Kamis, 23 April 2009

ARTICLE

PEMILU, MAHALNYA SEBUAH NEGARA DEMOKRASI.
Oleh : Agus P. Pasaribu, S.H.

Pemilu Legislatif tanggal 9 April 2009 telah dilangsungkan, namun masih terang dalam ingatan kita bagaimana kekacauan pemilu yang timbul, mulai dari skup wilayah terkecil sampai nasional, sehingga tak heran apabila belakangan sebagian besar masyarakat maupun partai politik sudah tidak respek terhadap hasil pencapaian pemilu dalam suatu tatanan negara demokrasi. Bahkan, masyarakat cenderung skeptis apabila bicara sistem pemilihan yang diterapkan, padahal ke depannya tidak lama lagi pemilihan presiden (pilpres) telah menunggu. Hal ini tentu menjadi pertanyaan bagi kita mengapa hal yang demikian terjadi, pemilu yang seharusnya bertujuan mengakomodir hak pilih masyarakat untuk menentukan nasib bangsa kedepannya, justru menjadi sesuatu yang ironis karena warga negara kehilangan hak pilih. Alih-alih mendapat hak suara, terdaftar saja sebagai pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) tidak.

Banyak masyarakat yang ada di daerah tidak mengetahui kapan diadakan pemilihanan umum (pemilu). Sampai-sampai pernah terjadi sesuatu kejadian yang jenaka sekaligus memprihatinkan, dimana seorang warga bertanya kepada Panitia Pemilu pasca pemilihan legislative lalu dengan mengajukan : “mencontreng sudah selesai, kapan mencoblosnya?. Jadi pertanyaan bagi kita, apa saja yang dilakukan pemerintahan setelah sekian lama berkenaan dengan pendidikan berpolitik warga negaranya ?? Bukankah pendidikan politik merupakan hak asasi?. Namun fakta empiris membuktikan, pada pemilu legislative lalu warga negara banyak yang secara tidak langsung dipaksa untuk tidak berpartisipasi dalam pesta demokrasi sekali lima tahun tersebut. Seolah-olah masyarakat kita secara de jure (baca : menurut hukum) dianggap bukan sebagai warga yang mempunyai hak pilih di republik ini. Bahkan, warga negara yang memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) sekalipun tidak serta merta menjadi jaminan secara hukum untuk mempunyai hak pilih. Terbukti, KTP tidak cukup menjadi alas hak mendapat hak pilih sebagai warga negara. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis dengan maksud untuk memberikan refleksi tentang kenyataan sistem kesembrawutan manajemen pemilihan umum kita yang bermuara pada dirugikannya hak politik warga Negara, sehingga merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat.

Pemilu, Tanggung Jawab Siapa ?
Sejak terbuktinya ketidakberesan pemilu 9 April 2009 lalu, banyak pihak yang seharusnya patut dimintai “tanggung jawab”, malah justru berpura-pura tidak tahu-menahu dan cenderung saling menyalahkan, bahkan sebisa cuci tangan atas segudang persoalan yang menimpa pemilu legislative (pileg). Sangat tidak mengherankan, panggung perpolitikan kita semakin hari diramaikan oleh kontradiktif komentar tentang dunia politik dan mekanisme pemilu kita.
Kenyataannya, siapapun tahu bahwa Komisi Pemilihan Umum jauh-jauh hari telah dibentuk oleh pemerintah dan orang-orang yang terpilih telah pula di uji kelayakan (fit and propertest) melalui mekanisme UU di lembaga legislatif (DPR), sehingga masih menjadi alasankah mempertanyakan siapa pihak yang patut dimintai pertanggung-jawaban atas kekacauan pemilu, atau jangan-jangan kekacauan sistem pemilu jangan-jangan dikehendaki oknum-oknum tertentu sebagai suatu upaya sitemik yang berorientasi pada harapan mendapat andil dengan situasi yang tercipta. Pemilu yang terlaksana dengan berbagai kekurangannya yang dipadu dengan kekacauan disana-sini, justru sempat ditanggapi dingi oleh pemerintah, seolah-olah menutup mata sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk terselenggaranya pesta demokrasi sekali lima tahun tersebut. “Pemerintah” justru bersikap pasif dan apriori tanpa pernah memberikan penjelesan kepada publik atas persoalan yang sedang dihadapi. Pemerintah baru memberi respon atau tanggapan setelah arus demonstrasi dan konflik mulai bermunculan di daerah-daerah satu demi satu, niat baikkah pemerintah ?, mengapa pemerintah selalu telat menyikapi setiap persoalan di negeri ini. Andaikan saja tidak ada yang protes dengan berbagai kecurangan pileg lalu, jangan-jangan pemerintah akan diam. Anehnya lagi, pemerintah tidak menunjukkan sikap yang determinatif untuk berusaha meminimalisir, mengakomodir, maupun menengahi silang pendapat antara berbagai pihak yang justru semakin meruncing. “Pemerintah” disibukkan dengan manufer politik partai untuk mempersiapkan pemilu presiden (pilpres) yang sudha menunggu. Bagaimanapun, secara moralitas dan struktur organisasi, pemerintah adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas kekacauan pemilu yang ada. Tapi apakah pemerintah secara fair berani mengakui kesalahan dan dewasa dalam hal ini ???. Jadi sangat patulaht apabila masyarakat maupun partai-partai di republik ini menyampaikan mosi tidak percaya.
Pada konteks yang berbeda, KPU selaku penyelenggara pemilihan umum tidak mempunyai keberanian diri secara ksatria untuk mengakui dan menyatakan kesalahan kepada publik sehubungan dengan penyelenggaraan pemilu yang terkesan amatiran. Masing-masing anggota KPU malah disibukkan dengan berbagai usaha untuk menuntaskan persoalan yang ada secara membabi buta tanpa memahami kondisi apa yang telah terjadi. Malahan, para anggota komisi KPU terkesan mencoba-coba lepas tanggung jawab dengan mengemukakan berbagai alasan pembenar untuk berbagai kesalahan yang sudha dialkukan. Padahal, sejak semula pada saat pemilihan anggota komisi, sudah banyak pihak yang menyampaikan protes dan mempertanyakan kredibilitas / kemampuan (skill) orang-orang tersebut, namun pemerintah maupun DPR nampaknya sepakat untuk tidak mendengarkan kritik yang dikemukakan banyak pihak tersebut. Alhasil, pada saat fakta sudha membuktikan bagaimana ketidakmampuan anggota KPU, DPR kita pun cuma bisa terdiam, tanpa pernah berpikir bahwa sebenarnya DPR juga punya andil dan tanggung jawab selaku wakil rakyat yang menguji kompetensi orang-orang yang ada di komisi opemilihan umum tersebut. Jadi dimana tanggung jawab moral yang diemban wakil rakyat kita ?.
Kekacauan jumlah pemilu tetap membuktikan bahwa KPU dan pemerintah tidak mempunyai manajemen kependudukan yang layak, sehingga wajar bila muncul berbagai kontra-produktif sehubungan dengan jumlah masyarakat yang berhak memilih. Padahal Negara ini telah menggelontorkan dana triliunan rupiah untuk terselenggaranya pemilu. Inikah manfaat negara demokrasi ??



Penutup

Melihat realitas tentang penyelenggaraan pesta demoktasi di republik ini, sudah sepatutnya anggota KPU secara sadar untuk bercermin diri untuk merenungkan kembali kemampuannya untuk melaksanakan pemilihan presiden ke depan. Sudah saatnya, apabila ingin melibatkan diri ke dalam suatu sistem pemilihan (baca : anggota komisi pemilihan), terlebih dahulu memahami dan mengukur kemampuan. Dengan demikian, tidak akan merugikan orang lain (baca : masyarakat). Apapun alasannya, pemerintah harus bertanggungjawab terhadap kegagalan pemilu, hal ini menjadi catatan buruk dalam sejarah ketatanegaraan republik ini, terlebih lagi terbukti bahwa di negara ini justru manfaat demokrasi berbanding terbalik dengan yang sebenarnya, bahkan mahalnya sebuah demokrasi harus dibayar dengan hilangnya hak pilih rakyat. Selain itu, pembelajaran politik bagi kita adalah bahwa lembaga legislatif kita telah pula terbukti tidak mampu untuk menguji kelayakan oknum-oknum yang pantas menduduki jabatan sebagai anggota komisi pemilihan umum, sehingga menghasilkan orang-orang yang tidak kredibel dan tidak mampu menjalankan tugas dan tanggung jawabnya menyelenggarakan pemilu. Masihkah kita bertahan dengan ketidakbijakan menggunakan hak pilih kita, mengingat pemilihan presiden kedepan sudah menunggu ? atau masihkah kita mempertahankan orang-orang yang jelas tidak mampu memimpin KPU?, jika itu yang telah dibangun selama ini akan mengalami kemuduran total.
Penulis,
Jakarta April 2009

Senin, 20 April 2009

GOOD CORPORATE GOVERNANCE

RELEVANSI PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP GOOD CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI DI INDONESIA
By. Agus Pranki Pasaribu, S.H.



I. Pendahuluan
Salah satu isu mutakhir yang berkembang dewasa ini, adalah penerapan prinsip good corporate governance dalam rangka meningkatkan perekonomian negara (pembangunan). Adalah fakta, bahwa krisis moneter yang melanda Indonesia pada pertegahan Juni 1997 merupakan salah satu manifestasi dari lemahnya sistem pengawasan terhadap perusahaan, baik yang berskala nasional maupun internasional. Entah itu, yang bergerak dibidang finansial dan atau non finansial (non finance). Namun setidaknya, faktor lemahnya pengawasan merupakan salah satu pemicu utama yang dipandang para ahli cukup esensial melahirkan resiko manajemen invetasi (risk management investment).
Rentanya perusahan-perusahaan di Indonesia terhadap gejolak perekonomian, pada prinsipnya apabila ditinjau dari aspek manajemen dan hukum adalah dikarenakan lemahnya penerapan empat prinsip yang terkandung dalam good corporate governance, yang meliputi : keadilan (fairness), keterbukaan (transparancy), akuntabilitas (accountability), dan tanggungjawab (responsibility). Keempat prinsip tersebut lajimnya harus secara sinergi bekerja untuk terciptanya pengelolaan perusahaan yang baik, tepat dan optimal. Lemahnya penerapan yang demikian tentu saja berdampak pada pembangunan ekonomi yang terhambat dalam suatu negara. Good corporate governance dalam kedudukannya sebagai salah satu aspek penting pembangunan sistem ekonomi, setidaknya harus di mulai dari penerapan yang seimbang. Disatu sisi, ditingkat pengusaha berorientasi pada profit perusahaan. Disisi lain, target pemerintah dalam mencapai pembangunan ekonomi yang direncakankan. Dalam keadaan seperti ini, pemerintah dan perusahaan-perusahaan mempunyai peranan yang cukup penting untuk terciptanya sistem perekonomian yang kuat dan dinamis. Dalam pencapaiannya, dibutuhkan internalisasi pengawasan terhadap perusahaan, baik dalam bentuk penilaian tingkat kelayakan operasionalisasi perusahaan maupun prospek kemanfaatannya terhadap perekonomian negara.
Salah satu prinsip yang mencolok dalam good corporate governance sebagaimana telah disinggung sebelumnya adalah prinsip keterbukaan (trasparancy) yang mengharuskan pengelola perusahaan berkewajiban memberikan informasi yang akurat dan berdasarkan kebenaran berkaitan dengan perusahaan, yang menyangkut : keuangan (finance), kepemimpinan (leadership), kinerja, sumber permodalan (capital), dan lain sebagainya. Prinsip keterbukaan (disclosure) ini penting untuk mencegah lahirnya perusahaan-perusahaan yang tidak sehat sehubungan dengan investasi (permodalan) dan kemanfaatannya terhadap pertumbuhan ekonomi, sekaligus penginkatan daya lapangan kerja.



II. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang penulis kemukakan diatas, maka diajukan beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini, sebagai berikut :
A. Apakah prinsip-prinsip Good corporate governance itu ?
B. Apakah manfaat dan implementasi prinsip keterbukaan, akuntabilitas,
tangungjawab, dan keadilan ?
C. Bagaimanakah penerapan prinsip good corporate governance dalam hubungannya terhadap pembangunan ekonomi ?




III. Prinsip Good Corportate Governance, Antara Kebutuhan dan Implementasinya Di Perusahaan-Perusahaan.

A. Apakah prinsip-prinsip Good Corporate Governance itu ?
Pemahaman terhadap prinsip-prinsip good corporate governance sebagai kebutuhan di era modern ini, sebenarnya merupakan esensi yang sangat mendasar sekali. Namun, seringkali penerapannya dalam praktek kurang memperhatikan dasar pemberlakuan yang berorientasi pada prinsip-prinsip yang semestinya. Hal ini justru akan berdampak pada terhambatnya nilai investasi yang berujung pada perekonomian yang tidak meningkat secara signifikan, melainkan mandek (dalam arti : terhambat) dan akan menimbulkan masalah sosial baru. Dalam penerapan good corporate governance perlu dipahami pengertian mendasar atas prinsip-prinsip
yang diaturnya.
Prinsiip penerapan good corporate governance dalam lingkungan perusahaan, sebagaimana disebutkan terdahulu mengandung empat prinsip utama, yakni : keadilan (fairness), keterbukaan (transparancy), akuntabilitas (accountability), dan tanggungjawab (responsibility).
Mengutib dari Forum Good Corporate Governance Indonesia (FCGI), menguraikan prinsi-prinsip tersebut sebagai berikut :

a. Fairness (Kewajaran)
Perlakuan yang sama terhadap pemegang saham, terutama kepada para pemegang saham minoritas dan pemegang saham asing, dengan keterbukaan infomasi (information disclosure) yang penting serta melarang pembagian untuk pihak sendiri dalam perdagangan saham oleh orang dalam (insider trading). Prinsip ini diwujudkan antara lain dengan membuat peraturan korporasi yang melindungi kepentingan saham minoritas, membuat pedoman perilaku perusahaan (corporate conduct) dan atau kebijakan-kebijakan yang melindungi korporasi terhadap perbuatan buruk orang dalam (self dealing), dan konflik kepentingan, menetapkan peran dan tanggungjawab Dewan Komisaris, Direksi, Komite, termasuk sistem renumerasi, menyajikan informasi secara wajar/pengungkapan penuh material apapun, mengedepankan equal job opportunity.

b. Disclosure/Transparancy (Keterbukaan)
Hak-hak pemegang saham, yang harus diberikan infomrasi dengan benar dan tepat waktu mengenai perusahaan, dapat ikut berperan serta dalam mengambil keputusan mengenai perubahan-perubahan yang mendasar dari perusahaan dan turut memperoleh bagian dari perusahaan. Prinsip pengungkapan yang akurat dan tepat pada waktunya serta transparansi mengenai semua hal yang penting bagi kinerja perusahaan, kepemilikan, serta para pemegang kepentingan (stakeholders) diwujudkan antara lain dengan mengembangkan sistem akuntansi (accounting system) yang berbasiskan standar akuntansi dan best practices yang menjamin adanya laporan keunagna dna pengungkapan yang berkwalitas, mengembangkan Information Tehnology (IT) dan Management Information System (MIS) untuk menjamin adanya pengukuran kinerja yang memadai dua proses pengambilan keputusna yang efektif oleh Dewan Direksi dan Komisaris, megnembangkan enterprise risk management yang memastikan bahwa semua resiko signifikan telah diidentifikasi, diukur, dan dapat dikelola pada tingkat toleransi yang jelas, mengumumkan jabatan yang kosong secara terbuka.

c. Accountability (Akuntabilitas)
Tanggungjawab manajemen melalui pengawasan yang efektif (efective oversight) didasarkan atas balance of power antara manajemen, pemegang saham, dewan komisaris, dan auditor.
Merupakan bentuk pertanggungajawaban manajemen kerja kepada pemegang saham dan kepada perusahaan (RUPS). Prinsip ini dwujudkan dalam bentuk penyiapan laporan keuangan (financial satement) pada tepat waktu dan dengan cara yang benar, mengembangkan komite audit sebagai mitra bisnis untuk mendukung fungsi pengawasan oleh Dewan Komisaris, mengembangkan dan merumuskan kembali peran dan fungsi internal audit sebagai mitra bisnis strategik berdasarkan best practices (bukan sekedar audit). Transpormasi menjadi risk based audit, menjaga manajemen kontrak yang bertanggungjawab dan menangani pertentangan (dispute), penegakan hukum (sistem penghargaan dan sanksi), penggunaan eksternal auditor yang memenuhi syarat (berbasis profesional).

d. Responsibility (Responsibilitas)
Peranan pemegang saham harus diakui sebagaimana ditetapkan oleh hukum dan kerjasama yang aktif antar perusahaan serta para pemegang kepentingan dalam mencipkatan kekayaan, lapangan pekerjaan dan perusahaan yang sehat dair aspek keuangan. Ini merupakan tanggungajwab korporasi sebagai anggota masyarakat yang tunduk kepada hukum dan bertindak dengan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan masyarakat sekitarnya.
Prinsip ini diwujudkan dengan kesadaran bahwa tanggungjawab merupakan konsekwensi logis dari adanya kewenangan, menyadari akan adanya tanggungjawab sosial, menyadari profesional dan menjunjung etika, memelihara lingkungan bisnis yang sehat.

