KLAUSUL-KLAUSUL Kontrak Standar DALAM HUBUNGANNYA
TERHADAP perlindungan konsumen
(Suatu Kajian dari Aspek Yuridis-Praktis)
A. Pendahuluan
Dengan berkembangnya kehidupan perekonomian dan industri di Indonesia dewasa ini, maka semakin dirasakan pula pesatnya permintaan dan penawaran barang-barang untuk keperluan rumah tangga, niaga bahkan keperluan industri. Akibat dari perkembangan tersebut, para produsen yang nota bene ingin mendapatkan keuntungan (profit/in come) sejumlah uang melalui transaksi penawaran barang dan harga berlomba-lomba memberikan mendapatkan pelangan (konsumen). Salah satu kebutuhan rumah tangga yang sering dijadikan objek perjanjian dalam perjanjian sewa beli misalnya : mobil, sepeda motor, rumah KPR dan perabotan-perabotan rumah tangga lainnya. Dari permintaan dan penawaran barang-barang tersebut biasanya dibarengi dengan berbagai kemudahan yang semuanya bertujuan pada maksud untuk memperoleh hak milik atas suatu barang disatu pihak dan memperoleh imbalan sejumlah uang sebagai imbalan harga di pihak lain, karena itu berakibat pada timbulnya banyak macam variasi sistem pemasaran barang dan variasi sistem pembayarannya. Salah satu dari macam variasi sistem pembayaran yang sering dipergunakan adalah dengan cara perjanjian sewa beli yang tertuang dalam klausul-klausul dalam kontrak standar.
Perjanjian sewa beli adalah salah satu bentuk perjanjian dalam hukum kontrak yang memiliki kekhasan secara perdata. Hukum kontrak yang merupakan bagian dari hukum privat, karena pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam kontrak, murni menjadi urusan dari pihak-pihak yang menyelenggarakan kontrak. Kontrak dalam bentuk yang paling klasik, dipandang sebagai ekspresi kebebasan manusia untuk memilih dan mengadakan perjanjian. Hal mana diatur pada pasal 1338 KUHPerdata.
Perkembangan hukum kontrak dewasa ini telah sampai pada paradigma baru yang timbul dari dua dalil antara lain : pertama, setiap perjanjian kontraktual yang diadakan adalah sah (geoorloofd) dan kedua, sertiap perjanjian kontraktual yang diadakan secara bebas adalah adil dan memerlukan sanksi undang-undang.
Dengan adanya dimensi baru dalam hukum kontrak ini tentu memiliki dampak positif dan negatif yang patut diperhitungkan. Dampak positifnya adalah sebagai salah satu bentuk pembangunan ekonomi melalui dunia usaha. Sedangkan dampak negatif dari adanya variasi dalam melaksanakan/membuat kontrak (perjanjian) adalah berkaitan dengan klausula-klausula yang mengatur perjanjian. Klausula perjanjian biasanya dibuat secara sepihak oleh pihak penjual sehingga kecenderugan isi dari klausula hanya mengatur hak-hak dari penjual, sedangkan pihak pembeli harus tunduk kepada ketentuan/klausula perjanjian yang dibuat secara sepihak tersebut. Hal ini menimbulkan dilema tersendiri bagi pembeli karena disatu sisi si pembeli membutuhkan barang yang menjadi objek perjanjian, sedangkan disisi lain pihak pembeli selalu dibebankan dengan syarat-syarat yang merugikannya.
Dengan bercermin pada ketentuan pasal 1320 KUHPerdata yang memuat tentang syarat-syarat sahnya perjanjian dan relevansinya terhadap Undang Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, tulisan ini akan menguraikan kajian kritis beberapa contoh mengenai permasalahan penerapan kontrak standar dalam praktek dan relevansinya terhadap perlindungan konsumen.
B. Sewa Beli
Pengertian sewa beli sebenarnya merupakan perjanjian campuran antara jual beli dan sewa menyewa. Menurut hukum kebiasaan perjanjian sewa beli (huurkoop) adalah suatu ciptaan praktek yang sudah diakui dalam Yurisprudensi Indonesia, malahan di Nederland sudah pula dimasukkan dalam BW. Berdasarkan pasal 1.a Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 34/KP/II/80 tentang perijinan kegiatan usaha sewa beli (hire purchase), jual beli dengan angsuran sewa (renting) perjanjian sewa beli dikonstruksikan sebagai perjanjian jual beli yaitu jual beli barang dengan memperhitungkan setiap pembayaran yang telah dilakukan oleh pembeli dengan pelunasan atas harga barang yang telah disepakati bersama dan diikat dalam suatu perjanjian, serta hak milik atas barang tersebut baru beralih dari penjual kepada pembeli setelah jumlah harganya dibayar lunas oleh pembeli kepada penjual.
