidupan yang sejahtera dan adil. Refomasi kini menjadi pertaruhan kepentingan (baca : kekuasaan). Dalam berbagai kesempatan, fakta membuktikan bahwa kekuatan dari kekuasaan lebih mendominasi dari pada penegakan idealisme hukum. Sehingga hukum telah berubah menjadi kekuasaan secara praktis.


Konflik Kepentingan
Elite politik dewasa ini sebenarnya kurang memahami makna dari konsep negara yang berdasarkan hukum, karena dalam secara praktis mereka-mereka yang merasa diri sebagai kaum pembawa aspirasi seperti anggota legislatif justru hanya mewakili kepentingan partai yang menyokongnya dan dengan tenang para elite politik melenggangkan kaki menuju ranah kekuasaan dengan kecenderungan tidak memperdulikan apakah melanggar hukum atau bukan. Ironisnya, para elite politik tidak berjiwa kesatria menyadari kekeliruan-kekeliruannya dalam menegakkan konsep negara yang berdasarkan hukum.

Masing masing institusi baik pemerintah maupun non pemerintah mengimplementasikan konsep negara hukum berdasarkan kepentingan belaka, sehingga tidak mengherankan apabila hukum untuk sebagian besar kalangan masyarakat luas tidak mempunyai manfaat secara langsung. Seperti yang sudah-sudah, para penguasa sibuk memperdebatkan konsep hukum yang ideal, meskipun sebenarnya mereka sudah menyadari akan kekeliruan-kekeliruan tersebut, namun karena kepentingan yang melatarbelakanginya hukum dipandang sebagai tujuan akhir bukan sarana. Alhasil, kekuasaan diperebutkan dan diperjualbelikan tanpa peduli melanggar hukum atau tidak. Kepentingan elite politik dan pemerintah lebih mendominasi daripada kepentingan yang menyangkut rakyat banyak. Selama ini rakyat masih berharap akan manfaat langsung dari penegakan hukum dalam kehidupan sehari-hari.


Penutup
Merefleksikan pengimplementasian dari asas negara hukum yang terkandung dalam UUD 1945, maka kita patut bertanya “Pantaskah bagnsa ini mengaku sebagai negara yang berdasarkan hukum (rechtstaat) dengan melihat segala realitas yang ada ?, atau sebaliknya, jangan-jangan negara hukum cuma anomali belaka. Kiranya, pertanyaan ini menjadi tugas dan tanggung jawab kita untuk menjawabnya.



Jakarta, © Februari 2007
Penulis Advokat pada “Law Firm Johanes Raharjo & Partners”
Contact Person : 0819644410
email : pangki_pasaribu@yahoo.com or
lawapp_office@yahoo.or.id

Jumat, 06 Maret 2009

MEMAHAMI KONFIGURASI POLITIK HUKUM INDONESIA PASCA PEMILU 1999
(Suatu Tinjauan teoritis Yuridis Kelembagaan Negara)
Oleh : Agus P. Pasaribu, SH.

