Senin, 29 November 2010

ARTIKEL KRIMINALITAS

TERORIS DALAM PERSFEKTIF PENYIMPANGAN PERILAKU
Oleh : Agus Pranki Pasaribu, S.H.



Perilaku menyimpang didefenisikan oleh Paul B. Horton adalah setiap perilaku yang dinyatakan sebagai pelanggaran terhadap norma-norma kelompok atau masyarakat. Dalam paradigma yang demikian, setidaknya perilaku menyimpang mensyaratkan adanya tiga unsur pokok, yaitu: Pertama, adanya perilaku, Kedua : adanya pelanggaran, Ketiga : yang dilanggar norma-norma. Oleh karena itu, isitilah penyimpangan itu berkait erat dengan pola kebiasaan sehari-hari yang dianut dalam masyarakat secara sosiologis, tanpa terkecuali pula kondisi psikologis (dalam arti : fisikis) dalam tatanan masyarakat majemuk maupun homogen di era modernisasi dewasa ini.
Baru-baru ini, kita dihentakkan oleh laporan berbagai media tentang menjamurnya upaya-upaya kelompok tertentu yang berusaha mendorong perubahan negara menuju kepada paham-paham yang diyakininya melalui tindakan intimidasi yang sehari-hari disebut sebagai pelaku terorisme, contoh aksi bom bunuh diri. Aksi-aksi terorisme yang timbul bahkan sudah sampai pada taraf sangat mengkhawatirkan, terutama menyebabkan keresahan di masyarakat.. Atas dasar itu, tidak heran apabila kemudian negara melalui proses legislasi mengundangkan secara khusus hukum di bidang teorisme (dalam hal ini UU Terorisme) yang merupakan manifestasi dari lex specialis KUHPidana.
Menariknya, aksi-aksi terorisme yang terjadi di dunia secara umum dan Indonesia secara khusus cenderung semakin hari menunjukkan gejala-gejala yang mengedepankan bentuk intimidasi fisik yangt bersifat vulagar. Perkembangan aksi-aksi teroris di dunia sampai saat ini diperkirakan sudah lebih dari 50 kelompok. Pengelompokan ini dapat dilihat dari tujuan, motivasi dan idiologinya, kelompok teroris yang terkenal antara lain : Irlandia Utara (IRA), Red Army of Japan, Red Bridge Italia, dan Red Army Faction (dismapaikan oleh Komjen. Pol. Drs. Ahwil Lutan, SH.,MBA.,MM dalam seminar sehari Sosisologi Hukum Pascasarjana UPH, 25 Maret 2002). Bahkan, aksi terorisme yang mencengangkan kita sebagaimana peristiwa 11 September 2001 yang menimpa negara Adidaya Amerika Serikat, untuk selanjutnya berjejer pula aksi-aksi terorisme yang terjadi di Indonesia.


Dasar Ideologi

Dalam kacamata para pelaku terorisme, bentuk penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan melalui kekerasan fisik adalah aktualisasi paham kebenaran (ideologi) yang dianut. Jadi tidak mengherankan apabila kemudian pelaku seringkali secara terang-terangan menyatakan permusuhan terhadap suatu rejim pemerintahan, negara, agama, ras, ideologi, dan kelompok masyarakat tertentu. Tindakan kekerasan ini dalam persfektif para pelaku semata-mata dimaksudkan untuk tujuan menunjukkan eksistensi, kemampuan, kekuatan, dan keinginan terhadap suatu hal (balas dendam). Sampai pada tatanan ini, pelaku teorisme biasanya menganut paham kebenaran sejati yang secara psikologis timbul sebagai akibat kurangnya pemahaman prnisip-prinsip kemanusiaan yang benar. Gejala yang terlihat secara empirik menggambarkan fakta sosial yang kuat bahwa kecenderungan para pelaku teroris mengedepankan penghalalan segala cara untuk meraih atau merebut tujuan yang telah ditetapkan. Apakah itu tujuan yagn bersifat aspiratif, politis, ideologis dan sebagainya.
Ideologi yang dianut para pelaku teroris biasanya mengedepankan kepentingan kelompok diatas kepentingan negara, keluarga dan masyarakat. Sejak semula, suatu kelompok teroris melakukan perekrutan dan selanjutnya diberikan pelatihan mental dan spritual untuk mengubah prinsip dasar pola ideologi yang dianut calon anggota. Dalam proses perekrutan ini unsur piskologis mempunyai peranan besar, kecenderungannya, bahwa unsur piskologis yang dimainkan perekrut berhubungan erat dengan kehidupan calon anggota. Indikator yang dapat kita lihat bahwa faktor sosial ekonomi (kemiskinan), pengetahuan (wawasan) dari calon anggota yang menjadi pemicu utama orang untuk bersedia memasuki suatu kelompok teroris tertentu. Ditambah lagi, di era modernisasi saat ini harus diakui adanya suatu fakta bawah timbulnya kesenjangan antara negara-negara maju dengan negara0negara dunia ketiga. Jadi tidak mengherankan apabila kemudian adanya timbul kelompok-kelompok teroris tertentu yagn anti kepada kemapanan bangsa eropa.
Dalam kajian ilmu sosologi telah banyak kita jumpai teori tentang sebab-musabab lahirnya kejahatan yang dibangun para ahlinya, termasuk dan tanpa terkecuali kejahatan yang dicirikan secara fisik (biologis) pelaku, sebagaimana dikemukakan oleh Cesare Lombrosso dalam bukunya berjudul “Crime, It’s causes and Remedies” (1918). Menurutnya : “bahwa pelaku kejahatan ditinjau dari segi biologis penjahat itu keadaan fisiknya kurang maju apabila dibandingkan dengan keadaan fisik orang-orang biasa. Lombrosso berpendapat bahwa orang yang jahat dicirikan dengan ukuran rahang dan tulang-tulang pipi panjang, kelainan pada mata yang khas, tangan, beserta jari-jarinya dan jari-jari kaki relatif besar, serta susunan gigi yang abnormal”.
Meskipun teori yang disebutkan diatas tidak sepenuhnya benar, namun paling tidak memberikan kita gambaran bagaimana perilaku jahat yang dalam konteks ilmu sosilogis disebut sebagai perilaku menyimpang. Lain dengan Lamrosso, menurut Teori Assosiasi Difernsial (Differential Assosication Theorie) yang dicentuskan oleh Edwin H. Sutherland menyatakan bahwa sebab-musabab suatu kejahatan terjadi didasarkan pada sembilan premise pokok. Premise-premise yang dibangun oleh Edwin H. Sutherland terutamanya menyimpulkan bahwa kejahatan terjadi karena dipelajari, bukan diturunkan, dimana proses pembelajaran tersebut menyangkut : teknis kriminalitas, danya bimbingan untuk melakukan kejahatan, motif atau dorongan yang dipelajari dari batasan-batasan aturan hukum yang menguntungkan dan tidak menguntungkan dan proses pembelajaran diperoleh dari suatu komunikasi terdekat dengannya.
Mencermati sudut pandang ideologi yang dibangun oleh para pelaku teroris dalam kaitannya dengan teori asosiasi difernsial yang disebutkan diatas, maka kita dapat menyimpulkan suatu fakta bahwa perilaku menyimpang itu sebagai bagian dari proses pembelajaran. Dimana bagi pelaku atau kelompoknya menganggap suatu penyimpangan perilaku adalah sebuah keidealan untuk mencapai tujuan. Perilaku yang demikian itu dikatakan ideal, karena secara sadar pelaku teroris mengerti dan mengetahui perbandingan antara nilai-nilai moralitas yang hidup dan dianut oleh masyarakat dengan niai-nilai ideologi yang dianut olehnya. Namun kenyataan yang demikian bagi pelaku justru tidak mempunyai batasan-batasan kelayakan dalam tatanan hukum, oleh karna itu pelaku berasumsi bahwa dengan cara-cara pelanggarna hukum yang dianggap layak untuk mencapai tujuan secara cepat dna benar. Oleh karena itu, unsur ideologi yang menjadi faktor utama timbulnya penyimpangan perilaku tersebut.



Psikologis Pelaku

Disamping unsur ideologi yang diuraikan diatas, sebagaimana telah disinggung bahwa unsur prikologis juga sangat berperan penting dalam menentukan bangunan ideologi uyang diciptakan oleh suatu kelompok teroris. Hal ini dapat dilihat jika mencermati beberapa fakta berikut :
1. Keberanian untuk mati bagi pelaku bom bunuh diri ;
2. Melakukan aksi perampokan untuk membiayai aksi-aksi pelaku ;
Tindakan terorisme yang lebih mengedepankan segala cara untuk mencapai tujuan dibarengi dengan piskologi yang kuat. Dalam benak pelaku atau kelompoknya bahwa upaya penciptaan kekerasan sebagai manifestasi dari prinsip psikologis yang dihasilkan adalah faktor penentu untuk berhasil atau tidaknya usaha untuk menimbulkan ancaman atau keresahan bagi masyarakat. Dalam persfektif teori Assosiasi Diferensial kejahatan secara sengaja dipelajari, jadi dapat dikatakan disini bahwa aspek psikologis yang dicapai oleh pelaku teroris didasarkan pada usaha pembelajaran, dimana perilaku menyimpang yang meskipun secara moral keliru, namun psikologis yang dibangun pelaku justru menyatkan sebaliknya, bahkan menganggap penyimpangan tersebut sebagai sebuah hakekat keharusan atas nama ideologi yang dipertahanian. Oleh karena itu, penyimpangan perilaku melalui aksi terorisme tiada lain dan tiada bukan merupakan bentuk penyimpangan perilaku berdasarkan aspek psikologis.


Penutup

Berdasarkan hal-hal diatas, maka perlu kiranya diteliti lebih lanjut bagaimana peranan psikologis dalam kaitannya dengan pembentukan bangunan ideologi yang menyebabkan perilaku menympang dalam bentuk aksi terorisme. Sejalan dengan itu, kedepannya negara sebagai lembaga yang bertujuan menciptakan kesejahteraan (walfare state) perlu diciptakan kondisi-kondisi psikologis masyarakat yang kuat dalam tatanan sosial, apakah itu melalui usaha pendidikan psikologi, ideologi, moral, agama, hukum dan aspek lain yang berkenaan dengannya, sehingga dapat meminimalisir aksi-aksi kekerasan yang menamakan diri terorisme.

Kamis, 25 November 2010

CRIMINOLOGY LAW

KAJIAN ANALISIS TERHADAP TINDAK PIDANA PERAMPOKAN BANK DITINJAU DARI TEORI “ASOSIASI DIFERENSIAL”
By. Agus Pranki Pasaribu, S.H.






I. Pendahuluan

Belakangan ini mass media cetak maupun elektronik menyuguhkan berbagai pemberitaan mengenai peristiwa perampokan bank yang melibatkan kelompok tertentu dengan menggunakan senjata api sebagai sarana, sehingga tidak mengherankan apabila publik di Indonesia dihebohkan oleh peristiwa tersebut. Uniknya, pelaku perampokan dalam menjalankan aksinya secara berkelompok dan siang hari, disamping ada pula peristiwa perampokan yang terjadi pada malam hari. Salah satu bank yang menjadi sasaran perampokan sebagaimana kita ketahui adalah Bank CIMB Niaga Cabang Medan pada tanggal 18 Agustus 2010. Sebagai akibat dari peristiwa perampokan tersebut beberapa orang dinyatakan sebagai korban yang meninggal dunia. Sedangkan dilain pihak para para perampok berhasil membawa kabur uang nasabah sebesar Rp. 400 juta (empat ratus juta rupiah).

Pada kasus yang berbeda, sebelumnya pernah pula terjadi sekelompok orang dengan menggunakan senjata api menjalankan aksi perampokan terhadap toko emas, koperasi simpan pinjam, dealer mobil, dan juga pegadaian. Berdasarkan data kwantitatif yang ada, peristiwa perampokan di Indonesia yang tejadi sejak bulan Juni hingga pertengahan Agustus 2010 sebanyak 25 kasus. Hal ini tentu saja mengundang perhatian para ahli hukum, khususnya kriminologi maupun psikologi untuk menganalisa gejala-gejala perilaku masyarakat yang timbul dewasa ini.

Secara sederhana perbuatan para pelaku perampokan telah memenuhi unsur-unsur pidana sehingga dapat dikwalifisir sebagai tindak pidana kejahatan yang melanggar hukum, namun dari aspek sosiologis perilaku perampokan yang dilakukan mempunyai ciri yang khas dan tersendiri jika dibandingkan dengan kelajiman perampokan yang pernah terjadi selama ini. Untuk lebih jelasnya, disini diuraikan beberapa ciri perampokan yang terjadi belakangan ini sebagai berikut :

(a).Secara umum pelaku menggunakan sarana senjata api, secara khusus senjata api yang
digunakan jenis AK-46 dan AK-47 ;
(b).Dalam menjalankan aksinya para pelaku terdiri dari kelompok orang ( perorangan ) atau
bukan personal ;
(c).Aksi perampokan yang dilakukan tidak bersifat konvensional, dengan pengertian
perampokan tidak dilakukan secara acak maupun di malam hari, melainkan terorganisir,
canggih dan berstrategi ;
(d).Para pelaku perampokan dalam menjalankan aksinya memilih calon korban, seperti : Bank,
Toko Emas, Pegadaian, dsb ; Dengan tesis bahwa masing-masing korban mempunyai asset
yang secara ekonomis mempunyai nilai tinggi ; dan,
(e).Umumnya para pelaku perampokan dalam menjalankan aksinya pada siang hari disaat
petugas keamanan calon korban lengah, meskipun dalam beberapa fakta ada juga
perampokan yang terjadi pada subuh hari.

Bercermin dari uraian tipikal aksi perampokan yang disebutkan diatas, makalah ini akan mengkaji fakta mengenai peristiwa perampokan secara umum, bank pada khususnya dengan jalan menganalisa tipikal aksi kejahatan dari sudut pandang perilaku psikologis dalam kaitannya dengan teori- “Differential Association” yang dipelopori oleh Edwin H. Sutherland dan Donald R. Cressey.



