Rabu, 27 Mei 2009

POLITIC ARTICLE


BUALAN CAPRES SBY “INCUMBENT”
By. Agus P. Pasaribu, S.H.
Penulis berprofesi sebagai Advokat di Jakarta, bergabung
pada Law Firm “Johanes Raharjo, SH., MH & Partners dan
terdaftar sebagai anggota dari Jakarta Lawyers Club (JLC)- Indonesian




Pertarungan politik memperebutkan kursi RI-1 dan RI-2 tinggal menghitung hari, perhelatan pendeklarasianpun sudah dilaksanakan masing-masing kandidat capres dan wapres, tanpa terkecuali capres SBY “incumbent” yang turut serta meramaikan bursa calon presiden (capres) untuk periode 2009 - 2014 mendatang. Bahkan, pencalonan kembali SBY ditandai dengan hingar-bingar pendeklarasian yang menunjukkan kemewahan ala negeri Paman Sam, yang disebut-sebut American Style atau Obama-obamaan, tanpa peduli berapapun biaya yang harus dikeluarkan untuk terlaksananya deklarasi yang konon menelan biaya milyaran rupiah. Ironisnya, semua itu berlangsung ditengah-tengah himpitan ekonomi yang mendera sebagian besar masyarakat. Ganjil memang tapi nyata, itulah realitas yang mengemuka, bagaimana seorang capres selaku “incumbent” melakukan pemborosan yang ujung-ujungnya tidak mempunyai relevansi dengan pencapaian kesejahteraan rakyat yang menjadi isu sentral pencalonan. Masyakarat hanya mangut-mangut dan mahfum melihat ulah capres SBY “incumbent”, toh masyarakat sudah terlanjut merasa tidak mempunyai andil dengan segala hingar bingar deklarasi tersebut. Bagi kebanyakan kalangan yang terpenting sekarang ini menjalani hidup agar dapat menopang kebutuhan sendiri, tanpa pernah mengharapkan uluran tangan atau campur tangan pemerintah, hal ini merupakan bentuk pesimisme atau antipati masyarakat untuk segala kebohongan dan janji-janji kandidat yang bersangkutan selama.