Pendahuluan
Sistem politik yang dianut pasca pemilu tahun 1999 di Indonesia kembali seperti pada masa demokrasi liberal, yakni sistem politik yang demokratis, bedanya dengna sistem terdahulu adalah dimana sistem pemerintahan yang dianut semasa permulaan reformasi bukan lagi parlementer tetapi presidensiil. Pemerintahan yang terbentuk adalah pemerintahan yang demokratis. Keberhasilan reformasi (dalam arti keberhasilan dalam konteks tata negara) menempatkan pemerintah yang terbentuk itu terbuka bagi kritik masyarakat, kekuasaan pemerintah dalam pembentukan undang-undang dikurangi melalui amandemen UUD 1945 dan beralih secara pasrsial ke DPR selaku lembaga legislatif. Pemerintah pasca pemilu 1999 benar-benar pemerintahan yang terbatas pada kekuasaanya, yang mana dibatasi oleh konstitusi. Dengan kata lain, dapat disebutkan sebagai pemerintahan yang berdasarkan konstitusi.
Disini pemerintahan pasca pemilu tahun 1999, sesuai dengan gagasan bahwa pemerintah merupakan suatu kumpulan kegiatan yang diselenggarakan oleh dan atas nama rakyat, tetapi yang dikenakan beberapa pembatasan yang diharapkan akan menjamin bahwa kekuasaan yang dibutuhkan untuk pemerintah itu tidak disalahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas untuk memerintah atau mereka yang dipilih melalui mandat rakyat, khususnya melalui mekanism epemilihan langsung, seperti era pemerintahan SBY dewasa ini. Bila ada keinginan Presiden untuk kembali mengkonsentrasikan kekuasaan di tangannya, konstitusi (sebelum amandemen keempat tahun 2002 memberi kewenangan kepada MPR untuk memberhentikan Presiden atas permintaan DPR melalui sidang istimewa, sebagaimana yang terjadi pada masa pemerintahan Gus Dur (Abdurahman Wahid). Dalam konteks yang demikian itu, legislatif pada sis yang berbeda menjalankan fungsi pengawasan terhadpa esekutif.
Keterbatasan kekuasaan Presiden itu juga disebabkan konfigurasi politik di lembaga DPR dan MPR yang menganut tidak adanya satu partai politik pun yang menguasai MPR dan DPR, melainkan didasarkan pada pada single mayority (suara terbanyak), sebagaimana yang terjadi pada masa orde baru. Selain itu, keterbukaan (tranparancy) dan HAM sudah merupakan sesuatu yang wajar yang harus diakomodasikan oleh pemerintah. Jadi pemerintah pasca pemilu 1999 benar-benar pemerintah yang bertanggung-jawab, pemerintah yang demokratis, berbanding terbalik dengan pemerintahan pada masa orde baru dan demokrasi terpimpin. Pertanggungjawaban eksekutif kepada lembaga MPR setelah amandemen UUD 1945 tahun 2002 adalah pertanggungjawaban eksekutif yang ada sanksinya. Bila Presiden dianggap melanggar GBHN oleh DPR, maka DPR dapat mengundang sidang istimewa MPR untuk meminta pertanggungjawaban Presiden.
Pertanggungjawaban Presiden yang berakibat pemberhentian presiden manakala dianggap melanggar ketetapan GBHN, sudah barang tentu karena kecilnya dukungan yang ada di MPR dan DPR kepada Presiden sebagaimana yang terjadi era kepemimpinan Abdurahman Wahid. Kecilnya dukungan MPR dan DPR kepada Presiden pada waktu itu setelah Presiden membuat kebijakan yang dianggap merugikan kepentingan partainya. Ini artinya bahwa penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia pasca pemilu 1999, partai politik tidak berperan kembali seperti pada masa liberal. Bedanya terletak pada sistem pemerintahan yang dianut bukan lagi parlementer, melainkan presidensil murni.
Berdasarkan apa yang telah penulis uraikan diatas, maka sangat menarik untuk menganalisis perkembangan ketatanegaraan di Indonesia khususnya konfigurasi politik dalam rangka politik hukum sejak dilaksanakannya amandemen UUD 1945.
Pada bagian berikut tulisan ini, penulis akan menguraikan pembatasan pokok permasalahan yang akan dibahas.

Perumusan Masalah

Permasalah yang akan penulis bahas pada tulisan ini, dengan mengajukan pertanyaan, sebagai berikut :
  1. Bagaimanakah konfigurasi politik Indonesia sejak pasca pemilu 1999?
  2. Bagaimanakah format politik yang diterapkan dalam hubungannya dengan politik hukum tersebut ?
  3. Bagaimanakah penerapan politik hukum Indonesia pasca pemilu tahun 1999?