II. Pengertian dan Istilah

Istilah kriminologi (German = Kriminologie, English = Criminology) pertama sekali dikemukakan oleh seorang Antropolog yang berasal dari Perancis bernama Paul Topiward, dimana menurutnya kriminologi itu sendiri berasal dari dari kata crimen (kejahatan / penjahat) dan logos (ilmu pengetahuan). Selanjutnya, istilah kriminologi dalam ranah ilmu sosiologi hukum maupun kriminologi telah dikembangkan oleh para ahlinya yang salah satunya sebagaimana dikemukakan oleh Edwin H. Sutherland dan Donald R. Cressey dengan memberikan pengertian sebagai berikut :
“... the body of knowledge regarding delinquency and crime as social phenomenon. It includes within it’s scope the process of making law, the breaking of laws, and reacting to word the breaking of laws...dst”.

Lebih lanjut batasan kriminologi sebagai bagian dari sosiologi dinyatakan pula sebagai berikut :
“Kumpulan pengetahuan yang meliputi delinkuensi dan kejatahan sebagai gejala sosial. Tercakup dalam ruang lingkup ini adalah proses pembuatan hukum, pelanggaran hukum, dan reaksi terhadap pelanggaran hukum. Proses tersebut terdiri dari tiga aspek yang merupakan suatu kesatuan interaksi yang berkesinambungan. Tindakan-tindakan tertentu yang dipandang tidak disukai oleh para politisi (political society) didefinisikan sebagai kejahatn. Kendatipun ada batasan tindakan tersebut, terdapat orang-orang yang terus-menerus melanggarnya dan dengan demikian melakukan kejahatan; politisi memberikan reaksi berupa penghukuman, pembinaan, atau pencegahan. Urutan interaksi inilah yang merupakan pokok masalah dalam kriminologi” (Edwin H. Shuterland.,Donald R. Cressey, 1974:1)”.

Sedangkan pengertian kriminologi (criminology) secara umum dalam Black’s Law Dictionary diartikan sebagai :
“The study of crime and criminal punishment as social phenomena ; the study of the causes of crime and the treatment of offenders, comprising (1) criminal biology, which examines causes that may be found in the mental and physical constitution of an offender (such as hereditary tendencies and physical defects), and (2) criminal sociology, wich deals with inquires into the effects of environment as a cause of criminality”.

Berdasarkan uraian defenisi diatas, maka telaahan kriminologi berorintasi pada :
“Pertama, pembuatan hukum yang dapat meliputi telaah konsep kejahatan, siapa pembuat hukum dengan faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam pembuatan hukum. Kedua, pelanggaran hukum yang dapat meliputi siapa pelakunya, mengapa sampai terjadi pelanggaran hukum tersebut serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Ketiga, reaksi terhadap pelanggaran hukum melalui proses peradilan pidana dan reaksi masyarakat”.

Dalam perkembangan disiplin ilmu kriminologi telah pula melahirkan berbagai teori-teori yang membahas tentang sebab musabab suatu kejahatan terjadi. Dimana terdapat 7 (tujuh) teori yang dikemukakan para ahli. Salah satu teori yang dikenal dalam kriminologi adalah Teori “Differential Association” (Diferensiasi Asosiasi) yang dipelopori dan dikembangkan oleh Edwin H. Sutherland dan Donald R. Cressey. Menurut mereka terdapat 9 (sembilan) premise yang menjadi sebab-musabab suatu kejahatan terjadi, yakni :
1.Criminal behavior is learned ;
2.Criminal behavior is learned in interaction with other persons in a process of communication
3.The principal part of the learning of criminal behaviour occurs within intimate personal
groups

4.When criminal behaviour is learned, the learning includes (a) techniques of committing the
crime, wich are sometimes very complicated, sometimes very simple, (b) the specific
direction of movies, drives, rationalizations, and attitudes ;

5.The specific direction of motives and drives is learned from definitions of the legal codes as
favorable or unfavourable ;

6.A person becomes delinquent because of an excess of definitions favorable to violation of law
over definitions unfavorable to violation of law ;

7. Differential associations may vary in frequency, duration, priority, and intensity ;
8.The process of learning criminal behavior by association with criminal and anticriminal
patterns involves all of mechanisms that are involved in any other learning ; dan,

9.While criminal behavior is an expression of general needs and values, it is not explained by
those general needs and value, since noncriminal behavior is an expression of the same needs
and value.


Berdasarkan proposisi-proposisi tersebut diatas, maka lebih lanjut proses terjadinya kejahatan disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut :
“1.Perilaku kejahatan adalah perilaku yang dipelajari. Secara negatif berarti perilaku itu tidak
diwariskan.

2.Perilaku kejahatan dipelajari dalam interaksi dengan orang lain dalam suatu proses
komunikasi. Komunikasi tersebut terutama dapat bersifat lisan ataupun menggunakan
bahasa tubuh.

3.Bagian terpenting dalam proses mempelajari perilaku kejahatan terjadi dalam kelompok
personal yang intim. Secara negatif ini berarti bahwa komunikasi interpersonal seperti
melalui bioskop, surat kabar, secara relatif tidak mempunyai peranan penting dalam
terjadinya kejahatan.

4.Ketika perilaku kejahatan dipelajari, maka yang dipelajari termasuk : (a) teknik melakukan
kejahatan, (b) motif-motif, dorongan-dorongan, alasan-alasan pembenar dan sikap-sikap
tertentu.

5.Arah dan motif dorongan itu dipelajari melalui definisi-definisi dari peraturan hukum. Dalam
suatu masyarakat, kadang seseorang dikelilingi orang-orang yang secara bersamaan
melihat apa yang diatur dalam peraturan hukum sebagai sesuatu yang perlu diperhatikan
dan dipatuhi, namun kadang ia dikelilingi orang-orang yang melihat aturan hukum sebagai
sesuatu yang memberikan peluang dilakukannya kejahatan.

6.Seseorang menjadi delinkuen karena ekses pola-pola pikir yang lebih melihat aturan hukum
sebagai pemberi peluang melakukan kejahatan daripada melihat hukum sebagai sesuatu
yang harus diperhatikan dan dipatuhi.

7.Asosiasi Diferensial bervariasi dalam frekuensi, durasi, prioritas serta intensitasnya.
8.Proses mempelajari perilaku jahat diperoleh melalui hubungan dengan pola-pola kejahatan
dan mekanisme yang lazim terjadi dalam setiap proses belajar secara umum.

9.Sementara perilaku jahat merupakan ekspresi dari kebutuhan nilai umum, namun tidak
dijelaskan bahwa perilaku yang bukan jahat pun merupakan ekspresi dari kebutuhan dan
nilai-nilai umum yang sama”.


Lebih jauh lagi, Edwin H. Sutherland dan Donald R. Cressey mengartikan Differential Association itu sebagai “the contens of the patterns presented in association”. Ini tidak berarti bahwa hanya pergaulan dengan penjahat yang akan menyebabkan perilaku kriminal, akan tetapi yang terpenting adalah isi dari proses komunikasi dari orang lain. Pada tahun 1947 Edwin H. Sutherland kemudian menyajikan versi kedua dari teori Differential Association yang menekankan bahwa semua tingkah laku itu dipelajari, tidak ada yang diturunkan berdasarkan pewarisan orang tua. Tegasnya, pola perilaku jahat tidak diwariskan tapi dipelajari melalui suatu pergaulan yang akrab.

Adapun kekuatan teori asosiasi diferensial yang dicetuskan oleh Edwin H. Sutherland dan Donald R. Cressey bertumpu pada tiga pemikiran pokok penyebab kejahatan bahwa :
a. Perilaku jahat ditimbulkan sebagai sebab akibat adanya penyakit sosial ;
b. Perilaku jahat merupakan suatu proses pembelajaran yang dihasilkan dari lingkungan (baca :
kelompok) dalam interaksi sosialnya dimana si pelaku berada.
c. Perilaku jahat dari sisi pelaku melihat hukum sebagai peluang untuk melakukan suatu
kejahatan.
Perilaku yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah perilaku menyimpang yang dalam pengertian Zames Vander Zenden sebagai : “perilaku yang oleh sejumlah besar orang dianggap sebagai hal yang tercela dan di luar batas toleransi”.



III. Analisis Fakta Mengenai Kasus Perampokan Bank

Kejahatan perampokan khususnya bank yang tren terjadi dewasa ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana yang bersifat sadistis, mengingat tindakan para pelaku dalam menjalankan aksinya disamping menggunakan senjata api, para pelaku juga tanpa ragu-ragu melakukan perlawanan dengan mencederai atau melumuhkan atau menghilangkan nyawa korbannya. Bahkan, tidak tanggung-tanggung belakangan pemberitaan media menyuguhkan adengan kontak senjata antara pelaku perampokan dengan pihak aparat Kepolisian. Sebagai contoh, peristiwa perampok yang terjadi di Bank CIMB Cabang Medan yang mengakibatkan jatuhnya korban di pihak Kepolisian dan tenaga security (keamanan) internal bank yang mengalami luka-luka.

Sejak timbulnya berbagai peristiwa tragis perampokan yang menelan korban jiwa dan harta benda, perbankan kita mau tidak mau harus berfikir ulang (dalam arti : mindset) untuk melakukan pembenahan terhadap sistem pengamanan perbankan, karena selama ini bank-bank di Indonesia sebagaimana kita ketahui lebih cenderung berkonsentrasi pada tindakan preventif dan refresif berkenaan dengan pengamanan sistem perbankan dalam arti manajemen usaha dan pencegahan pembobolan ATM melalui internet.

Apabila kita menelusuri secara cermat dan tajam tentang keseluruhan fakta menyangkut berbagai asksi perampokan bank yang terjadi dewasa ini, maka kesimpulan yang diperoleh adalah bahwa para pelaku kejahatan (baca : perampokan) terlebih dahulu sudah mempelajari situasi dan kondisi medan yang akan dijadikan objek sasaran. Kenyataan ini dapat dilihat dari gejala real bahwa para pelaku sangat sulit untuk ditangkap pihak aparat kepolisian, padahal rata-rata tempat korban berada merupakan wilayah pemukiman atau perkotaan yang berpenduduk padat. Namun karena situasi dan kondisi medan disekitar wilayah perampokan telah dipahami dan dipelajari secara baik oleh para pelaku, maka tidak mengherankan apabila kemudian para pelaku secara gamblang menjalankan aksinya dan mudha meloloskan diri.
Salah satu dari sekian banyak gejala-gejala lain yang umumnya dapat dicermati dalam peristiwa perampokan bank yang terjadi belakangan ini adalah bahwa para pelaku telah mempersiapkan sarana maupun prasarana dalam menjalankan aksinya. Sarana dan prasarana tersebut diperoleh melalui suatu pembelajaran yang diciptakan sendiri oleh komunitas para pelaku, sebagai berikut:
- persiapan kelengkapan senjata api dan mobil ;
- perekrutan sejumlah orang sebagai anggota komplotan ;
- persiapan mental yang bersifat konfrontatif, destruktif dan represif dalam menghadapi semua
ancaman bahaya, seperti kontrak senjata dengan pihak aparat kepolisian ; dan,
-persiapan untuk mengetahui segala akses keluar-masuk lokasi perampokan.

Bercermin dari usaha-usaha untuk persiapan yang dilakukan para pelaku perampokan sebagaimana pemaparan diatas, maka dapat dikatakan bahwa para pelaku membentuk sebuah komunikasi (baca : jarainga) sendiri untuk mencapai dan menetapkan tujuan-tujuannya. Dengan kata lain, para pelaku perampokan (robbery) semenjak awal telah mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan guna melumpuhkan korban melalui sarana dan cara-cara kekerasan.

Kesiapan para pelaku kejahatan dengan menggunakan kekerasan diperparah pula dengan ketidaksigapan pihak aparat keamanan untuk merespon setiap gerakan para pelaku kejahatan. Sebagai ilustrasi dikemukakan disini, andaikan saja pihak keamanan internal bank atau aparat kepolisian terbiasa menghadapi situasi yang responsif untuk menangkal tiap tindak kejahatan dalam konteks perampokan, maka tentu saja kerugian materiil maupun immaterill yang ditimbulkan olehnya dapat diminimalisir dengan baik.

Situasi lain yang menjadi ciri pokok perampokan adalah kehidupan sosial ekonomi para pelaku sangat dekat dan identik dengan kemiskinan. Dengan kata lain, kerentanan terhadap budaya tidak taat hukum yang berbarengan dengan kondisi kemiskinan membawa dampak moral bagi diri pelaku untuk melakukan tindak pidana. Oleh karena itu, barangkali hal ini pula yang menjadi pusat perhatian Bonger, dalam analisanya terhadap masalah kejahatan, yang lebih mempergunakan pendekatan sosiologis, misalnya analisa tentang hubungan antara kejahatan dengan kemiskinan. Hal senada juga dikemukakan oleh Herlianto, yang menyatakan :
“bahwa bermacam penyebab kejahatan bisa terjadi seperti adanya : kesenjangan sosial ekonomi, antipati terhadap kemapanan, SARA yang sangat peka maupun tersumbatnya saluran sosial politik".

Selain pendapat diatas, dikutib pula komentar Erlangga Masdiana, Kriminolog dari Universitas Indonesia yang menyatakan bahwa :
“Tindak kriminalitas yang belakangan makin nekat merupakan cermin dari kondisi sosial dan ekonomi yang makin memprihatinkan. Akses rakyat terhadap berbagai kesempatan untuk hidup lebih layak makin sempit. Akses itu hanya dinikmati kalangan elite, yang justru cenderung tidak sensitif menyikapi situasi sosial”.