Kesesatan Propaganda
Dalam pendeklarasian calon presiden (capres) SBY “incumbent” pidato-pidato yang disampaikan terkesan seremonial dan formalistis belaka, karena muatan tiap pidato yang disampaikan capres SBY “incumbent” maupun koalisinya penuh kebohongan publik, yang justru jauh dari kesan apa adanya (baca : kenyataan) sehingga tidak mencerminkan kejujuran seorang pemimpin. Kenyataan ini tentu sangat mengkhawatirkan, karena masyarakat disuguhin dengan segala propaganda informasi yang menyesatkan tentang kinerja SBY selama 5 (lima) tahun ini. Lihat saja, mulai dari pengistilahah penyebutan calon SBY-berbudi (sing. SBY bersama Budiono) yang terkesan bermakna kabur dan dapat saja berarti konotatif yang seolah-olah SBY punya budi selama ini, sampai kepada narsisme diri yang mengklaim sejumlah keberhasilan selama lima tahun ini, apakah itu berbau kebijakan Bantuan Langsung Tunia (BLT), kemajuan ekonomi, berkurangnya jumlah penganggur, dan lain sebagainya. Keseluruhan propaganda yang baru saja disebutkan tidak cukup sampai disitu, karena masih banyak cara-cara yang dijadikan atribut sebagai modal kampanye yang lebih mengarah pada orientasi sekedar ingin memenangkan pemilu belaka tanpa program yang jelas dan kongkrit. Bagaimanapun, sejatinya kampanye belum resmi dinyatakan dimulai, namun capres SBY “incumbent” sudah mengklaim sekian banyak isu-isu keberhasilan yang sifatnya populis belaka dan terkesan membentuk opini di masyarakat, tanpa berani membeberkan fakta-fakta kebenaran kepada masyarakat apa yang sebenarnya terjadi lima tahun ini. Padahal, secara kasat mata jika ditelaah berbagai kerusakan dan ketimpangan telah timbul selama ini.
Pertama, berbicara soal berkurangnya jumlah pengangguran yang diklaim kubu capres SBY dan koalisinya sebagai wujud keberhasilan dan dijadikan modal kampanye, tidak sesuai kenyataan yang ada. Lihat saja, contoh sederhana berdasarkan pemberitaan “Poskota” (25/05/2009), dalam jangka waktu 14 hari terakhir, jumlah pekerja yang di PHK naik hingga 12,26 persen, dari total 32.981 orang pada 8 Mei 2009 menjadi 36.963 orang per 22 Mei lalu. Hal ini terjadi di empat provinsi terbesar yang melakukan PHK yakni DKI Jakarta, Jawa Tengah, Banten, Kalimantan Timur. Data Depnakertrans secara nasional, juga tercatat jumlah korban PHK dalam periode yang sama naik dari 51.506 menjadi 52.226 orang (Pos Kota : 9). Data-data tersebut diatas, belum termasuk jika dihitung daerah lainnya yang tentu saja tidak jauh berbeda mengalami nasib yang sama. Jadi bagaimana mungkin seorang capres “incumbent” menyampaikan informasi yang menyesatkan ke ruang publik (masyarakat) dengan mengklaim pengagguran berkurang ?, bukankah menjadi pertanyaan bagi kita bahwa kejujuran apa yang dimiliki jika melihat fakta ini ?.
Kedua, pada persoalan yang berbeda, isu yang dihembuskan capres SBY “incumbent” dan kolalisinya dalam bentuk klaim utang Indonesia yang telah lunas ke International Moneter Fund (IMF) dijadikan mesin politik baru dan terkesan isu yang dibesar-besarkan untuk membentuk citra diri dalam konteks sebuah keberhasilan. Padahal capres SBY “incumbent” dan koalisinya tidak memberikan informasi yang akurat atau akurat kepada masyarakat sehubungan dengan jumlah utang Indonesia, justru utang Indonesia tidak berkurang secar signifikan ke pihak asing (negara maju). Secara yuridis, Indonesia mempunyai utang ribuan trilyun rupiah ke negara-negara Eropa maupun negara lain. Berdasarkan fakta empiris ini, apakah SBY dan koalisinya mengungkapkan kejujuran, patut dipertanyakan maksud dan tujuan koalisi mereka yang cenderung cuma sekedar memikirkan kepentingan memenankan pemilu belaka.
Ketiga, dalam setiap pidato pendeklarasian capres SBY “incumbent” terbukti tidak ‘fair’ dalam mengkampanyekan diri karena hanya berbicara janji-janji belaka, meskipun sudha nyata selama lima tahun kepemimpinannya gagal total, namun capres SBY “incumbent” tanpa berani membeberkan berbagai kebobrokan yang timbul selama kepemimpinanya. Sederhananya, dikemukakan contoh-contoh kegagalam mendasar, antara lain, Kesatu : pemilu legislatif (pileg) lalu sudah merupakan bukti banyaknya kecurangan partai politik dan mekanisme pemilu yang sangat sembraut sehingga tidak mencerminkan wujud demokrasi, padahal Pemerintah (baca : SBY selaku Presiden) mempunyai tanggung jawab fungsional atas terselenggaranya pesta demokrasi tersebut jika ditinjua secara hukum, lantas dimana letak tanggungjawabnya ?. Kedua : pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat dipandang sebagai wujud suatu keberhasilan, padahal hanya merupakan upaya eksploitasi kemiskinan belaka, yang cederung bukan sebagai upaya mendidik warga negaranya, melainkan budaya yang mengajarkan ketidakmandirian. Bahkan, yang lebih parahnya lagi bilapun BLT dipandang sebagai wujud keberhasilan dari suatu proses kebijakan, namun jika dibandingkan dengan terbengkalainya penegakan hukum berkenaan kasus BLBI yang mengakibatkan negara rugi 700 Triliyun rupiah, apakah pantas diklaim sebagai bentuk keberhasilan ?. Sebagai penekanan yang harus patut diingat oleh masyarakat dan perlu diketahui bahwa justru diera Pemerintahan SBY mengemuka usaha atau upaya untuk mengehentian penyelematan dana BLBI dari tangan para konglomerat pengutang (debitor). Selain itu, kebijakan publik yang diterapkan capres SBY “incumbent” selalu menelan korban, seperti kebijakan BLT yang disebutkan diatas misalnya, masyarakat kisruh pada saat pembagian BLT, tak mengherankan apabila puluhan jiwapun melayang demi antrian BLT. Ada lagi kebijakan capres SBY “incumbent” yang sangat teramat buruk yaitu kebijakan dibidang Bahan Bakar Minyak (BBM) yang harganya selalu tidak stabil, namun naik turun, sehingga secara sadar atau tidak justru kebijakan yang demikian itu justru mengakibatkan terganggunya perekonomian dalam skala makro maupun mikro, karena ketidakpastian harga. Namun persoalan BBM ini pun telah diajdikan isu sentral sebagai klaim keberhasilan dengan alasan telah menurunkan harga BBM berkali-kali. Berdasarkan realitas itu, pantaskah capres SBY “incumbent” mengklaim diri sebagai sosok pemimpin yang berhasil ?, jika demikian dimana sebenarnya letak keberhasilan seorang pemimpin ?
Keempat, pengurangan anggaran bagi pertahanan keamanan negara adalah buktinya nyata bahwa capres SBY “incumbent” gagal menentukan prioritas utama dalam bidang pertahanan keamanan negara, padahal capres SBY “incumbent” bertindak selaku panglima tertinggi Angkatan Bersenjata. Paling tidak, sedikit banyaknya pengurangan anggaran militer dalam rangka perrtahanan keamanan negara telah mengakibatkan timbulnya kecelakaan pesawat militer kita berulangkali, ratusan nyawapun melayang dalam menjalankan tugas. Lantas dimana letak keberhasilan ?. Namun sayangnya, ketika setiap bencana yang demikian itu timbul, dengan mudahnya capres SBY “incumbent” justru hanya sekedar beretorika dengan menyatakan bahwa anggaran militer tidak dikurangi namun cuma dilakukan pemotongan saja.