Konfigurasi Politik dan Politik Hukum di Indonesia

Konfigurasi Politik

Seperti yang dikemukakan pada bagian terdahulu, bahwa pasca pemilu 1999 peranan partai politik di Indonesia kembali menguat, karena tidak adanya satu partai pun yang menguasai suara mayoritas di parlemen yakni MPR dan DPR dan juga karena iklim demokrasi sudah menyelimuti kehidupan politik di Indonesia sejak era reformasi bergulir di Indonesia. Tatanan politik pun berubah seiring dengan semakin berkurangnya peran dan dwifungsi ABRI dalam ketatanegaraan.

Pengangkatan anggota ABRI yang terdiri dari TNI dan POLRI sudah kurang pada periode sebelumnya. Dari 75 kursi yang tersedia menjadi 38 kursi di parlemen. Di MPR tidak ada lagi pengangkatan tambahan selain yang berasal dari DPR, yaitu melalui utusan daerah. Jumlah anggota DPR pasca pemilu 1999 sebanyak 500 orang, 462 orang duduk melalui pemilihan umum sedangkan 38 orang merupakan pengangkatan wakil ABRI. Sedangkan anggota MPR berjumlah 700 orang, 500 orang dari anggota DPR, 125 orang utusan daerah, dan 75 orang utusan golongan. Semua anggota MPR dari utusan daerah, karena memang dipilih oleh DPRD sehingga umumnya orang partai bergabung dengan partainya dari DPR menjadi satu fraksi di MPR. Tetapi anggota MPR yang dilantik pada Oktober 1999 hanya berjumlah 695 orang dengan komposisi, sebagai berikut :

  1. Reformasi adalah gabungan dari Partai Amanat Nasional dan Partai Keadilan;
  2. Kesatuan Kebangsaan Indonesia adalah gabungan dari PKP, PDI, PKD, PBI, IPKI, PNI, PM dan PP;
  3. Perserikatan Daulatul Ummah adalah gabungan dari Partai NU, PSII, Masyumi, PDR dan PKU
  4. Komposisi keanggotaan DPR berdasarkan hasil pemilu tahun 1999 dan penggabungan untuk dapat membentuk fraksi di DPR (berdasarkan ketentuan tata tertib di DPR untuk dapat membentuk fraksi maka anggota DPR yang bergabung minimal 10 orang). Dalam perkembangan selanjutnya, antar partai pun bergabung untuk dapat membentuk suatu fraksi yang memenuhi persyaratan sebagaiman yang telah ditentukan.

Dari konfigurasi politik yang demokratis tetapi tidak ada satu partai yang menguasai mayoritas di parlemen (dalam DPR), seperti yang telah diuraikan penulis diatas, maka akan sulit bagi suatu fraksi untuk menggolkan programnya tanpa berkoalisi dengan fraksi-fraksi lainnya sampai tercapai mayoritas di kedua lembaga negara tersebut. Demikian juga halnya dengan eksekutif adalah sulit bagi presiden untuk menggolkan rancangan UU yang diajukan ke DPR. Dan disisi lain, demikian pula terjadi dalam setiap sidang tahunan MPR, presiden harus dapat pula menampung aspirasi-aspirasi fraksi-fraksi di MPR agar ia tidak kesulitan dalam meloloskan program dan pertanggungjawabannya. Seblum amandemen ketiga UUD 1945 tahun 2001 dan yang keempat tahun 2002. Sesudah tahun 2002, presiden tidak lagi bertanggungjawab kepada MPR seperti pada masa sebelumnya. Presiden dapat diberhentikan MPR hanya bila melanggar hukum bukan karena masalah politik.