Lebih lanjut Masdiana menyatakan pula, dikutib :
“Dalam kriminologi, hal ini diistilahkan dengan blocked opportunity, di mana segala akses bagi orang kecil semakin tertutup, sementara negara mengabaikan kebutuhan mereka. Sebaliknya, kalangan elite justru cenderung makin demonstratif",
"Kondisi makin diperparah karena tontonan yang diperlihatkan sehari-hari dalam tayangan televisi telah menumbuhkan impian bagi kelompok yang terpinggirkan secara ekonomi".
"Cara termudah untuk meraih impian itu adalah merampok. Dengan risiko hukuman yang sama dengan kriminalitas lain, tetapi hasil yang lebih besar, akhirnya orang memilih merampok”.
"Praktik perampokan itu makin mudah karena saat ini peredaran senjata api gelap semakin marak. Dengan memiliki senjata api, perampok semakin berani, dan nyawa petugas keamanan pun semakin terancam”.

Ditinjau dari sisi pelaku kejahatan, bahwa pelaku perampokan bank pada dasarnya tidak mempunyai track record sebagai pelaku kejahatan yang tergolong sadis sebelumnya. Bahkan berdasarkan penelusuran berbagai media pasca kejadian perampokan bank dapat diketahui suatu fakta dimana para pelaku perampokan dalam lingkungan keluarganya sangat jarang ditemukan melakukan tindak pidana dengan modus operandi yang sama. Dengan kata lain, para pelaku dalam menjalankan aksinya menciptakan secara terpisah sebuah proses komunikasi verbal atau non verbal dalam lingkungan pergaulannya yang berada diluar komunitas keluarga. Pembentukan kelompok pergaulan ini bertujuan untuk menetapkan jenis kejahatan yang disepakati oleh masing-masing anggota perampokan. Artinya, dalam hal ini kejahatan tidak serta merta diwariskan oleh keluarga masing-masing kepada si pelaku, melainkan kejahatan merupakan sebuah bentuk penyimpangan perilaku yang terpisah dari komunitas keluarga. Penyimpangan ini yang menjadi alasan para pelaku untuk menerobos hukum dengan jalan melakukan segala cara untuk mendapatkan nilai ekonomi yang ditetapkan, meskipun melakukan cara-cara kejahatan yang terkesan vulgar dan bersentuhan dengan fisik (physickly).

Persoalan lainnya yang menyebabkan timbulnya tindak kejahatan perampokan bank yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu karena adanya eksploitasi pemberitaan dari media massa mengenai berbagai aksi kejahatan yang timbul dewasa ini. Bahkan, jika merujuk ke belakang dengan berbagai peristiwa perampokan yang pernah terjadi di Indonesia, tidak jarang umumnya perampokan dilakukan pada malam hari dan korbannya terbatas pada perusahaan-perusahaan tertentu yang nota bene bukan sebagai perusahaan pembiayaan (finance), hal ini setidaknya terlihat dari kutiban sebagai berikut:
“Berdasarkan keterangan yang yang dihimpun Kompas, aksi perampokan mesin jahit di parik garmen PT. Balita Garmen tersebut terjadi Sabtu (4/8/2001) dini hari pukul 01.30. Saat itu, seorang satpam pabrik sedang mengisi buku mutasi di pos satpam..........”
“Seminggu sebelumnya juga telah terjadi perampokan serupa, sama-sama masih dalam wilayah Kabupaten Bogor. Kali ini korban pabrik garmen PT. Jinnin di Desa Banjarwaru, Ciawi. Lima hari kemudian, Jumat (3/8/2001) terjadi lagi perampokan, juga masih dalam wilayah kabupaten Bogor......”.

Berdasarkan fakta-fakta diatas, disimpulkan bahwa sebab musabab timbulnya aksi kejahatan dari yang konvensional ke arah yang lebih canggih, modern dan terorganisir dilakukan dalam suatu proses pembelajaran. Kejahatan konvensional yang lajimnya hanya dilakukan oleh perorangan, kelompok namun tidak terorganisir biasanya pada malam hari, tempat tertentu, sarana tertentu dan oknum tertentu. Adanya pergeseran ke arah kejahatan dengan menggunakan aksi konfrontasi, waktu siang hari, dan korban lembaga finansial (sektor keuangan) merupakan perwujudan nyata dari suatu proses pembelajaran para pelaku untuk menentukan strategi perampokan. Disamping itu, aksi perampokan yang cenderung vulgar merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan besaran tingkat kesadaran hukum para pelaku perampokan yang beranggapan bahwa dengan cara-cara melanggar hukum sebagai pilihan untuk memperoleh nilai kemapanan ekonomi. Hal ini pula yang menggejala di masyarakat kita, dimana terjadinya perubahan secara mendasar prinsip kesadaran hukum yang bersifat moral hazard. Oleh karena itu kesadaran hukum masyarakatlah yang menjadi satu-satunya sumber dari kekuatan mengikat hukum.

Adanya suatu proses pembelajaran, dimulai dari bagaimana para pelaku tindak kejahatan bisa menemukan tempat perdagangan atau peredaran senjata api untuk diperjual-belikan. Bahkan, melihat korban yang ditimbulkan oleh para perampok sudah dapat disimpulkan suatu fakta bahwa para pelaku kejahatannya telah terbiasa dengan penggunaan senjata api untuk melumpuhkan pihak korban. Keakuratan calon korban dalam persitiwa perampokan tersebut tentu saja merupakan tujuan utama dalam suatu proses pembelajaran kejahatan, sehingga tidak mengherankan apabila kemudian para pelaku sulit ditangkap.

Dalam berbagai aksi perampokan yang terjadi dewasa ini, jika dikaji dari sudut pandang orientasi kejahatan yang dipilih para pelaku, maka kita dapat menyimpulkan sebenarnya para pelaku kejahatan telah terlebih dahulu mempertimbangkan, mempelajari dan memahami nilai ekonomis calon korban, hal ini berhubungan dengan asset yang dapat diperoleh. Kecenderungan para pelaku kejahatan perampok memilih calon korban yangn mempunyai nilai ekonomis yang tinggi bila dibandingkan dengan korban-korban perampokan yang lajimnya. Artinya, para pelaku kejahatan dalam hal ini mengetahui secara persis pihak-pihak mana yang dianggap menguntungkan untuk dijadikan korban kejahatan.

Sebagai gambaran berikut ini disajikan data nilai kerugian materill yang dialami oleh beberapa lembaga pembiayaan yang menjadi korban perampokan :
“1.Pada perampokan di dealer mobil yang beralamat di Jalan Dewi Sartika, Cawang, Jakarta
Timur, 17 Juni lalu, empat mobil dibawa kabur oleh delapan laki-laki bersenjata api. Nilai
kerugian tercatat Rp 750 juta.

2.Di Kantor Pegadaian Cabang Patriot, Bekasi, emas seberat 2 kilogram (satu kilogram
equivalent Rp 1. Milyard) dan uang Rp 32 juta dibawa kabur perampok yang berpura-pura
sebagai nasabah, 26 Juni.

3.Sekelompok perampok juga menggondol uang sebesar Rp 675 juta dari Bank UOB
Samarinda, Kalimantan Timur, 7 Juli.

4.Koperasi Simpan Pinjam Intidana, Pedurungan, Semarang, perampok membawa kabur
uang Rp 200 juta, 18 Agustus lalu.

5.Dan masih banyak kasus....dst”.



a. Pelaku Kejahatan Yang Agresif

Merefleksikan berbagai aksi perampokan bank yang terjadi dewasa ini, rasanya kita kurang meyakini bahwa tindak kejahatan semata-mata dilakukan para pelaku hanya untuk sekedar melakukan suatu perlawanan ekonomis, atau mungkin para pelaku sekedar tidak taat hukum. Namun lebih dari itu, sesungguhnya tindakan para pelaku tidak lain dan tidak bukan sebagai ekspresi kefrustasian dalam dunia hukum kita yang saat ini mengalami ketimpangan penerapan. Bagi masyarakat kita dewasa ini, perbuatan melanggar hukum (baca : tindak pidana) antara kejahatan berat dan ringan mempunyai dampak psikologis yang sama. Oleh karena itu, tanpa terkecuali para pelaku perampokan bank, tentu mempunyai pola pikir yang sejalan dalam menjalankan aksi kejahatannya. Meskipun sepenuhnya harus disadari bahwa aksi kekerasan para pelaku perampokan dari sisi sosiologis - psikologis sedikit banyaknya merupakan peniruan model kejahatan yang ditayangkan oleh media-media.

Jadi, menurut hemat kami dalam hal ini terdapat benang merah bagaimana para pelaku perampokan berusaha menunjukkan otoritas komplotannya dengan mengadakan konfrontasi terhadap aparat kepolisian, meskipun para pelaku harus mengorbankan nyawanya seperti yang terjadi pada para pelaku perampokan Bank CIMB Niaga Cabang Medan baru-baru ini. Dengan pengertian, bahwa para pelaku perampokan lebih memilih untuk melawan hukun daripada taat hukum, karena peluang untuk meloloskan diri dengan mengadakan perlawanan terhadap aparat hukum dianggap sebagai pilihan yang lebih baik.


b. Tindakan Preventif Aparat Kepolisian

Menyimak berbagai kasus perampokan lembaga termasuk bank yang menjamur terjadi sekarang ini, maka sebenarnya dibutuhkan adanya suatu upaya strategis yang bersifat preventif, bukan refresif sebagaimana yang dijalankan pihak aparat penegak hukum kita selama ini. Bagaimanapun, realitas yang tidak dapat dibantah kebenaranya bahwa kejahatan perampokan yang terjadi dewasa ini merupakan bagian dari dimensi ketidaktaatan hukum masyarakat disisi pelaku, disamping adanya dimensi sosiologis, psikologis, kriminologis dan pembenahan moral.


C. Hubungan Sebab-Akibat Perampokan Bank Dalam Perspektif Teori Asosiasi
Diferensial


Berdasarkan uraian analisis fakta yang penulis uraikan diatas, maka berikut dipaparkan hubungan sebab akibat perilaku kejahatan (baca: perampokan) dalam persfektif teori “Asosisasi Diferensial”, seabgai berikut :
1.Perilaku kejahatan adalah perilaku yang dipelajari. Secara negatif berarti perilaku itu tidak
diwariskan
Para pelaku perampokan berdasarkan analisis faktanya tidak diwarisi perilaku menyimpang
dari keluarga ditempat dimana pelaku tumbuh kembang secara psikologis, kenyataan ini dapat
dicermati dari keluarga pelaku kejahatan yang sama sekali bukan pihak atau oknum yang
pernah melakukan kejahatan yang sama.
2.Perilaku kejahatan dipelajari dalam interaksi dengan orang lain dalam suatu proses
komunikasi. Komunikasi tersebut terutama dapat bersifat lisan ataupun menggunakan bahasa
tubuh.
Para pelaku kejahatan mempelajari teknik dan cara bagaimana kejahatan dilakukan, hal ini
dapat dilihat dari metode pendekatan dalam melakukan kejahatan, seperti : penggunaan
bersenjata api, sistem perekrutan anggota, upaya keluar-masuk dari wilayah perampokan dan
mentalitas yang agresif dalam menghadapi tiap bahaya yang mengancam.
3.Bagian terpenting dalam proses mempelajari perilaku kejahatan terjadi dalam kelompok
personal yang intim. Secara negatif ini berarti bahwa komunikasi interpersonal seperti melalui
bioskop, surat kabar, secara relatif tidak mempunyai peranan penting dalam terjadinya
kejahatan.
Para pelaku dalam menjalankan aksinya terlebih dahulu membentuk suatu kelompok
komunikasi, sehingga dengan mudah dapat memperoleh senjata api di pasar gelap, serta
jaringan perampokan yang bersifat terorganisir.
4.Ketika perilaku kejahatan dipelajari, maka yang dipelajari termasuk : (a) teknik melakukan
kejahatan, (b) motif-motif, dorongan-dorongan, alasan-alasan pembenar dan sikap-sikap
tertentu.
Para pelaku perampokan memahami strategi konfrontasi dengan baik, termasuk metode
penggunaan senjata api dan pola melarikan diri serta peta lokasi dimana korban berada, hal ini
dapat dibuktikan dengan sulitnya jaringan para pelaku kejahatan untuk diungkap pihak aparat
kepolisian.
5.Arah dan motif dorongan itu dipelajari melalui definisi-definisi dari peraturan hukum.
Para pelaku dalam menjalankan aksinya lebih melihat pada peluang untuk melanggar hukum
meskipun dengan jalan konfrotnasi terhadap aparat kepolisian di dalam menjalankan aksi
kejahatan, bahkan melihat pelanggaran hukum sebagai pilihan untuk memperoleh nilai
ekonomi.
6.Seseorang menjadi delinkuen karena ekses pola-pola pikir yang lebih melihat aturan hukum
sebagai pemberi peluang melakukan kejahatan daripada melihat hukum sebagai sesuatu yang
harus diperhatikan dan dipatuhi.
7.Asosiasi Diferensial bervariasi dalam frekuensi, durasi, prioritas serta intensitasnya.
Munculnya tindak kejahatan perampokan dilihat dari frekwensinya sanagt relatif bersamaan,
sebagaimana berdasarkan fakta bahwa kejahatan perampokan di Indonesia dalam hitungan
Juni s/d Agustus 2010 terjadi sebanyak 25 Kasus dengan ciri perampokan yang sangat cepat,
tepat, sadistis. dan terorganisir.
8.Proses mempelajari perilaku jahat diperoleh melalui hubungan dengan pola-pola kejahatan dan
mekanisme yang lazim terjadi dalam setiap proses belajar secara umum.
Para pelaku perampokan dalam menjalankan aksinya telah ternyata berkaitan erat dengan
peredaran senjata api di pasar gelap yang justru juga bagian dari bentuk kejahatan yang
terorganisir.
9.Sementara perilaku jahat merupakan ekspresi dari kebutuhan nilai umum, namun tidak
dijelaskan bahwa perilaku yang bukan jahat pun merupakan ekspresi dari kebutuhan dan
nilai-nilai umum yang sama.
Perilaku jahat yang ditunjukan para pelaku perampokan merupakan bagian dari ekspresi
keberanian untuk melakukan tindak kejahatan secara vulgar karena dianggap lebih mudah,
gampang, efisien dan memenuhi tuntutan keinginan dari para pelaku.