Pembodohan Politik
Bagi sebagian kalangan masyarakat yang kurang pendidikan dan kurang arus informasi seperti di pedesaan, tentu propaganda keberhasilan capres SBY “incumbent” dengan koalisinya akan menelan korban, karena masyarakat yang kurang paham kinerja capres SBY “incumbent” selama ini akan menganggap bahwa capres SBY “incumbent” telah berhasil memimpin bangsa ini, sebagaimana didengung-dengungkan melalui media massa maupun elektronik, sehingga masyarakat secara tidak langsung akan disesatkan. Situasi ini tentu sangat tragis dan miris bagi kemajuan pendidikan politik masyarakat kita. Apapun alasannya hal yang demikian sangat tidak patut dilakukan seorang calon presiden, apalagi mengingat calon yang bersangkutan merupakan “incumbent”.
Pada persoalan lain, tentu masyarakat akan semakin antipati dan kecewa dimasa mendatang jika melihat propaganda capres SBY “incumbent” yang pada akhirnya terbukti tidak sesuai dengan kenyataan, hal ini tentu akan berpengaruh besar pada peta perpolitikan dimasa mendatang. Hal ini dapat menimbulkan teladan yang teramat buruk bagi masyarakat sekaligus keburukan itu dianggap pantas dilakukan dengan meniru berpolitik ala capres SBY “incumbent” dengan segala ketidakjujuran, terlepas apakah itu mencederai masyarakat atau tidak.
Pastinya, pembodohan politik yang ada semakin merugikan bangsa ini kedepannya, karena pembodohan politik yang dilakukan demikian terselubung dengan mengatasnamakan keberhasilan semu. Hal yang demikian itu justru akan semakin menjauhkan tujuan kesejahteraan rakyat yang menjadi cita-cita sebuah negara beradab dan dijamin konstitusi. Persoalannya sudikah kita ???


Penutup
Dengan semakin dekatnya pemilu presiden (pilpres) pada bulan juli mendatang, merupakan momen yang tepat bagi segenap elemen bangsa untuk memilih calon yang dekat dengan cita-cita kesejahteraan rakyat, dibutuhkan kebijaksanaan dalam menggunakan hak pilih, karena akan menentukan nasib bangsa ini lima tahun ke depan. Agar nasib bangsa ini tidak jatuh ke dalam lobang yang sama dimasa mendatang, maka perlu kiranya masyarakat merefleksikan diri untuk dapat memilih pemimpin yang benar - benar memiliki karakter yang jujur dan berbicara apa adanya tentang suatu kinerja kepemimpinan.


Penulis, ⓒ Mei 2009

Selasa, 19 Mei 2009

ARTIKEL

PATAMORGANA “SBY-BERBUDI”



Pemilihan Presiden (pilpres) tinggal menghitung hari, sinkron dengan itu koalisi antar partai telah melahirkan kandidat capres dan wapres dengan mengusung tiga pasangan yang akan berkompetisi memperebutkan kursi RI-1 dan RI-2 untuk masa 2009 s/d 2014. Namun proses seleksi kandidat capres dan wapres pemilu kali ini diwarnai berbagai kejanggalan, mulai dari penggunaan istilah penyebutan calon, proses pengambilan keputusan koalisi, sampai pada pencitraan calon (kandidat) yang berlebihan (dalam arti : over confident). Pertanyaaannya adalah kemanakah arah bangsa ini, jika melihat realitas yang demikian itu, sementara diujung jalan telah menanti segudang persoalan bangsa yang terbelenggu sekian lama ?.
Proses pendeklarasian capres-wapres “SBY-Berbudi” (singk. SBY bersama budi) sepintas memang terlihat biasa-biasa saja, namun jika ditelisik secara tajam, sebenarnya banyak hal-hal yang tidak patut dan janggal dilakukan oleh capres dan wapres ini. Mengingat, esensi utama kepemimpinan bukan membutuhkan hal-hal yang janggal itu, tetapi yang paling penting adalah seberapa bisa kandidat capres dan wapres yang bersangkutan benar-benar menunjukkan ide-ide nyata (real) untuk membangun masa depan negeri ini, sehingga mampu menciptakan kesejahteraan bagi rakyat banyak.