Dengan konfigurasi politik seperti itu, peranan partai politik menguat kembali seperti pada masa liberal dulu. DPR dan pemerintah telah menetapkan undang-undang tentang pemilu dan susunan DPR, DPRD, DPD dan pemilu langsung sebagaimana para masa terpilihnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). Dalam undang-undang baru tersebut, tidak ada lagi pengangkatan anggota MPR, DPR, DPRD, dan DPD. Partai politik diberi peranan yang besar dalam pemilihan anggota DPR dan DPRD, serta pemilihan presiden dan wakil persiden, perorangan untuk pemilihan anggota DPD. Kondisi seperti ini akan membangun peranan partai politik secara kokoh ke depannya. Sebaliknya, peranan POLRI dan ABRI akan semakin menurun. Dwifungsi ABRI yang dominan dan telah pula diformalkan pada masa Orde Baru ditiadakan melalui UU yang baru. Militer dibebaskan dari tugas-tugas politik (“kembali kebarak”), dan dikonsentrasikan kepada tugas-tugas pertahanan dan membantu polisi dalam menegakkan keamanan atas permintaan polisi.

Walaupun dalam sistem pemerintahan presidensiil, Presiden bebas menentukan dan mengangkat menteri-menterinya, tetapi karena Presiden RI, pada era kepemimpinan SBY, partai politik tidak ada yang mempunyai suara dominan di parlemen, hal ini telah berdampak negatif pada kontrak politik secara diam-diam antar partai tertentu dalam menentukan masing-masing menteri yang akan direkrut. Sedangkan pada masa pemerintahan Abdurahman Wahid, saat membentuk kabinetnya mengikuti konfigurasi politik di DPR dan MPR, dikarenakan di masing-masing lembaga tersebut tidak memilik suara partai politik yang dominan pula. Menurut seperti alur yang telah disebutkan, tindakan Abdurahman Wahid yang kemudian menggantikan meteri-menteri untuk selanjutnya dipilih sendiri olehya, maka hal ini yang menjadi faktor utama dia diberhentikan apda masa itu, sehingga menghasilkan sidang istimewa tahun 2001, sedangkan pada masa pemerintahan Megawati yang menggantikan, jelas bahwa dalam menentukan menteri-menterinya, dia mengikuti konfigurasi dan taat asas serta skenario konfigurasi politik tersebut diatas, itulah sebabnya ia menyebukan kabinetnya dengan nama kabinet gotong royong.

Format Politik dan Politik Hukum

Format politik sebenarnya sama dengan sistem politik yang dibangun untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, jangka pendek atau jangka menengah yang sebelumnya kurang atau tidak mendapat perhatian oleh pemerintah yang ada. Pada negara-negara yang menganut konstitusional, jarang disebut format politik karena sistem politik yang berlaku umumnya sudah mapan, diterima oleh masyarakat sebagai sesuatu yang wajar, sehingga mendukung sistem poitik tersebut.

Dalam memahami dan menjelaskan format politik tersebut, penulis mengemukakan perjalanan sistem politik demokrasi liberal, sebagaimana dikemukakan oleh Alvian (dalam bukunya “Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia”, Gramedia, Jakarta, 1978), yang menyebutkan : “Dua pengalaman traumatis dalam zaman demokrasi liberal dan demokrasi terpimpin telah mendorong para pendukung Orde Baru buat membangun sistem politik yang lain dari keduanya itu. Pilihan mereka jatuh pada sistem politik yang dikehendaki oleh UUD ’45 yaitu mengembangkan suatu sistem politik yang sesuai dengan tuntutan demokrasi pancasila”. Proses perpolitikan ke arah mencapai tujuan itulah yang disebut sebagai format baru poltik Indonesia.