Memperhatikan ketentuan pasal 1.a Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 34/KP/II/80 tersebut, menurut hemat penulis, meskipun sewa beli dikonstruksikan sebagai perjanjian jual beli, tetapi prosedur yang digunakan adalah prosedur kontrak dalam bentuk sewa, yaitu terlihat adanya unsur mengangsur pembayarannya dalam jangka waktu tertentu untuk penggunaan barang-barang yang disewa beli. Dan pada akhirnya sewa beli ini merupakan perjanjian pembelian barang, oleh karena pada perjanjian sewa beli si pemilik barang tidak memperhitungan mengenai keadaan barang yang disewakan pada akhir masa sewa beli, dan barang langsung akan menjadi milik si pembeli sewa. Adapun cara memperhitungkan harga angsuran pada sewa beli, diluar ongkos administrasi adalah harga barang ditambah bunga keseluruhan dibagi dengan jumlah berapa kali angsuran.
1. Sebagai Contoh Pertama
Dalam praktek yang terjadi di Ujung Pandang, perjanjian sewa beli antara PT. M.R.M dengan saudara S.M (di Majene) dilakukan secara tertulis dengan akte dibawah tangan. Dalam perjanjian dinyatakan bahwa untuk 1 (satu) unit mini bus merek Daihatsu merek Zebra tahun 1988 seharga Rp. 12. 160.000,- (harga per satu januari 1989).
Pelaksanaan harga sewa beli tersebut diperjanjian sebagai berikut :
1. Pembayaran pertama sebanyak ................................. Rp. 4.160.000,-
2. Sisa harga sewa beli seharga .................................... Rp. 8.000.000,-
Dan akan dibayar lunas dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) bulan
Dengan bunga 2 % (dua porsen) perbulan dan jumlah sisa angsuran harga sewa beli terhitung dari tanggal penandatanganan perjanjian tersebut.
3. Perincian waktu dan jumlah pembayaran ditambah bunga sebagai berikut :
- Sisa harga sewa beli ............................................ Rp. 8.000.000,-
Bunga 2 % X 30 bulan X Rp. 8.000.000,- ..................... Rp. 4.000.000,-
- Cicilan angsuran :
29 bulan X Rp. 426. 500 ....................................... Rp. 12.368.500,-
1 bulan X Rp. 431. 500 .............................................. Rp. 431. 500,-
Jumlah.............................................................. Rp. 12.800.000,-
(terbilang dua belas juta delapan ratus ribu rupiah).
Kemudian dalam pelaksanaan pembayaran angsuran, biasanya terdapat perjanjian (kontrak standar) yang memuat klausula-klausula khusus yang lajim disebut sebagai klausula baku yang ditandatangani oleh kedua belah pihak, si pembeli sewa maupun si penjual sewa. Klausula tersebut dinyatakan antara lain sebagai berikut :
Pasal VI
1. Bilamana suatu pembayaran sisa harga sewa beli menurut ketentuan dalam pasal I tersebut diatas, tidak dilakukan selama dua bulan berturut-turut menurut tanggal dan bulannya pihak kedua (si pembeli sewa) telah berada dalam keadaan lalai (wanprestasi), sehingga tidak lagi diperlukan pemberitahuan lewat jurusita dalam hal demikian itu, maka pihak pertama (si penjual sewa) ataupun orang yang diperintahkan/kuasanya berhak menarik kembali mobil tersebut ke dalam kekuasaannya dan ataupun mengalihkan kepada pihak ketiga dimanapun dan saat kapanpun tanpa melalui Pengadilan Negeri (parate eksekusi) dan untuk itu pihak kedua tidak berhak/tidak akan keberatan dan/atau menurut apapun juga dari pihak pertama.
2. Bahwa apabila terjadi sebagaimana yang disebutkan dalam butir (1) pasal ini, maka apa yang diserahkan dan atau dibayar pihak kedua kepada pihak pertama adalah menjadi sewa yang tidak bisa ditarik kembali oleh pihak kedua dan menjadi milik pihak pertama.