Seremonial
Pada saat deklarasi Capres Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selaku incumbent dan Cawapres Budiono berlangsung, detik-detik hingar-bingar penyambutan deklarasi yang berlebihan ditandai dengan persiapan tempat yang terkesan sangat wah, ekslusif, image tinggi dan lain sebagainya. Bahkan, seremonial pendeklarasian terkesan mubazir dan cenderung bersifat aspek hiburan (entertain). Dikatakan mubazir karena kompetisi belum berakhir, namun SBY-Berbudi seolah-olah sudah merayakan kemenangan pemilu, terbukti acara pendeklarasian jauh-jauh hari telah dipersiapkan secara teramat ekslusif. Ditambah lagi, biaya yang dikeluarkan tergolong tidak sedikit, sehingga sangat dilematis mengingat ditengah-tengah penderitaan rakyat yang dibalut kesulitan hidup. Dikatakan cenderung menghibur, karena capres dan wapres tersebut lebih memilih pidato-pidato yang tidak menyentuh langsung perjuangan kepentingan rakyat. Seandainya bisa diibaratkan, maka deklarasi capres SBY dan wapres Berbudi tak ubahnya seperti peluncuran (launcing) produk industri ke dunia pasar yang semata-mata bertujuan menarik hati konsumen belaka, tanpa memperhatikan keinginan masyarakat.
Lihat saja proses pencitraan diri yang dibuat kedua kandidat tersebut dengan menyebutkan dirinya sebagai “SBY-Berbudi”. Pidato pembukaan yang bersifat formalitas sangat tidak patut apabila diisi dengan pidato yang menggunakan istilah-istilah menyesatkan pikiran. Padahal, oritentasi kedua calon dapat dipastikan hanya terkesan familiar sehinga rakyat memilih dan mudah mengingat, demi memenangkan pemilu mendatang. Andaikan saja jujur melihat persoalan, siapapun tahu bahwa di republic ini masih banyak rakyat yang mudah termakan isu yang bersifat slogan-slogan belaka, mengingat tingkat pendidikan politik masyarakat sebagian besar belum memadai. Oleh karena itu, sangat tidak fair rasanya apabila pengistilahan kandidat "SBY-Berbudi" digunakan sebagai slogan kampanye kelak. Kekeliruan persepsi masyarakat tentang kedua calon ini akan semakin parah, jika melihat pidato-pidato capres dan wapres tersebut yang mengaku berhasil membayar utang negara, tanpa berani membeberkan fakta bahwa tahun 2004 - 2009 utang Indonesia justru semakin membengkak ke negara-negara maju, walaupun memang ada pelunasan utang ke International Moneter Fund (IMF). Itukah wujud dari keberhasilan?. Aneh memang, namun yang lebih mempriharinkan lagi, wapres Budiono yang didengung-dengungkan sebagai ahli ekonomi, justru berangkat dari latarbelakang persoalan BLBI yang tidak jelas juntrungannnya sampai saat ini. Sangat diragukan kredibilitas pasangan tersebut, terkesan orientasi pendeklarasian semata-mata cuma ingin memenangkan pemilu belaka. Jika sudah demikian, sebenarnya dimana itikad baik seorang calon pemimpin yang ingin menyejahterakan rakyat ?.
Bagi rakyat yang jauh dari arus informasi maupun pendidikan formil yang tertinggal tentu saja dengan penggunaan istilah "SBY-berbudi" akan dimaknai menurut apa yang tertulis (letterlijk), bahwa kandidat itu benar-benar berbudi dalam arti berjasa. Permasalahan ini sangat dilematis, karena bagaimanapun oritentasi rakyat memilih kandidat hanya karena kesesatan pola pikir akibat isu kata “SBY-Berbudi”. Jika ini terjadi, maka sebenarnya demokrasi sudah kehilangan arah tujuan (miss-orientation).
Pada konteks yang berbeda, seremonial pendeklarasian kandidat “SBY-Berbudi” tadi dibungkus dengan pidato-pidato bualan yang mengajak rakyat di republik ini berhalusinasi dengan sejuta impian yang sangat kabur alias patamorgana belaka, tanpa adanya ide kongkrit yang menjadi patron kandidat ini. Bahkan, secara tidak bijak pidato yang disampaikan secara keliru, seperti klaim keberhasilan SBY selama lima tahun ini. Padahal, contoh sederhana telah membuktikan baru-baru ini bahwa pemilihan legislatif lalu (pileg) merupakan tanggung jawab pemerintah, namun kenyataannya pileg tersebut gagal. Padahal, SBY selaku Incumbent berpidato tanpa berani menyatakan kegagalannya. Apakah itu bukan bagian dari kegagalan pemerintah (dalam arti sempit presiden) atau jangan-jangan pileg lalu dianggap juga keberhasilan, ironis memang !!
Sedangkan pada sisi calon wapresnya Budiono, selama ini kita mengetahui dia bukan siapa-siapa. Lihat saja kegagalannya selama ini, mulai dari skandal BLBI, penjualan asset-aset BUMN ke pihak asing, semua itu tidak terlepas dari peranannya di pemerintahan yang ada. Menyakitkan memang, masa menjadi capres dan wapres saja sudah dimulai dengan kebohongan publik dengan memberikan kesesatan informasi, malah terkesan memuji diri sendiri (narsisme), harusnya jadikanlah rakyat sebagai tolok ukur penilaian keberhasilan, bukan suara orang-orang disekitarnya yang perlu didengar masing-masing kandidat.
Pendeklarasian kandidat capres-wapres "SBY-Berbudi" sangat sarat dengan seremonial belaka yang tidak mempunyai hubungan dengan kepentingan rakyat, sangat memprihatinkan. Apalagi, penggunaan istilah SBY-Berbudi yang jelas-jelas dapat menyesatkan pikiran rakyat, oleh karena itu pemilu presiden kali ini akan sangat terkesan menonjolkan persaingan belaka, yang nota bene bukan bagian dari kepentingan rakyat banyak.