Salah satu indikasi contoh politik hukum yang diciptakan pada masa Orde Baru adalah dalam rangka mendukung format politik dengan ciri menggantikan hukum tentang pertahanan keamanan negara yang ada dianggap tidak sesuai dengan format politik baru itu, dengan hukum yang baru yang sesuai. Untuk itu penguasa Orde Baru mencabut UU no. 29 Tahun 1954 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Peratahanan Keamanan Negara menjadi UU No. 20 tahun 1982, dalam UU No. 20 Tahun 1982 tersebut salah satu materi yang dirubah adalah pasal 28, hal mana menyebutkan bahwa : “Angkatan bersenjata mempunyai fungsi sebagai kekuatan pertahanan keamanan negara dan sebagai kekuatan sosial”, sedangkan dalam UU yang baru ini menjelaskan bahwa : “Angkatan bersenjata sebagai kekuatan bertindak, selaku dinamisator dan stabilisator yang bersama-sama dengan kekuatan sosial lainnya memikul tugas dan tanggung jawab mengamankan dan menyukseskan perjuangan bangsa dalam mengisi kemerdekaan serta meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Dari format politik tersebut diatas, nyata bahwa format politik menjadi sarana dalam menentukan strategi politik hukum yang didasarkan pada UUD ’45, sehingga dengan demikian sistem politik suatu negara sangat erat hubungannya dengan sistem hukumnya (dalam hal UUD ’45).

Politik Hukum Pasca Pemilu 1999

Dalam sistem politik dan konfigurasi politik yang demokratis sebagaimana diuraikan diatas, maka politik hukum yang ditempuh pasca pemilu tahun 1999 ini adalah politik hukum yang mendekatkan tata hukum dengan realitas sosial atau hukum yang populis. Berlarut-larutnya konflik politik antara DPR dan Presiden Abdurahman Wahid (hampir satu tahun dan dua tahun masa jabatan) membuat kebijakan di bidang ekonomi terabaikan sehingga pertumbuhan ekonomi masyarakat sangat terabaikan. Setelah Megawati ditetapkan menjadi presiden mengantikan Abdurahman Wahid, kebijakan juga banyak ditunjuk untuk memperbaiki sistem ketatanegaran seperti perubahan Undang Undang Dasar 1945, perubahan susduk MPR, DPR, DPRD dan DPD, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, pembentukan Mahkamah Konstitusi dan menuntaskan amandemen UUD ’45 yang sudah dimulai pada masa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid. Pembentukan undang-undang tersebut diatas dan amandemen atas UUD ’45 membutuhkan banyak waktu dan energi serta mengundang pro dan kontra masyarakat. Selain dari itu kondisi perekonomian dunia belum membaik akibat maraknya terorisme, peristiwa 11 Septemer 2001 di Amerika Serikat, perang Afganistan, dan Irak, KKN yang semakin marak, dan beberapa kebutuhan lain yang harus melakukan ratifikasi atas beberapa konvensi dunia, seperti UU HAM, UU Terorisme, UU Perlindungan Anak, UU Perlindungan Saksi dan lain sebagainya. Hal-hal tersebut membuat kebijakan ekonomi yang ditempuh belum juga mengangkat perekononomian secara keseluruhan sesuai dengan harapan rakyat dan cita-cita reformasi.

Lambatnya pertumbuhan ekonomi, mengundang banyak kritik dari masyarakat dengan mengatakan bahwa politik hukum pemerintah sekarang ini dan DPR barulah sebatas membentuk hukum untuk memantapkan kekuasaan partai-partai politik (terutama partai besar) belum diarahkan untuk memperbaiki kondisi ekonomi. Mungkin kritik yang demikian itu ada benarnya, tetapi karena beban pemerintah dan rakyat Indonesia pada masa 1999 - sekarang sangat berat, seperti diuraikan diatas ditambah dengan kegiatan partai-partai pun masih diarahkan pada pemilu 2004 yang lalu maupun pemilu 2009 yang akan datang, meskipun berdasarkan data makro pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan, namun pada sektor riill tidak banyak berpengaruh besar pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Perundang-undangan yang dihasilkan pada pasca 1999 sesuai dengan politik hukum yang ditempuh, yang pertama adalah : perubahan UUD ’45 (amandemen). Melalui amandemen sebanyak empat kali tersebut, yang dimulai pada Sidang Umum MPR Oktober 1999 dan berakhir pada amandemen keempat pada bulan Agustus 2002, dan sekarang ini politik hukum dalam rangka melaksanakan amandemen UUD ’45 di parlemen kembali mengemuka. Melalui perubahan UUD ’45 yang lalu, maka antara lain ditentukan :