IV. Penutup

Berdasarkan pembahasan diatas, maka jelaslah kiranya bahwa aksi perampokan bank yang apabila dikaji dari sembilan proposisi teori Assosiasi Diferensial yang diperkenalkan oleh Edwin H. Shuterland dengan Donald R. Cressey, maka terbukti bahwa kejahatan perampokan bank yang dilakukan oleh para pelaku didasarkan pada suatu pembelajaran teknik, proses komunikasi, dan prinsip kejahatan yang dilakukan secara vulgar sebagai bagian dari pilihan untuk melanggar hukum untuk memenuhi tuntutan keinginan para pelaku, serta kejahatan bukanlah semata-mata lahir karena adanya pewarisan (diturunkan) dari keluarga yang menjadi pelaku.




DAFTAR PUSTAKA

BUKU :

Edwin H. Sutherland dan Donald R. Cressey, “Principles of Criminology”, New York Lippincontt Company, 1974, New York

Delos H. Kelly, “Deviant Behavior”, ST. Martin Press, 1979 New York.

Kusno Adi, “Kebijakan Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Oleh Anak”, UMM Press, 2009, Malang

Lilik Mulyadi, “Bunga Rampai Hukum Pidana Persfektif, Teoritis dan Praktik”, PT. Alumni Bandung, 2008, Bandung

Otje Salman.,Anthon F. Susanto, “Beberapa Aspek Sosiologi Hukum”, PT. Alumni Bandung2004, Bandung

Mark Costanzo, “Psycology Applied to Law”, Wardswort / Thomson Learning”, 10 Davis Drive, Belmont, USA

Soerjono Soekanto, “Pokok-Pokok Sosiologi Hukum”, PT. RajaGrafindo Persada, 2003, Jakarta

Tubagus Ronny Rahman Nitibaskara, “Ketika Kejahatan Berdaulat”, M2 Print, Cetakan Kedua 2004, Jakarta.



MAKALAH / ARTIKEL :

Lilik Mulyadi,“Kajian Kritis dan Analitis Terhadap Dimensi Teori-Teori Kriminologi Dalam Persfektif Ilmu Pengetahaun Hukum Pidana Modern”, Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Merdeka Malang, Malang, 2009

Alfin Nitihardjo, “Perilaku Menyimpang”, http://www.alfinnitihardjo. ohlog. com/ perilaku-menyimpang.oh112678.html, September 2010

Kompas, bertaut dengan link : http://wbw-wbw.blogspot.com/2010/08/25 perampokan - besar-di-indonesia- dalam. html, September 2010

RINGKASAN REFLEKSI TENTANG HUKUM

BAB I

HUKUM DAN BAHASA

Hukum, Teori Hukum dan Bahasa

Istilah “hukum” dan “teori”, dari istilah “teori hukum” yang harus didefinisikan, muncul dalam definisinya itu sendiri. Dengan “teori” orang secara sederhana dapat mengartikan suatu “keseluruhan pernyataan (klaim, beweringen) yang saling berkaitan”. Jika orang meletakkan seperangkat pernyataan dalam suatu hubungan, maka dengan begitu orang sudah dapat berbicara tentang suatu teori.

Untuk dapat disebut teori ilmiah, maka teori itu harus memenuhi berbagai syarat (tuntutan). Secara umum orang berpendapat bahwa pada sebuah teori ilmiah setidak-tidaknya harus ada hipotesis atau sebuah penetapan permasalahan yang (hendak) digumuli oleh teori itu ; harus ada metode tertentu yang dalam teori itu harus dilegitimasi, dan harus ada seperangkat pernyataan yang konsisten dan dapat dikontrol, yang mewujudkan teori itu sebagai produk dari kegiatan ilmiah.

Dengan “teori” kita mengartikan keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan, maka “teori hukum” dapat ditentukan lebih jauh sebagai suatu keseluruhan pernyataan-pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan hukum. Dengan “hukum” saya mengartikan sebuah “sistem konseptual kaidah-kaidah hukum dan keputusan-keputusan hukum “(rechtsbeslissingen)” Penentuan hukum sebagai sistem konseptual saya temukan juga pada G.C.J.J.van den Bergh, Recht en Taal, 1979:26.

Hukum positif itu ada hanya karena kenyataan bahwa manusia memiliki bahasa. Orang bahkan dapat lebih jauh lagi dan mengemukakan pendapat bahwa juga hukum sebagai sistem konseptual hanya dapat memperoleh bentuk dalam pikiran manusia, karena bahasa yang ia gunakan untuk berbicara.

Mengenai masalah kefilsafatan tentang seberapa dekat pikiran dan bahasa berkaitan, tidak dimasuki lebih jauh di sini. Bahwa keberkaitan itu ada, dapat diterima dan itu sudah cukup untuk dalam Teori Hukum memberikan perhatian pada hubungan antara hukum dan bahasa. Dalam kerangka itu, dalil bahwa mempelajari hukum adalah tidak lain berarti ikhtiar menguasai bahasa para yuris, dapat dipertahankan. Jika demikian halnya, maka yuris tidak dapat mengabaikan keterjalinan Filsafat Bahasa dan ilmu bahasa.

Apa Yang Kita Artikan Dengan Bahasa?

Penentuan batasan pengertian “bahasa” dari P.W. Brouwer (Taal en Begripsvorming, dalam InLeiden tot de Rechtswetenschap, 1990:2). Ia mengatakan “kita berbicara tentang suatu bahasa jika terdapat suatu sistem tanda-tanda yang memenuhi syarat-syarat berikut :

1. Dibuat oleh manusia ;

2. Mengabdi komunikasi atar manusia ;

3. Diterima dalam suatu masyarakat manusia ;

4. Terdiri atas bunyi-bunyi dan/atau tanda-tanda”.

Pada penentuan batasan pengertian ini segera tampak bahwa ia berkenaan dengan suatu “penentuan” (bepaling) dalam arti pembatasan (inperking).

Syarat pertama, disimpulkan bahwa kita dalam buku ini tidak memandang “bahasa” binatang sebagai bahasa. Syarat kedua, memberikan fungsi utama dari bahasa sering kali tentang hal ini digunakan model sederhana; pihak yang berbicara (atau menulis) adalah pengirim dan pihak yang mendengar (atau membaca) adalah penerima, dan terkait padanya bahasa adalah sarana yang menyampaikan informasi. Dalam kenyataan, komunikasi itu lebih majemuk (rumit), sebab penerima itu menginterpretasi informasi dengan caranya sendiri, yang dikirim kepadanya oleh pengirim. Syarat ketiga, yang di dalamnya aspek sosial bahasa sekali lagi ditampilkan, saya tidak akan mendalami lebih jauh, sebab syarat ini sesungguhnya merupakan pra-pengandaian bagi yang kedua, komunikasi. Syarat keempat, merupakan baik pembatasan maupun pembedaan dalam bahasa. Tanda-tanda bahasa harus terdiri atas bunyi-bunyi atau tanda-tanda tertulis, semua tanda lain adalah bukan tanda bahasa. Di sampingnya terdapat dua jenis tanda-bahasa, lisan dan tulisan (aksara).

Sesungguhnya tanda-bahasa jenis kedua diturunkan (diderivasi) dari yang pertama. Sangat banyak bahasa yang belum lama memiliki tanda-bahasa tulisan. Beberapa bahasa belum memiliki tulisan, yang tidak berarti bahwa bahasa-bahasa itu inferior.

Beberapa Pembedaan Dalam Bahasan

Disamping pembedaan dalam bahasa lisan dan bahasa tulisan terdapat pembedaan lain berkaitan dengan bahasa. Yang paling terkenal adalah antara bahasa pergaulan (omgangstaal) atau bahasa alamiah (natuurlijketaal) dan bahasa artifisial (kunstmatige taal) atau bahasa alamiah (wetenschappelijke taal).

Di dalam hukum juga terdapat banyak formulasi tradisional yang telah lepas dari bahasa pergaulan. Jadi bahasa hukum dalam asasnya masih merupakan bahasa pergaulan, tetapi bahasa hukum itu demikian banyak menggunakan perkataan dan ungkapan yuridik yang khas, sehingga ia tampak merupakan bahasa teknikal tersendiri. Memberikan bantuan hukum sering terdiri atas “menerjemahkan” bahasa hukum kedalam bahasa pergaulan.

Paradoks-paradoks seperti yang dikemukakan di atas menyebabkan orang mengadakan pembedaan antara kedua tataran bahasa, yang berkenaan dengannya pada akhirnya tataran-meta yang menentukan kebenaran dari sebuah putusan. Namun ini dalam dirinya membawa konsekuensi bahwa orang tidak dapat menunjuk bahasa yang berbicara tentang hubungan antara bahasa-objek dan dunia yang ia paparkan (gambarkan). Bukankah hal itu hanya dapat terjadi dalam sebuah meta-bahasa, karena disini dibicarakan tentang suatu bahasa lain (bahasa-objek).

Namun bahasa itu harus sekaligus berkenaan dengan benda-benda (hal-hal) di dalam dunia dan dengan itu per-definisi juga adalah bahasa-objek. Itu membawa pada kesimpulan bahwa bahasa itu sekaligus meta-bahasa dan bahasa-objek, yang menyebabkan pembedaan itu kembali menjadi kurang bermakna.

Filsuf Wittgenstein dalam Filsafat Bahasa terdahulunya mencoba ke luar dari kesulitan dengan berpegang teguh pada titik tolak bahwa bahasa itu hanya bermakna jika ia mencerminkan dunia kenyataan. Mengingat meta-bahasa tidak melakukan hal itu, maka ia menurut Wittgenstein akan tidak bermakna.




BAB II

HUKUM DAN ILMU BAHASA

Beberapa Pembedaan Dalam Ilmu Bahasa

Semiotik adalah ilmu tentang tanda – tanda. Pembagian yang dilakukan oleh Ch. Morris pada tahun 1946 dalam bukunya “Sign language and behaviour”. Di dalamnya semiotik dibagi menjadi tiga bagian:

1. Sintaktik : Disini dipelajari perkaitan di antara tanda – tanda satu dengan yang lainnya. Pusat perhatiannya adalah bentuk atau struktur tanda – tanda itu. Jika ihwalnya berkenaan dengan tanda – tanda bahas, maka sintaktik itu berkaitan erat dengan apa yang di atas sudah kita sebut Gramatika. Sintaktik dapat dipelajari terlepas dari semantik. Tetap, yang sebaliknya tidak demikian halnya. Jika dikehendaki sebuah kalimat memiliki arti, maksudnya menghasilkan proposisi yang dapat dipahami, maka kalimat itu secara tepat harus mengikuti (memenuhi) aturan – aturan sintaktikal. Hal semantikal dalam arti memiliki sebuah makna, dengan demikian, mengandalkan hal sintaktikal dalam arti memenuhi aturan – aturan sintaktikal.

2. Semantik : Teori tentang arti – arti. Disini dipelajari perkaitan antara tanda – tanda dan yang diartikan (de betekende). Pusat perhatiannya adalah isi tanda – tanda itu. Di dalam semantik kita juga berurusan dengan gejala – gejala, yang dari sudut suatu perspektif lain harus dibedakan yang satu dengan yang lain, pembedaan tersebut timbul dari pandangan kedua tentang apa arti itu. Jadi, pertama – tama terdapat pembagian-tiga berdasarkan keluasan satuan bahasa. Dapat dibedakan : 1. Perkataan, 2. Kalimat, 3. Uraian. Kedua, terdapat pembagian-tiga berdasarkan faset – faset semantikal yang berbeda dari bahasa menurut pandangan kedua. Dapat dibedakan : 1. Tanda, yang berada pada tataran kebahasaan; 2. Yang diartikan, yang kebanyakan berada pada tataran empirikal; arti, yang berada pada tataran konseptual. Tiga terori kebenaran:

a. Teori Korespondensi à Kebenaran adalah kesesuaian (kesamaan) antara putusan atau proposisi dengan dunia kenyataan.

b. Teori Koherensi à kebenaran putusan atau proposisi ditautkan pada konteks sistematikal yang didalamnya ia berada.

c. Teori kebenaran Pragmatik à Dalam teori ini diajukan bahwa bahasa hanya memiliki fungsi instrumental untuk semua orientasi yang munkin diatas dunia. Dengan demikian teori ini, berlawanan dengan Teori Koherensi, konteks non-kebahasaan memainkan peranan besar.

3. Pragmatik: Disini dipelajari perkatian antara tanda – tanda dan pemakainya. Pusat perhatiannya adalah fungsi tanda – tanda. Kita sudah mengatakan bahwa pragmatik itu berkaitan dengan relasi antara tanda dan para pemakai. Menurut banyak orang Pragmatik meliputi medan yang demikian luas, sehingga semua keadaan yang relevan untuk pemakaian kata – kata atau ungkapan termasuk ke bawahnya, bahkan jika ini tidak secara langsung menyangkut pada pemakai. Dewasa ini orang beranggapan bahwa ikatan antara pragmatik dan semantic juga demikian kuat, sehingga Semantik dipandang sebagai suatu abstraksi dari pragmatik.

Klasifikasi Putusan, Proposisi dan Tindakan Bahasa

Dalam paragraph berikut dan terkahir, berdasarkan klasifikasi – klasifikasi itu akan diletakkan perkaitan antara sintaktik, semantik, dan prakmatik. Setelah itu bab ini ditutup dengan harapan bahwa kompleksitas dari bahasa sudah cukup dimunculkan dengan harapan bahwa hubungan dengan hukum dan teori hukum.

1. Sintaktik. Pada dataran ini terdapat kalimat atau putusan. Pada klasifikasi kalimat ini di dalam sintaktik kita tidak perlu berhenti lama, sebab hal itu sudah lama ditanamkan kepada kita dalam pelajaran gramatika.