Selanjutnya, dari uraian masing-masing prinsip diatas, ada baiknya penulis kemukakan pendapat J. Mark Mobius yang mengemukakan beberapa aspek penting untuk memastikan kinerja manajemen yang efektif dalam pererapan good corporate governance, antara lain :
1. Akuntabilitas (accountability), menurutnya dan yang paling utama pada bagian ini adalah berkenaan dengan masalah nilai, yang termasuk didalamnya aspek responsibilitas. Lebih lanjut lagi disampaikan olehnya Credit Lyonnais Securites Asia (CSLA), dalam penelitiannya mengenai good corporate governance yang berkembang di pasar, telah digunakan beberapa variabel untuk menilai tingkat akuntabilitas, yang antara lain adalah :
a. independece and non-executive nature of board members ;
b. presence of more than half non-executive board members ;
c. presence of foreign nationals on the board ;
d. occurrence of regular full board meeting (once a quarter) ;
e. pportunity for the members to “exercise effective quarter” ;
f. presence of audit committee.
2. Transparansi (transparancy), secara umum dijabarkan bahwa transparansi yang semestinya seharusnya memuat hal-hal sebagai berikut :
a. adoption of accurate accounting methods ;
b. full and prompt disclosure of information relating to the company;
c. timely disclosure of information ;
d. disclosure of conflicts of interest of the directors or majority shareholders ; and,
e. adequate advance notice of meeting and voting so shareholders may prepare.
3. Upaya perlindungan kepada penanam modal minoritas (minority investor protection measures), pada butir ini secara prinsip titik beratnya menyangkut transparansi dan akuntabilitas yang dipandang masih kurang memadai tanpa di dukung oleh upaya kongkrit terhadap penanam modal minoritas yang seringkali diperlakukan secara tidka adil dalam prakteknya di Indonesia.
4. Pemberlakuan perangkat hukum (enforced regulations), instrumen ini merupakan langkah efektif untuk impelementasi pemberlakuan good corporate governance dalam rangka pencapaian kunci sukses di sebuah negara. Dengan kata lain, masing-masing negara yang telah meratifikasi prinsip good corporate governance seharusnya menyadari komitmennya untuk menerapkan kebijakan-kebijakan yang konprehensif dalam bentuk penegakan peraturan, yang merupakan jaminan terselenggaranya prinsip yang dimaksud. Sedangkan, faktor lain yang perlu ditegaskan dan dilaksanakan adalah berkaitan dengan sanksi peraturan (hukum) dalam hal terjadinya pelanggaran-pelanggaran prinsip tersebut.



B. Keberadaan Komite Audit dalam Organ Perseroan Terbatas,
Menuju good Corporate Governance
Menurut prinsip dalam pedoaman good corporate governance ditegaskan : “Dewan Komisaris weajib membentuk komite audit yang beranggotakan satu atau lebih anggota Dewan Komisaris. Dewan Komisaris dapat meminta kalangan luar dengan berbagai keahlian, pengalaman dan kwalitas lain yang dibutuhkan, untuk duduk sebagai anggota komite audit guna mencapai tujuan komite audit. Komite Audit harus bebas dari pengaruh Direksi, external auditor dan dengan demikian hanya bertanggungjawab kepada Dewan Komisaris”.
Mencermati prinsip dasar tersebut diatas, memberikan pemahaman bahwa Komite Audit harus independence untuk memberikan penilaian secara fair, terlepas dari adanya salah satu Dewan Komisaris yang duduk sebagai komite audit. Dalam konteks ini pula Komite Audit berada dibawah Dewan Direksi yang juga bertanggungjawab kepada Dewan Direksi. Namun demikian, adanya Komite Audit ini dalam praktek belum mempunyai landasan hukum yang kuat. Sehingga untuk mengakomodasi hal yang demikian, dibutuhkan instrumen hukum (dalam arti UU Perseroan) yang mengatur secara tegas hal yang demikian. Oleh karena itu, diperlukannya pembaharuan UU perseroan agar mengatur hal yang demikian.
Secara yuridis normatif UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan belum mengatur perihal Komite Audit tersebut. Kalaupun dapat dipaksakan, maka keberadaan Komite Audit hanya mempunyai dasar pembentukan. Sebagaimana pasal 94 ayat (1) UUPT yang menyatakan bahwa : “Perseroan memiliki Komisaris yang wewenang dan kewajibannya ditetapkan dalam anggaran dasar.
Dari ketentuan diatas, meskipun tidak menyatakan secara tegas keberadaan Komite Audit, maka dapat dijadikan dasar untuk pembentukannya, kemudian dalam penjabarannya agar dapat diatur secara lebih rinci tentang keberadaan Komite Audit, setiap perusahaan dapat mencantumkan atau mengaturnya dalam anggaran dasar perusahaan.
Berdasarkan fakta diatas, maka disatu sisi keberadaan Komite Audit, masih terbatas dan tergantung pada itikad baik (good faith) perusahaan. Sedangkan disi lain, Komite Audit tersebut berdasarkan prinsip good corporate governance merupakan hal yang utama dalam rangka pencapaian asas akuntabilitas suatu perseroan, sehingga dapat diketahui oleh publik, khususnya pemerintah selaku pihak yang menciptakan regulasi investasi.
Persoalan lain yang perlu diatur secara tegas adalah menyangkut independensi komite audit dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, halmana dimasukkannya salah satu anggota Dewan Komisaris untuk duduk sebagai Komite Audit. Yang tentu akan membawa dampak tersendiri terhadap anggota Direksi dlaam menjalankan tugasnya. Karena, bagaimanapun fakta membuktikan bahwa selama ini ambruknya perusahaan-perusahaan di Indonesia tidak semata-mata akibat dari ulah Direksi perseroan, melainkan juga ditentukan oleh terlalu campur tangannya anggota Dewan Komisaris terhadap Direksi dalam menjalankan perseroan. Kiranya perlu ditegaskan kembali, pengaturan tentang siapa saja yang dapat menjadi anggota Komite Audit, serta tidak direkrut dari Dewan Komisaris. Sangatlah riskan apabila dimasukkannya anggota Dewan Komisaris dalam suatu Komite Audit.
Komite Audit untuk dapat melaksanakan tugas dan wewenangnya dengan baik, maka tentulah dibutuhkan orang-orang yang mempunyai keahlian dibidang audit, milsanya : audit keuangan (akuntan pulbik), audit hukum (legal audit dalam hal ini konsultan hukum), dan berbagai keahlian lain yang menunjang.
Selanjutnya, menurut pedoman good corporate governance yang menjadi tugas dan tanggungajwab Komite Audit, antara lain :
1. mendorong terbentuknya sistem pengawasan yang memadai ;
2. meningkatkan kwalitas keterbukaan laporan keuangan yang memadai;
3. mengkaji ruang lingkup dan kettepatan eksternal audit, kewajaran biaya eksternal audit dan kemandirian serta objektivitas eksternal audit;
4. mempersiapkan surat yang menguraikan tugas dan tanggungjawab Komite Audit selama tahun buku yang diperiksa oleh internal audit, surat tersebut harus disertakan dalam setiap laporan yang deisampaikan kepada para pemegang saham.
Menurut Keputusan Meteri BUMN No. Kep-103/2002, yang menjadi tugas dan tanggungajwab Komite Audit, antara lain :
1. Menilai pelaksanaan audit dan hasilnya ;
2. Memberikan rekomendasi tentang penyempurnaan ;
3. Sistem pengendalian manajemen perusahaan pelaksanaannya ;
4. Memastikan telah terdapat prosedur review yang memadai tehadap infomasi yang dikeluarkan BUMN ;
5. Mengidentifikasi hal-hal yang perlu diperhatikan Komisaris dan Dewan Pengurus ;
6. Melaksanakan tugas lain dalam lingkup tujuan dan kewajiban Komisaris.

Berdasarkan prinsip-prinsip diatas, maka dalam hubungannya dengan prinsip keterbukaan dalam good corporate governance akan dapat dicapai. Penciptaan prinsip keterbukaan terletak pada tugas Komite Audit untuk mendorong terbentuknya struktur yang memadai dan meningkatkan kwalitas keterbukaan laporan keuangan. Dalam prakteknya Komite Audit akan memberikan pengawasan internal dari pelaporan keuangan yang terbukan kepada Dewan Komisaris. Dan disini, peranan Komisaris sangat diperlukan untuk memberikan nasehat kepada Dewan Direksi sehubungan dengan operasionalisasi perseroan setelah Dewan Komisaris mendapat laporan dari Komite Audit, hal yang demikian telah diatur dalam pasal 97 UU No. 1 Tahun 1995.




C. Fungsi Pengawasan Yang Dilakukan Komisaris Dalam
Pelaksanaan Good Corporate Goernance
Fungsi pengasawan yang dilakukan oleh Komisaris terhadap Dewan Direksi dalam rangka pelaksanaan prinsip good corporate governance, meliputi :

1. Audit Keuangan
Pengawasan dalam bidang keuangan selalu menempati posisi sentral dalam setiap perusahaan, halmana pengawasan dalam bentuk ini dapat berupa : perhitungan laba-rugi (neraca keuangan), penilaian aset-aset perusahaan (dalam bentuk : saham, obligasi, dan surat-surat berharga lain ayng dimiliki oleh perseroan), perpajakan (pajak penjualan, pajak penghasilan dan pajak lain yang dimiliki perseroan). Khusus pengawasan di bidang perpajakan, dengan pembayaran pajak yang berkala dan tetap waktu tentu akan membawa dampak perekonomian terhadap negara, dan laporan pembukuan yang transparan, akan membentuk image perusahaan yang baik, sehingga akan berdampak pada arus investasi yang akan masuk dan keluar. Oleh karena itu, disinilah audit atas cash flow diperlukan untuk memonitor tingkat kesehatan keuangan perusahaan.

2. Audit Organisasi
Pengawasan terhadap struktur organisasi, hubungan antara pemimpin bentuk dan besarnya struktur organisasi, harus selalu disesuaikan dengan tingkat kebutuhan perseroan. Pengawasan di bidang organisasi perseroan dimaksudkan untuk mencegah terjadinya tindakan pemanfaatan perseroan sebagai sarana perbuatan melawan hukum yang bertujuan untuk kepentingan pribadi, bukan kepentingan perseroan. Disinilah manfaat asas piercing the corporate veil dalam penerapan good corporate governance sangat besar dari sudut pengawasan pemerintah terhadap organisasi perseroan. Bila akan diambil suatu kebijakan untuk membentuk suatu bagian tertentu dari perseroan, harus kemanfaatan dan analisis biaya (cost-benefit analyst).

3. Audit Personalia
Pengawasan terhadap personalia, penentuan kriteria untuk mendapatkan personal yang memenuhi kwalifikasi sebagaimana yang dibutuhkan perseroan. Meskipun Direktur berwenang untuk mencari sumber daya manusia (SDM), namun secara selektif dapat diterapkan pedoman umum, seperti : fiduciary duties, duties of loyality, duties of skill, duties of care, dan duties to act lawfully.


IV. Penutup
Berdasarkan uraian diatas, disimpulkan beberapa pokok pemahaman tentang GCG yang berkaitan dengan topik permasalahan yang dibahas, yakni:
1. Good Corporate Governance (GCG) merupakan tata kelola perusahaan yang terdiri dari empat prinsip, yakni : keadilan (fairness), keterbukaan (transparancy), akuntabilitas (accountability), dan tanggungjawab (responsibility).
2. Manfaat penerapan GCG adalah upaya pembangunan prinsip-prinsip ekonomi yang kokoh sebagai landasan terciptanya kesinambungan pembangunan, sehingga mutlak dibutuhkan, khususnya penerapan GCG terhadap perseroan yang berbasis hukum Indonesia.
3. Penerapan prinsip GCG berkaitan erat dengan fleksibilitas manajemen ekonomi dalam tingkat perusahaan (perseroan) yang secara dasriah merupakan sub-sistem pembangunan ekonomi Negara secara nasional.

Jakarta akhir 2006,
Penulis












GOVERMENT ARTICLE

REFORMASI BIROKRASI
Oleh : Agus P. Pasaribu, SH.



Dewasa ini konteks negara modern semakin mengemuka dan gencar disuarakan oleh para ahli politik maupun ketatanegaraan, baik itu melalui media massa, cetak maupun elektronik. Konsep pembenahan birokrasi di era reformasi sekarang ini diharapkan dapat meningkatkan peranan negara dalam ruang lingkup berbangsa dan bernegara. Dikatakan pembenahan birokrasi yang bersifat internal apabila reformasi-nya menyangkut efisiensi bagian-bagian ke dalam instansi pemerintahan. Sedangkan birokrasi eksternal menyangkut aspek-aspek hubungan timbal balik antara lembaga negara dengan masyarakatnya.
Seperti kita ketahui, bahwa selama ini fungsi birokrasi di Indonesia tidak efektif dalam praktek penyelenggaraanya. Hal ini tidak luput dari pengaruh regulasi instansi-instasi pemerintahan yang tidak tepat sehingga menciptakan birokrasi-birokrasi yang tidak relevan dan bahkan terkesan mubajir jika ditinjau dari sudut pandang kemanfaatannya.
Salah satu indikasi adanya usaha pembenahan birokrasi sejak era reformasi adalah pada masa pemerintahan Abdurahman Wahid (baca Gus Dur). Pada masa itu, pemerintahan gus dur membubarkan Kementrian Penerangan. Langkah tersebut patut kita acungkan jempol mengingat kementerian yang bersangkutan pada dasarnya tidak mempunyai peranan dan fungsi yang cukup signifikan.
Bercermin dari sudut pandang efektifitas dalam hubungannya dengan reformasi birokrasi pemerintah, penulis akan menguraikan dalam artikel ini beberapa aspek yang penting untuk dijadikan ukuran perlu atau tidaknya suatu instasi dibuat.


Efektifitas Birokrasi Vs. “Kebutuhan”
Sudah merupakan ajaran umum dalam ilmu adminsitrasi bahwa birokrasi pemerintahan dimaksudkan sebagai suatu sarana (alat) dengan maksud untuk mencapai tujuan tertentu (pelayanan public). Artinya, birokrasi diharapkan dapat memberikan sumbangsih yang optimal dalam rangka menjalankan roda pemerintahan dalam suatu masa tertentu. Misalnya, negara agraris membutuhkan suatu birokrasi pemerintahanan di bidang pertanian. Dengan demikian maka diciptakan departemen atau kementerian terkait. Dalam hal ini birokrasi berfungsi untuk menghasilkan dan atau membuat kebijakan-kebijakan dibidang pertanian. Adapun kebijakan-kebijakan tersebut dimaksudkan dapat memberikan kemanfaatan terhadap masyarakatnya.
Berdasarkan fungsi tersebut, maka kebutuhan akan suatu instansi tertentu yang membidangi aspek-aspek kehidupan masyarakat adalah tujuan utama yang didasarkan pada efektifitas kemanfaatanya. Dengan demikian tidak dapat disangkal bahwa kebutuhan suatu negara terhadap suatu instansi hanya tergantung pada seberapa efisien instansi tersebut diperlukan.
Berdasarkan fungsi kemanfaatan dalam bentuk efisiensi birokrasi pemerintahan tersebut, di Indonesia justru masih menganut paradigma lama, dimana instansi-instansi yang ada justru hanya menjadi birokrasi yang tidak berfungsi. Bahkan, instansi yang ada tidak mempunyai peranan terhadap kepentingan langusng masyarakat banyak. Melainkan justru ditinjau dari sudut pandang ekonomis, birokrasi dan instansi yang ada hanya merupakan pemborosan belaka karena bagaimanapun anggaran belanja negara terkuras habis setiap tahunnya.
Misalnya saja untuk wilayah Jakarta, terdapat Dinas Pertambangan, Dinas Pertanian, dan lain-lain yang dalam prakteknya ditinjau dari kondisi kebutuhan daerah tentu saja dinas-dinas tersebut tidak dibutuhkan di wilayah Jakarta. Contoh lain, di negara kita dikenal pula Menteri Peranan Wanita yang sekali lagi secara logis justru tidak mempunyai peranan apapun. Padahal dengan adanya kementerian yang demikian berapa banyak anggaran belanja yang harus dikeluarkan oleh negara untuk membiayai para pegawainya ???. Belum lagi, kementerian tersebut jika dikaji secara mendalam tidaklah berpengaruh apa-apa selama ini terhadap tingkat kemajuan wanita itu sendiri.


Meng-Optimalkan Birokrasi
Faktor-faktor yang melahirkan birokrasi yang tidak efektif bermacam-macam. Sebut saja factor sumber daya manusia, factor KKN, factor kelebihan tenaga kerjanya (pegawai) yang mana semua factor tersebut tetap berorientasi pada tidak tercapainya tujuan utama birokrasi yakni meningkatkan pelayanan public. Sehingga, bagaimana pun selain rugi dari sisi anggaran negara secara financial, juga telah merugikan kepentingan masyarakat secara luas.
Pemerintah secara substansial sudah urgen untuk melakukan pembenahan melalui melalui mekanisme efisiensi, apakah itu pengurangan pegawai maupun melaksanakan upaya pengawasan secara ketat dan pemberian sanksi tegas terhadap instansi maupun oknum terkait yang melakukan pelanggaran tugas-tugas maupun tanggung jawabnya.
Efektifitas suatu instansi (lembaga) harus dilihat dari seberapa mampu instansi tersebut benar-benar menjangkau tugas dan tanggung jawabnya, khususnya seberapa besar manfaatnya dirasakan oleh masyarakat luas.


Penutup
Pelaksanaan Refomasi birokrasi harus didasarkan pada strategi fungsi dan kemanfaatan suatu lembaga pemerintah dalam relevansinya dengan tingkat kebutuhan masyarakatnya. Dengan demikian maka reformasi birokrasi baru akan dapat berjalan dengan baik. Reformasi birokrasi hendaknya menjadi sebuah perenungan demi terciptanya negara yang masyarakatnya benar-benar dapat merasakan arti dan fungsi kelembagaan negara tersebut.