  1. Kedaulatan bukan lagi ditangan MPR;
  2. Presiden tidak bertanggungajwab lagi kepada MPR;
  3. Presiden dipilih langsung oleh rakyat melalui suatu pemilu dan hanya dapat dipilih kembali untuk masa satu jabatan (hanya dua periode);
  4. DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang;
  5. Hadirnya lembaga Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Mahkamah Konstitusi, dan hapusnya Dewan Pertimbangan Agung;
  6. Hapusnya penjelasan UUD ’45 sebagai bagian dari UUD ’45.

Beberapa peraturan perundang-undangan lain, yang lahir dalam bentuk ketetapan MPR, antara lain:
a. Ketetapan MPR No. VI/MPR/1999 tentang pencalonan dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden oleh fraksi-fraksi, TAP ini juga mencabut TAP MPR No. II/MPR/1973 ;
b. Ketetapan MPR No. VI/MPR/2000 tentang pemisahan TNI dan POLRI, melalui TAP ini ABRI diganti dengan TNI dan POLRI, Dwifungsi ABRI sudah mulai dihilangkan dengan rumusan TNI adalah alat negara yang berperan dalam pertahanan negara ;
c. Ketetapan MPR No. VI/MPR/1999 tentang pencabutan TAP MPR No. VI/MPR/1999 tentang Tata Cara Pencalonan dan Pemilihan Presiden dan Wakli Presiden ;
d. Dan lain sebagainya.

Sedangkan undang-undang baru yang disyahkan pasca 1999 sangat banyak, diantaranya :
a. UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM ;
b. UU No. 3 Tahun 2001 tentang Pertahanan Negara, undang-undang ini mencabut UU No. 1 Tahun 1988 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara ;
c. UU No. 23 Tahun 2003 tentang Susduk MPR, DPR, DPRD, dan DPD ;
d. Dan lain-lain.

Keseluruhan peraturan perundang-undangan diatas, secara teoritis akan mendekatkan tata hukum dalam realitas sosial atau dapat juga disebut sebagia hukum yang populis. Produk-produk hukum yang telah disyahkan tersebut adalah bagian dari strategi politik hukum dalam menciptakan tata pemerintahan yang lebih baik. Meskipun pada kenyataannya sebagian masyarakat mengkritik pemberlakuan UU tersebut diatas, karena dianggap hanya merupakan produk politik yang bertujuan melanggengkan kekuasaan dan kepentingan partai besar.
Dikarenakan hal tersebut diatas, pada perkembangan selanjutnya partai-partai yang tidak lulus verifikasi di Departemen Kehakiman mengajukan judicial review atas UU Kepartaian dan Pemilu. Namun, dikarenakan UU tersebut lahir dalam bentuk yuridis murni secara legal formal telah sah, maka tidak berlebihan apabila UU Politik tersebut dikatakan cukup populis dan dapat mengantarkan rakyat ke era pemilu 2009 mendatang, dengan segala kelemahan yang terdapat di dalam UU tersebut, sehingga UU tersebut harus direvisi.

Adakalanya dalam sistem yang demokratis diterapkan politik hukum dengan membentuk hukum yang justru menjauhkannya tata hukum dari realitas sosial, seperti yang terjadi pada masa Presiden Abdurahman Wahid, dalam mengatasi konflik antara Presiden dengan dengan DPR/MPR, maka Presiden mengeluarkan Maklumat Presiden RI tanggal 23 Juli 2003 yang isinya :
1. Membekukan MPR dan DPR ;
2. Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan mengambil tindakan serta menyusun badan yang diperlukan untuk menyelenggarakan pemiihan umum dalam waktu satu tahun, meskipun wacana yang berkembagn apda masa itu, maklumat yang demikiat dianggap tidak konstitusional, karena bertentangan dengan prinsip ketatanegaraan yang terkandung dalam UUD ’45 ;
3. Menyelematkan gerakan reformasi total dan hambatan unsur-unsur Orde Baru dengan membekukan Partai Golkar (Golongan Karya) sambil menunggu putusan Mahkamah Agung RI.