3. Bahwa apabila terjadi sebagaimana yang disebutkan dalam butir 1 (satu) dan butir 2 (dua) pasal ini, maka bersama dengan surat perjanjian sewa beli ini pihak kedua membuat suatu surat pernyataan penyerahan mobil tersebut dan menjadi lampiran yang tidak terpisahkan dengan perjanjian sewa beli ini.
Sebagaimana telah dimaklumi dalam perjanjian yang didalamnya terdapat klausula khusus yang disepakati para pihak itu, memang diperbolehkan menurut hukum perjanjian yang menganut azas kebebasan berkontrak sebagaimana dikenal dalam kUHPerdata. Dan disisi lain, dalam praktek membuat suatu perjanjian di Indonesia KUHPerdata sendiri mengenal dan menganut azas sistem terbuka dalam hal kontrak. Yang dimaksud dengan sistem terbuka adalah suatu perjanjian/kontrak yang dibuat para pihak bebas menentukan dan membuat jenis kontrak yang disepakati/diinginkan sepanjang isi kontrak tersebut tidak bertentangan dengan KUHPerdata, UU, ketertiban umum, kesusilaan dan kepatutan.
Dalam pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata menentukan bahwa :
”Setiap perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Makna fislosofis dari ketentuan tersebut tak lain tak bukan sebagai aturan yang harus dipatuhi oleh para pihak manakala telah menyepakati suatu perjanjian atau pun kontrak. Dengan ketentuan tersebut dimungkinkan para pihak dapat menuntut pihak lainnya dalam perjanjian untuk memenuhi prestasinya manakala salah satu pihak ingkar janji atau membatalkan perjanjian secara sepihak. Sehingga dengan adanya ketentuan tersebut, maka setiap orang dituntut untuk tidak sewenang-wenang dan membatalkan begitu saja suatu perjanjian yang telah dibuat dan disepakati menurut hukum, tanpa memperhitungkan pihak lain yang telah dirugikan.
a. Permasalahan Kontrak Standart
Dengan adanya klausula kontrak standar seperti yang dicontohkan pada contoh diatas, dimana klausula itu berlaku dan mengkikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, lalu apabila terjadi dalam perjanjian sewa beli a-quo, yaitu seandainya angsuran telah berjalan pada pertengahan masa sewa beli, selanjutnya si pembeli sewa dua bulan berturut-turut tidak mengangsur sehingga dinyatakan wanprestasi dan konsekwensinya harus diterapkan klausula bahwa apa yang telah diserahkan dan atau yang dibayar oleh si pembeli sewa kepada si penjual sewa adalah menjadi sewa yang tidak dapat ditarik kembali dan harus diserahkan kembali kepada si penjual sewa tanpa perhitungan sedikitpun terhadap uang muka dan angsuran yang telah dibayarkan. Apakah hal demikian tidak dibayarkan terdapat perlindungan yang sewajarnya bagi pembeli sewa ?.
b. Kajian Yuridis
Dari permasalahan yang dikemukakan diatas, penulis akan menguraikan aspek yuridis tentang perlunya keseimbangan dalam perjanjian/berkontrak terhadap para pihak sehingga dapat memenuhi sisi keadilan dalam masyarakat.
Dengan berpretensi bahwa perjanjian a-quo telah dibuat sesuai dengan ketentuan syarat sahnya perjanjian menurut pasal 1320 KUHPerdata, maka kalau memperhatikan isi dan bentuk perjanjian, dimana didalamnya terdapat klausula khusus yang tegas-tegas dinyatakan oleh kedua belah pihak yang mengikatkan diri, menurut hemat penulis bentuk perjanjian demikian adalah perjanjian/kontrak standar (standart contract).
Oleh karena merupakan perjanjian standar, dimana hak dan kewajiban serta kalusula yang diadakan antara para pihak telah tegas-tegas dirumuskan dalam perjanjian yang dibuat oleh si penjual, maka mau tidak mau si pembeli sewa in casu harus mematuhinya, dalam arti bilamana si pembeli sewa selama dua bulan berturut-turut tidak/lalai membayar angsuran, meskipun telah mengangsur separuh harga selama separuh perjalanan masa sewa beli, maka apa yang ia bayar kepada si penjual sewa menjadi hak milik si penjual sewa, demikian pula dengan barangnya harus diserahkan oileh si pembeli sewa kepada si penjual sewa.