Maret 2007,
Penulis.

BUSINESS LAW

KLAUSUL-KLAUSUL Kontrak Standar DALAM HUBUNGANNYA
TERHADAP perlindungan konsumen
(Suatu Kajian dari Aspek Yuridis-Praktis)



A. Pendahuluan
Dengan berkembangnya kehidupan perekonomian dan industri di Indonesia dewasa ini, maka semakin dirasakan pula pesatnya permintaan dan penawaran barang-barang untuk keperluan rumah tangga, niaga bahkan keperluan industri. Akibat dari perkembangan tersebut, para produsen yang nota bene ingin mendapatkan keuntungan (profit/in come) sejumlah uang melalui transaksi penawaran barang dan harga berlomba-lomba memberikan mendapatkan pelangan (konsumen). Salah satu kebutuhan rumah tangga yang sering dijadikan objek perjanjian dalam perjanjian sewa beli misalnya : mobil, sepeda motor, rumah KPR dan perabotan-perabotan rumah tangga lainnya. Dari permintaan dan penawaran barang-barang tersebut biasanya dibarengi dengan berbagai kemudahan yang semuanya bertujuan pada maksud untuk memperoleh hak milik atas suatu barang disatu pihak dan memperoleh imbalan sejumlah uang sebagai imbalan harga di pihak lain, karena itu berakibat pada timbulnya banyak macam variasi sistem pemasaran barang dan variasi sistem pembayarannya. Salah satu dari macam variasi sistem pembayaran yang sering dipergunakan adalah dengan cara perjanjian sewa beli yang tertuang dalam klausul-klausul dalam kontrak standar.
Perjanjian sewa beli adalah salah satu bentuk perjanjian dalam hukum kontrak yang memiliki kekhasan secara perdata. Hukum kontrak yang merupakan bagian dari hukum privat, karena pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam kontrak, murni menjadi urusan dari pihak-pihak yang menyelenggarakan kontrak. Kontrak dalam bentuk yang paling klasik, dipandang sebagai ekspresi kebebasan manusia untuk memilih dan mengadakan perjanjian. Hal mana diatur pada pasal 1338 KUHPerdata.
Perkembangan hukum kontrak dewasa ini telah sampai pada paradigma baru yang timbul dari dua dalil antara lain : pertama, setiap perjanjian kontraktual yang diadakan adalah sah (geoorloofd) dan kedua, sertiap perjanjian kontraktual yang diadakan secara bebas adalah adil dan memerlukan sanksi undang-undang.
Dengan adanya dimensi baru dalam hukum kontrak ini tentu memiliki dampak positif dan negatif yang patut diperhitungkan. Dampak positifnya adalah sebagai salah satu bentuk pembangunan ekonomi melalui dunia usaha. Sedangkan dampak negatif dari adanya variasi dalam melaksanakan/membuat kontrak (perjanjian) adalah berkaitan dengan klausula-klausula yang mengatur perjanjian. Klausula perjanjian biasanya dibuat secara sepihak oleh pihak penjual sehingga kecenderugan isi dari klausula hanya mengatur hak-hak dari penjual, sedangkan pihak pembeli harus tunduk kepada ketentuan/klausula perjanjian yang dibuat secara sepihak tersebut. Hal ini menimbulkan dilema tersendiri bagi pembeli karena disatu sisi si pembeli membutuhkan barang yang menjadi objek perjanjian, sedangkan disisi lain pihak pembeli selalu dibebankan dengan syarat-syarat yang merugikannya.
Dengan bercermin pada ketentuan pasal 1320 KUHPerdata yang memuat tentang syarat-syarat sahnya perjanjian dan relevansinya terhadap Undang Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, tulisan ini akan menguraikan kajian kritis beberapa contoh mengenai permasalahan penerapan kontrak standar dalam praktek dan relevansinya terhadap perlindungan konsumen.


B. Sewa Beli
Pengertian sewa beli sebenarnya merupakan perjanjian campuran antara jual beli dan sewa menyewa. Menurut hukum kebiasaan perjanjian sewa beli (huurkoop) adalah suatu ciptaan praktek yang sudah diakui dalam Yurisprudensi Indonesia, malahan di Nederland sudah pula dimasukkan dalam BW. Berdasarkan pasal 1.a Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 34/KP/II/80 tentang perijinan kegiatan usaha sewa beli (hire purchase), jual beli dengan angsuran sewa (renting) perjanjian sewa beli dikonstruksikan sebagai perjanjian jual beli yaitu jual beli barang dengan memperhitungkan setiap pembayaran yang telah dilakukan oleh pembeli dengan pelunasan atas harga barang yang telah disepakati bersama dan diikat dalam suatu perjanjian, serta hak milik atas barang tersebut baru beralih dari penjual kepada pembeli setelah jumlah harganya dibayar lunas oleh pembeli kepada penjual.
Memperhatikan ketentuan pasal 1.a Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 34/KP/II/80 tersebut, menurut hemat penulis, meskipun sewa beli dikonstruksikan sebagai perjanjian jual beli, tetapi prosedur yang digunakan adalah prosedur kontrak dalam bentuk sewa, yaitu terlihat adanya unsur mengangsur pembayarannya dalam jangka waktu tertentu untuk penggunaan barang-barang yang disewa beli. Dan pada akhirnya sewa beli ini merupakan perjanjian pembelian barang, oleh karena pada perjanjian sewa beli si pemilik barang tidak memperhitungan mengenai keadaan barang yang disewakan pada akhir masa sewa beli, dan barang langsung akan menjadi milik si pembeli sewa. Adapun cara memperhitungkan harga angsuran pada sewa beli, diluar ongkos administrasi adalah harga barang ditambah bunga keseluruhan dibagi dengan jumlah berapa kali angsuran.

1. Sebagai Contoh Pertama
Dalam praktek yang terjadi di Ujung Pandang, perjanjian sewa beli antara PT. M.R.M dengan saudara S.M (di Majene) dilakukan secara tertulis dengan akte dibawah tangan. Dalam perjanjian dinyatakan bahwa untuk 1 (satu) unit mini bus merek Daihatsu merek Zebra tahun 1988 seharga Rp. 12. 160.000,- (harga per satu januari 1989).
Pelaksanaan harga sewa beli tersebut diperjanjian sebagai berikut :
1. Pembayaran pertama sebanyak ................................. Rp. 4.160.000,-
2. Sisa harga sewa beli seharga .................................... Rp. 8.000.000,-
Dan akan dibayar lunas dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) bulan
Dengan bunga 2 % (dua porsen) perbulan dan jumlah sisa angsuran harga sewa beli terhitung dari tanggal penandatanganan perjanjian tersebut.
3. Perincian waktu dan jumlah pembayaran ditambah bunga sebagai berikut :
- Sisa harga sewa beli ............................................ Rp. 8.000.000,-
Bunga 2 % X 30 bulan X Rp. 8.000.000,- ..................... Rp. 4.000.000,-
- Cicilan angsuran :
29 bulan X Rp. 426. 500 ....................................... Rp. 12.368.500,-
1 bulan X Rp. 431. 500 .............................................. Rp. 431. 500,-

Jumlah.............................................................. Rp. 12.800.000,-
(terbilang dua belas juta delapan ratus ribu rupiah).

Kemudian dalam pelaksanaan pembayaran angsuran, biasanya terdapat perjanjian (kontrak standar) yang memuat klausula-klausula khusus yang lajim disebut sebagai klausula baku yang ditandatangani oleh kedua belah pihak, si pembeli sewa maupun si penjual sewa. Klausula tersebut dinyatakan antara lain sebagai berikut :

Pasal VI
1. Bilamana suatu pembayaran sisa harga sewa beli menurut ketentuan dalam pasal I tersebut diatas, tidak dilakukan selama dua bulan berturut-turut menurut tanggal dan bulannya pihak kedua (si pembeli sewa) telah berada dalam keadaan lalai (wanprestasi), sehingga tidak lagi diperlukan pemberitahuan lewat jurusita dalam hal demikian itu, maka pihak pertama (si penjual sewa) ataupun orang yang diperintahkan/kuasanya berhak menarik kembali mobil tersebut ke dalam kekuasaannya dan ataupun mengalihkan kepada pihak ketiga dimanapun dan saat kapanpun tanpa melalui Pengadilan Negeri (parate eksekusi) dan untuk itu pihak kedua tidak berhak/tidak akan keberatan dan/atau menurut apapun juga dari pihak pertama.
2. Bahwa apabila terjadi sebagaimana yang disebutkan dalam butir (1) pasal ini, maka apa yang diserahkan dan atau dibayar pihak kedua kepada pihak pertama adalah menjadi sewa yang tidak bisa ditarik kembali oleh pihak kedua dan menjadi milik pihak pertama.
3. Bahwa apabila terjadi sebagaimana yang disebutkan dalam butir 1 (satu) dan butir 2 (dua) pasal ini, maka bersama dengan surat perjanjian sewa beli ini pihak kedua membuat suatu surat pernyataan penyerahan mobil tersebut dan menjadi lampiran yang tidak terpisahkan dengan perjanjian sewa beli ini.
Sebagaimana telah dimaklumi dalam perjanjian yang didalamnya terdapat klausula khusus yang disepakati para pihak itu, memang diperbolehkan menurut hukum perjanjian yang menganut azas kebebasan berkontrak sebagaimana dikenal dalam kUHPerdata. Dan disisi lain, dalam praktek membuat suatu perjanjian di Indonesia KUHPerdata sendiri mengenal dan menganut azas sistem terbuka dalam hal kontrak. Yang dimaksud dengan sistem terbuka adalah suatu perjanjian/kontrak yang dibuat para pihak bebas menentukan dan membuat jenis kontrak yang disepakati/diinginkan sepanjang isi kontrak tersebut tidak bertentangan dengan KUHPerdata, UU, ketertiban umum, kesusilaan dan kepatutan.
Dalam pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata menentukan bahwa :
”Setiap perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Makna fislosofis dari ketentuan tersebut tak lain tak bukan sebagai aturan yang harus dipatuhi oleh para pihak manakala telah menyepakati suatu perjanjian atau pun kontrak. Dengan ketentuan tersebut dimungkinkan para pihak dapat menuntut pihak lainnya dalam perjanjian untuk memenuhi prestasinya manakala salah satu pihak ingkar janji atau membatalkan perjanjian secara sepihak. Sehingga dengan adanya ketentuan tersebut, maka setiap orang dituntut untuk tidak sewenang-wenang dan membatalkan begitu saja suatu perjanjian yang telah dibuat dan disepakati menurut hukum, tanpa memperhitungkan pihak lain yang telah dirugikan.

a. Permasalahan Kontrak Standart
Dengan adanya klausula kontrak standar seperti yang dicontohkan pada contoh diatas, dimana klausula itu berlaku dan mengkikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, lalu apabila terjadi dalam perjanjian sewa beli a-quo, yaitu seandainya angsuran telah berjalan pada pertengahan masa sewa beli, selanjutnya si pembeli sewa dua bulan berturut-turut tidak mengangsur sehingga dinyatakan wanprestasi dan konsekwensinya harus diterapkan klausula bahwa apa yang telah diserahkan dan atau yang dibayar oleh si pembeli sewa kepada si penjual sewa adalah menjadi sewa yang tidak dapat ditarik kembali dan harus diserahkan kembali kepada si penjual sewa tanpa perhitungan sedikitpun terhadap uang muka dan angsuran yang telah dibayarkan. Apakah hal demikian tidak dibayarkan terdapat perlindungan yang sewajarnya bagi pembeli sewa ?.


b. Kajian Yuridis
Dari permasalahan yang dikemukakan diatas, penulis akan menguraikan aspek yuridis tentang perlunya keseimbangan dalam perjanjian/berkontrak terhadap para pihak sehingga dapat memenuhi sisi keadilan dalam masyarakat.
Dengan berpretensi bahwa perjanjian a-quo telah dibuat sesuai dengan ketentuan syarat sahnya perjanjian menurut pasal 1320 KUHPerdata, maka kalau memperhatikan isi dan bentuk perjanjian, dimana didalamnya terdapat klausula khusus yang tegas-tegas dinyatakan oleh kedua belah pihak yang mengikatkan diri, menurut hemat penulis bentuk perjanjian demikian adalah perjanjian/kontrak standar (standart contract).
Oleh karena merupakan perjanjian standar, dimana hak dan kewajiban serta kalusula yang diadakan antara para pihak telah tegas-tegas dirumuskan dalam perjanjian yang dibuat oleh si penjual, maka mau tidak mau si pembeli sewa in casu harus mematuhinya, dalam arti bilamana si pembeli sewa selama dua bulan berturut-turut tidak/lalai membayar angsuran, meskipun telah mengangsur separuh harga selama separuh perjalanan masa sewa beli, maka apa yang ia bayar kepada si penjual sewa menjadi hak milik si penjual sewa, demikian pula dengan barangnya harus diserahkan oileh si pembeli sewa kepada si penjual sewa.
Namun demikian menurut hemat penulis, hal pertimbangan diatas kurang memenuhi rasa keadilan, mengingat sebenarnya bahwa pihak si pembeli sewa ini diperoleh dan cara pembayaran yaitu si pembeli sewa mengharapkan kemudahan dengan cara pembayaran angsuran, dan setelah semua angsuran dibayar lunas, hak milik barang tersebut harus diserahkan. Oleh karena itu di dalam setiap perjanjian yang berbentuk kontrak standar (standart contract) ini, hendaknya didukung oleh suatu peraturan standar (general condition) yaitu dengan mencantumkan klausula yang mengandung perlindungan bagi pihak yang lemah dan perlindungan pihak yang lemah ini hendaknya tertera didalam rumusan perjanjian yang mengingat kedua belah pihak, karena hakekatnya adanya perjanjian standar tersebut adalah untuk memperoleh hak milik atas objek perjanjian atau barang disatu pihak dan memperoleh sejumlah uang sebagai imbalan harga dilain pihak. Sehingga dengan demikian akan terdapat perlindungan yang seimbang antara kepentingan si pembeli sewa dan kepentingan si penjual sewa.


2. Contoh Lain
Muhammad Iqbal, putra seorang lawyer populer di Indonesia, beberapa bulan silam membeli sebuah sedan kelas satu dengan nilai pembelian lebih satu milyar rupiah. Prosedur pembelian dilakukan dengan sistem baku. Iqbal membayar dengan cara transfer ke rekening dealer mobil. Uang masuk, dan mobil luks itu dibawa pulang Iqbal tanpa prosedur bertele-tele. Dari dealer mobil itu, Iqbal memperoleh diskon, dan sejumlah fasilitas lainnya seperti servis gratis setahun sampai pada kilometer kesekian, beberapa hadiah hiburan.
Seperti biasa untuk meraih keamanan mobil, Iqbal mengurus asuransi di sebuah perusahaan asuransi swasta nasional. Pria muda yang mempunyai jaringan bisnis jasa perjalanan cukup besar, menyetor dana lumayan, sebab ia mengambil asuransi "semua risiko". Prosedur yang ia jalani, berjalan seperti biasa. Ada petugas asuransi datang ke kantornya di Jalan Jenderal Sudirman, menjelaskan semua hal tentang perasuransian. Kedua belah pihak setuju, dan kontrak ditandatangani. Pembayaran asuransi dilakukan dengan tunai.
Iqbal tidak meneliti jauh dan sama sekali tidak terlalu memusingkan klausul dan kriteria asuransi yang tertera dalam butir-butir perjanjian. Ia sudah kerap meneken kontrak asuransi dan selama ini sama sekali tidak ada masalah mengganjal. Tidak pernah terjadi konflik, semua berjalan lancar-lancar saja.
Tahu-tahu dua bulan lalu, mobil mewah itu hilang dicuri. Bersama dengan hilangnya mobil, raib pula sopir Iqbal, Poniman (34). Setelah dilakukan upaya pencarian, termasuk meminta jasa polisi, akhirnya diketahui bahwa tersangka pencuri mobil itu adalah sopir Iqbal sendiri. Si Poniman berhasil dibekuk di pinggiran Kota Brebes, dua pekan setelah peristiwa pencurian itu. Sial bagi Iqbal, mobil sudah dijual ke pihak ketiga oleh kepala komplotan perampok (Poniman salah seorang anggota geng perampok yang berbasis di Jakarta). Poniman sendiri, baru mendapat "uang muka" atas jasanya itu sebesar Rp 50 juta.
Sementara itu, Iqbal melakukan upaya yakni mengajukan klaim ke asuransi. Namun, ternyata Iqbal tidak dapat memenuhi harapannya sebab pihak asuransi menyatakan, klaim itu tidak legal diajukan. Apa pasal ? Perampok atau pencuri mobil itu, adalah sopir dan atau pegawai Iqbal sendiri. Sementara dalam klausul perjanjian asuransi yang disepakati dan ditandatangani oleh Iqbal, disebutkan, klaim asuransi itu tidak bisa diajukan kalau kehilangan tersebut diakibatkan, antara lain oleh orang dalam, keluarga atau pegawai tertanggung.
Iqbal merasa sangat geram. Bayangkanlah, uang satu milyar rupiah sekian lenyap begitu saja. Ia hendak melakukan upaya hukum, tetapi terbentur pada kesepakatan yang sudah ia teken. Akhirnya ia menyerah dan tidak melanjutkan klaim itu, kendati ayah kandungnya, seorang advokat papan atas di Jakarta.
Advokat senior di Jakarta, Amir Syamsuddin menyatakan, dengan merujuk ke masalah Iqbal, ia mengimbau semua kalangan yang hendak mengajukan klaim asuransi, agar ekstra berhati-hati atau sangat saksama memperhatikan semua kriteria. "Kadangkala, kita suka terkecoh oleh gaya perusahaan asuransi yang membuat aturan asuransi yang standar atau baku. Kriteria itu, diketik dengan huruf-huruf kecil, yang tidak menarik minat banyak orang untuk dibaca. Isi perjanjian, mengandung hal pokok-pokok, kadangkala tidak dirinci sebagaimana layaknya," tutur Amir Syamsuddin. "Repotnya banyak kalangan terlampau percaya kepada beberapa perusahaan asuransi sehingga enggan memeriksa saksama pelbagai kriteria yang tercantum dalam standar kontrak itu."
Soal lain yang biasa mengemuka dalam hubungan penanggung dan tertanggung, atau pihak asuransi dan pembeli jasa asuransi, ialah servis kendaraan. Para petugas asuransi biasanya dengan sangat ramah, dan penuh percaya diri menyebutkan, bahwa kendaraan tertanggung dijamin asuransi. Jika terjadi masalah dengan kendaraan tertanggung, asuransi akan menanggungnya dengan beberapa kriteria atau klausul yang sudah diatur.
Akan tetapi, terlepas dari persoalan itu, masalah substansi standar kontrak yang diulas di sepanjang tulisan ini, memang perlu diberi perhatian penuh. Sepintas kelihatannya sepele, akan tetapi, di antaranya dengan munculnya beberapa kasus yang tidak mengenakkan, masalah kontrak sama sekali tidak bisa dibuat main-main. Para pihak, terutama konsumen, tak ada jalan lain, harus ekstra teliti, kritis terhadap pedagang mobil/sepeda motor dan pihak asuransi.