Istilah maklumat tidak dikenal dalam ketatanegaraan Indonesia khususnya dalam tata urutan perundang-undangan sebagaimana diatur pada TAP MPR No. III/MPR/2000, selain itu berdasarkan ketentuan Konstitusi mengatur bahwa Presiden tidak berhak membekukan lembaga MPR dan DPR, atas dasar yuridis tersebut, pada waktu maklumat dikeluarkan, namun tidak mendapat dukungan dari masyarakat luas, terutama dikalangan elite politik.
Sedangkan di era Presiden Megawati, akibat peristiwa bom Bali I dan II, dan beberapa peristiwa peledakan bom lainnya ditanah air ayng dilakukan oleh teroris, maka Pemerintah mengeluarkan Perpu No. 1 Tahun 2000 tentang Pemberantasan tindak Pidana Terorisme, Perpu ini kemudian diajukan menjadi UU No. 15 Tahun 2003 yang diberlakukan saat ini.

Perkembangan politik hukum yang terjadi dewasa ini, dapat dilihat dengan banyaknya perubahan atas undang-undang perekonomian bukan saja karena kebutuhan dari dalam negeri melainkan juga pengaruh era globalisasi. Misalnya : UU Hak Cipta, UU Paten, UU Merek, UU Kepailitan, UU Hubungan Industrial, UU Perlindungan Konsumen dan masih banyak lagi UU perekonomian lain yang diciptakan maupun direvisi.

Dengan adanya pengaruh globalisasi terhadap politik hukum Indonesia dewasa ini, merupakan sesuatu yang tidak dapat diabaikan. Untuk itu dalam rangka membangun pemerintahan yang demokratis, konfigurasi politik yang demokratis, sistem politik yang demokratis dan mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis maka dibutuhkan politik hukum yang mendekatkan tata hukum dengan realitas sosial dengan demikian akan terdapat check and balance dalam tatanan politik yang akan meciptakan keseimbangan. Atau, mempertahankan hukum yang populis dengan memperhatikan lingkungan baik di dalam dan di luar negeri, dengan berorientasi pada kepentingan nasional dalam rangka pembangunan ekonomi.

Bila hal yang demikian dapat diwujudkan, maka tujuan negara yang telah ditentukan dalam Pembukaan UUD ’45 akan dapat tercapai. Seiring dengan itu, dengan diterapkannya hal yang telah diuraikan penulis diatas, maka tuduhan miring terhadap politik hukum Indonesia sebagaimana halnya dengan negara-negara lain yang sedang berkembang pada umumnya adalah mempertahankan kekuasaan, kekuasaan yang dipandang sebagai tujuan, bukan sarana, akan dapat terhindarkan. Kekuasaan haruslah dipandang sebagai alat pemerintahan dalam mencapai tujuan cita-cita kemasyarakatan yang berdasarkan kesejahteraan dan keadilan sosial.
Untuk itu dalam membangun masyarakat yang demokratis, sistem politik yang demoktaris, konfigurasi politik yang demokratis dan mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis atau negara demokrasi konstitusional maka politik hukum yang ditempuh adalah membentuk hukum yang realistis, terutama mencerminkan kebutuhan masyarakat, sehingga hukum pun dapat menjangkau berbagai aspek kehidupan yang pada akhirnya akan bermuara pada pembangunan sistem hukum ideal. Dengan demikian, maka cita-cita hukum untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, dalam hal hukum dapat mengatur berbagai aspek kehidupan seperti : ekonomi, politik, sosial dan lain sebagainya.