Namun demikian menurut hemat penulis, hal pertimbangan diatas kurang memenuhi rasa keadilan, mengingat sebenarnya bahwa pihak si pembeli sewa ini diperoleh dan cara pembayaran yaitu si pembeli sewa mengharapkan kemudahan dengan cara pembayaran angsuran, dan setelah semua angsuran dibayar lunas, hak milik barang tersebut harus diserahkan. Oleh karena itu di dalam setiap perjanjian yang berbentuk kontrak standar (standart contract) ini, hendaknya didukung oleh suatu peraturan standar (general condition) yaitu dengan mencantumkan klausula yang mengandung perlindungan bagi pihak yang lemah dan perlindungan pihak yang lemah ini hendaknya tertera didalam rumusan perjanjian yang mengingat kedua belah pihak, karena hakekatnya adanya perjanjian standar tersebut adalah untuk memperoleh hak milik atas objek perjanjian atau barang disatu pihak dan memperoleh sejumlah uang sebagai imbalan harga dilain pihak. Sehingga dengan demikian akan terdapat perlindungan yang seimbang antara kepentingan si pembeli sewa dan kepentingan si penjual sewa.
2. Contoh Lain
Muhammad Iqbal, putra seorang lawyer populer di Indonesia, beberapa bulan silam membeli sebuah sedan kelas satu dengan nilai pembelian lebih satu milyar rupiah. Prosedur pembelian dilakukan dengan sistem baku. Iqbal membayar dengan cara transfer ke rekening dealer mobil. Uang masuk, dan mobil luks itu dibawa pulang Iqbal tanpa prosedur bertele-tele. Dari dealer mobil itu, Iqbal memperoleh diskon, dan sejumlah fasilitas lainnya seperti servis gratis setahun sampai pada kilometer kesekian, beberapa hadiah hiburan.
Seperti biasa untuk meraih keamanan mobil, Iqbal mengurus asuransi di sebuah perusahaan asuransi swasta nasional. Pria muda yang mempunyai jaringan bisnis jasa perjalanan cukup besar, menyetor dana lumayan, sebab ia mengambil asuransi "semua risiko". Prosedur yang ia jalani, berjalan seperti biasa. Ada petugas asuransi datang ke kantornya di Jalan Jenderal Sudirman, menjelaskan semua hal tentang perasuransian. Kedua belah pihak setuju, dan kontrak ditandatangani. Pembayaran asuransi dilakukan dengan tunai.
Iqbal tidak meneliti jauh dan sama sekali tidak terlalu memusingkan klausul dan kriteria asuransi yang tertera dalam butir-butir perjanjian. Ia sudah kerap meneken kontrak asuransi dan selama ini sama sekali tidak ada masalah mengganjal. Tidak pernah terjadi konflik, semua berjalan lancar-lancar saja.
Tahu-tahu dua bulan lalu, mobil mewah itu hilang dicuri. Bersama dengan hilangnya mobil, raib pula sopir Iqbal, Poniman (34). Setelah dilakukan upaya pencarian, termasuk meminta jasa polisi, akhirnya diketahui bahwa tersangka pencuri mobil itu adalah sopir Iqbal sendiri. Si Poniman berhasil dibekuk di pinggiran Kota Brebes, dua pekan setelah peristiwa pencurian itu. Sial bagi Iqbal, mobil sudah dijual ke pihak ketiga oleh kepala komplotan perampok (Poniman salah seorang anggota geng perampok yang berbasis di Jakarta). Poniman sendiri, baru mendapat "uang muka" atas jasanya itu sebesar Rp 50 juta.
Sementara itu, Iqbal melakukan upaya yakni mengajukan klaim ke asuransi. Namun, ternyata Iqbal tidak dapat memenuhi harapannya sebab pihak asuransi menyatakan, klaim itu tidak legal diajukan. Apa pasal ? Perampok atau pencuri mobil itu, adalah sopir dan atau pegawai Iqbal sendiri. Sementara dalam klausul perjanjian asuransi yang disepakati dan ditandatangani oleh Iqbal, disebutkan, klaim asuransi itu tidak bisa diajukan kalau kehilangan tersebut diakibatkan, antara lain oleh orang dalam, keluarga atau pegawai tertanggung.
Iqbal merasa sangat geram. Bayangkanlah, uang satu milyar rupiah sekian lenyap begitu saja. Ia hendak melakukan upaya hukum, tetapi terbentur pada kesepakatan yang sudah ia teken. Akhirnya ia menyerah dan tidak melanjutkan klaim itu, kendati ayah kandungnya, seorang advokat papan atas di Jakarta.