Tanggung Jawab “Incumbent”.
Secara garis besar siapapun tahu bahwa lima tahun belakangan keadaan perekonomian bangsa ini tidak mempunyai perubahan yang signifikan, bahkan kasarnya dapat dibilang diam (stag), meski banyak orang-orang disekitar presiden SBY Incumbent mengklaim sejumlah keberhasilan. Namun nyatanya, justru membuktikan sebaliknya, sebut saja misalnya permasalahan harga minyak (BBM), yang perumusannya tidak propesional, sehingga tidak mengherankan apabila kemudian harga BBM naik-turun tidak menentu yang justru menggangun laju pertumbuhan ekonomi. Proses pengambilan kebijakan (decision making) sangat terburu-buru, rakyat pun semakin menderita, bingung, ditengah-tengah membludaknya jumlah pengangguran karena PHK yang meningkat. Lantas, dari pembeberan fakta-fata diatas, dimana letak keberhasilan SBY selaku incumbent ?,
Kegagalan-kegagalan itu ternyata tidak membuka mata capres SBY sehingga masih mempunyai nyali untuk mencalonkan diri sebagai presiden untuk pemilu juni mendatang, ditambah lagi dalam setiap pidatonya SBY berpura-pura lupa dengan kegagalannya, sehingga hanya memuji keberhasilannya sendiri yang terkesan fatamorgana. Bagaimanapun, ukuran keberhasilan harus nyata bukan keberhasilan yang teoritis yang selalu diukur dari data-data maupun grafik belaka.
Detik-detik peralihan kekuasaan sudah semakin dekat, namun sayangnya bagaimana kita dapat menuntut tanggung jawab kegagagalan SBY, sementara kegagalan itu tidak pernah diakui, terbukti masih mencalonkan diri sebagai presiden dimasa lima tahun ke depan, dengan mengiming-imingi rakyat sejuta khayalan, yang sebenarnya hanya fatamorgana belaka.


Penutup
Perlu menjadi pemikiran bagi kita, agar pada saat pemilu presiden dan wakil presiden juni mendatang, kiranya rakyat bijak dalam menggunakan hak pilihnya. Terlebih lagi, memilih pemimpin yang berani menyatakan dirinya sesuai kebenaran, mengakui kegagalan, bijak, sehingga rakyat tidak tertipu oleh fatamorgana impian-impian belaka yang dibangun atas dasar khayalan kata “sejahtera”, yang tidak pernah terwujudkan selama ini.

Selasa, 12 Mei 2009

ARTICLE

IDEALKAH CALON PEMIMPIN KITA ?
by. Agus P. Pasaribu, S.H.



Belakangan, mass media kita diramaikan dengan berita gonjang-ganjing partai politik yang menyoalkan hasil perolehan suara pemilihan legislatif (pileg) lalu. Ditambah lagi, suhu perpolitikan semakin memanas menjelang Perebutan kursi Presiden dan Wakil Presiden yang sedianya akan digelar bulan juni mendatang. Pertarungan sengit antar kandidat semakin sengit untuk memperebutkan kursi presiden dan wakil presiden, bak primadona yang siap dijadikan pingitan sang pangeran. Aktivitas partai politik semakin gencar melakukan pendekatan-pendekatan dalam rangka koalisi. Dalam konteks disiplin ilmu politik, hal yang demikian lumrah terjadi, mengingat fakta bahwa partai-partai politik peserta pemilu kali ini tidak satupun memperoleh quota perolehan suara 25 % sebagaimana diamanat UU Pemilu, sehingga hanya melalui mekanisme koalisi saja yang dimungkinkan mengajukan calon presiden dan wakil presiden. Sejalan dengan itu, bentuk koalisi sendiri memang diperkenankan dalam UU No. 22 tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum.
Namun, persoalan yang patut disoroti dalam pilpres mendatang adalah seberapa idealkah kandidat yang telah memastikan diri mencalonkan diri sebagai pemimpin di negeri ini?. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis yang mencoba mengkritisi tentang rumitnya sistem demokrasi di Indonesia, yang bermuara pada kepemimpinan yang sudah stagnasi (berhenti) tanpa adanya alternatif pilihan, hal ini tentu saja akan berujung pada kerugian masyarakat dalam suatu negara demokratis.