Terbentuknya politik hukum yang baik, dapat dilihat dari sistem politik suatu negara. Manakala sistem politiknya berakhir dengan kekacauan, demokrasi yang berakhir dengan anarki membuka jalan untuk melawan dengan kediktatoran, yang bersifat tangan besi. Dalam hal ini, akan bergantung kepada kewibawaan orang seorang yang tidak akan lama umurnya. Jadi tidak ada gunanya membangun sistem politik apabila Pemerintahannya diktator, sebagaimana yang terjadi pada era sebelumnya, masa Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru.

Dengan berjalannya reformasi selama kurang lebih delapan tahun dan pemilu yang dapat diwklifikasi demokratis sejak tahun 1999, maka harapan untuk membangun sistem hukum melalui politik hukum sangat besar kemungkinannya akan membawa hasil ke arah yang lebih baik. Kompleksitas hukum akan mencerminkan politik hukum yang direncanakan, dibentuk, untuk kemudian diberlakukan dimasa yang akan datang sebagai hukum positif (ius constitum). Karena itu, politik hukum ke depan, adalah membentuk hukum yang populis dan dijadikan dasar dalam bertindak dalam menata kehidupan hukum yang konstitusional dan demokratis dalam wadah kenegaraan kesatuan Republik Indonesia.

Hal lain, yang patut menjadi bahan pemikiran dimasa mendatang, berkenaan dengan politik hukum adalah bagaimana menyiasati perubahan jaman untuk merencanakan politik hukum nasional yang berorientasi dengan kepentingan nasional dan internasional, sehingga Indonesia dapat membentuk sistem hukum yang dinamis terhadap negara-negara maju. Perlu dipertimbangkan, bahwa semakin tingginya tingkat mobilitas perekonomian dunia, maka Indonesia harus berani menempatkan hukumnya sebagai sarana mencapai tujuan politik, ekonomi budaya, sosial dan lain sebagainya, dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Konstitusi UUD ’45 berkedudukan sebagai landasan politik hukum sehingga menjadi landasan berpijak dalam membuat suatu kebijakan tidak lagi berorientasi pada kepentingan pihak tertentu, kekuasaan tertentu, melainkan kepentingan yang berasaskan UUD.



IV. Penutup

Berdasarkan uraian diatas, penulis menguraikan kesimpulan sebagai berikut :
a. Konfigurasi politik Indonesia sejak pasca refomasi mengalami perubahan secara mendasar, diantaranya : perubahan jumlah partai politik (multi partai), perimbangan suara tanpa ada dominasi partai tertentu, dan perubahan jumlah kursi di legistatif (MPR dan DPR).
b. Format politik merupakan sarana dalam menentukan strategi politik hukum yang didasarkan pada UUD ’45, sehingga dengan demikian sistem politik suatu negara sangat erat hubungannya dengan sistem hukumnya (dalam hal UUD ’45).
c. Politik hukum yang ditempuh (diterapkan) pasca pemilu tahun 1999 ini adalah politik hukum yang mendekatkan tata hukum dengan realitas sosial atau hukum yang bersifat populis.


Jakarta, Pebruari 2008
Penulis









DAFTAR PUSTAKA

Alfian, “Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia”, Gramedia, Jakarta, 1978.

Bintan R. Saragih, “Politik Hukum di Negara-Negara Berkembang”, Makalah tanggal 11 Nopember 1985, Bandung.

Daniel S. Lev, “Hukum dan Politik di Indonesia”, (kesinambungna dan perubahan), LP3ES, Jakarta 1990.

Mahadi, “Beberapa Sendi Hukum di Indonesia”, PT. Saksama, Jakarta, 1954.

Moh. Mahfud MD, “Politik Hukum di Indonesia”, LP3ES, Jakarta 1998.

Soepomo, “Sistem Hukum di Indonesia”, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1997.