C. Putusan Mahkamah Agung R.I Sebagai Tolok Ukur
Sebagai barometer akan penulis kemukakan suatu putusan Mahkamah Agung R.I No. 935 K/Pdt/1985 tertanggal 30 September 1986 dalam kasus perjanjian sewa beli mobil antara Ny. Lie Tjiu Hoa dan Achmad Kartawijaya (A. Liong) Lawan (Vs) Unda bin H. Marsan.
Di dalam pertimbangan putusan Mahkamah Agung R. I tersebut menyatakan pada pokoknya sebagai berikut :
”....... Dipandang dari sudut keadilan dan moral adalah tidak patut bentuk dan sis perjanjian yang melenyapkan hak pembeli sewa atau barang yang dibeli, hanya disebabkan keterlambatan atau kesulitan pembayaran angsuran terakhir, tanpa mempertimbangkan jumlah angsuran yang telah dibayar oleh si pembeli sewa”.
Pertimbangan putusan Mahkamah Agung R.I tersebut menurut hemat penulis telah ternyata telah memperhatikan perlindungan terhadap pihak yang lemah atas atas dasar rasa keadilan dan eksadaran moral dan kepatutan. Karena itu sesuai dengan ketentuan dalam pasal 9 Putusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 34/KP/II/1980 diatas, hendaknya dapat dijatuhkan sanksi terhadap perusahaan yang bergerak dibidang sewa beli barang yang mengabaikan perlindungan pihak yang lemah ini.
Sebenarnya, dari segi yuridis, pencantuman klausul baku sah-sah saja dibuat. Tetapi substansinya tidak boleh mengalihkan tanggung jawab dari pihak pelaku usaha, dari produsen ke konsumen. Dan bahkan seperti contoh perjanjian sewa beli diatas dengan asdanya klausula yang dikutib diatas menunjukkan bahwa pihak pembeli tidak berhak apapun terahdap objek perjanjian manakala si pembeli wanprestasi. Sehingga kebanyakan yang terjadi bahwa pihak penjual dalam membuat klausula baku dalam suatu perjanjian tidak secara objektif. Hal ini yang tidak diperbolehkan atau dinaytakan secara tegas dalam UUK (undang undang konsumen). Dengan kalimat lain, klausul baku tidak boleh membatasi atau menghindari tanggung jawab. Tidak boleh memberikan beban kepada konsumen. Peraturan Daerah DKI Jakarta tentang Perparkiran boleh-boleh saja membenarkan klausul baku, tetapi pengelola parkir harus mengerti betul ada pembatasan-pembatasan klausul yang dimuat dalam perjanjian.
Kasus perparkiran semacam ini memang lazim terjadi. Pemilik kendaraan hanya bisa gigit jari bila kehilangan kendaraannya. Ada argumen yang dibangun seolah-olah tidak mungkin jasa parkir seharga Rp2000, misalnya, harus diganti dengan Rp60 juta jika terjadi kehilangan.
Menurut hemat penulis, argumen semacam itu bukanlah substansi masalah. Dalam kasus kehilangan, persoalannya adalah tanggung jawab atau liability. Kalaupun perparkiran dianggap sebagai jasa, maka harus ada rasa tanggung jawab terhadap konsumen yang telah menggunakan jasa itu.
Dalam kasus lain, Putusan Mahkamah Agung yang 'menolak' kasasi Secure Parking dalam perkara nomor 1264K/Pdt/2005. Dengan tidak menerima permohonan kasasi, maka yang berlaku adalah putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang menghukum Secure Parking membayar Rp 60 juta kepada Anny dan Hontas Tambunan, pemilik yang kehilangan kendaraan. Pengadilan dalam kasus ini, telah mengakomodir filosofi UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Putusan hakim sangat progresif sehingga merupakan kemajuan besar, dimana hukum positif diikuti implementasi dan kemampuan hakim memahami filosofis Undang Undang Perlindungan Konsumen”. Dalam kasus tersebut, pemahaman terhadap klausul baku yang selama ini tercantum pada lokasi atau karcis parkir. Ketentuan semacam itu dianggap masih menggunakan paradigma hukum lama dalam kebebasan berkontrak. Berdasarkan paradigma lama asas kebebasan berkontrak bisa berlaku untuk siapa saja dan dalam posisi apa saja kedua belah pihak. Salah satu wujudnya, ya itu tadi, klausul baku.
Berdasarkan contoh-contoh penerapan kontrak standar tersebut diatas, jelas bahwa Undang Undang Perlindungan Konsumen mempunyai andil yang sangat besar untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen yang selama ini selalu dipihak yang lemah. Hakim dituntut dalam praktek untuk memahami makna filosofis dari pentingnya perlindungan hukum terhadap para konsumen, karena pada kenyataannya klausula-klausula baku yang dibuat pihak penjual selalu cenderung lebih mengutamakan segi bisnis, tanpa menghiraukan hak-hak konsumen.


Hire Purchase Act Sebagai Perbandingan
Kiranya dapat dipakai sebagai perbandingan adalah ketentuan dalam Hire Purchase Act 1965 yang memberikan ketentuan-ketentuan melindungi pihak yang lemah ini dengan mencantumkan larangan bagi si pemilik barang mengambil kembali barangnya begitu saja kalau si pembeli sewa menunggak pembayarannya, apabila sudah dari sepertiga harga telah diangsur sedang penuntutan kembali ini harus melalui pengadilan dengan mengajukan gugatan.

D. Penutup
Berdasarkan uraian diatas, maka perlu digarisbawahi beberapa hal berikut, antara lain :
a. Pencantuman klausul baku tidak bertentangan dengan Undang Undang. Khususnya Undang Undangg Perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999 sepanjang klausul tersebut : dibuat jelas, tidak bertentangan dengan hukum, kesusilaan, dan kepatutan ;
b. Kontrak Standar dalam bentuk klausul baku pada prinsipnya dibuat/sengaja diciptakan untuk meningkatkan efisiensi bisnis terhadap pelaku usaha, sehingga kecenderungannya melindungi kepentingan penjual. Sehingga konsumen harus lebih teliti dan berhati-hati terhadap klausul standar yang diajukan pihak penjual, sebelum menyetujui dan menandatangani perjanjian.








D A F T A R P U S T A K A


Handrias Haryotomo, ”Pungutan di Sekolah dan Perlingungan Konsumen”, Sabtu 27 Agustus 2005

http://hukumonline.com, ”Akademisi : Putusan Tentang Parkir Perkuat Ajaran Baru Kebebasan Berkontrak”, 16 Maret 2006

Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 34/KP/II/80

Makalah : ”Pemahaman Tentang Kontrak (Dimensi Nasional dan Internasional)”

Riduan, S.H., ”Seluk Beluk dan asas-asas Hukum Perdata”, Alumni Bandung 2004

Subekti, Prof., S.H., “Aneka Perjanjian”, Alumni Bandung, 1977

Undang Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Varia Peradilan, ”Majalah Hukum”, Tahun II No. 17 Pebruari 1987

www.kompas.com., “Soal Mobil Di Indonesia, Dari Asuransi Sampai Mobil
Bermasalah”, Selasa 23 Oktober 2001



Jumat, 17 April 2009

Article Law


Friday, January 25, 2008
“LAW ENFORCEMENT” DITINJAU DARI PERSFEKTIF
PEMBANGUNAN SISTEM HUKUM YANG BERKELANJUTAN
By : Agus Pranki Pasaribu, S.H.


Pendahuluan

Salah satu isu terbesar berkenaan dengan penegakan hukum (law enforcement) dihadapan kita dewasa ini adalah pembangunan sistem hukum yang berkelanjutan dalam rangka menyongsong era globalisasi. Fakta ini tidak dapat dipungkiri atau disangkal keberadaannya oleh semua lapisan masyarakat, baik itu para ahli hukum, praktisi, pakar ekonomi, sosial, budaya dan masyarakat awam sekalipun, bahwa sistem hukum kita membutuhkan pembaharuan yang intens serta adanya keseriusan pembenahan agar hukum dapat dijalankan sebagaimana mestinya sehingga berfungsi sebagai sarana dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara, utamanya menghadapi persaingan pada globalisasi.
Barangkali isu penegakan hukum merupakan salah satu pilar utama faktor penentu cita-cita menuju masyarakat yang berkeadilan dan berkesejahteraan. Apalagi, jika di analisa secara detail kenyataan yang ada, yang mana pasca reformasi yang merupakan motor perubahan telah membawa bangsa kita ke suatu pintu gerbang menuju cita-cita penegakan hukum (law enforcement). Penegakan hukum sangat berkaitan langsung dengan pembangunan sistem hukumnya. Paling tidak pembangunan hukum dalam rangka penegakan hukum akan berdampak pada penyelesaian masalah-masalah hukum yang tergolong baru di Indonesia, seperti : money laundering, corporation, environmental, cyber crime, cyber space, Corruption, dan lain sebagainya. Hal ini dikarenakan hukum yang ada saat ini belum mengatur secara rinci kejahatan-kejahatan tersebut diatas, ironisnya kejahatan yang disebutkan diatas bukan merupakan kejahatan yang bersifat alami (natural). Melainkan, kejahatan yang sejatinya berkait era dengan penggunaan kecanggihan tehnologi. Kejahatan yang demikian dalam terminologi hukum dikenal sebagai white collar crime.
Berdasarkan uraian diatas, tulisan ini akan membuat suatu pendeskripsian singkat mengenai penegakan hukum ditinjau dari persfektif pembangunan sistem hukum yang berkelanjutan, dengan batasan masalah yang diajukan dalam bentuk pertanyaan, sebagai berikut : Bagaimana persfektif penegakan hukum di Indonesia pada sepuluh sampai tiga puluh tahun mendatang ?


Fleksibilitas “Sistem Hukum”

Sistem hukum merupakan bagian yang integral dengan budaya hukum dan penegakan hukum. Dalam menegakkan hukum dibutuhkan budaya kemasyarakatan yang ada dan hidup sebelumnya. Diantara budaya hukum dengan penegakan hukum, maka ditengah tengahnya terdapat apa yang disebut sebagai sistem hukum. Persoalannya, bagaimana suatu sistem hukum dapat dijalankan secara berkelanjutan, sehingga penegakan hukum tidak apriori ?.
Konsep penegakan hukum pada dasarnya dimulai dari rancangan sistem hukum yang berorientasi pada budaya hukum masyarakatnya menuju target penegakan hukum dimasa mendatang. Oleh karena itu, membangun suatu sistem hukum yang berkelanjutan harus didasarkan pada kenyataan apa yang menjadi kebutuhan dan apa yang hidup di dalam masyarakat (ius constituendum) dan apa yang menjadi hukum di masa lalu (ius constitutum). Secara hirarkis menurut latar belakang historis bahwa sistem hukum yang kita anut berasal dari sistem hukum Belanda yang sebelumnya berasal pula dari perpaduan antara hukum Perancis dan Jerman. Sistem hukum ini yang lajim disebut Eropa Continental.
Suatu sistem hukum idealnya harus bersifat fleksibel sehingga mampu menghadapi perubahan jaman seperti yang terjadi saat ini. Dimana era konvensional telah digantikan dengan era globalisasi yang menitiberatkan pada kecenderung aktivitas mengandalkan kecanggihan tehnologi dengan segala ketergantungan didalamnya. Fakta ini merupakan kenyataan yang tidak dapat terhindarkan, terlebih lagi seperti negara dunia ketiga seperti Indonesia yang baru pada tahap/fase menuju perubahan dari negera berkembang menuju negara maju.
Memahami kondisi yang demikian, maka tantangan terberat yang harus dihadapi Indonesia sebagai salah satu negara berkembang (baca : pra-maju) adalah upaya membangun sistem hukum yang berkelanjutan melalui pembenahan aturan-aturan hukum yang ada dan memperlengkapinya dengan aturan-aturan hukum baru yang sekiranya dibutuhkan sebagai solusi terhadap pemecahan terhadap masalah-masalah hukum baru tersebut. Harus kita akui bahwa hukum-hukum yang merupakan peninggalan pemerintahan kolonial masih mempunyai relevansi dengan kebutuhan saat ini, meskipun tidak seluruhnya melainkan untuk beberapa bagian tertentu. Sehingga dalam hal ini, sebenarnya itulah alasan logis mengapa pembangunan sistem hukum kita dikatakan berkelanjutan. Karena pada masa-masa sepuluh sampai tiga puluh tahun ke depan kita tidak mungkin membongkar keseluruhan sistem hukum yang ada dan menggantikannya dengan sistem hukum yang baru.
Ketertinggalan Indonesia dalam mengatur, menentukan dan memperbaharui kebutuhan akan aturan-aturan hukum sebenarnya sudah sampai pada tahap yang mengkhawatirkan. Pada prinsipnya, fakta inilah yang menjadi faktor pendorong/pemicu utama mengapa permasalahan-permasalahan hukum di Indonesia banyak yang terbengkalai dan tidak mendapat jalan penyelesaian. Sayangnya, usaha-usaha yang dilakukan dalam membangun sistem hukum yang berkelanjutan sampai saat ini masih pada tahap mencari corak hukumnya. Sistem hukum kita masih mengambang dan bahkan terkesan tidak terarah. Hal ini dikarenakan kurangnya ketanggapan pemerintah dalam menyiasati dan memprediksi kebutuhan hukum. Sehingga tidak mengherankan apabila sistem hukum kita adalah perpaduan dari hasil campur baur berbagai sistem hukum yang bukan didasarkan pada budaya kemasyarakatannya.