Advokat senior di Jakarta, Amir Syamsuddin menyatakan, dengan merujuk ke masalah Iqbal, ia mengimbau semua kalangan yang hendak mengajukan klaim asuransi, agar ekstra berhati-hati atau sangat saksama memperhatikan semua kriteria. "Kadangkala, kita suka terkecoh oleh gaya perusahaan asuransi yang membuat aturan asuransi yang standar atau baku. Kriteria itu, diketik dengan huruf-huruf kecil, yang tidak menarik minat banyak orang untuk dibaca. Isi perjanjian, mengandung hal pokok-pokok, kadangkala tidak dirinci sebagaimana layaknya," tutur Amir Syamsuddin. "Repotnya banyak kalangan terlampau percaya kepada beberapa perusahaan asuransi sehingga enggan memeriksa saksama pelbagai kriteria yang tercantum dalam standar kontrak itu."
Soal lain yang biasa mengemuka dalam hubungan penanggung dan tertanggung, atau pihak asuransi dan pembeli jasa asuransi, ialah servis kendaraan. Para petugas asuransi biasanya dengan sangat ramah, dan penuh percaya diri menyebutkan, bahwa kendaraan tertanggung dijamin asuransi. Jika terjadi masalah dengan kendaraan tertanggung, asuransi akan menanggungnya dengan beberapa kriteria atau klausul yang sudah diatur.
Akan tetapi, terlepas dari persoalan itu, masalah substansi standar kontrak yang diulas di sepanjang tulisan ini, memang perlu diberi perhatian penuh. Sepintas kelihatannya sepele, akan tetapi, di antaranya dengan munculnya beberapa kasus yang tidak mengenakkan, masalah kontrak sama sekali tidak bisa dibuat main-main. Para pihak, terutama konsumen, tak ada jalan lain, harus ekstra teliti, kritis terhadap pedagang mobil/sepeda motor dan pihak asuransi.
C. Putusan Mahkamah Agung R.I Sebagai Tolok Ukur
Sebagai barometer akan penulis kemukakan suatu putusan Mahkamah Agung R.I No. 935 K/Pdt/1985 tertanggal 30 September 1986 dalam kasus perjanjian sewa beli mobil antara Ny. Lie Tjiu Hoa dan Achmad Kartawijaya (A. Liong) Lawan (Vs) Unda bin H. Marsan.
Di dalam pertimbangan putusan Mahkamah Agung R. I tersebut menyatakan pada pokoknya sebagai berikut :
”....... Dipandang dari sudut keadilan dan moral adalah tidak patut bentuk dan sis perjanjian yang melenyapkan hak pembeli sewa atau barang yang dibeli, hanya disebabkan keterlambatan atau kesulitan pembayaran angsuran terakhir, tanpa mempertimbangkan jumlah angsuran yang telah dibayar oleh si pembeli sewa”.
Pertimbangan putusan Mahkamah Agung R.I tersebut menurut hemat penulis telah ternyata telah memperhatikan perlindungan terhadap pihak yang lemah atas atas dasar rasa keadilan dan eksadaran moral dan kepatutan. Karena itu sesuai dengan ketentuan dalam pasal 9 Putusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 34/KP/II/1980 diatas, hendaknya dapat dijatuhkan sanksi terhadap perusahaan yang bergerak dibidang sewa beli barang yang mengabaikan perlindungan pihak yang lemah ini.
Sebenarnya, dari segi yuridis, pencantuman klausul baku sah-sah saja dibuat. Tetapi substansinya tidak boleh mengalihkan tanggung jawab dari pihak pelaku usaha, dari produsen ke konsumen. Dan bahkan seperti contoh perjanjian sewa beli diatas dengan asdanya klausula yang dikutib diatas menunjukkan bahwa pihak pembeli tidak berhak apapun terahdap objek perjanjian manakala si pembeli wanprestasi. Sehingga kebanyakan yang terjadi bahwa pihak penjual dalam membuat klausula baku dalam suatu perjanjian tidak secara objektif. Hal ini yang tidak diperbolehkan atau dinaytakan secara tegas dalam UUK (undang undang konsumen). Dengan kalimat lain, klausul baku tidak boleh membatasi atau menghindari tanggung jawab. Tidak boleh memberikan beban kepada konsumen. Peraturan Daerah DKI Jakarta tentang Perparkiran boleh-boleh saja membenarkan klausul baku, tetapi pengelola parkir harus mengerti betul ada pembatasan-pembatasan klausul yang dimuat dalam perjanjian.