2. Semantik. Pada dataran ini terdapat proposisi atau pendapat. Berkenaan dengan proposisi dibuat beberapa pembagian. Pertama – tama terdapat perbedaan antara proposisi kognitif dan proposisi non-kognitif. Jenis proposisi yang pertama memiliki isi pengetahuan akal-budi (keninhoud), yang kedua tidak. Pada penggolongan kedua dibedakan tiga jenis proposisi berikut:

a. Proposisi yang memberikan pemberitahuan tentang fakta – fakta, yang dinamakan proposisi informatif atau proposisi empirik;

b. Proposisi yang memerintahkan, melarang atau mengizinkan perilaku tertentu, yang dinamakan proposisi normatif;

c. Proposisi yang memiliki sifat menilai, yang dinamakan proposisi evaluatif. Dalam kerangka ini sering dibedakan tiga jenis penilaian: aestetikal (bagus atau jelek); b, moral atau etikal (baik atau buruk); c. teknikal atau pragmatikal (tepat atau salah).

3. Pragmatik. Sebagaimana yang sudah dapat diharapkan berdasarkan apa yang baru dikemukakan, kalsifikasi proposisi berdekatan dengan klasifikasi tindakan-bahasa. Klasifikasi ini tindakan-bahasa yang paling terkenal adalah klasifikasi J. Searle, ahli bahasa kedua yang di samping Austin mempelajari problematika tindakan-bahasa. Searle sampai pada lima jenis tindakan-bahasa, yang kemudian oleh ahli – ahli bahasa lain ditambahkan yang keenam, yaitu:

a. Tindakan-bahasa deskriptif atau informatif.

b. Tindakan-bahasa direktif.

c. Tindakan-bahasa ekspresif.

d. Perikatan.

e. Tindakan-bahasa institusional.

f. Tindakan-bahasa mengevaluasi.

BAB III

HUKUM DAN PENGERTIAN

Apa Yang Kita Artikan Dengan Hukum ?

Pengertian adalah isi pikiran (gedachteninhoud) yang dimunculkan oleh sebuah perkataan tertentu jika sebuah objek atau seorang pribadi memperoleh sebuah nama. Pengertian adalah apa yang timbul dalam pikiran kita sebagai arti dari perkataan, mengingat penunjukan perkataan itu pada objek atau orang tertentu. Harus dikemukakan bahwa objek atau orang itu tidak perlu merupakan sesuatu yang secara empirical dapat diraba yang ada di dalam kenyataan.

Menurut P.W Kamphuisen 1938 : 7, yang mengartikan pengertian sebagai : sesuatu yang dipikir, tiap sesuatu yang telah dibentuk dalam jiwa manusia, yang sepenuhnya mengesampingkan pertanyaan epistemologikal tentang apakah sesuatu yang dipikir itu, pengertian itu sesuatu yang sesuai dengan yang ada dalam kenyataan di luar kesadaran.

Pada bidang hukum, pembentukan pengertian itu tidak hanya penting sekali dalam Dogmatika Hukum, melainkan juga dalam perundang-undangan. Karena sebuah undang-undang dimaksudkan untuk mengatur perilaku para warga masyarakat, maka harus dibuat jelas bagi mereka perilaku apa yang diharapkan (dituntut) dari mereka. Ha itu dilakukan dengan jalan dalam undang-undang itu diberikan defenisi istilah-istilah yuridis yang digunakan. Untuk selanjutnya, setiap kali ditemukan istilah dalam undang-undang yang bersangkutan, maka orang memberikan arti pada istilah sebagaimana yang disebut batasan pengertian itu.

Pada banyak undang-undang tercantum istilah pada permulaan undang-undang (bagian ketentuan umum) dengan uraian pengertian terkait, seperti Undang-Undang Senjata dan Amunisi tertanggal 5 Februari 1986 yang pada pasal 1 ayat pertama berbunyi :

“1. Menteri kita : menteri Kehakiman kita ;

2. Kepala polisi setempat .......... ;

3. Senjata api : sebuah benda yang dapat diguankan untuk menembakkan proyektil atau bahan melalui sebuah laras, yang dampaknya menimbulkan ledakan kimiawi atau reaksi kimiawi lain, atau, sejauh muara energi kinetiknya lebih tinggi dari 2,2 joule, yang daya kerjanya bertumpu pad aproses fisika ;

4. amunisi : ... dan sebagainya”.

Dari contoh ini tampak pada pengertian-pengertian dalam perundang-undangan (wetterlijke begrippen) terdapat penenentuan batasan pengertian. Namun dengan pengertian tersebut, tidaklah berarti tercipta kejelasan yang sempurna tentang isi dari istilah itu. Sebab, sebuah istilah hanya memperoleh arti dari sudut konteks kebahasaan dan bukan kebahasaan. Dalam tata hukum kita, hakimlah yang dari sudut pandang kejadian-kejadian kongkret yang diharapkan kepadanya, yang memberikan arti pada isitilah perundang-undangan.

Dalam proses penemuan hukum, adalah tugas hakim untuk misalnya menilai apakah fakta-fakta dari kejadian tertentu termasuk pengertian “perbuatan melanggar hukum”. Dalam teori penemuan hukum dewasa ini, model hermeneutikal dipandang sebagai pemaparan proses yang paling baik.

Bahwa, bahasa hukum akan selalu memperlihatkan perkaitan dengan bahasa pergaulan, karena bahasa hukum menggunakan struktur yang sama dengan bahasa pergaulan. Namun antara kedua bahasa tersebut terdapat perbedaan. Dalam hukum terdapat pengertian-pengertian yang khas bersifat yuridikal, sehingga perkataan-perkataan tertentu di dalam hukum memiliki arti yang berbeda (sebagian) dari arti di dalam bahasa pergaulan. Contohnya adalah sebagai berikut : Aksi (action) : gugatan (rechtsvordering) dari penggugat, eksepsi (exceptio) : perlawanan mengelak dari tergugat, revindikasi (revindicatio) : hak menuntut kembali dari pemilik, titel (titulus) : dasar hukum.

Intensi Dan Ekstensi Pengertian

Pada tiap pengertian diadakan pembedaan antara isi pengertian (begripsinhoud) dan lingkup pengertian atau luas pengertian (begripsomvang). Isi pengertian disebut intensi atau konotasi dari pengertian. Intensi dalam bahasa Inggris disebut “sense” dan dalam bahas Perancis disebut “signification”. Sedangkan ektensi dalam bahasa Inggris disebut “refrence” dan dalam bahasa Perancis disebut “designation”.

Intensi dari sebuah pengertian pada tataran bahasa pertama adalah sama seperti proposisi pada tatanan bahasa kedua. Sedangkan dalam ilmu bahasa sendiri yang dimaksud dengan proposisi tidak jelas, demikian juga halnya dengan intensi.

Hubungan antara intensi dan ekstensi pengertian dapat dinyatakan dalam dua dalil (vuistregel). Dalil pertama berbunyi : “intensi menentukan ekstensi”. Dalil ini menyatakan bahwa isi sebuah pengertian menentuan keluasan lingkup pengertian. Sedangkan dalil kedua : “intensi berbanding terbalik dengan ekstensi”, yang berarti semakin sedikit intensi pengertian yang memuat ciri-ciri, jadi isi pengertian itu ditetapkan kurang persis, maka semakin banyak objek atau orang yang termasuk ke dalam ekstensi pengertian itu, jadi pengertian itu lebih luas. Selanjutnya menyangkut pengertian “peristiwa hukum” memuat ciri-ciri :

1. peristiwa ;

2. yang dalam dirinya membawa serta akibat-akibat hukum ;

3. yang ditautkan pada peristiwa itu oleh hukum positif.

Mengabstraksikan dan Mengkonsentrasikan

Dengan bantuan intensi dan ekstensi dari pengertian dapat dikemukakan dua proses berfikir manusia yang penting yaitu : mengabstraksikan dan mengkongkretisasi. Pada hal ikwal mengabstraksi, orang berfikir dari sebuah pengertian kongkret, artinya sebuah pengertian dengan ciri-ciri yang banyak dan dengan demikian lingkupnya sempit. Dengan kata lain, orang berfikir dari pengertian yang lingkupnya abstrak menuju kepada suatu pengertian yang kongkret. Jadi mengabstraksi adalah menghilangkan ciri-ciri dari sebuah pengertian, sehingga timbul pengertian yang lebih luas. Sedangkan mengkongkretisasi adalah menambahkan ciri-ciri sehingga terdapat pengertian yang lebih sempit.

Jenis-Jenis Pengertian

Berbagai jenis pengertian :

1. Sinonim adalah isitlah yang menyatakan pengertian yang sama. Contoh ‘goal’ adalah tujuan, ‘vonis’ adalah putusan, ‘literatur’ adalah kepustakaan, dsb ;

2. Istilah bermakna ganda, lawan dari sinonim merupakan istilah-istilah atau pengertian yang bermakna ganda, contohnya isitlah jalan dalam undang-undang lalu lintas ;

3. Pengertian yang kabur, adalah pengertian yang isinya tidak dapat ditetapkan persis, sehingga lingkupnya tidak jelas, contoh pengertian “mahasiswa”.

Dalam penemuan hukum, tugas penting dari hakim adalah menentukan peristiwa-peristiwa apa yang termasuk ke dalam pengertian-pengertian yang ditetapkan dalam undang-undang dan yang mana tidak.

Isi aturan yang didalamnya muncul istilah-istilah itu disebut sebagai “kaidah kosong” (blanketnorm), dalam hukum Jerman untuk pengertian ini orang menggunakan istilah (“generalklausein”). Pengertian-pengertian yang kabur populer dalam ilmu hukum terutama karena memungkinkan tatanan hukum menyesuaikan diri pada tatanan masyarakat yang berubah yang menjadi tujuan pengaturan hukum.

K. Engisch (1983 : 106 - 103) membuat pembedaan, yang sebagian tumpang tindih, sebagai berikut :

1. Pengertian tidak dibatasi (unbestimmten begriff). Pengertian ini berhadapan dengan pengertian-pengertian tertentu (yang dibatasi).

2. Pengertian normatif. Pengertian ini berhadapan dengan pengertian deskriktif dan hampir selalu kabur.

3. Pengertian diskresioner. Ini adalah pengertian yang juga memiliki muatan evaluatif, tetapi pada pengertian itu hanya atas dasar penilaian pribadi yang subjektif saja dimungkinkan untuk menentukan apa yang termasuk ke dalamnya dan apa yang tidak.

Pengertian Terbuka

Yang dimaksud dengan pengertian terbuka adalah pengertian-pengertian yang isi intinya memuat ciri-ciri yang dalam perjalanan waktu mengalami perubahan. Sebagai contoh, untuk argumen ini, bahwa tidak ada pengertian yang aman dari perubahan arti yang ditimbulkan oleh perubahan-perubahan keadaan dan pandangan kemasyarakatan, beberapa contoh pengertian terbuka adalah : “kerkhof” (pekuburan), “gulden” yang sekarang tidak lagi terbuat dari emas, “afbouwen” yang dengan kini orang mengemukakan bahwa orang sedang merobohkan sesuatu ketimbang sedang membangun.

BAB IV

HUKUM DAN DEFINISI

Apa yang kita Artikan Dengan Defenisi ???

Definisi adalah sebuah pengertian dengan sifat-sifat khusus. Dalam sebuah definisi orang mengungkapkan isi sebuah perkataan atau sebuah istilah (pengertian) dalam sejumlah perkataan, di mana pengungkapan perkataan tersebut harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Maksud dari sebuah definisi adalah untuk menentukan batas-batas sebuah pengertian sepersis (secermat) mungkin, sehingga jelas bagi setiap orang, apa yang diartikan oleh pembicara atau penulis dengan sebuah perkataan atau istilah tertentu. Syarat-syarat yg ditetapkan pada pendefinisian adalah sebagai berikut :

1. Definien harus lebih jelas ketimbang definiendum

Definien terdiri atas perkataan-perkataan yang mewujudkan definisi. Definiendum adalah perkataan yang harus di definisikan.

2. Definiendum tidak boleh ada dalam definien

sebuah definisi dari misalnya “pelajar” sebagai “seseorang yang belajar” membuat perkataan “pelajar” sangat kurang jelas. Definisi yang mengatakan sedikit ini disebut definisi-sirkuler.

3. Definien tidak boleh negatif

Sebuah definisi dari misalnya “wanita” sebagai “seseorang yang bukan pria” juga memberi kejelasan yang terlau sedikit. Berkaitan dengan hal ini memang berlaku pengecualian untuk perkataan-perkataan yang menyatakan “ketiadaan” (gemis). Mendefinisikan “kebutaan” sebagai “ketiadaan kemampuan melihat” misalnya adalah boleh.

4. Definiendum dan definien harus dapat dipertukarkan (Convertible)

dengan syarat ini orang memaksudkan bahwa definiendum dan definien harus sedemikian identik, sehingga mereka dalam setiap konteks dapat saling menggantian.

Defenisi-Urusan dan Defenisi-Nama

Mendefinisikan adalah mencoba memperoleh pengetahuan tentang kenyataan (secara harafiah Mendefinisikan berarti menetapkan batas-batas).

1. Definisi-urusan atau definisi-riil. Dengan ini orang memaksudkan cara pendefinisian berdasarkan teori pengetahuan kuno yang baru saja dibicarakan. Definisi ini menyatakan “apa sesuatu itu”. Orang bertolak dari pandangan bahwa definisi-definisi ini meletakkan jembatan antara bahasa dan kenyataan. Mereka bertumpu pada gejala-gejala di dalam kenyataan.

Sekema 1

Bahasa definisi

Kenyataan gejala

2. Definisi nama atau definisi nominal. Dengan ini orang memaksudkan cara pendefinisian berdasarkan teori bahasa modern. Definisi ini menyatakan “apa yang di tunjuk oleh sebuah perkataan di dalam bahasa”.

Definisi nominal dapat di ungkapkan dalam skema berikut :

Skema 2

Dalam bahasa definiendum

definien

Kenyataan gejala

Jenis-Jenis Defenisi

Dalam paragraf ini akan di bahas dua penggolongan :

1. Defenisi Internasional dan Defenisi Ekstensional

Penggolongan pertama adalah pembedaan antara definisi intesional dan definisi ekstensional. Kriterium penggolongan ini adalah cara penyusunan definien. Intensi pengertian adalah isi pengertian, yang terdiri atas seperangkat ciri-ciri yang mewujudkan pengertian itu. Seperti sudah di katakan, sebuah definisi adalah suatu pengertian yang harus memenuhi syarat-syarat khusus. Definiai intensional adalah definisi yang definiennya disusun dengan cara sedemikian rupa, sehingga ia mengungkapkan ciri-ciri dari pengertian itu, yang masing-masing pada dirinya sendiri merupakan syarat yang perlu (mutak harus ada) untuk identifikasi definiendumdengan definien dan yang bersama-sama merupakan syarat yang cukup untuk itu. Definisi intensional adalah definisi yang paling cocok.