Penegakan Hukum Ke Depan

Pembangunan sistem hukum yang berkelanjutan adalah konsep penting untuk memahami persfektif penegakan hukum kita dimasa mendatang. Utamanya adalah sistem hukum sebagai landasan/pondasi yang harus kokoh sehingga akan menghasilkan konsep penegakan hukum yang jelas, baik dan terarah sehingga mampu menghasilkan tujuan hukum itu sendiri, yakni terciptanya ketertiban, keamanan, kenteraman, kesejahteraan sosial dan keadilan serta. Penegakan hukum tidak akan pernah tercapai tanpa diawali dengan pembangunan sistem hukum yang berkelanjutan dan penekanan utama dalam rangka penegakan hukum perlu dipikirkan bahwa kondisi rill dalam masyarakat harus menjadi patokan/tolok ukur, sehingga hukum tidak menyebabkan keguncangan dalam masyarakat di berbagai aspek kehidupan yang pada akhirnya justru menghasilkan kegamangan hukum.
Memprediksi penegakan hukum kita ke depannya dengan melihat kondisi carut-marut yang terjadi di masyarakat dewasa ini, tentu akan menjadi satu pertanyaaan logis bagi kita : “ada apa dengan sistem hukum kita” ?. Pembangunan sistem hukum pada dasarnya dilatarbelakangi suatu pemikiran bahwa kehidupan masa lalu dengan masa sekarang dan masa yang akan datang merupakan satu kesatuan utuh. Sehingga aturan hukumnya pun harus tetap terjaga kesinambunganya. Perencanaan sistem hukum yang berkesinambungan akan mempermudah penegakan aturan hukumnya. Sayangnya, pembangunan sistem hukum negara kita sampai saat ini masih mengalami kendala-kendala, baik itu bersifat teoritis maupun praktis, seperti kurangnya sumber daya manusia, keterbatasan dana, perbenturan kepentingan antara negara dan lain-lainnya. Alhasil, acapkali kita melihat bahwa aturan-aturan hukum yang diundangkan kurang mampu menjangkau kehidupan di masa depan. Bahkan, kebanyakan aturan hukum diterapkan dalam bentuk “trial and error”. Oleh karena itu, wajarlah apabila di masa reformasi ini aturan hukum sedemikian cepat berubah dan berganti dan sering menimbulkan kontroversial. Rentang waktu penggunaan aturan hukum relatif sangat singkat dan manfaatnya kurang dirasakan masyarakat. Dilain sis, aturan hukum yang diundangkan belakangan ini terkesan tidak mewakili kepentingan masyarakat di Indonesia.
Pembangunan sistem hukum yang berkelanjutan bertujuan untuk memahami hukum dimasa lalu, dan merancangnya dimasa sekarang untuk tujuan di masa mendatang. Pengimplementasian sistem hukum yang berkelanjutan membutuhkan sarana penegakan hukum, pemahaman hukum dimasa lalu dan pencarian corak sistem hukum yang relevan sehingga konsep penegakan hukum tpat sasasran.
Aturan-aturan hukum harus dibuat sedemikian rupa yakni berkesinambungan sehingga secara praktis proses penegakannya dapat meminimalisir kendala-kendala yang ada. Untuk menciptakan aturan hukum yang demikian disinilah diperlukan paduan antara sistem hukum yang berefleksi terhadap budaya hukum. Namun sayangnya, penegakan aturan hukum di negara kita ke depannya jika melihat kondisi rill hukum dan sistem hukumnya yang mana saat ini sepertinya bergerak sangat melambat. Hal ini dipicu oleh aturan-aturan hukum yang dibuat tidak didasarkan pada suatu landasan sistem hukum yang kokoh, berkesinambungan dan mempunyai corak tersendiri. Melainkan, aturan hukum yang dibuat diterapkan secara apriori yagn penegakannya didasarkan pada faktor-faktor lain yang bukan dari alasan hukum, seperti : politik, konflik kepentingan, imprealisme barat dan lain sebagainya.
Penegakan hukum dari persfektif pembangunan sistem hukum yang berkelanjutan ke depannya akan menghadapi kendala-kendala, sebagai berikut : Pertama, faktor budaya : pada faktor ini hukum akan menghadapi benturan kepentingan dengan budaya kemasyarakatan yang hidup karena hukum yang diciptakan bukan berasal dari budaya masyarakatnya. Kedua, corak hukum : pada faktor ini penegakan hukum ke masa mendatang akan mengalami perbenturan arah kebijakan karena sistem hukum kita kurang terencana, melainkan sistem hukum yang ada hanya merupakan paduan dari berbagai sistem hukum, sehingga corak hukumnya menjadi kabur dan kurang jelas. Ketiga, faktor tantangan global : kendala pada faktor ini adalah benturan kepentingan antara sistem hukum dalam lintas negara, penentunya adalah tergantung sistem hukum mana yang paling berpengaruh dan bermanfaat dalam era global ?.


Penutup

Sebagaimana penutup dari tulisan ini, kiranya sampailah kita pada suatu kesimpulan bahwa penegakan hukum pada sepuluh sampai tiga puluh tahun mendatang jika ditinjau dari perspektif pembangunan sistem hukum yang berkelanjutan adalah tidak akan banyak mengalami perubahan dan perbedaan di masa sekarang. Melainkan, sistem hukum yang ada akan bongkar pasang dan bersifat “trial and error” sehingga terasa kurang ideal dan belum maksimal dalam pencapaian sasaran dalam menyambut globalisasi. Sistem hukum bahkan terkesan tidak terarah. Melihat kenyataan tersebut, maka persfektif penegakan hukum ke masa mendatang cuma ada dua pilihan, yakni : melakukan perubahan sistem hukum besar-besaran ? atau pembiaran sistem hukum yang akan berdampak pada ketertinggalan ?. Patut untuk kita renungkan bersama !!!!.



Jakarta, © January 2008
Penulis adalah Advokat pada “Law Firm Johanes Raharjo & Partners”
Contact Person : 0819644410
email : pangki_pasaribu@yahoo.com or lawapp_office@yahoo.or.id

ARBITRASE

BUSSINESS LAW



Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution) di Indonesia,
DAPATKAH DITERAPKAN Melalui Arbitrse Online
by. Agus Pranki Pasaribu, S.H.

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Sebelas ribu perkara saat ini masih belum tertangani di Mahkamah Agung (MA), tunggakan tersebut meliputi perkara dari 2001 hingga 2005. Selama 2006 MA menerima sekitar 500-600 perkara perdata. Untuk perkara kriminal jumlahnya juga mencapai ratusan. Sedangkan jumlah kasus yang telah berhasil diselesaikan oleh Mahkamah Agung pada 2005 lalu mencapai 11.800 perkara.[1]
Berdasarkan perolehan data tersebut, dapat dibayangkan berapa lama suatu perkara harus diselesaikan melalui proses peradilan (litigation). Bahkan, tidak jarang suatu kasus perdata membutuhkan tiga sampai dengan enam tahun untuk mendapatkan putusan / penyelesaian. Permasalahannya tidak berhenti sampai disitu, meskipun putusan telah didapatkan kemungkinan besar para pihak yang merasa tidak puas atas putusan tentu akan mengajukan upaya hukum lainnya, seperti : banding, kasasi, ataupun peninjauan kembali maupun bantahan. Apabila dijumlahkan, maka total waktu yang dibutuhkan sampai dengan adanya suatu putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap rata-rata bisa mencapai lima belas hingga dua puluh tahun lamanya. Berdasarkan waktu yang sangat panjang ini, justru akan menimbulkan permasalahan baru jika putusan tersebut hendak dieksekusi. Tidak jarang, ketika putusan hendak dieksekusi, objek sengketanya telah musnah, belum lagi pihak ahli waris yang kalah mengajukan gugatan baru dan lain sebagainya
Selain membutuhkan waktu yang lama, ada lagi permasalahan lain yang timbul ketika seseorang ingin menyelesaikan suatu sengketa melalui jalur litigasi. Contohnya, diperlukan biaya yang tidak sedikit (mahal) dalam menyelesaikan perkara, mekanisme persidangan yang ruwet, tidak efektif dan lain-lain. Hal tersebut dapat dipahami, karena waktu yang lama selalu berkorelasi dengan besarnya biaya yang dikeluarkan. Terkadang biaya besar yang dikeluarkan para pihak yang bersengketa, justru tidak digunakan secara langsung untuk proses pengadilan, melainkan biaya tersebut banyak digunakan untuk urusan di luar pengadilan. Besarnya biaya perkara yang demikian tentu sangat kurang adil bagi mereka yang memang ingin memperoleh keadilan melalui lembaga hukum.
Berkaitan dengan permasalahan tersebut, perlu kiranya diciptakan terobosan baru di bidang hukum, khususnya mengenai mekanisme penyelesaian sengketa, sehingga akan memenuhi rasa keadilan dan tercapainya asas hukum acara perdata yang menyatakan peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Cara yang dapat ditempuh adalah menerapkan mekanisme alternatif dalam penyelesaian sengketa (non litigation) yaitu salah satu mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau yang biasa disebut sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS). Istilah APS merupakan terjemahan dari Alternative Dispute Resolution (ADR).[2]
Di Indonesia, Alternatif Penyelesaian Sengketa (dalam tulisan ini cukup disebut : APS) sudah lama dikenal dalam konstruksi hukum adat. Secara historis-sosiologis, kultur masyarakat Indonesia sangat menjunjung tinggi pendekatan penyelesaian masalah secara kekeluargaan. Apabila timbul perselisihan di dalam masyarakat adat, anggota masyarakat yang berselisih lebih memilih penyelesaian secara adat pula, misalnya melalui tetua adat dan atau melalui musyawarah sebagia media (sarana). Sesungguhnya penyelesaian sengketa secara adat ini merupakan salah satu benih / cikal-bakal tumbuh kembangnya APS di Indonesia. Faktanya, APS sendiri sudah lama hidup dalam masyarakat Indonesia, menjadikan mekanisme penyelesaian sengketa di luar Pengadilan ini menjadi lebih mudah diterima oleh masyarakat.
Seiring semakin kompleksnya permasalahan hukum yang dihadapi oleh manusia di era modern ini, penyelesaian masalahnya pun semakin kompleks dan banyak pilihan. APS yang awalnya sederhana, saat ini sudah menjadi lebih lengkap dan mempunyai banyak pilihan, tergantung keinginan para pihak. Pilihan tersebut antara lain adalah Negosiasi, Mediasi, Neutral Fact Finding, Mini-Trial, Ombudsman, dan Summary Jury Trial. Masing-masing APS memiliki kelebihan dan kekurangannya dalam praktek pelaksanaannya. Dalam APS tidak dikenal istilah “one size fits for all” yang artinya tidak semua masalah dapat diselesaikan dengan APS dan seandainya dapat diselesaikan melalui APS, perlu dicari mekanisme mana yang tepat digunakan.[3]
Berbeda dengan yang terdapat di Amerika dan beberapa negara lain, bentuk APS yang dikenal di Indonesia adalah melalui konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1 butir 10 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. [4] Dalam tulisan ini, mekanisme APS yang akan dibahas adalah arbitrase online. [5]
Dalam hubungannya dengan menkanisme penyelesaian sengketa, dibeberkan fakta berikut ini bahwa berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyatakan bahwa pada akhir 2005 pelanggan Internet di Indonesia mencapai 1,5 juta pelanggan sementara pengguna Internet sendiri di Indonesia telah mencapai 16 juta pengguna.[6] Tidak tertutup kemungkinan terjadi sengketa antara pengguna jasa Internet, di mana sengketa itu terjadi dalam lalu-lintas komunikasi elektronik secara online. Misalnya terjadi sengketa mengenai perdagangan secara online atau yang biasa disebut e-commerce. Timbulnya sengketa elektronik yang terjadi secara online di Internet, diharapkan mampu diselesaikan secara online juga. Berdasarkan hal tersebut muncul gagasan menarik yaitu bagaimana cara menyelesaikan perselisihan yang terjadi di Internet melalui mekanisme penyelesaian sengketa yang juga melalui Internet.[7]
Berdasarkan permasalahan tersebut diatas, gagasan / ide yang demikian dikembangkan menjadi mekanisme arbitrase online untuk menyelesaikan sengketa akibat perbuatan hukum secara elektronik pada khususnya dan sengketa lain pada umumnya. Terbatas pada sengketa yang berdasarkan undang-undang memang dapat diselesaikan melalui proses alternatif penyelesaian sengketa.


B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, dirumuskan dua pokok permasalahan yang akan dikaji dalam tulisan ini, yaitu:
1. Dapatkah arbitrase online diterapkan di Indonesia, mengingat dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak mengatur secara tegas mengenai arbitrase online ?
2. Bagaimana prosedur pelaksanaan arbitrase online dalam suatu penyelesaian sengketa di Indonesia, jika ternyata arbitrase online dapat diterapkan sesuai Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 ?


C. ujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini dibagi menjadi dua, yaitu tujuan secara umum dan tujuan khusus, adapun tujuannya, sebagai berikut :

1. Tujuan Umum
Tujuan umum penulisan adalah memberikan gambaran alternatif penyelesaian sengketa di Indonesia. Selain itu ditekankan pada pelaksanaan arbitrase yang dilakukan secara online dan bagaimana relevansinya terhadap peraturan perundang-undangan Indonesia yang mengatur hal tersebut.

2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penulisan ini adalah sebagai berikut:
a. Mengetahui apakah arbitrase online dapat diterapkan di Indonesia dengan mengacu pada ketentuan Normatif Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
b. Mengetahui bagaimana tata cara atau prosedur yang dilakukan dalam penyelenggaraan arbitrase online di Indonesia, serta memahami segala kelebihan dan kekurangan serta hambatan-hambatan yang mungkin terjadi.


D. Kerangka Konseptual
Dalam penulisan makalah yang berjudul Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution) di Indonesia Melalui Arbitrse Online ini akan digunakan berbagai istilah dalam bidang hukum. Untuk menghindari kesimpangsiuran pengertian dan pemahaman mengenai istilah yang digunakan dalam penulisan ini, berikut dijelaskan definisi dari istilah yang erat kaitannya dengan topik yang akan dibahas.

1. Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah :
Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar Pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.[8]

2. Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.[9]

3. Online Arbitration adalah : Online Arbitration is similar to traditional arbitration, except that all communications take place online.[10] Terjemahan bebasnya adalah : “Proses arbitrase yang sama dengan arbitrase konvensional, hanya saja segala komunikasi para pihak dilakukan secara online.

E. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode penelitian yang bersifat yuridis teoritis dengan metode analisis data bersifat kualitatif. Data yang digunakan dalam penulisan ini berupa data sekunder. Berkaitan dengan data sekunder, bahan hukum yang digunakan meliputi bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.
Bahan hukum primer yang digunakan adalah peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan yang digunakan adalah Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang paling banyak digunakan dalam penulisan ini. Bahan hukum ini meliputi buku, artikel ilmiah, artikel dari Internet, Jurnal Hukum online di West Law. Selanjutnya bahan hukum tersier yang digunakan dalam penulisan ini berasal dari kamus hukum “Black’s Law” online yang diakses melalui fasilitas penelusuran data dalam West Law dan ensiklopedia online yang diakses melalui website Wikipedia <http://www.wikipedia.org/> dan ensiklopedia online Encarta <http://encarta.msn.com>.
Ditinjau dari sudut sifatnya, tipologi penelitian dalam penulisan ini adalah penelitian deskriktif eksplanatoris, karena penulisan ini bertujuan untuk menjelaskan secara mendalam pelaksanaan arbitrase online dan menggali informasi yang relevan dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia mengaturnya.

F. Kegunaan Penulisan
Penulisan ini memiliki beberapa kegunaan, yaitu kegunaan teori dan kegunaan praktis, adapun kegunaanya sebagai berikut :

1. Kegunaan Teoretis
Kegunaan penelitian ini bagi ilmu pengetahuan hukum adalah sebagai gambaran mengenai proses alternatif penyelesaian sengketa yang dilakukan melalui arbitrase online. Dengan adanya tulisan ini diharapkan pembentuk undang-undang dan para praktisi hukum dapat mengakomodir mekanisme penyelesaian sengketa melalui arbitrase online ini. Sehingga dikemudian hari peraturan perundang-undangan, khususnya undang-undang tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa dapat mengatur mengenai konstruksi penyelesaian secara online.

2. Kegunaan Praktis
Dengan penulisan ini diharapkan penyelesaian sengketa tidak lagi terpusat pada lembaga peradilan sehingga tidak lagi terjadi penumpukan perkara. Selanjutnya masyarakat dapat merasakan manfaat dari pemberdayaan mekanisme alternatif penyelesaian sengketa melalui Arbitrase online dan diharapkan penyelesaian sengketa dapat dilakukan lebih efektif, efisien, murah, serta nilai konfidensial tetap terjaga.

G. Sistematika Penulisan
Tulisan ini dibagi menjadi empat bab. Bab I (kesatu) akan menjelaskan mengenai latar belakang yang menjadi pokok permasalahan, tujuan penulisan baik tujuan umum maupun tujuan khusus, kerangka konsepsional, metode penelitian yang digunakan, kegunaan teoritis serta kegunaan praktis.
Bab II (kedua) merupakan materi tentang tinjauan umum arbitrase. Sub babnya akan menguraikan hubungan arbitrase dalam kerangka APS. Alasan penggunaan istilah Alternatif Penyelesaian Sengketa, beberapa pendapat ahli mengenai arbitrase, kelebihan dan kekurangan arbitrase, serta prosedur arbitrase menurut Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999.
Bab III (ketiga) yang berjudul “Arbitrase Online Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia.” Dalam bab ini akan dibahas pengaturan arbitrase online, perjanjian arbitrase, prosedur pelaksanaan arbitrase online, serta membahas kelebihan, kekurangan dan hambatan pelaksanaan arbitrase online di Indonesia.
Bab IV (keempat) adalah bab terakhir dalam penulisan yang berisi kesimpulan sebagai jawaban atas pokok permasalahan yang dikemukakan sebelumnya pad abab I 9kesatu) serta rekomendasi saran yang diberikan untuk mencapai tujuan umum dan tujuan khusus di dalam penulisan ini.

BAB II
TINJAUAN UMUM ARBITRASE


A. Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Berdasarkan judul Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 yaitu Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, terlihat arbitrase merupakan bagian tersendiri dan bukan merupakan alternatif penyelesaian sengketa. Hal ini juga terlihat dalam konsiderans undang-undang tersebut yang menyatakan “...penyelesaian sengketa perdata di samping dapat diajukan ke peradilan umum juga terbuka kemungkinan diajukan melalui arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa.” [11]

Untuk lebih memahami permasalahan tersebut, perlu diingat penggunaan kata alternatif penyelesaian sengketa adalah hasil terjemahan kata Alternatif Dispute Resolution (ADR). Dalam pengertian aslinya, ADR sering diartikan sebagai alternative to adjudication dan alternative litigation.[12] Apabila mengartikan ADR sebagai alternative to adjudication, konseksuensinya adalah arbitrase bukan merupakan bagian dari ADR. Hal ini disebabkan sifat penyelesaian sengketa dari Arbitrase melibatkan pihak ketiga yang memiliki wewenang untuk memutus sengketa para pihak yang putusannya final dan mengikat. Pihak ketiga ini sering dipersamakan dengan hakim atau biasa disebut dengan istilah “hakim swasta”. Dengan demikian yang dapat dikatakan sebagai ADR menurut pengertian ini hanyalah konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.