Idealime Politik
Berdasarkan situasi yang mengemuka belakangan, sangat jarang kita melihat partai politik benar-benar mau menerapkan aturan partai yang real demi kepentingan bangsa dan negara (baca : kepentingan rakyat), yakni : tidak mengenal kompromi, sebagaimana pada saat hingar-bingar mengiklankan diri pada kampanye pileg lalu. Hampir semua partai politik di negeri ini menerapkan pola tawar-menawar kekuasaan yang bersifat politik pragmatis. Anehnya, partai politik secara sadar memerankan standar ganda cuma demi menyelematkan kepentingan kekuasaan belaka (baca : terpilih menjadi capres/wapres). Jika sudah demikian, sebenarnya dimana hak rakyat selaku pemegang otoritas tertinggi dalam sebuah negara berdaulat?. Pemahaman tentang demokrasi pun telah bergeser secara mendasar, tanpa memperhatikan ekspektasi masyarakat selaku patron. Partai-partai politik yang berkoalisi mengaku-mengaku mewakili kepentingan rakyat, padahal sebaliknya jika melihat fatamorgana yang diciptakan koalisi, sejalan dengan membumbungnya nilai kekuasaan yang dielu-elukan, termasuk atur-mengatur siasat demi memperoleh kemenangan pemilu, maka tidak jelas keinginan siap yang sebenarnya hendak diperjuangkan partai poltik.
Sederhananya, jika dinilai dengan hitung-hitungan logika, sebenarnya partai-partai politik teramat ambisius berkuasa di pemerintahan, meskipun mereka mengatasnamakan demi kepentingan bangsa, negara, atau rakyat sekalipun. Namun rakyat yang mana diperjuangkan, sementara partai politik lebih menekankan nilai koalisi daripada kesinergisan untuk membangun bangsa ke depannya. Bukankah tidak lebih baik apabila partai politik bersatu dan duduk bersama memikirkan kepentingan rakyat, tanpa harus mempersoalkan posisi tawar-menawar yang cenderung mengabaikan kepentingan rakyat, inilah bentuk real politik praktis, sebagaimana yang dikemukakan diatas. Kekuasaan pun menjadi sesuatu yagn istimewa bagi kalangan partai politik, padahal sudah seharusnya yang menjadi perdebatan bukan posisi tawar-menawar yang diracuni kata “koalisi belaka”, melainkan partai-partai sewajarnya bersinergi dalam koalisi demi menyatukan visi dan misi untuk mencapai kesejahteraan rakyat.
Aneh memang, karena kebanyakan kandidat capres dan wapres sudah terbukti tidak mampu memimpin negeri ini, hal ini bila melihat kilas balik track record masing-masing kandididat, tanpa bermaksud mengecilkan kemampuannya. Namun, mengapa masih mencalonkan diri, pemimpin sejatikah itu ?, jangan-jangan orang-orang gagal itu masih penasaran dengan “kekuasaan” jadinya memaksakan diri untuk memimpin negara yang sebenarnya tak pernah dipahami dengan baik. Sangat beralasan apabila kemudian kita mempertanyakan apakah partai-partai yang mengusung kandidatnya mempunyai idealisme politik?
Untuk mencapai suatu pemahaman mendasar tentang idealisme politik, tentu terlebih dahulu masing-masing kandidat harus memahami politik secara kompleks. Dimana didalamnya ada unsur kekuasaan yang berorientasi pada pencapaian cita-cita kesejahteraan rakyat dan adanya kesinergian elemen-elemen yang bekerja didalamnya sebagai suatu proses sistem.


Karakter Kepemimpinan
Pemilihan pemimpin di negeri ini sangat tidak responsif, sehingga sama sekali tidak mencerminkan adanya kehendak rakyat didalamnya. Pilihan pun dibatasi melalui mekanisme undang-undang. Alhasil, kandidat yang mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden hanya diisi oleh orang-orang yang itu-itu saja, tanpa adanya alternatif lain semisal pencalonan independen..
Karakter kepemimpinan para kandidat presiden dan wakil presiden sebenarnya sudah tidak ideal bila melihat banyaknya tantangan persoalan yang dihadapi bangsa ini. Namun, sayangnya pemahaman bagi para kandidat tentang kebutuhan kepemiminan yang ideal bagi bangsa ini sangat jauh dari kenyataan, jadi tidak mengherankan apabila kemudian tidak diberikannya sama sekali peluang terhadap generasi muda selaku pemegang estapet kepemimpinan. Pemimpin yang berkarakter tidak selamanya harus bicara kemenangan diatas kertas dalam sebuah pertarungan politik, melainkan adanya kedewasaan politik untuk mengayomi generasi muda. Kesempatan harus diberikan kepada pemimpin muda agar tumbuh kembang dalam wujud regenerasi kepemimpinan dimasa mendatang.
Andaikan saja para calon kandidat menyadari makna kepemimpinan yang berkarakter, tentu akan paham betapa pentingya pengayoman bukan sekedar bicara perebutan kekuasaan belaka. Bagaimanapun, kepentingan rakyat akan menjadi pertaruhan jika yang terpilih tidak mempunyai kemampuan yang baik. Kemampuan yang baik ini hanya ditemukan dalam diri pemimpin yang berkarakter, bukan dari partai politiknya. Siapkah kita menaruh harapan kepada pemimpin-pemimpin yang telah gagal?. Perlu direnungkan bahwa para kandidat dapat disebut sebagai pemimpin, namun belum tentu mereka mempunyai jiwa kepemimpinan. Hanya orang yang mempunyai jiwa kepemimpinan yang sanggup mengeluarkan bangsa ini dari berbagai kemelut yang melanda.