Istilah “syarat yang” cukup dan “syarat yang perlu” berasal dari logika. C(iri) adalah syarat yang cukup untuk P(engertian) jika keberadaan dari C membawa pada kesimpulan bahwa P juga ada, tetapi ketidakberadaan dari C tidak membawa pada kesimpulan bahwa P juga tidak ada.

2. Defenisi Leksikal, Defenisi Presisi, dan Defenisi Stipulatif

Kriterium pada penggolongan ini adalah asal-usul dari definien. Dalam konteks ini orang menggunakan pembedaan berikut:

a. definisi Leksikal adalah penentuan isi suatu pengertian berdasarkan pemakaian yang lazim dari istilah itu dalam bahasa pergaulan. Definis jenis ini sering ditemukan dalam kamus-kamus.

b. arti Mempresisi adalah penentuan isi suatu pengertian yang padanya orang memberikan arah yang agak berlainan pada isi yang biasa dari pengertian itu untuk mempertajam pengertian tersebut.

c. definisi stipulatif adalah penentuan isi suatu pengertian yang sama sekali baru, yang di dalamnya orang mencoba meletakkan pikiran-pikiran yang baru dikembangkan dalam definisi-definisi. Definisi ini tentu saja harus dipersentasikan secara jelas.

BAB V

ATURAN HUKUM DAN KAIDAH HUKUM


Aturan Hukum dan Kaidah Hukum

Arti dari suatu aturan hukum ditunjuk dengan istilah “kaidah hukum” (rechtsnorm). Pengertian (begrip) sebagai arti dari suatu bahasa terkecil, perkataan atau istilah, dapat dibandingkan dengan kaidah hukum sebagai arti dari satuan bahasa yang lebih luas, aturan hukum. Isi kaidah (norminhoud) adalah keseluruhan ciri (unsur-unsur) yang mewujudkan kaidah itu. Lingkup kaidah (normomvang) adalah wilayah penerapan (toepassingsgebied) kaidah yang bersangkutan. Berarti, arti dari aturan hukum itu harus ditautkan pada isi kaidahnya.

Dua dalil (vuistregel) berkenaan dengan hubungan antara intensi dan ekstensi dari pengertian berlaku di sini:

1. Isi kaidah menentukan wilayah penerapan ;

2. Isi kaidah berbanding terbalik dengan wilayah penerapan.

Dalil terakhir menyatakan bahwa semakin sedikit isi kaidah hukum memuat ciri-ciri, maka wilayah penerapannya semakin besar. Sebaliknya, ini berarti bahwa semakin banyak isi kaidah hukum memuat ciri-ciri, maka wilayah penerapannya semakin kecil. Perubahan-perubahan isi kaidah dapat ditimbulkan oleh para pengemban kewenangan hukum (rechtsautoriteiten, pejabat hukum) dengan dua cara :

1. Pembentuk undang-undang (wetgever) dapat menimbulkan perubahan-perubahan dengan merumuskan kembali sebuah aturan hukum. Orang sesungguhnya masih dapat mengatakan bahwa hal itu tidak berkaitan dengan perubahan isi kaidah hukum (yang lama), tetapi yang terjadi di sini adalah bahwa disamping kaidah hukum yang lama itu telah terbentuk satu kaidah hukum yang baru.

2. Berkaitan dengan suatu perubahan pada isi dari sebuahkaidah hukum sementara aturan hukumnya tetap tidak berubah. Orang menyebut hal ini suatu interpretasi restriktif terhadap aturan hukum. Dengan itu maka wilayah penerapan kaidah hukumnya menjadi lebih besar. Ini disebut interpretasi ekstensif terhadap aturan hukum

Kaidah Hukum Sebagai Perintah

Pada pandangan pertama, tampaknya pendapat bahwa prototipe kaidah hukum adalah perintah dengan jangkauan umum yang sangat dapat diterima. Ia memunculkan gambaran yang berlaku tentang pembentuk undang-undang yang dengan bersaranakan undang-undang memberikan perintah-perintah, dan yang untuk masalah-masalah yang sulit oleh hakim dilengkapi dengan isi yang lebih persis dan berkenaan dengannya pemerintah (penguasa) mengemban tugas untuk memberikan kekuatan pada perintah-perintah yang dirumuskan dalam undang-undang dengan jalan melakukan tindakan mengenakan sanksi dalam hal terjadi ketidakpatuhan (ongehoorzaamheid).

Sebuah contoh kritik terhadap pandangan bahwa sebuah kaidah hukum adalah perintah dengan jangkauan umum, adalah yang dikemukakan oleh J. F. Glastra van Loon dan F. Bohtlingk. Mereka mengemukakan hal berikut:

1. Jika sebuah kaidah hukum itu adalah sebuah perintah, maka juga harus ada seorang pemberi perintah. Seringkali untuk itu ditunjuk pembentuk undang-undang. Namun, terdapat cukup banyak kaidah hukum, yakni kaidah-kaidah hukum tidak tertulis, yang tidak mempunyai pemberi perintah.

2. Suatu perintah biasanya ditujukan hanya kepada mereka yang harus mematuhi perintah itu. Namun, kaidah hukum memiliki jangkauan yang lebih luas. Kaidah itu tidak hanya menunjukan diri kepada mereka yang mematuhi, tetapi juga kepada orang-orang lain yang terlibat dalam pergaulan sosial mereka. Dengan kata lain: “sebuah perintah menetapkan hubungan antara pengalamat (adressant) dan teralamat (geadresseerde), sebuah aturan menetapkan hubungan antar-teralamat” (Glastra van Loon dan Bohtlingk, 1959:63).

3. Untuk bekerjanya kaidah hukum tidak diperlukan bahwa setiap teralamat sendiri mengetahui tentang isi kaidah hukum itu.

4. Kaidah hukum juga berbeda dari perintah. Harapan-harapan (ekspektasi), berkenaan dengan perilaku penerima perintah, dari mereka, yang terlibat dalam pergaulan sosial dengan penerima perintah,menyandang sifat legitimasi.

J.F. Glastra van Loon / F. R. Bohtlingl, 1959:61, dalam kritik mereka juga mengarahkan diri pada teori perintah J. Austin. Imperatieventheorie yang dipertahankan K. Engisch adalah juga contoh dari sebuah teori perintah.

Orang dapat memenuhi suatu perintah semata-mata karena ia dipaksa untuk itu. Perasaan dirinya berkewajiban ini adalah suatu dimensi pada kepatuhan terhadap kaidah hukum, yang pada kepatuhan terhadap suatu perintah tidak perlu ada (H. L. A. Hart, The Concept of Law, 1961: 22-25).

Jadi, kesimpulannya adalah bahwa model kaidah hukum sebagai perintah harus ditolak. Para pengemban kewenangan hukum menetapkan kaidah hukum yang timbul dari dalam masyarakat itu sendiri atau yang mereka rancang sendiri, tetapi mereka tidak memberikan “perintah”.

Jenis Kaidah Hukum

Teori H. L. A. Hart, 1961: 92 tentang meta-kaidah “secondary rules”: “They specify the ways in which the primary rules may be conclusively ascertained, introduced, eliminated, varied, and the fact of their violation conclusively determined”.

Kaidah Hukum sebagai Kaidah Perilaku

Perintah perilaku,yang mewujudkan isi kaidah itu, dapat menampilkan diri dalam berbagai wajah (sosok). Penggolongan yang paling umum adalah sebagai berikut:

1. perintah (gebod) : kewajiban umum untuk melakukan sesuatu;

2. larangan (verbod) : kewajiban umum untuk tidak melakukan sesuatu;

3. pembebasan (vrijstelling, dispensasi) : pembolehan (verlof) khusus untuk tidak melakukan sesuatu secara umum diharuskan;

4. izin (toestemming, permisi) : pembolehan khusus untukmelakukan sesuatu yang secara umum dilarang.

Kaidah Hukum sebagai Meta-Kaidah

Hart menyebut tiga macam meta-kaidah:

1. Kaidah Pengakuan (Kaidah Rekognisi). Kaidah yang menetapkan kaidah perilaku mana yang di dalam sebuah masyarakat hukum tertentu harus dipatuhi.

2. Kaidah Perubahan. Kaidah yang menetapkan bagaimana suatu kaidah dapat diubah.

3. Kaidah Kewenangan. Kaidah yang menetapkan oleh siapa dan dengan melalui prosedur yang mana kaidah perilaku ditetapkan, dan bagaimana suatu kaidah perilaku harus diterapkan jika dalam suatu kejadian tertentu terdapat ketidakjelasan.

Ada Juga yang disebut dengan Kaidah Mandiri dan Kaidah Tidak Mandiri.

Perumusan Kaidah Hukum Dalam Aturan Hukum

Walaupun kita dapat menemukan kaidah hukum yang sama dalam berbagai perumusan yang agak berbeda, namun dalam Teori Hukum terdapat suatu perumusan baku, yang berlaku bagi prototipe aturan hukum. Prototipe itu sebagai ketentuan (perintah) hipotekik. Hipotekik terdiri dari dua bagian: syarat dan akibat-hukum. bagian yang pertama memaparkan suatu peristiwa tertentu, misalnya suatu situasi, suatu kejadian atau suatu perbuatan. Bagian yang kedua mengaitkan pada peristiwa tertentu itu akibat hukum. Aturan hukum yang demikian itu disebut ketentuan hipotekik, karena akibat hukum dalam bagian yang kedua baru akan terjadi, jika syarat yang disebut dalam bagian yang pertama dipenuhi.

Kesimpulan

Kaidah hukum diungkapkan dengan banyak cara yang berbeda dalam aturan hukum. kaidah hukum tidak hanya memainkan peranan dalam hubungan antara pemberi perintah (pembentuk undang-undang) dan penerima perintah (justisiabel), melainkan mempunyai jangkauan yang lebih luas. Kaidah hukum adalah kaidah sosial yang hidup dalam masyarakat hukum, yang berkaitan dengannya para justisiabel mempertautkan harapan-harapan (expectations) yang sah, terlepas dari apakah aturan hukum itu secara langsung ditujukan kepada mereka atau tidak.

Arti aturan hukum pada akhirnya tidak dapat dibaca hanya berdasarkan semata-mata bentuk sintaktik dari aturan itu sendiri. Aturan hukum yang sama dibaca dari suatu optik yang berbeda oleh pembentuk undang-undang, para hakim dan para justisiabel, yang berdasarkannya mereka dapat menderivasi kaidah-kaidah hukum yang berbeda-beda.

BAB VI

ASAS HUKUM DAN SISTEM HUKUM

Pengertian Asas Hukum

Pada basis (landasar) suatu sistem kaidah hukum terdapat kaidah-kaidah penilaian yang fundamental, yang dinamakan asas-asas hukum. Gagasan tentang asas hukum sebagai kaidah penilaian fundamental dapat ditemukan pada karya-karya dari teoritis hukum, seperti Paul Scholten misalnya yang menguraikan (memberi defenisi) asas hukum sebagai berikut : “Pikiran-pikiran dasar, yang terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim, yang berkenaan denganya ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai penjabarannya”.

Apakah asas hukum itu dapat dipandang sebagai bentuk yang kuat atau yang lemah dari meta kaidah ???. Terhadap hal ini terdapat dua jawaban, yaitu :

1. Dalam hal bentuk yang kuat, asas hukum itu dapat dipandang sebagai suatu tipe kaidah berkenaan dengan kaidah perilaku, dan dengan demikian secara prinsipil dapat dibedakan dari jenis kaidah ini.

2. Dalam hal bentuk yang lemah, asas hukum itu dipandang termasuk dalam tipe kaidah yang berkenaan dengan kaidah perilaku, namun memiliki fungsi sejenis seperti kaidah perilaku.

Dari defenisi Scholten dapat disimpulkan bahwa asas-asas hukum mewujudkan sejenis sistem sendiri, yang sebagian termasuk ke dalam sistem hukum dan sebagian lagi tetap berada diluarnya. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa asas hukum sebagai jenis meta kaidah berkenaan dengan kaidah perilaku, sementara itu asas hukum juga dapat memenuhi fungsi yang sama seperti kaidah perilaku.

Asas Hukum dan Kaidah Perilaku

Perbedaan antara asas hukum dan kaidah perilaku di dalam hukum bergantung pada apa yang diartikan dengan asas hukum dan kaidah perilaku. Kaidah perilaku adalah kaidah yang ditujukan pada perbuatan warga suatu masyarakat hukum tertentu. Sedangkan asas hukum adalah kaidah yang memuat ukuran (kriteria) nilai. Asas hukum itu befungsi sebagai meta kaidah terhadap kaidah perilaku, karena menentukan interpretasi terhadap aturan hukum, tetapi asas hukum juga berpedoman bagi perilaku.

Perbedaan asas hukum dengan kaidah perilaku, yaitu :

- Pertama, asas hukum bersifat umum, sedangkan kaidah perilaku bersifat khusus ;

- Kedua, kaidah perilaku memiliki isi yang jauh lebih kongkret yang menyebabkan aturan itu dalam penemuannya dapat diterapkan secara langsung, sedangkan terhadap asas hukum berlaku sebaliknya ;

- Ketiga, kaidah perilaku bertumpu pada kewibawaan dari pembentuk undang-undang atau dari hakim, sedangkan asas hukum halnya tidak langsung demikian ;

- Keempat (menurut Dworkin), asas hukum tidak memiliki sifa “semua atau tidak” (alles of niets karakter), sedangkan kaidah perilaku berlaku sebaliknya;

- Kelima (Dworkin) jika terdapat suatu kejadian tertentu, maka hanya satu kaidah perilaku yang diterapkan, namun dalam asas hukum berlaku sebaliknya.