Kasus perparkiran semacam ini memang lazim terjadi. Pemilik kendaraan hanya bisa gigit jari bila kehilangan kendaraannya. Ada argumen yang dibangun seolah-olah tidak mungkin jasa parkir seharga Rp2000, misalnya, harus diganti dengan Rp60 juta jika terjadi kehilangan.
Menurut hemat penulis, argumen semacam itu bukanlah substansi masalah. Dalam kasus kehilangan, persoalannya adalah tanggung jawab atau liability. Kalaupun perparkiran dianggap sebagai jasa, maka harus ada rasa tanggung jawab terhadap konsumen yang telah menggunakan jasa itu.
Dalam kasus lain, Putusan Mahkamah Agung yang 'menolak' kasasi Secure Parking dalam perkara nomor 1264K/Pdt/2005. Dengan tidak menerima permohonan kasasi, maka yang berlaku adalah putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang menghukum Secure Parking membayar Rp 60 juta kepada Anny dan Hontas Tambunan, pemilik yang kehilangan kendaraan. Pengadilan dalam kasus ini, telah mengakomodir filosofi UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Putusan hakim sangat progresif sehingga merupakan kemajuan besar, dimana hukum positif diikuti implementasi dan kemampuan hakim memahami filosofis Undang Undang Perlindungan Konsumen”. Dalam kasus tersebut, pemahaman terhadap klausul baku yang selama ini tercantum pada lokasi atau karcis parkir. Ketentuan semacam itu dianggap masih menggunakan paradigma hukum lama dalam kebebasan berkontrak. Berdasarkan paradigma lama asas kebebasan berkontrak bisa berlaku untuk siapa saja dan dalam posisi apa saja kedua belah pihak. Salah satu wujudnya, ya itu tadi, klausul baku.
Berdasarkan contoh-contoh penerapan kontrak standar tersebut diatas, jelas bahwa Undang Undang Perlindungan Konsumen mempunyai andil yang sangat besar untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen yang selama ini selalu dipihak yang lemah. Hakim dituntut dalam praktek untuk memahami makna filosofis dari pentingnya perlindungan hukum terhadap para konsumen, karena pada kenyataannya klausula-klausula baku yang dibuat pihak penjual selalu cenderung lebih mengutamakan segi bisnis, tanpa menghiraukan hak-hak konsumen.
Hire Purchase Act Sebagai Perbandingan
Kiranya dapat dipakai sebagai perbandingan adalah ketentuan dalam Hire Purchase Act 1965 yang memberikan ketentuan-ketentuan melindungi pihak yang lemah ini dengan mencantumkan larangan bagi si pemilik barang mengambil kembali barangnya begitu saja kalau si pembeli sewa menunggak pembayarannya, apabila sudah dari sepertiga harga telah diangsur sedang penuntutan kembali ini harus melalui pengadilan dengan mengajukan gugatan.
D. Penutup
Berdasarkan uraian diatas, maka perlu digarisbawahi beberapa hal berikut, antara lain :
a. Pencantuman klausul baku tidak bertentangan dengan Undang Undang. Khususnya Undang Undangg Perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999 sepanjang klausul tersebut : dibuat jelas, tidak bertentangan dengan hukum, kesusilaan, dan kepatutan ;
b. Kontrak Standar dalam bentuk klausul baku pada prinsipnya dibuat/sengaja diciptakan untuk meningkatkan efisiensi bisnis terhadap pelaku usaha, sehingga kecenderungannya melindungi kepentingan penjual. Sehingga konsumen harus lebih teliti dan berhati-hati terhadap klausul standar yang diajukan pihak penjual, sebelum menyetujui dan menandatangani perjanjian.
D A F T A R P U S T A K A
Handrias Haryotomo, ”Pungutan di Sekolah dan Perlingungan Konsumen”, Sabtu 27 Agustus 2005
http://hukumonline.com, ”Akademisi : Putusan Tentang Parkir Perkuat Ajaran Baru Kebebasan Berkontrak”, 16 Maret 2006
Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 34/KP/II/80
Makalah : ”Pemahaman Tentang Kontrak (Dimensi Nasional dan Internasional)”
Riduan, S.H., ”Seluk Beluk dan asas-asas Hukum Perdata”, Alumni Bandung 2004
Subekti, Prof., S.H., “Aneka Perjanjian”, Alumni Bandung, 1977
Undang Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Varia Peradilan, ”Majalah Hukum”, Tahun II No. 17 Pebruari 1987
www.kompas.com., “Soal Mobil Di Indonesia, Dari Asuransi Sampai Mobil
Bermasalah”, Selasa 23 Oktober 2001