Jika ADR diartikan sebagai alternative to litigation cakupan pengertiannya akan menjadi lebih luas. Dengan pengertian ini, selain konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli, arbitrase juga merupakan ADR. Arbitrase dapat dikatakan sebagai ADR dalam pengertian ini, karena arbitrase sendiri lahir akibat adanya masyarakat yang ingin menyelesaikan sengketa tetapi tidak ingin melalui proses litigasi, sehingga memilih menyelesaikannya melalui mekanisme alternatif penyelesaian sengketa.[13] Dengan perkataanm lain, segala penyelesaian sengketa yang dilakukan di luar proses litigasi dapat disebut sebagai ADR. Pernyataan ini sejalan dengan pendapat dari Priyatna Abdurrasyid yang mengatakan :

Arbitrase pada awalnya merupakan prosedur yang berdiri sendiri, akan tetapi dewasa ini dipandang sebagai bagian dari APS walaupun hampir sama dengan litigasi dalam pendekatannya melalui simplifikasi prosedur. Arbitrase disebutkan sebagai bagian dari APS, karena pemahaman dan pelaksanaannya dalam penyelesaian sengketa telah mempengaruhi proses yang dipakai dalam APS...[14]

Melihat konstruksi kalimat yang digunakan dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999, terlihat bahwa undang-undang membedakan proses penyelesaian sengketa berdasarkan dua proses, yaitu melalui proses litigasi dan tidak melalui proses litigasi. Arbitrase dibedakan dengan alternatif penyelesaian sengketa lainnnya, seperti : konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli berdasarkan metode penyelesaiannya saja karena arbitrase mempunyai ketentuan, cara, dan syarat-syarat tersendiri untuk pemberlakuan formalitasnya.[15]

Permasalahan selanjutnya adalah penggunaan padanan kata ADR menjadi Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS). Dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Lingkungan dan beberapa literatur terkait pembahasan lingkungan hidup dikatakan padanan yang tepat untuk ADR adalah Pilihan Penyelesaian Sengketa (PPS).[16]
Dalam penulisan ini istilah yang digunakan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) dengan pertimbangan, kata Alternative menurut kamus Inggris – Indonesia diartikan sebagai pilihan antara dua hal, alternatif, jalan lain, dengan demikian kata alternative selain bisa diartikan sebagai pilihan antara dua hal dapat juga diterjemahkan langsung melalui penyerapan bahasa menjadi alternatif.

Selain itu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata alternatif diartikan sebagai pilihan di antara dua kemungkinan, sehingga penggunaan kata “alternatif” sebagai padanan kata alternative. [17] Jadi dalam kata alternatif sudah terkandung kata pilihan, untuk itu digunakan istilah alternatif penyelesaian sengketa tidak bertentangan dengan kaedah bahasa Indonesia.


B. Arbitrase: Pengertian, Syarat, dan Prosedur
Pasal 1 butir 1 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 memang telah memberikan pengertian / batasan arbitrase yaitu cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Namun, pengertian yang diberikan tersebut belum menggambarkan pengertian arbitrase secara menyeluruh. Untuk memahami pengertian arbitrase secara menyeluruh diperlukan penjelasan yang diberikan oleh para ahli. Selain itu perlu dijelaskan mengenai syarat-syarat suatu sengketa agar dapat diselesaikan melalui mekanisme arbitrase serta bagaimana prosedur pelaksanaan arbitrase. Adapun uraiannya sebagai berikut :

1. Pengertian Arbitrase Menurut Ahli Hukum
Untuk memahami pengertian arbitrase dua orang ahli telah memberikan pengertian mengenai arbitrase yaitu :
Menurut Priyatna Abdurrasyid :
Arbitrase adalah salah satu mekanisme alternatif penyelesaian sengketa – aps yang merupakan bentuk tindakan hukum yang diakui oleh undang-undang di mana salah satu pihak atau lebih menyerahkan sengketanya – ketidaksefahamannya – ketidaksepakatannya dengan satu pihak lain atau lebih kepada satu orang (arbiter) atau lebih (arbiter – arbiter – majelis) ahli yang professional, yang akan bertindak sebagai hakim / peradilan swasta yang akan menerapkan tata cara hukum negara yang berlaku atau menerapkan tata cara hukum perdamaian yang telah disepakati bersama oleh para pihak terdahulu untuk sampai kepada putusan yang final mengikat. [18]

Menurut R. Subekti arbitrase adalah penyelesaian suatu perselisihan (perkara) oleh seorang atau beberapa orang wasit (arbiter) yang bersama-sama ditunjuk oleh para pihak yang berperkara dengan tidak diselesaikan lewat Pengadilan. Berdasarkan pendapat kedua ahli tersebut, dapat disimpulkan pengertian dari arbitrase, yaitu: Proses penyelesaian sengketa diantara para pihak yang mengadakan perjanjian untuk menunjuk seorang atau lebih sebagai arbiter dalam memutus perkara yang sifat putusannya adalah final mengikat.[19]

2. Syarat Perjanjian Arbitrase
Berdasarkan pengertian arbitrase, perlu ditegaskan syarat utama dari berlangsungnya suatu arbitrase adalah perjanjian dari para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui mekanisme arbitrase. Maksudnya, perjanjian dapat lahir sebelum adanya sengketa atau sesudah adanya sengketa.[20] Jika arbitrase dijalankan tanpa adanya perjanjian arbitrase di antara para pihak yang bersengketa, maka itu bukanlah arbitrase.[21]
Dengan adanya perjanjian arbitrase, Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak tersebut.[22] Pelaksanaan perjanjian arbitrase tidak mempersoalkan masalah pelaksanaan perjanjian, akan tetapi yang dipermasalahkannya adalah cara dan lembaga apa yang berwenang menyelesaikan perselisihan yang terjadi antara pihak yang berjanji.[23] Perjanjian arbitrase harus memenuhi syarat yaitu persetujuan mengenai perjanjian arbitrase tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak.[24]
Perjanjian arbitrase sering juga disebut sebagai klausul arbitrase yang berada dalam badan perjanjian pokok. Hal tersebut dapat diartikan suatu perjanjian pokok diikuti atau dilengkapi dengan persetujuan mengenai pelaksanaan arbitrase. Klausul arbitrase ini diletakkan dalam perjanjian pokok sehingga disebut sebagai perjanjian aksesori. Keberadaannya hanya sebagai tambahan dari perjanjian pokok, sehingga tidak berpengaruh terhadap pemenuhan perjanjian pokok. Tanpa adanya perjanjian pokok, perjanjian arbitrase ini tidak bisa berdiri sendiri, karena sengketa atau perselisihan timbul akibat adanya perjanjian pokok.
Timbul suatu konsekuensi dari sifat perjanjian arbitrase yang merupakan perjanjian aksesori. Dengan sifat aksesorinya, suatu perjanjian arbitrase tidak akan hapus karena berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok. Selain itu, perjanjian arbitrase juga tidak akan hapus oleh keadaan meninggalnya para pihak, bangkrutnya salah satu pihak, novasi, insolvensi salah satu pihak, pewarisan, dan pengalihan perjanjian kepada pihak ketiga atas persetujuan pihak yang mengadakan perjanjian arbitrase.[25]


3. Prosedur Pelaksanaan Arbitrase
Prosedur arbitrase perlu dipahami untuk melihat apakah prosedur arbitrase konvensional seperti yang terdapat di dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 dapat diterapkan menjadi mekanisme online. Secara garis besar, prosedur arbitrase dapat dibagi ke dalam tiga tahap sebagai berikut.
1. Prosedur sebelum dengar pendapat. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase, diawali dengan prosedur sebelum dengar pendapat yang terdiri dari beberapa tahap sebagai berikut.
a. Pemberitahuan kepada arbiter tentang penunjukannya. Langkah pertama yang perlu dilakukan untuk melakukan arbitrase adalah pemberitahuan secara tertulis kepada seorang ahli bahwa ia telah dipilih sebagai arbiter untuk menyelesaikan suatu sengketa.
b. Persiapan arbiter. Hal penting yang perlu diperhatikan oleh arbiter adalah penunjukkannya sudah dilakukan berdasarkan hukum sesuai dengan peraturan yang berlaku;
c. Pemeriksaaan pendahuluan. Berdasarkan praktek, biasanya arbiter mengadakan pertemuan terlebih dahulu dengan para pihak sebelum mengadakan dengar pendapat secara resmi.
d. Prosedur pelaksanaan tugas arbiter. Berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999, arbiter berwenang untuk memerintahkan dan melakukan interogasi dalam proses dengar pendapat. Dalam proses tersebut, arbiter dapat bersikap aktif, yaitu arbiter bertindak mencari data. Namun, arbiter juga dapat bersikap pasif, yaitu para pihak lah yang menyampaikan data-data sedangkan arbiter cukup mendengarkan saja.
e. Menentukan waktu dan dengar pendapat. Jika ada salah satu pihak yang tidak datang pada saat dengar pendapat, maka arbiter tetap dapat melakukan dengar pendapat tersebut.
f. Komunikasi perorangan para pihak. Apabila salah satu pihak dalam proses arbitrase menghubungi arbiter tanpa sepengetahuan pihak lain, arbiter wajib menolaknya.
2. Prosedur pada waktu dengar pendapat. Arbiter memiliki kedudukan sebagai seorang hakim berdasarkan adanya kesepakatan penunjukan para pihak yang bersengketa. Penunjukan oleh para pihak ini memberikan wewenang kepada arbiter untuk dapat memutus berdasarkan fakta yang diberikan kepadanya. Pada saat proses arbitrase berlangsung pihak ketiga atau pihak lain (umum) tidak diperbolehkan hadir dalam proses. Hal ini merupakan cerminan dari sifat arbitrase yang menjaga kerahasian para pihak yang bersengketa.
3. Pelaksanaan putusan. Dalam melaksanakan putusan arbitrase ada tata cara pelaksanaan yang harus ditempuh. Berdasarkan Pasal 59 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999, tata cara pelaksanaan pokok-pokok di dalam putusan tergantung pada telah didaftarkannya di pengadilan atau belum.


C. Kelebihan dan Kekurangan Arbitrase
Membicarakan kelebihan dan kekurangan arbitrase tidak terlepas dari sifat arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa yang proses proseduralnya bersifat adjudikasi hal ini sejalan dengan pendapat yang mengatakan bahwa “Arbitration is the most formalized alternative to the court adjudication of disputes.”[26] Akan dijelaskan mengenai kelebihan arbitrase dibandingkan dengan proses litigasi biasa sebagai berikut.
1. Konfidensial. Artinya kerahasiaan para pihak yang bersengketa dalam arbitrase akan dijaga, sehingga dampak negatif yang timbul dari terlibatnya para pihak dalam suatu perselisihan tidak menjatuhkan kredibilitas para pihak. Hal ini terkait dengan nama baik para pihak yang saat ini merupakan salah satu aset perusahaan yang harus dilindungi.
Tercemarnya nama baik suatu pihak dapat menyebabkan kerugian yang besar bagi pihak tersebut. Nama baik suatu pihak biasanya akan tercemar apabila pihak tersebut mengalami suatu perselisihan yang diketahui oleh publik. Dalam proses litigasi dikenal adanya asas terbuka untuk umum, artinya siapa saja dapat menyaksikan proses persidangan yang sedang berlangsung. Hal ini tentu akan berdampak buruk bagi pihak yang mengalami sengketa dan penyelesaian sengketanya melalui jalur litigasi lalu proses persidangannya diekspose kepada publik. Dengan sendirinya nilai kepercayaan publik kepadanya akan berkurang
Melalui arbitrase, konfidensial para pihak tetap terjaga. Berbeda dengan pengadilan umum, arbiter tidak diwajibkan untuk menyampaikan putusannya secara terbuka. Tidak hanya dalam penyampaian putusan, berdasarkan Pasal 27 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 dikatakan bahwa: “Semua pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase dilakukan secara tertutup.”[27] Dengan demikian maka nilai kerahasiaan para pihak akan terjaga.
2. Biaya untuk arbitrase lebih murah dari biaya litigasi dan penyelesaian sengketanya lebih cepat. Pendapat mengenai biaya ini masih diperdebatkan, tidak selamanya biaya untuk arbitrase lebih murah dari biaya litigasi. Sebagai contoh apabila terjadi sengketa antara pengusaha asal Indonesia dengan pengusaha asal Vietnam lalu mereka sepakat menunjuk arbiter yang berada di New York untuk menyelesaikan sengketanya di Singapore. Maka perlu dihitung berapa yang harus dikeluarkan untuk pendaftaran perkara, biaya akomodasi arbiter, biaya akomodasi para pihak, honorarium untuk arbiter, dan biaya saksi ahli seandainya digunakan. Tentu para pihak akan mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk arbitrase tersebut.
Di sisi lain, bagi seorang pengusaha yang membutuhkan kepastian hukum dalam sengketa yang menyangkut usahanya, biaya tersebut tidak seberapa dibandingkan ia harus berlama-lama menyelesaikan perkara di pengadilan karena harus menunggu urutan perkaranya disidangkan dan ia tidak bisa melanjutkan usaha. Bagi mereka semakin cepat masalah sengketanya selesai dan memperoleh kekuatan hukum, semakin cepat pula untuk kembali berusaha mendapatkan keuntungan, sehingga secara umum biaya akan lebih murah.
Penyelesaian sengketa dalam arbitrase lebih cepat dari proses litigasi karena dalam arbitrase para pihak tidak usah menunggu perkaranya disidangkan. Para pihak bisa langsung memilih arbiter untuk menyelesaikan sengketa mereka, sehingga tidak dibutuhkan waktu tunggu sebagaimana pada proses litigasi. Selain itu, dalam penyelesaian sengketa dapat dilakukan kapan saja berdasarkan kesepakatan para pihak sehingga sangat mungkin dalam satu minggu dilakukan beberapa kali proses pemeriksaan sengketa. Hal ini berbeda dengan proses litigasi. Dalam proses litigasi, Majelis Hakim tidak hanya memeriksa satu perkara, sehingga dalam satu minggu perkara kemungkinan besar hanya diperiksa satu kali. [28] Dengan kata lain, keterlambatan-keterlambatan yang bersifat prosedural dan administratif dapat dihindari.
3. Para pihak dapat memilih arbiter berdasarkan keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang memadai mengenai masalah yang disengketakan.[29] Dalam proses litigsi, para pihak tidak bisa memilih hakim yang akan memutuskan sengketa melainkan sudah ditentukan oleh Ketua Pengadilan Negeri berdasarkan penetapannya.
Kelemahan dari penetapan tersebut adalah kemampuan Hakim yang terbatas pada pengetahuan hukum sementara pengetahuan lain hanya dikuasainya secara umum. Dengan arbitrase, para pihak dapat memilih arbiter yang memang menguasai bidang atau pengetahuan yang sedang dipersengketakan, sehingga putusannya lebih komprehensif dan profesional.
4. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan sengketa, proses, dan tempat penyelenggaraan arbitrase. Kelebihan ini dirasakan oleh pihak yang merasa akan mengalami diskriminasi apabila bersengketa di tempat kedudukan hukum pihak lawannya.
Pada kenyataannya apa yang disebutkan sebelumnya tidak semuanya benar, sebab di negara tertentu proses peradilan dapat lebih cepat daripada proses arbitrase. Satu-satunya kelebihan arbitrase terhadap pengadilan adalah sifat kerahasiannya karena keputusannya tidak dipublikasikan. Namun, penyelesaian sengketa melalui arbitrase masih lebih diminati daripada litigasi, terutama untuk kontrak bisnis bersifat internasional.[30] Selain itu terdapat juga kelemahan dari proses arbitrase sebagai berikut.
1. Berdasarkan Pasal 1 butir 1 jo. Pasal 5 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999, sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase terbatas pada sengketa perdata, khususnya mengenai perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Dengan demikian tidak semua perkara bisa diselesaikan melalui arbitrase. Meskipun perkara yang ada berupa sengketa perdata, belum tentu juga dapat diselesaikan dengan arbitrase.
2. Meskipun putusan arbitrase bersifat final dan mengikat, proses arbitrase tetap membutuhkan Pengadilan Negeri untuk melaksanakan proses eksekusinya.[31]
3. Pelaksanaan arbitrase asing dapat terhambat akibat adanya asas nasionalitas dan asas resiprositas. Asas nasionalitas menyatakan bahwa untuk menentukan dan menilai apakah suatu putusan arbitrase dapat dikualifikasikan sebagai putusan arbitrase asing, harus diuji menurut ketentuan hukum RI.
Menurut asas resiprositas tidak semua putusan arbitrase asing dapat diakui (recognize) dan dieksekusi (enforcement). Putusan arbitrase asing yang diakui dan dapat dieksekusi hanya terbatas pada putusan yang diambil di negara asing yang mempunyai ikatan bilateral dengan negara RI dan terkait bersama dengan negara RI dalam suatu konvensi internasional. Adanya asas nasionalitas dan resiprositas ini menyebabkan tidak adanya kepastian hukum bagi sengketa yang diputus oleh arbitrase asing yang tidak memenuhi persyaratan kedua asas tersebut. Sebagai contoh kasus sengketa yang timbul antara Karahabodas Company melawan Pertamina (Pemerintah R.I), yang pada masa itu putusan arbitrase internasional memenangkan pihak Carahabodas Company, namun tidak dapat dieksekusi di Indonesia, bahkan Pertamina mengajukan upaya hukum gugatan perdata melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.