Asas Hukum dan Sistem Hukum

Bahwa asas hukum berfungsi baik di dalam maupun dibelakang sistem hukum positif. Sebagai kaidah penilai, asas hukum itu mewujudkan kaidah hukum tertinggi dari suatu sistem hukum positif. Karena itu, asas hukum harus dikongkretisasikan. Demikianlah asas hukum mengemban fungsi ganda, sebagai pondasi dari sistem hukum positif dan sebagai batu uji kritis terhadap sistem hukum positif. Jadi asas-asas hukum yang paling fundamental adalah kaidah-kaidah penilaian yang mewujudkan landasan (basis) dari setiap sistem hukum.

Pengertian Sistem Hukum

Hukum didefenisikan sebagai suatu “sistem konseptual aturan hukum dan putusan hukum”. Hukum adalah suatu gejala yang dari dirinya sendiri menghendaki sistematisasi. Sedangkan sistem hukum adalah suatu produk kesadaran hukum, yang berarti bahwa sistem hukum juga mengandung aspek-aspek irrasional. Unsur-unsur yang mewujudkan sistem hukum adalah :

1. Unsur idil. Unsur ini terbentuk oleh sistem makna dari hukum, yang terdiri dari aturan-aturan, kaidah-kaidah, dan asas-asas. Unsur inilah yang oleh para yuris disebut “sistem hukum”.

2. Unsur operasional. Unsur ini terdiri atas keseluruhan organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga yang didirikan suatu sistem hukum.

3. Unsur aktual. Unsur ini adalah keseluruhan putusan-putusan dan perbuatan-perbautan kongkret yang berkaitan dengan sistem makna dari hukum, baik dari para pengemban jabatan dari para warga masyarakat, yang didalamnya terdapat sistem hukum itu.


BAB VII

KEBERLAKUAN KAIDAH HUKUM

Penghantar

Hukum itu terdiri atas berbagai kaidah yang berbeda beda. Kaidah itu itu mewujudkan isi aturan aturan hukum. Banyak dari kaidah kaidah hukum itu yang oleh pembentuk undang undang dirumuskan dalam aturan-aturan perundangan. Hukum selalu dalam keadaan bergerak. Perubahan yang berlangsung terus menerus itu memunculkan pertanyaan apakah tidak dapat ditentukan lebih jauh, pada kaidah hukum yang mana kita pada suatu saat tertentu harus berpegangan. Itu adalah pertanyaan tentang keberlakuan hukum. Problematika tentang keberlakuan hukum sering dibahas dalam teori-teori tentang kaidah hukum. Dalam teori teori itu dibedakan berbagai sifat kaidah hukum. Dua dari yang paling penting adalah positivitas dan keberlakuan.

Positivitas Hukum

Yang dimaksud dengan positivitas kaidah hukum adalah hal ditetapkannya kaidah dalam sebuah aturan hukum oleh pengemban kewenangan hukum yang berwenang (bevoedge rechtsautoritet). Hukum positif adalah terjemahan dari “ius positum” dalam bahasa latin, yang secara harafiah berarti “hukum yang ditetapkan” (gested recht). Jadi hukum positif adalah hukum yang ditetapkan oleh manusia.

Beberapa penulis mengidentikan, jika mereka sedang mempersoalkan kaidah hukum mereka berkeyakinan bahwa hukum positif per-definisi adalah hukum yang berlaku, sebab hukum positif itu dibuat oleh orang yang berwenang untuk itu.

Terhadap pengidentikan dua sifat kaidah hukum ini terdapat tiga keberatan :

1. Keberatan pertama bersifat teori hukum. Jika orang mengidentifikasikan positivitas dan keberlakuan kaidah hukum, maka orang mendasarkan keberlakuan pada sesuatu yang bersifat faktual. Yakni pada fakta ditetapkannya kaidah hukum dan aturan hukum dengan tindakan faktual para pengemban kewenangan hukum.(Sesuatu yang normatif dilandaskan pada sesuatu yang faktual). Peralihan yang demikian itu oleh banyak teoritikus hukum dipandang salah.

2. Keberatan kedua adalah bahwa orang pada pengidentikan tersebut bertolak dari suatu pengertian keberlakuan yang terlalu sempit.

3. Keberatan ketiga adalah bahwa orang juga dapat berbicara tentang keberlakuan kaidah hukum yang tidak termasuk dalam hukum positif, sebab tidak semua hukum ditetapkan oleh pejabat hukum yang berwenang.

Keberlakuan Kaidah Hukum

Orang dapat menyatakan pendapat tentang hukum dalam arti empiris, normative dan evaluatif. Peristilahan yang sama juga digunakan pada pembedaan berbagai jenis keberlakuan hukum. Dalam teori hukum, pembagian tiga dalam keberlakuan empiris, normatif dan evaluatif paling sering dilakukan.

Aulis Aarnio dalam artikelnya membagi keberlakuan hukum sebagai berikut: Systemic Validity, Factual validity dan axio logical validity.

Ulrich Klug, membedakan jenis jenis keberlakuan sebagai berikut :

1. Keberlakuan Yuridis; positivitas suatu kaidah hukum.

2. Keberlakuan Etis ; hal ini aka nada jika jika sebuah kaidah hukum mempunyai sifat mewajibkan.

3. Keberlakuan Ideal; jika suatu kaidah bertumpu pada kaidah moral yang lebih tinggi.

4. Keberlakuan Riil; keberlakuan ini ada jika para teralamat kaidah berperilaku dengan mengacu pada kaidah hukum itu.

5. Keberlakuan Ontologis; akan tidak memiliki keberlakuan jika dipositifkan oleh pembuat undang-undang yang tidak berpegangan pada tuntutan tuntutan fundamental.

6. Keberlakuan Sosio Relatif; kaidah hukum yang tidak memiliki keberlakuan yuridis, etis dan riil.

7. Keberlakuan Dekoratif; yang hanya memiliki fungsi lambang

8. Keberlakuan Estetis ; ada jika suatu kaidah hukum memiliki elegansi tertentu

9. Keberlakuan Logikal; kaidah hukum yang secara internal tidak bertentangan.

Keberlakuan Faktual atau Empiris Kaidah Hukum

Orang mengatakan bahwa kaidah hukum berlaku secara faktual atau efektif, jika para warga masyarakat, untuk siapa kaidah hukum itu berlaku, mematuhi kaidah hukum tersebut. Dengan demikian, keberlakuan faktual dapat ditetapkan dengan bersarankan penelitian empiris tentang perilaku para warga masyarakat.

Keberlakuan Normatif atau Formal Kaidah Hukum

Orang berbicara tentang keberlakuan normative suatu kaidah hukum, jika kaidah itu merupakan bagian dari suatu sistem kaidah tertentu yang didalamnya kaidah-kaidah hukum itu saling menunjuk yang satu terhadap yang lain. Sistem kaidah hukum yang demikian itu terdiri dari atas suatu keseluruhan hirarki kaidah hukum khusus yang bertumpu pada kaidah kaidah umum.

Keberlakuan Evaluatif Kaidah Hukum

Kita berbicara tentang keberlakuan efaluatif suatu kaidah hukum, jika kaidah hukum itu berdasarkan isinya dipandang bernilai.

Hubungan Antara Berbagai Pengertian Keberlakuan

Bahwa hukum itu sendiri sudah membawa dalam dirinya aspek sistematika. Pada dasarnya hukum hukum itu adalah suatu sistem konseptual aturan hukum dan putusan hukum. Jadi pada hukum cocok sekali bahwa berbagai kaidah memperlihatkan hubungan saling bertautan. Semakin hal itu demikian, maka semakin kuat hukum memiliki keberlakuan formal atau normatif.


BAB VIII

BAGIAN-BAGIAN TEORI HUKUM

Penghantar : Teori Hukum Dalam Arti Luas

Teori Hukum adalah suatu keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum, dan sistem tersebut untuk sebagian yang penting dipositifkan.

Filsafat Hukum mewujudkan landasan dari keseluruhan Teori Hukum (jadi dalam arti luas). Pada tataran kedua terdapat Teori Hukum (dalam arti sempit), dan di atasnya terdapat bentuk terpenting pengembangan hukum teoretik, yakni Ilmu Hukum. Ilmu Hukum ini mengenal lima bentuk: Dogmatika Hukum, Sejarah Hukum, Perbandingan Hukum, Sosiologi Hukum dan Psikologi Hukum. Pembagian Meuwissen berbeda dari pembagian kita, karena ia dengan caranya sendiri mendefinisikan berbagai bagian Teori Hukum dalam arti luas. Apa yang persisnya ia artikan dengan itu masih akan kita jumpai dalam paragraf ini. Pembagian Meuwissen menghasilkan skema berikut.

Skema 16

Dogmatika Hukum

Sejarah Hukum

Perbandingan Hukum

Sosiologi Hukum

Psikologi Hukum

Ilmu Hukum

Berbagai Bagian Teori Hukum Dalam Arti Luas

Sosiologi Hukum

Kita dapat mendefinisikan Sosiologi Hukum sebagai “teori tentang hubungan antara kaidah-kaidah hukum dan kenyataan kemasyarakatan”. Hubungan itu dapat dipelajari dengan dua cara. Orang dapat mencoba menjelaskan kaidah hukum dari sudut kenyataan kemasyarakatan, tetapi orang juga dapat menjelaskan kenyataan kemasyarakatan dari sudut kaidah-kaidah hukum.

Hasil penelitian itu menuntun pada kesimpulan, bahwa ada kemungkinan bahwa perubahan undang-undang itu sungguh-sungguh mencapai tujuannya, yang untuk itu undang-undang tersebut diciptakan. Penelitian empirik bidang Sosiologi Hukum dengan demikian memberikan petunjuk bahwa perubahan undang-undang itu efektif.

Skema 17

SOSIOLOGI HUKUM

EMPIRIK

KONTEMPLATIF

Objek

hubungan kaidah-kaidah hukum dan kenyataan kemasyarakatan

Tujuan

Teoretikal atau praktikal

Perspektif

eksternal

internal

Teori Kebenaran

sering: teori korespondensi

teori pragmatik

Proposisi

hanya informatif atau empirik

juga normatif dan evaluatif

Dogmatika Hukum

D.H.M. Meuwissen, 1979:660, memberikan batasan pengertian Dogmatika Hukum sebagai memaparkan, menganalisis, mensistematisasi dan menginterpretasi hukum yang berlaku atau hukum positif. M. van Hoecke, 1982: 75, mendefinisikan Dogmatika Hukum sebagai berikut: cabang Ilmu Hukum (dalam arti luas) yang memaparkan dan mensistematisasi hukum positif yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu dan pada suatu waktu tertentu dari suatu sudut pandang normatif.


Skema 18

DOGMATIKA HUKUM

objek

hukum positif nasional

tujuan

teoretikal, tetapi terutama praktikal

perspektif

internal

teori kebenaran

teori pragmatic

proposisi

informatif, normatif, evaluatif

Teori Hukum Dalam Arti Sempit

Skema 19


Skema 20

TEORI HUKUM

EMPIRIK

KONTEMPLATIF

objek

1. gejala umum dalam hukum positif

2. kegiatan yuridik :

- Dogmatika Hukum

- pembentukan hukum

- penemuan hukum

tujuan

teoretikal

perspektif

eksternal

internal

teori kebenaran

sering : Teori Korespondensi

Teori Pragmatik

proposisi

hanya informatif atau empirik

juga normatif dan evaluatif

Filsafat Hukum

Bandingkan dengan definisi dari D.H.M. Meuwissen, 1979: 658, yang berbunyi: “Filsafat Hukum adalah filsafat”. Karena itu ia merenungkan semua persoalan fundamental dan masalah-masalah perbatasan yang berkaitan dengan gejala hukum.

Menurut M. van Hoecke, Filsafat Hukum adalah filsafat umum yang diterapkan pada gejala-gejala hukum (Wat is rechtsteorie, 1982: 83-87). Dalam filsafat dibahas pertanyaan-pertanyaan terdalam berkenaan dengan makna, landasan, struktur dan sejenisnya dari kenyataan. Dalam Filsafat Hukum juga dibedakan berbagai wilayah-bagian. Van Hoecke menyebutkan yang berikut ini:

1. Ontologi Hukum (ajaran pengada, zijnsleer): penelitian tentang hakikat hukum dan hubungan antara hukum dan moral;

2. Aksiologi Hukum (ajaran nilai, waardenleer): penetapan isi nilai-nilai, seperti kejadian, kepatutan, persamaan, kebebasan, dan sebagainya;

3. Ideologi Hukum (ajaran idea, ideeenleer): pengejawantahan wawasan menyeluruh tentang manusia dan masyarakat;

4. Epistemologi Hukum (ajaran pengetahuan, kennisleer): penelitian terhadap pertanyaan sejauh mana pengetahuan tentang ‘hakikat’ hukum dimungkinkan;

5. Teleologi Hukum (ajaran tujuan, finaliteitsleer): menentukan makna dan tujuan dari hukum;

6. Teori-ilmu dari hukum: ini adalah filsafat sebagai meta-teori tentang Teori Hukum dan sebagai meta-meta-teori dari Dogmatika Hukum;

7. Logika Hukum: penelitian tentang kaidah-kaidah berpikir yuridik dan argumentasi yuridik. Bagian ini sering dipandang sebagai suatu bidang studi tersendiri, yang telah melepaskan diri dari Filsafat Hukum.

BAB IX

APAKAH ILMU HUKUM ITU ILMU ?

Penghantar : Dua Jawaban

Ilmu hukum dalam arti sempit disebut “dogmatika hukum”, sedangkan dalam arti luas ke dalamnya termasuk juga tiap teori hukum dalam arti luas. Yang masuk ke dalam ilmu hukum dalam arti luas itu sendiri masih dapat dimasukkan disiplin-disiplin ilmu lainnya seperti : sejarah hukum, hukum ekonomi, psikologi hukum dan perbandingan hukum.