Jumat, 01 Mei 2009

ARTICLE

KREDIBELKAH PEMERINTAH KITA ?
by. Agus P. Pasribu, S.H.



Pelaksaan pemilu legislatif (pileg) telah berlalu, namun berbagai persoalan pileg masih saja terus mendera tiada henti, sebagaimana dilansir media nasional maupun lokal selaku tonggak kebebasan informasi. Sangat tidak mengherankan apabila Komisi Pemilihan Umum (KPU) mulai kelimpungan seolah-olah sudah kehilangan logika untuk menyelesaikan berbagai konflik, ditengah-tengah belum rampungnya hasil penghitungna suara. Berbagai kecurangan pelaksanaan pileg sudah ditemukan, bahkan tak ketinggalan pula kecurangan tidak saja terjadi di Indonesia, melainkan di daerah pemilihan luar negeri tempat dimana warga negara Indonesia memberikan hak suaranya sebagaimana diberitakan media massa maupun elektronik belakangan ini. Aneh memang, tapi realitas itu setidaknya memberikan gambaran bahwa secara empiris pileg kali ini sangat jauh dari harapan masyarakat.
Banyak pihak telah melancarkan pernyataan (statement) untuk mengkritisi hasil pileg kali ini, termasuk kritikan tajam dari partai-partai politik peserta pemilu. Alih-alih mendapat respon positif dari pemerintah, justru “pemerintah” (baca : presiden) malah menaggapi dengan nada sumringah nada sindirian. Pemerintah malah terkesan tidak mau disalahkan dan malah menuduh balik pihak-pihak yang mengajukan protes dengan mengatakan bahwa “agar pihak-pihak tertentu jangan begitu mudah mengatakan curang pemilu kali ini, karena masih terang dalam ingatan saya kenangan pemilu pada tahun 2004 lalu”. Inikah wujud dan tanggung jawab pemerintah, khususnya tanggung jawab presiden selaku Kepala Negara?. Lantas, bagaimana pemerintah menilai fakta kecurangan-kecurangan para caleg yang sudah terang-terangan terbukti adanya. Paling tidak seberanya pemerintah tidak mempunyai alasan yang cukup kuat untuk mengkaitkan antara keberlangsungan pemilu tahun 2004 dengan pileg baru-baru ini. Bagaimanapun pernyataan yang dikemukakan itu tidak relevan dalam konteks permasalahan pemilu yang mengemuka saat ini. Sungguh ironis memang, pemerintah yang seharusnya menetralisir keadaan atas berbagai persoalan, malah cenderung antipati dan bertindak skeptis menilai berbagai fakta kecurangan pileg yang sudah diungkap berbagai kalangan.


Ketidakdewasaan Pemerintah

Sebagai pemerintah yang bermartabat dalam suatu tatanan negara demokratis tidak sepantasnya pemerintah mencari-cari alasan dengan mengeluarkan berbagai statement yang terkesan mengalihkan perhatian rakyat untuk segala kejanggalan dan kekurangan pemilu yang sudah terlanjur terjadi. Justru hal ini membuktikan pemerintah bukan sosok yang menjadi panutan warga negaranya alias tidak dewasa dalam konteks negara hukum. Lantas, apakah rakyat yang harus mahfum untuk setiap kesalahan birokrasi yang dilakukan oleh KPU dan menanggung sendiri semua akibat kejanggalan / kesalahan pileg yang lalu ?, atau jangan-jangan pemerintah lupa bahwa tanggung jawab KPU merupakan bagian dari fungsi tugas dan tanggung jawabnya sendiri. Masih pantaskah kita menganggap ‘fair’ pelaksanaan pileg yang demikian itu, bila merefleksikan berbagai kecurangan para caleg ?. Padahal, masing-masing caleg adalah pihak yang nota bene sebagai motor (penggerak) untuk memastikan perolehan suara partai ?. Perlu untuk diingat, bahwa kecurangan para caleg pada pileg kali ini sedikit banyaknya telah menguntungkan partai, karena siapapun tidak dapat memungkiri bahwa tidak ada jaminan apapun tentang perolehan suara yang ada sekarang ini benar-benar murni sebagai suatu kompetisi yang jujur (fairness), bila menilik kembali berbagai kecurangan para caleg yagn merupakan bagian dari sistem partai politik.
Sebagai acuan perlu ditegaskan kembali bahwa pemerintah secara hukum bertanggung jawab dalam pelaksanaan pemilihan umum, hal ini didasarkan pada alasan-alasan sebagai berikut :