BAB III
ARBITRASE ONLINE SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN
SENGKETA DI INDONESIA


A. Arbitrase Online dan Pengaturannya di Internet
Arbitrase online berasal dari arbitrase secara konvensional, yang berbeda hanyalah mengenai cara yang digunakan, yaitu menggunakan sarana elektronik dalam penyelenggaraannya. Dalam arbitrase online, pendaftaran perkara, pemilihan arbiter, pembuatan putusan, penyerahan dokumen, pemusyawarahan arbitrator, pembuatan putusan, serta pemberitahuan akan adanya putusan dilakukan secara online.[32]
Pembahasan mengenai arbitrase online secara garis besar berkaitan pengaturan soal keabsahan perjanjian arbitrase yang dibuat secara online, prosedur arbitrase online, dan masalah putusan arbitrase online. Selain itu, pembahasan akan menyangkut regulasi Internet sebagai media online dalam proses arbitrase. Arti penting pembahasan regulasi Internet adalah mengenai kenyataan Internet yang bersifat global dan melintasi batas negara. Untuk itu perlu dijelaskan siapa pihak yang berhak untuk meregulasi Internet. Hal ini terkait dengan kenyataan banyaknya sengketa yang terjadi dan diselesaikan melalui arbitrase online adalah sengketa yang terjadi akibat aktifitas online di Internet, salah satunya adalah sengketa perdagangan elektronik atau e-commerce. Timbul kecenderungan suatu bentuk sengketa e-commerce akan mempengaruhi pilihan hukum dalam berarbitrase.[33]
Dalam pelaksanaan arbitrase para pihak bebas menentukan akan menggunakan pilihan hukum yang akan digunakan, tetapi saat ini sebagian besar perjanjian arbitrase dibuat dalam suatu klausula baku atau yang dikenal dengan istilah Standart Contract, sehingga penunjukan kompentensi relatif dan pilihan hukum suatu perjanjian arbitrase hanya ditentukan oleh salah satu pihak. Untuk itu perlu diketahui ketentuannya yang terlihat dari kebiasaan yang berlangsung dalam pergaulan internasional.
Menurut Viktor Mayer-Schönberger terdapat tiga pendapat mengenai bentuk pengaturan mengenai siapa yang berhak meregulasi Internet.[34] Pendapat pertama dikenal dengan teori The State-Based Traditionalist Discourse mengatakan sebaiknya pihak yang mengatur Internet adalah pemerintah melalui peraturan perundang-undangan. Berdasarkan pendapat ini bentuk pengaturan Internet akan diatur oleh masing-masing negara. Kelebihan teori ini adalah penegakan hukum terhadap pengaturan Internet lebih terjamin. Sementara itu, kelemahan dari pengaturan ini adalah dilupakannya dasar dari Internet yaitu sifat global. Tidak mungkin suatu negara dapat memaksakan peraturan negaranya bagi warga negara lain yang menggunakan fasilitas Internet di negaranya.
Pendapat kedua mengatakan, Internet sebaiknya diatur oleh masing-masing pihak berdasarkan kebiasaan atau dikenal dengan istilah The Cyber-Separatist Discourse. Pendapat ini memisahkan antara kehidupan sosial di dunia nyata dengan kehidupan di dalam cyberspace. Berdasarkan pendapat ini sebaiknya pengaturan mengenai Internet tidak usah dilakukan oleh negara, karena tidak akan ada peraturan yang cocok untuk mengatur kemajemukan di Internet. Karena pengaturan Internet menggunakan kebiasaan, para pengguna Internet akan merasa lebih dapat menerima peraturan yang ada. Akan tetapi, kelemahan dari pendapat ini adalah tidak adanya penegakan hukum seandainya terjadi sengket antara para pihak.
Pendapat ketiga yaitu aliran The Cyber-Internationalist Discourse, mengatakan pengaturan Internet sebaiknya melalui ketentuan internasional. Jadi, ada suatu ketentuan hukum berlaku secara internasional yang mengatur mengenai Internet. Pendapat ini mengarahkan pandangannya kepada usaha untuk mengunifikasikan peraturan Internet. Kelemahan dari aliran ini adalah, tidak semua negara mau mengakui pengaturan mengenai Internet yang berlaku tersebut, karena tiap negara memiliki karakterisitik tersendiri.
Kecenderungan yang terjadi dalam proses arbitrase online khususnya dalam penyelesaian sengketa e-commerce yang dilakukan antara business to consumer (B2C), pilihan hukum yang digunakan adalah berdasarkan hukum nasional dari si pelaku bisnis, karena konsumen hanya memiliki pilihan menerima klausula baku arbitrase yang tersedia atau tidak melakukan e-commerce sama sekali (take it or leave it). Hal ini dipengaruhi hukum positif yang mengatur Internet di negara tersebut, sehingga di pengaturan mengenai e-commerce mengikuti hukum yang mengatur tentang koneksi e-commerce dalam hubungan Internetnya. Dengan demikian proses arbitrase akan menggunakan pilihan hukum dimana media Internet yang menjalankan e-commerce berada.
Apabila sengketa yang terjadi dalam hubungan e-commerce antara client to client (C2C). Pengaturan hukum Internet yang biasa digunakan adalah menganut pada aliran The Cyber-Separatist Discourse yaitu mereka akan mengatur tersendiri mengenai pilihan hukum mana yang akan digunakan. Selanjutnya, apabila sengketa tersebut melibatkan sesama pelaku bisnis mengenai suatu hal yang berlaku secara internasional, mereka akan menganut pada aliran The Cyber-Internationalist Discourse yaitu ketentuan hukum internasional yang berlaku. Contoh sengketa pada kasus ini adalah sengketa mengenai “nama domain” atau domain name di mana pihak penyedia domain name untuk Top Level Domain seperti dot com, dot org, dan dot net menyerahkan sengketanya untuk diselesaikan melalui arbitrase dengan pilihan hukum, hukum internasional yaitu Uniform Domain Name Dispute Resolution Policy.[35]


B. Perjanjian Arbitrase Online dalam Konstruksi Undang-undang
Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase

Untuk menyelenggarakan arbitrase online, dibutuhkan suatu dasar hukum. Meskipun dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tidak secara tegas diatur mengenai prosedur arbitrase online, Pasal 4 ayat (3) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 menyatakan:
Dalam hal disepakati penyelesaian sengketa melalui arbitrase terjadi dalam bentuk pertukaran surat, maka pengiriman teleks, telegram, faksimili, e-mail atau dalam bentuk sarana komunikasi lainnya, wajib disertai dengan suatu catatan penerimaan oleh para pihak.
Selain kata “e-mail” adanya kata “bentuk sarana komunikasi lainnya” dalam ketentuan tersebut dapat dijadikan dasar hukum pelaksanaan arbitrase secara online. Hanya masih menjadi masalah bagaimana prosedur operasional arbitrase online. Telah dijelaskan sebelumnya, arbitrase online tidak berbeda dengan arbitrase konvensional, yang berbeda hanyalah tata cara pelaksanaannya. Namun, timbul permasalahan menyangkut syarat sah dari perjanjian arbitrase yaitu tertulis dalam suatu dokumen dan ditandatangani.[36] Permasalahannya adalah bagaimana cara pemenuhan syarat tersebut dalam arbitrase online. Untuk itu perlu dijelaskan sebagai berikut.


1. Perjanjian Arbitrase, Tertulis Tidak Selalu Harus Tercetak
Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 memang menentukan perjanjian arbitrase harus tertulis. Timbul suatu pertanyaan, apakah yang dimaksud dengan tertulis berarti tulisan diatas media kertas. Undang-undang tidak menjelaskan lebih lanjut.
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase konvensional mendasarkan kegiatannya pada pertukaran dan pemeriksaan dokumen bermedia kertas (paperbase). Sedangkan, dalam arbitrase online, media kertas telah digantikan oleh data digital sehingga tidak lagi diperlukan adanya dokumen berbentuk kertas (paperless). Jika isu orisinalitas yang menjadi acuan harus digunakannya dokumen cetak bermedia kertas, saat ini sudah tidak relevan lagi. Masyarakat sering memahami bahwa suatu dokumen yang asli adalah dokumen yang tertulis di atas kertas, padahal untuk suatu sistem dokumentasi yang menggunakan komputer, dokumen yang asli sebenarnya adalah dalam bentuk data elektronik (softcopy) yang tersimpan dalam hardisk komputer bukan dalam bentuk cetaknya (hardcopy).[37] Dengan demikian, nilai ataupun eksistensi suatu pernjanjian secara substansial tidak bergantung pada media apa yang digunakan sebagai fiksasinya, melainkan tergantung pada proses terjadinya perjanjian itu sendiri. Contohnya, suatu perjanjian arbitrase yang tertulis di atas kertas pun kalau proses penyusunannya tidak memenuhi syarat sah perjanjian maka batal demi hukum.
Dapat disimpulkan, meskipun perjanjian arbitrase dibuat dalam bentuk data elektronik dan di-online-kan, sepanjang dapat dibuktikan prosesnya berjalan dengan baik dan dilakukan oleh pihak yang berhak, tetap memiliki kekuatan mengikat para pihak yang membuatnya. [38] Dalam hal ini berlakulah ketentuan dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan “perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”[39]
Sebagai contoh sudah diterimanya perjanjian arbitrase online dalam pelaksanaan arbitrase online dapat dilihat ketentuan pelaksanaan arbitrase yang dikeluarkan oleh America Arbitration Association (AAA) pada Supplementary Rules untuk arbitrase online yang telah mengadopsi perjanjian dalam bentuk online. Hal ini terlihat dari pengantar Supplementary Rules yang menyatakan:
The purpose of the Supplementary Procedures for Online Arbitration is to permit, where the parties have agreed to arbitration under these Supplementary Procedures, arbitral proceedings to be conducted and resolved exclusively via the Internet. The Supplementary Procedures provide for all party submissions to be made online, and for the arbitrator, upon review of such submissions, to render an award and to communicate it to the parties via the Internet...[40]


2. Perjanjian Arbitrase Harus Ditandatangani
Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999, perjanjian arbitrase dimuat dalam satu dokumen dan ditandatangani. Artinya, suatu perjanjian arbitrase sah apabila telah ditandatangai oleh para pihak yang membuatnya. Timbul suatu pertanyaan, apakah tanda tangan dalam pasal tersebut hanya diartikan secara sempit yaitu sebagai tanda tangan hitam diatas putih? Perkembangan teknologi telah menggeser bentuk tanda tangan yang sebelumnya hanya di atas kertas, kini tanda tangan dapat berupa tanda tangan digital atau yang biasa disebut Digital Signature (DS).
Penggunaan tanda tangan dalam kegiatan sehari-hari secara harfiah disamakan dengan penggunaan DS dalam Internet yaitu ditujukan untuk nilai keotentikan suatu data atau informasi. Perbedaannya adalah, tanda tangan lazimnya merupakan kombinasi atau variasi dari nama atau singkatan nama seseorang. Di lain pihak dalam Internet tanda tangannya berupa kombinasi digital, yaitu kombinasi dari bilangan biner 0 dan 1 yang diinterpretasikan menjadi karakter yang unik dan melalui proses penyandian (enkripsi).
Tanda tangan digital sering disalahartikan menjadi tanda tangan di atas kertas lalu dengan melalui proses scanning, tanda tangan tersebut dimasukkan (input) kedalam komputer sehingga menjadi gambar tanda tangan yang kemudian dilekatkan dengan suatu dokumen untuk menyatakan dokumen tersebut “telah ditandatangani”. Tidak jarang tanda tangan digital juga dipahami sebagai tanda tangan yang dibuat langsung di komputer menggunakan mouse sehingga berbentuk tanda tangan seperti lazimnya tanda tangan di atas kertas. [41]
Kembali ke pokok permasalahan yaitu apakah tanda tangan yang dimaksud Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 terbatas pada pengertian tanda tangan sebagai hitam di atas putih? Perlu dilihat dari pentingnya tanda tangan dalam perjanjian arbitrase. Dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 dikatakan apabila para pihak tidak menandatangani perjanjian arbitrase, maka perjanjian tersebut dibuat dalam bentuk akta notaris. Pasal ini menjelaskan tujuan tanda tangan dalam perjanjian arbitrase yaitu untuk keperluan pembuktian keotentikan perjanjian arbitrase tersebut.
Mark Taylor dalam tulisannya yang berjudul Uses of Encryption: Digital Signatures mengatakan :
Digital signatures designed in such a way that the authenticity and integrity of the data to which they are attached can be assured. In essence, the key issues for data which have been signed digitaly are:
whether those data have been altered between their being signed and being read or received by the intended recipient; and
whether those data were actually signed by the person by whom the data purport to have been signed or whether the signature attached to them is forged in some way.[42]

Jadi, apabila keperluan tanda tangan dalam perjanjian arbitrase adalah untuk pembuktian, perlindungan keotentikan suatu dokumen yang menggunakan tanda tangan digital jauh lebih kuat, karena sebuah tanda tangan digital memiliki karakter yang sangat unik dan telah tersandikan (encrypted) sehingga kemungkinan ditiru sangat kecil. Berdasarkan hal tersebut, seharusnya penggunaan tanda tangan digital dalam perjanjian arbitrase, khususnya perjanjian arbitrase online tidak usah dipermasalahkan. Justru dengan adanya tanda tangan digital seluruh data dalam proses arbitrase akan terlindung kerahasiaan dan keotentikannya, karena yang dapat membuka data tersebut hanyalah pihak yang tanda tangannya telah di-accept dalam dokumen saja yang dapat membuka dokumen.
Selain harus dipenuhinya persyaratan perjanjian arbitrase sebagaimana dijelaskan sebelumnya, suatu proses arbitrase online memerlukan prosedur dan kelengkapan yang berbeda dengan proses arbitrase konvensional. Dalam sub bab selanjutnya akan diuraikan prosedur dan kelengkapan yang dibutuhkan untuk melangsungkan arbitrase online.



C. Kelebihan dan Kelemahan Arbitrase Online Dibandingkan Arbitrase Konvensional
Pada bab sebelumnya telah dijelaskan mengenai kelebihan proses arbitrase dibandingkan proses litigasi. Setelah dibandingkan, ternyata tidak sepenuhnya proses arbitrase unggul atas proses litigasi, khususnya menyangkut biaya. Dengan adanya arbitrase online, kelemahan arbitrase konvensional yaitu biaya yang terkadang justru lebih mahal dari proses litigasi dapat diminimalisir.[43] Adapun kelebihan dari arbitrase online sebagai berikut.
1. Biaya arbitrase dapat ditekan. Penekanan biaya beracara dapat ditekan karena para pihak tidak perlu untuk hadir disuatu tempat untuk melaksanakan penyelesaian sengketa. Dalam arbitrase online, para pihak dapat tetap berada ditempat masing-masing asalkan dari tempat tersebut dapat mengakses Internet. Para pihak tidak perlu lagi mengeluarkan biaya untuk perjalanan dan akomodasi arbiter dan saksi ahli selama penyelesaian sengketa.
2. Proses beracara dapat dilakukan lebih cepat, karena pengiriman dokumen dapat dilakukan lebih cepat menggunakan fasilitas e-mail atau di-upload ke website tempat penyelenggara arbitrase online. Dengan penggunaan e-mail, biaya korespondensi juga dapat ditekan.
3. Karena para pihak tidak perlu hadir dalam proses arbitrase, kemungkinan para pihak semakin bersitegang ketika bertemu semakin kecil. Selain itu ketidakhadiran para pihak juga menambah nilai kerahasiaan dari sebuah sengketa.
Sementara itu, kelemahan dari arbitrase online ini adalah dibutuhkan seperangkat kelengkapan dan dukungan prosedural serta akses Internet yang memadai agar proses arbitrase online dapat berjalan dengan lancar dan untuk memenuhinya diperlukan persiapan yang terencana. Mengenai kelengkapan proseduralnya akan dibahas pada sub bab berikutnya.


D. Prosedur dan Kelengkapan Arbitrase Online
Untuk melaksanakan arbitrase online menggunakan media Internet, kelengkapan yang diperlukan adalah layanan Internet yang dapat memenuhi kebutuhan pelaksanaan arbitrase. Layanan tersebut adalah website dengan yang terintegrasi dengan aplikasi database untuk menampung permohonan yang masuk, daftar arbiter, peraturan yang diperlukan mengenai permohonan untuk berarbitrase. Untuk menjamin kerahasiaan dan keotentikan data serta dokumen yang digunakan selama proses arbitrase online, diperlukan aplikasi security yang memadai dan dilengkapi dengan teknologi enkripsi yang baik.
Agar para pihak dapat berkomunikasi perlu dibangun suatu sarana komunikasi yang interaktif. Penyediaan chating room dan bulletin board yang berbasis real time audio visual streaming dapat menjadi solusinya. Dengan adanya aplikasi untuk berkomunikasi, para pihak dapat menyampaikan data, fakta, informasi, atau tangapannya melalui jalur ini. Tidak adanya formalitas yang kaku seperti proses litigasi diharapkan para pihak dapat lebih tenang dan mampu menyampaikan fakta secara jelas.
Untuk arbiter sendiri, perlu dikembangkan aplikasi berbasiskan Content Management System, di mana aplikasi itu merupakan akhir (dump) dari proses awal arbitrase yaitu permohonan berarbitrase, proses pemilihan arbiter, proses pembuktian hingga proses pembuatan putusan. Aplikasi ini sebaiknya dilengkapi dengan template untuk mempermudah arbiter memasukkan fakta yang terungkap selama beracara.