Terhadap ilmu hukum itu apakah dipandang sebagai ilmu?, terdapat dua jawaban yang saling bertentangan yang keduanya timbul dari titik-titik dalam ajaran ilmu hukum yang umum. Kedua pandangan tersebut adalah : “pandangan positivistik” dan “pandangan normatif”. Perbedaan antara pandangan positivistik dan pandangan normatif pertama-tama bertumpu pada perbedaan dalam teori tentang kebenaran yang dianut pandangan-pandangan tersebut.

Pandangan positivistik memberikan nilai tinggi terhadap panca indera manusia. Panca indera akan bekerja secara objektif, sebagai sebuah cermin yang akan memberikan gambaran kenyataan dunia luar sebagaimana adanya tanpa merubahnya. Menurut pandanganya, ilmu hukum dalam arti luas juga menggunakan metode, jika tidak maka penyebutan “ilmu” adalah suatu kekeliruan. Oleh karena itu, ciri pandangan positivistik menganut teori kebenaran.

Sedangkan pandangan normatif menganut teori kebenaran lain, yaitu teori pragmatik. Dalam teori kebenaran pragmatis, suatu teori adalah benar, jika teori itu berfungsi secara memuaskan. Teori yang berhasil memperoleh persetujuan yang cukup, menghasilkan sebagai akibatnya pengetahuan inter-subyektif. Ilmuawannya bekerja dari sudut suatu perfektif internal, artinya ia mendekati gejala-gejala yang hendak dipelajarinya sebagak seorang partisan (deelnemer) yang langsung terkait gejala yang dipelajari, yang ke dalamnya sesungguhnya ia terlibat.

Ideal Ilmu

Ideal ilmu menurut Atoisme Logikal yang dianut filsut dan logikus asal Inggris bernama Bertrand Russel dan Ludwig Wittgeinstein menyatakan bahwa teori korespondensi tentang kebenaran menempati kedudukan sentral. Kita hanya dapat berbicara luas tentang pengetahuan ilmiah jika pengetahuan itu memberikan gambaran yang persis dari kenyataan yang dapat diamati (waarneembare werkerlijkheid). Untuk itu orang harus mengembalikan kenyataan sampai pada unsur-unsur dasar (basis elementen) yang menjadi objek penyadaran langsung. Para penganut Atonisme Logikal menyatakan bahwa pengetahuan dimunculkan dengan dua syarat, yaitu : Pertama, harus bertumpu pada penyadaran (gewaarwording) langsung terhadap fakta-fakta atomair dalam kenyataan. Kedua, keseluruhan putusan-putusan ilmiah itu harus cocok yang satu terhadap yang lainnya secara konsisten logikal. Menurut aliran Atomisme Logikal dan Positivisme Logikal, bahwa metode induksi dan verifikasi yang merupakan kriterium penguji terhadap kebenaran.

Rasionalisme Kritikal

Rasioalisme kritikal adalah aliran yang melawan ajaran ilmu dari para penganut Atomisme Logikal dan Positivisme Logikal. Tokoh terpentingnya adalah Karl Popper, filsut asal Austria. Para penganut aliran rasionalisme kritikal berpendapat bahwa pengetahuan ilmiah harus objektif dan teoritikal dan pada akhirnya merupakan penggambaran dari dunia yang dapat diamati secara inderawi (waarneembare wereld). Aliran rasionalisme kritikal menolak metode induksi dari Atoimisme Logikal dan Positivisme Logikal.

Menurut aliran ini, putusan ilmiah mungkin saja merupakan penggambaran fakta yang dapat diamati, tetapi baru sampai pada putusan ilmiah tersebut, jika orang sebelumnya sudah membentuk suatu hipotesis umum. Sebagai kriterium untuk mengontrol putusan-putusan ilmiah itu, para penganut rasionalisme kritikal mengajukan asas falsifikasi ketimbang asas verifikasi dari Atoimisme logikal dan positivisme logikal. Aliran rasionalisme kritikal masih mengajukan syarat ketiga tentang suatu ideal ilmu, bahwa putusan-putusan ilmiah tersebut juga harus sebanyak mungkin dapat difalsifikasi.

Teori Thomas Kuhn

Thomas Kuhn melakukan pendekatan ilmu secara eksternal, sedangkan aliran positivisme, rasionalimse, dan atoisme logikal mengadakan pendekatan ilmu dari sudut pandang internal. Menurut Kuhn, jika muncul gagasan-gagasan baru yang mungkin saja melanggar (bertentangan dengan) paradigma yang berlaku, tetapi meskipun demikian ternyata membuahkan banyak hasil (subur) maka paradigma itu menjadi goyah, dan dapat dikatakan terjadi suatu revolusi ilmiah. Dengan itu maka paradigma lama dilawan dengan paradigma baru, sampai salah satu keduanya tampil sebagai pemenang. Pemenang ini yang menjadi paradigma yang berlaku. Paradigma menurut Kuhn terdiri atas : generalisasi-generalisasi simbolik atau hukum-hukum alamiah dan defenisi-defenisi, unsur-unsur metafisik, nilai-nilai dan contoh-contoh penyelesaian masalah secara ilmiah.

Hermeneutik dan Pragmatisme

Semula hermeneutik itu teori yang menyibukkan diri dengan ihwal mengimplementasikan naskah. Selanjutnya dibawah pengaruh filsut Jerman (Wihelm Dilthey, 1831 - 1911) hermeneutik diperluas menjadi suatu ajaran metode untuk semua ilmu manusia. Hermeneutik mengembangkan diri menjadi suatu aliran sendiri dalam ajaran ilmu. Suatu hal yang terberi yang menjadi titik tolak (sentral) dalam hermeneutik adalah sehubungan dengan tematik dan ilmu-ilmu manusia tidaklah menempatkan diri sebagai pengamat terhadap kenyataan.

Pandangan hermeneutik mempunyai pengaruh besar terhadap teori penemuan hukum dalam tahun-tahun tujuh puluhan. Adapun hermeneutik dewasa ini menunjukkan kesejajarannya dengan ajaran-ajaran ilmu alam. Kesejajajaran tersebut dapat dilihat dari : Pertama : bahwa konsesus dari lingkungan para ilmuawannya, Kedua : wawasan yang kurang optimistik berkenaan dengan kemajuan dalam ilmu dan Ketiga : dapat dilihat dari munculnya kepermukaan kriteria kebenaran.

Persyaratan Untuk Pengembanan Ilmu Hukum

Jika orang memandang ilmu sebagai proses atau aktivitas, maka dengan segera tampak bahwa terkait padanya adanya suatu proses timbale balik antar ilmuawan hukum, subjeknya, dan materi yang dipelajari, objeknya.

Suatu tuntutan keras berkenaan dengan suatu teori ilmiah adalah bahwa ilmuawan hukum sebelum melaksanakan penelitiannya mempresentasikan permasalahan, dan selanjutnya juga dalam teorinya membahas (memasuki) permasalahan tersebut dan memberikan jawaban tehadapnya. tuntutan penting lainnya sehubungan dengan aktivitas bidang ilmu hukum, hasilnya harus diperoleh dengan cara metode, tuntutan dalam hal ini memuat tiga hal :

1. ilmuawan hukum harus mengemukakan dengan bantuan cara kerja ajeg mana yang hendak ia pergunakan untuk membentuk teorinya ;

2. ia harus mempresentasikan cara kerja itu sedemikian rupa sehingga orang lain dapat mengkaji hasil-hasil dari teori dengan bantuan cara kerja itu ;

3. ilmuawan hukum harus mempertanggungjawabkan (memberi penjelasan rasional) mengapa ia justru memilih cara kerja itu.

Tuntutan ilmuawan hukum yang berikutnya adalah bahwa ia membangun dan mempresentasikan teorinya sejelas mungkin. Dengan itu maka ilmu hukum dapat dilihat sebagai suatu produk.


BAB X

HUKUM DAN MORAL

Penghantar Etika dan Moral

Dalam hukum, keseluruhan kaidah dan nilai itu adalah suatu sistem konseptual yang mewujudkan bagian dari kehidupan rohani manusia. Kaidah-kaidah dan nilai-nilai moral adalah produk kesadaran modal manusia. Moral yang dimaksud disini adalah etika yaitu teori tentang moral dalam arti yang pertama yaitu keseluruhan kaidah dan nilai. Secara global dan menurut W.K Frankena (1973) etika dibagi menjadi tiga, yaitu : etika deskriktif (etika paparan), etika kaidah, dan etika nilai.

Etika Paparan

Etika dalam bentuk ini orang memaparkan moral yang berpengaruh atau yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu. Etika dalam bentuk ini menurut aliran positivistik harus dalam bentuk pendekatan empirik murni tentang moral. Pemaparannya hanya berkenaan dengan studi pemaparan. Sebaliknya menurut sudut pandang aliran normatif, dikemukakan bahwa untuk dapat berhasil dalam mempelajari suatu sistem konseptual, maka peneliti sedikit banyaknya harus mengenal dengan sistem konseptual tersebut.

Perbedaan Antara Etika Kesopanan dan Moral

Secara formal terdapat perbedaan antara kaidah moral dan kaidah kesopanan. Per defenisi, kaidah moral harus dipandang sebagai kaidah terpenting yang dikenal manusia. Kaidah-kaidah dasar berkenaan dengan baik dan buruk adalah kaidah-kaidah yang bersifat moral. Sedangkan kaidah-kaidah lainnya yang juga dipatuhi orang, tetapi yang tidak demikian essensial bagi kehidupan manusia, dinamakan kaidah kesopanan.

Perbedaan Antara Hukum dan Moral

Dalam kehidupan sehari-hari, kaidah hukum dan kaidah moral sangat sulit untuk dipisahkan. Dari tumpang tindihnya kedua sistem kaidah tersebut, dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga jenis kelompok kaidah sebagai berikut :

1. Ada kaidah hukum yang tidak dapat dimasukkan ke dalam kaidah terpenting yang dikenal manusia, dan karena itu tidak bersifat moral.

2. Banyak kaidah hukum yang dipandang sebagai kaidah yang penting bagi manusia, dan kaidah itu adalah kaidah hukum moral.

3. Kelompok terakhir berkenaan dengan kaidah moral yang mengatasi hukum.

Etika-Kaidah

Etika kaidah mencakup teori-teori yang menyatakan bahwa orang melakukan perbuatan yang secara moral baik jika ia mematuhi perintah (aturan), yang dengan bantuan rasionya ia jabarkan dari kaidah moral yang berlaku umum. Istilah lain dari etika kaidah adalah etika asas atau etika aturan. Aliran-aliran dalam etika kaidah ada dua, yaitu :

1. Teori-teori Denotik, menyatakan bahwa teori ini meletakkan kewajiban kepada manusia yang harus dipenuhinya semata-amata karena perbuatan itu secara moral baik.

2. Teori-teori Teleologik, menyatakan bahwa meletakkan kewajiban pada manusia, bahwa manusia tidak harus memenuhi suatu perbuatan walau secara moral suatu perbuatan itu sendiri. Jadi teori ini merupakan lawan dari teori-teori teleologik.

Salah satu aliran yang terkenal lain yakni utilitarianisme menyatakan bahwa orang harus mencapai kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi jumlah terbanyak orang. Utilitarianisme memandang bahwa yang dapat dimilik kaidah-kaidah tertentu bagi kesejahteraan umum sebagai tujuan perbuatan.


Etika Nilai

Etika nilai (waarde ethiek) meliputi teori-teori yang didalamnya diuraikan bahwa manusia melakukan perbuatan baik secara moral jika ia mengacu pada nilai-nilai, yang ia harus berikan bentuk sebanyak mungkin dalam kehidupannya. Dalam filsafat modern seringkali dibedakan lebih banyak nilai-nilai ketimbang nilai-nilai moral, penggolongan yang seringkali ditemui seperti : nilai moral, nilai estetika, nilai reiligus, dan nilai tehnikal atau isntrumen.

Satu nama lain dari etika nilai adalah eitka kebajikan (deugd ethiek). Kebajikan adalah suatu kemampuan khusus untuk memberikan bentuk pada nilai tertentu dalam kehidupan. Jadi kebajikan adalah suatu disposisi atau kesesuaian untuk baik secara moral dalam segi tertentu. Kebajikan yang paling menarik bagi para yuris adalah kebajikan keadilan. Dari situ muncul dua hal berkenaan dengan kebajikan dari keadilan. Pertama-tama, keadilan itu selalu menjangkau hubungan-hubungan sosial, sebab pada pelaksanaan kebajikan ini harus selalu melibatkan lebih dari dua orang. Tambahan pula, relasi dari orang-orang tersebut harus memisah (afstandellijk). Selanjutnya, kedua sebelum menjalankan perwujudan keadilan terlebih dahulu harus ditetapkan “apa yagn menjadi jatahnya” bagi tiap orang itu.

Meta-Etika

Meta etika adalah suatu teori tentang teori (etika) yang mempelajari moral sebagai suatu sistem konseptual. Meta etika juga mengarahkan diri pada satuan bahasa terluas. Dalam hal ini orang sering menggunakan logika, teori argumentasi atau juga mungkin epistemology. Frankena memaparkan berbagai teori pembenaran, berturut-turut ia menyebutkan : defisionisme, intuisionisme, non-kognivitisme, dan relativisme.

Etika Fuller

Bentuk terpenting dari etika adalah etika kewajiban dan etika nilai-nilai. Asas-asas hukum itu memuat ukuran-ukuran nilai (waarde maatstaven) yang berakar pada nilai-nilai tertentu. ukuran-ukuran nilai itu menjalankan pengaruh pada kaidah-kaidah perilaku, yang merupakan kaidah -kaidah hukum terpenting dalam masyarakat. Moral kewajiban menurut Fuller adalah suatu moral yuridis sesungguhnya. moral disini berkenaan dengan syarat-syarat (tuntutan-tuntuan) minimal yagn harus dipenuhi suatu tantan kemasyarakatan. Dalam etika Lon Fuller membedakan antara dua jenis moral, yaitu : moral kewajiban (the morality of duty) dan moral nilai atau moral ikhtiar atau moral aspirasi.

♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