Pertama, menurut ketentuan pasal 12 ayat (1) UU No. 22 tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum yang berbunyi : “Presiden membentuk Tim Seleksi calon anggota KPU”. Sedangkan pada pasal 14 lebih lanjut secara tegas bahkan menyatakan : “Presiden menetapkan 21 (dua puluh satu) nama calon atau 3 (tiga) kali jumlah anggota KPU untuk selanjutnya diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat”.
Kedua, pemerintah secara organisatoris kelembagaan negara bertanggung jawab menjalankan roda pemerintahan tanpa terkecuali termasuk didalamnya menjamin terlaksananya pesta demokrasi sebagai perwujudan dari pelaksanaan UUD ’45.
Ketiga, pemerintah secara moralitas bertanggung jawab terhadap masyarakat dalam hal dirugikannya hak-hak politik warga negara yang dijamin oleh UU dalam sebuah tatanan demokrasi, dimana rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara yang berdasarkan hukum (rechtstaat), bukan kekuasaan belaka (machstaat).
Keempat, Bagaimanapun pelaksanaan pemilu yang telah berlangsung, jika merujuk pada fakta persoalan yang timbul, maka benang merah yang dapat ditarik sebagai kesimpulan adalah banyaknya warga negara yang tidak dapat menggunakan hak pilihnya, dengan lain perkataan pemerintah secara tidak langsung telah memasung hak-hak politik warga negara melalui ketidakikutsertaan warga negara memilih. Oleh karenanya, jelas hal yang demikian merupakan pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) yang teramat sangat serius.
Secara sederhana berdasarkan alasan-alasan tersebut diatas, maka sudah sepantasnya jika pemerintahan yang ada sekarang dipertanyakan kapabilitas dan responsibilitasnya oleh masyarakat. Bagaimanapun, dalam suatu negara yang berdaulat dan demokratis pemerintahanan mutlak harus menjamin hak-hak politik warga negara yang diwujdukan dalam bentuk pertanggungjawaban secara moral maupun hukum manakala timbul kekacauan (chaos).


Mempertanyakan Itikad Baik Pemerintah

Berbagai konflik secara sadar atau tidak ditengah-tengah masyarakat semakin hari semakin bertambah sejak dilaksanakannya pileg lalu. Secara gamblang hal tersebut tentu saja sangat meresahkan kehidupan sosial warga negara. Munculnya berbagai konflik merupakan manifestasi ketidakberesan pemerintahan yang ada, mulai dari manajemen kependudukan yang amburadul, pendidikan politik warga negara yang cenderung miss-orientasi, atau bahkan pemahaman yang keliru dalam menilai makna dan manfaat pesta demokrasi.
Pemerintah kurang memahami akar persoalan demokrasi dalam ranah perpolitikan di negeri ini. Kecenderungannya, jika dianalisis maka yang terjadi adalah di saat pemerintah yang berkuasa masih menjalankan roda pemerintahan sebelum menuju pemilihan presiden berikutnya, namun disaat yang bersamaan pula pemerintah justru disibukkan dengan berbagai manuver politik yang tidak ada hubunganya dengan menjalankan roda pemerintahan itu sendiri, bahkan pemerintah sangat berani mengeluarkan pendapat-pendapat yang tidak mewakili kepentingan rakyat banyak. Pemerintah bertindak tidak ideal diujung sisa kepemimpinanya, hal ini tentu sangat merugikan bangsa dan negara, terutama masyarakat. Bagaimanapun, kegagalan pemerintah melaksanakan pileg yang lalu membuktikan bahwa pemerintah telah menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power), sehingga tujuan utama kepemimpinan untuk memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara sangat jauh dari harapan.



Penutup

Persoalan negara berdemokrasi memang tidak mudah untuk dilaksanakan, meskipun demikian bukan berarti pemerintahan dalam suatu negara hukum yang demokratis dapat dengan mudah begitu saja mengelak dari tanggung jawab hukum terhadap rakyat, khususnya menyangkut kegagalan pileg lalu. Apalagi, pemerintahan (baca : Presiden) yang ada merupakan pilihan langsung dari rakyat. Perlu menjadi sebuah pemikiran bagi seluruh rakyat di negeri ini untuk meminta pertanggungjawaban nyata (real responsibility) untuk semua kegagalan yang ada, mengingat sebentar lagi masa kepemimpinan pemerintahan yang ada akan berakhir. Kredibelkah pemerintah ?


Penulis,
Advokat pada Law Firm “Johanes Raharjo, SH & Partners”
e-mail : lawapp_office@yahoo.co.id Mobile : 0819644410 or 02191171700
ⓒ April 2009