E. Penerapan Arbitrase Online di Indonesia Berdasarkan Undang-undang
Nomor 30 Tahun 1999
Proses beracara dalam arbitrase bebas diatur oleh masing-masing pihak sepanjang telah ditetapkan secara tegas dan tertulis, hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 31 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999. Berdasarkan pasal tersebut, para pihak dapat menentukan sendiri bentuk acara dalam proses arbitrase, termasuk melangsungkan arbitrase online. Selanjutnya, ketentuan Pasal 31 ayat (3) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 mengatur, apabila para pihak tidak memilih akan menggunakan acara arbitrase tertentu, proses acara arbitrasenya akan mengikuti ketentuan dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999.
Bagaimana seandainya para pihak ingin menyelesaikan sengketanya melalui arbitrase online tetapi dalam perjanjian arbitrasenya mereka tidak menentukan secara tegas dan tertulis akan menggunakan arbitraser online? Apakah mereka tidak bisa menyelesaikan sengketanya melalui acara arbitrase online? Jika melihat ketentuan beracara yang terdapat dalam Pasal 27-64 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999, tidak terdapat pasal yang menyatakan dalam acara sesuai dengan undang-undang, para pihak harus berhadapan atau bertatap muka secara fisik.
Dalam proses beracara arbitrase yang diatur Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999, para pihak tidak diwajibkan untuk hadir selama proses arbitrase sehingga tidak dapat bertatap muka secara langsung dalam proses arbitrase online bukan suatu masalah. Selain itu, dengan adanya Pasal Pasal 4 ayat (3) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999, tetap terbuka kemungkinan para pihak dapat menyelesaikan sengketanya secara online.
Pelaksanaan arbitrase online di Indonesia telah sesuai dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada, khususnya Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999. Meskipun, dasar hukum pelaksanaan arbitrase online telah ada, permasalahannya adalah tidak ada aturan pelaksanaan yang mengatur bagaimana arbitrase online itu dijalankan. Apabila pengaturan pelaksanaan arbitrase online diserahkan kepada para pihak untuk mengaturnya sendiri, dikhawatirkan tidak ada standar yang baku tentang pelaksanaan arbitrase online yang efektif dan efisien.
Selain tidak adanya aturan pelaksanaan mengenai arbitrase online, hambatan terbesar pelaksanaan arbitrase online di Indonesia menyangkut sarana dan prasarana arbitrase online. Hambatan pelaksanaan arbitrase online di Indonesia sebagai berikut.
1. Belum ada arbiter atau lembaga arbitrase di Indonesia yang secara tegas menyediakan layanan penyelesaian sengketa melalui arbitrase online. Hal ini disebabkan kecenderungan berfikir, sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase online adalah sengketa dalam perdagangan elektronik atau e-commerce saja dan di Indonesia jenis perdagangan ini belum populer, sehingga jarang ditemui kasusnya.
2. Akses Internet yang tidak merata. Berdasarkan data yang dikeluarkn oleh APJII, penyebaran pengguna Internet hanya terjadi di kota besar di Indonesia.[44] Akibatnya adalah, akses untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase online terbatas pada penduduk yang tinggal di kota besar saja.
3. Ketergantungan terhadap vendor software asing, hal ini terlihat dari data yang menyatakan 89% pengguna komputer Indonesia menggunakan software asing berlisensi komersil.[45] Untuk menyelenggarakan jasa arbitrase online dibutuhkan kurang lebih sepuluh software. Dapat dihitung berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk membeli lisensi dari software tersebut. Tentu biaya belanja software ini akan berpengaruh terhadap biaya jasa arbitrase online tersebut. Solusi untuk masalah ini adalah penggunaan software yang berlisensi open source untuk menekan biaya belanja software dan update software yang harus dibeli.[46]
4. Meskipun telah lama berakar pada nilai masyarakat, masyarakat Indonesia belum terbiasa untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan apalagi melalui mekanisme online. Hal ini dipengaruhi oleh pemikiran pelaksanaan putusan dalam proses litigasi lebih mudah dilakukan, karena dapat menggunakan upaya paksa. Sesungguhnya pemikiran ini tidak sepenuhnya tepat. Suatu putusan arbitrase, eksekusinya dapat dilakukan dengan upaya paksa, selama putusan arbiter telah memenuhi persyaratan yang diatur dalam Pasal 59-64 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999.

Dengan demikian, meskipun peraturan perundang-undangan telah membuka jalan dalam pelaksanaan arbitrase online di Indonesia, ternyata masih terdapat hambatan yang terjadi meliputi unsur sumber daya manusia Indonesia yang sudah tidak terbiasa untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan. Selain itu, tidak tersediannya fasilitas untuk menyelenggarakan arbitrase online di Indonesia.
BAB IV
PENUTUP


A. Kesimpulan
Berdasarkan apa yang telah diuraikan diatas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut.
1. Berdasarkan Pasal 4 ayat (3) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999, pelaksanaan arbitrase online di Indonesia dapat dilakukan. Dengan demikian meskipun proses arbitrase online tidak diatur secara tegas dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999, arbitrase online dapat dilakukan. Selain itu, karena dasar pelaksanaannya suatu arbitrase adalah adanya perjanjian arbitrase, ketentuan dalam Pasal 1338 KUHPerdata berlaku, yaitu perjanjian arbitrase berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Karena sesungguhnya arbitrase online tidak berbeda dengan arbitrase konvensional, yang berbeda hanyalah tata cara pelaksanaannya yang menggunakan fasilitas dari Internet.
2. Prosedur pelaksanaan arbitrase online sama dengan pelaksanaan arbitrase konvensional. Hanya saja ada perbedaan pada prosedural dan kelengkapannya. Untuk melaksanakan arbitrase online menggunakan media Internet, kelengkapan yang diperlukan adalah layanan Internet yang dapat memenuhi kebutuhan pelaksanaan arbitrase adalah website dengan yang terintegrasi dengan aplikasi database untuk menampung permohonan yang masuk, daftar arbiter, peraturan yang diperlukan mengenai permohonan untuk berarbitrase. Untuk menjamin kerahasiaan dan keotentikan data serta dokumen yang digunakan selama proses arbitrase online, diperlukan aplikasi security yang memadai dan dilengkapi dengan teknologi enkripsi yang baik.
B. Saran
Saran yang dapat diberikan dalam penulisan ini sebagai berikut :
1. Pemerintah sebaiknya membuatkan aturan khusus mengenai prosedur dan aturan pelaksana mengenai tata cara pelaksanaan arbitrase online. Hal ini untuk memberikan perlindungan hukum kepada para pihak yang hendak menyelesaikan sengketanya melalui arbitrase online.
2. Perlu diadakan sosialisasi mengenai prosedur pelaksanaan arbitrase online di Indonesia apabila ketentuan tersebut telah diatur. Langkah ini diperlukan agar masyarakat dapat mengetahui arbitrase online memberdayakan proses arbitrase online ini sebagai alternatif penyelesaian sengketa non-litigasi. Diharapkan dengan berjalannya penyelesaian sengketa melalui arbitrase online, tidak lagi terjadi tumpukan perkara di pengadilan.
3. Pemerintah, selain menyempurnakan perangkat peraturan perundang-undangan agar arbitrase online mendapatkan eksistensinya, juga diharapkan mampu untuk membuat peraturan yang dapat mendukung pelaksanaan arbitrase online seperti aturan mengenai reguliasi Internet agar biaya semakin terjangkau. Dengan terjangkaunya harga jasa Internet, daya tarik masyarakat untuk memberdayakan arbitrase online diharapkan lebih tinggi, karena salah satu hambatan penyelesaian sengketa melalui Internet adalah biaya jasa Internet di Indonesia yang cukup mahal.
4. Lembaga atau orang-perorang penyedia jasa arbitrase online hendaknya menggunakan produk software yang bersifat open source. Hal ini dilakukan untuk menekan biaya yang dikeluarkan penyedia jasa arbitrase online dalam menyiapkan fasilitas online-nya.
5. Lembaga atau orang-perorang penyedia jasa arbitrase online dapat bekerja sama dengan Penyelenggara Jasa Internet di Indonesia (Internet Service Provider), menyiapkan jalur khusus komunikasi untuk pelaksanaan arbitrase untuk menjaga kerahasiaan proses arbitrase online.

DAFTAR PUSTAKA


Buku
Abdurrasyid, Priyatna. Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Fikahati Aneska, 2002.

Adolf, Huala. Arbitrase Komersial Internasional. Jakarta: Rajawali Pres, 1999

Gautama, Sudargo. Arbitrase Dagang Internasional. Bandung: Alumni, 1979.

Harahap, M. Yahya. Arbitrase Ditinjau dari: Reglemen Acara Perdata (Rv), Prosedur BANI, International Centre for the Settlement of Investment Dispute (ICSID), UNICITRAL Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreing Arbitral Award, PERMA No. 1 Tahun 1990. Jakarta: Pustaka Kartini, 1991.

Margono, Suyud. ADR & Arbitrase: Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum. Bogor: Ghalia Indonesia, 2004.

Nolan, Jacqueline M. and Haley. Alternative Dispute Resolution in a Nutshell. St. Paul: West Publishing Co., 1992.

Siburian, Paustinus. Arbitrase Online (Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdagangan Secara Elektronik). Jakarta: Djambatan, 2004.

Subekti, R. Kumpulan Karangan Hukum Perikatan, Arbitrase dan Peradilan. Bandung: Alumni, 1992.

Taylor, Mark. Uses of Encryption: Digital Signatures. USA: Sweet & Maxwell Limited and Contributors, 1999.



Artikel

Katsh, Ethan. “Bringin Online Dispute Resolution to Virtual Worlds: Creating Processe Through Code.” New York Law School Law Review 2004-2005 (Fall 2004): 271-291.

Karen Stewart, Karen and Joseph Matthews. “Online Arbitration of Cross-Border, Buiness to Consumer Dispute.” University of Miami Law Review (July 2002): 1111-1146.

Lodder, Arno R. and John Zeleznikow. “Developing an Online Dispute Resolution Enviroment: Dialogue Tools and Negotiation Support System in a Three-Step Model.” Harvard Negotiation Law Review (Spring 2005): 287-337.

Mayer, Viktor and Schönberger. “The Shape of Governance: Analyzing the World of Internet Regulation.” Virginia Journal of International Law (Spring 2003): 605-673.

Schultz, Thomas. “Does Online Dispute Resolution Need Governmental Intervention? The Case For Acrhitectures of Control and Trust.” North Carolina Journal of Law & Technology (Fall 2004): 71-106.



Situs Internet
APJII. “Statistik APJII Updated 2006”, <http://www.apjii.or.id/dokumentasi/statistik.php>. 18 April 2006.

“11 Ribu Perkara Menunggak di MA.” <http://www.tempointeraktif.com/>. 18 April 2006.

WSIS. “Definiton of Online Arbitration.” . 19 April 2006.



Peraturan Perundang-undangan

Indonesia. Undang-undang Tentang Arbitrase dan Pilihan Penyelesaian Sengketa. UU No. 30, LN. No. 138 Tahun 1999, TLN. No. 3872.

Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dengan Tambahan Undang-undang Pokok Agraria dan Undang-undang Perkawinan. Diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. Cet. 33. Jakarta: Pradnya Paramita, 2003.



[1] 11 Ribu Perkara Menunggak di MA, http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2006/03/13/brk,20060313-75052,id.html, diakses 18 April 2006.

[2] Ada beberapa pendapat mengenai penerjemahan Alternative Dispute Resolution menjadi Alternatif Penyelesaian Sengketa. Di Amerika, sebagai negara yang mencetuskan ide mengenai hal ini, Alternative Dispute Resolution sering diartikan sebagai alternative to litigation atau sering diartikan juga sebagai alternative to adjudication. Lebih lanjut baca Suyud Margono, ADR & Arbitrase: Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004), hal. 36.
[3] Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. Fikahati Aneska, 2002), hal. 11.

[4] Indonesia, Undang-undang Tentang Arbitrase dan Pilihan Penyelesaian Sengketa, UU No. 30, LN. No. 138 Tahun 1999, TLN. No. 3872.
[5] Mekanisme konsultasi dan konsiliasi tidak dijabarkan secara jelas dalam Undang-undang Nomor 30 tahun 1999, apakah sebagai suatu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar Pengadilan atau merupakan suatu tindakan atau proses untuk mencapai perdamaian di luar Pengadilan.
[6] APJII, “Statistik APJII Updated 2006”, http://www.apjii.or.id/dokumentasi/statistik.php, diakses 18 April 2006.
[7] H. Ahmad M. Ramli, Sambutan Atas Penerbitan Buku Arbitrase Online (Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdagangan Secara Elektronik) oleh Paustinus Siburian, hal. xii.

[8] UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa ps. 1 butir 10.
[9] Ibid., ps. 1 butir 1.
[10] WSIS, “Definiton of Online Arbitration”, <>, diakses 19 April 2006.
[11] UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, op. cit., konsiderans huruf a.
[12] Suyud Margono, ADR & Arbitrase: Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004), hal. 36.
[13] Jacqueline M. Nolan-Haley, Alternative Dispute Resolution in a Nutshell (St. Paul: West Publishing Co., 1992), page. 4.
[14] Aburrasyid. op. cit., hal. 17-18.
[15] Margono, Loc.. cit., hal. 108.
[16] Salah satu literatur tersebut ditulis oleh Mas Achmad Santosa yang berjudul Pelembagaan ADR di Indonesia. Makalah pada Kuliah Umum ADR, (Jakarta: Fakultas Hukum Unika Atma Jaya, 1999) hal. 1-2. Pendapat ini dikutip dari buku Margono, op. cit., hal. 37. Fakultas Hukum Universitas Indonesia menggunakan istilah Pilihan Penyelesaian Sengketa sebagai padanan kata Alternative Dispute Resolution. Pilihan Penyelesaian Sengketa merupakan salah satu matakuliah yang diajarkan. Fokus penyelesaian sengketa dalam matakuliah ini pada proses negosiasi dan mediasi, tidak pada arbitrase.

[17] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hal. 24.
[18] Abdurrasyid, op. cit., hal. 56-57.

[19] Ibid., dikutip dari R. Subekti, Arbitrase Perdagangan (Bandung: Bina Cipta, 1979)
[20] UU Arbitrase Republik Indonesia, op. cit., ps. 1 butir 3.
[21]Paustinus Siburian, Arbitrase Online (Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdagangan Secara Elektronik) (Jakarta: Djambatan, 2004), hal. 42.
[22] UU Arbitrase Republik Indonesia, op. cit., ps. 3.
[23]M. Yahya Harahap, Arbitrase Ditinjau dari: Reglemen Acara Perdata (Rv), Prosedur BANI, International Centre for the Settlement of Investment Dispute (ICSID), UNICITRAL Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreing Arbitral Award, PERMA No. 1 Tahun 1990 (Jakarta: Pustaka Kartini, 1991) hal. 97.
[24]UU Arbitrase Republik Indonesia, op. cit., ps. 9 ayat (1).

[25] Lih. Ketentuan Pasal 10 UU No. 30 tahun 1999.

[26] Nolan-Haley, op. cit., p. 119.
[27] Lih. UU No. 30 tahun 1999, op. cit., Ps. 27.

[28] Selain faktor waktu yang singkat yang menyebabkan biaya arbitrase dapat lebih murah, faktor terpenting terletak kepada para pihak. Apakah para pihak mau menjalankan putusan arbitrase secara suka-rela atau tidak. Apabila putusan arbiter dijalankan secara suka rela maka biaya yang dikeluarkan akan jauh lebih murah. Untuk selengkapnya baca Sudargo Gautama, Arbitrase Dagang Internasional (Bandung: Penerbit Alumni, 1979), hal. 5.
[29] Margono, op. cit., hal. 20.

[30] UU Arbitrase Republik Indonesia, op. cit., penjelasan undang-undang.
[31] Ibid., ps. 59.

[32] Siburian, op. cit., hal. 56-57.

[33] Thomas Schultz, “Does Online Dispute Resolution Need Governmental Intervention? The Case For Acrhitectures of Control and Trust”, North Carolina Journal of Law & Technology (Fall 2004) hal. 72.

[34] Viktor Mayer-Schönberger, “The Shape of Governance: Analyzing the World of Internet Regulation”, Virginia Journal of International Law (Spring, 2003) hal. 607.
[35] Schultz, op. cit., page 109

[36] Lihat UU No. 30 tahun 1999 Loc.cit ps. 4 ayat (2) jo. Pasal 9 ayat (1).
[37] Edmom Makarim, Pengantar Hukum Telematika: Suatu Kompilasi Kajian (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2005) hal. 239.

[38] Adapun dimaksud dengan proses di sini adalah proses pada memasukkan data (input), proses pengolahan data (editing), proses penyimpanan data (storing), proses keluaran data / tampilan data (output). Ouput suatu data tidak selalu harus berupa wujud fisik, tampilan pada layar monitor juga termasuk data output.
[39] Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dengan Tambahan Undang-undang Pokok Agraria dan Undang-undang Perkawinan, diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, cet. 33, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2003), ps. 1338.
[40]American Arbitration Association, “Supplementary Procedures for Online Arbitration”, diperoleh dari penelusuran data pada website WestLaw yang diakses menggunakan proxy Fakultas Hukum Universtias Indonesia .
[41]Pembahasan lebih lanjut mengenai digital signature dapat dibaca di Wikipedia, <http://www.wikipedia.org/digital_signature>. Penulis juga pernah menulis tulisan bersifat populer mengenai penggunaan enkripsi termasuk digital signature di dalamnya sebagai usaha perlindungan data di komputer. Artikel dapat dibaca pada situs pribadi penulis di alamat http://www.neoteker.or.id/.

[42] Mark Taylor, Uses of Encryption: Digital Signatures, (USA: Sweet & Maxwell Limited and Contributors, 1999), hal. 2

[43] Siburian, op. cit., hal 49.

[44] APJII, op. cit.
[45] Data didapat dari website Kelompok Pengguna Linux Indonesia di alamat
[46] Lebih lanjut tentang software berlisensi open source dapat dibaca di alamat http://www.opensource.org
Penulis :
Jakarta 2007