Kamis, 18 Juni 2009

LUMPUHNYA DEMOKRASI KITA
Oleh : Agus P. Pasaribu, S.H.



Pesta demokrasi dalam sebuah negara secara eksplisit dapat dilihat ketika tiba peralihan kekuasaan dalam manifestasi keterwakilan rakyat di pemerintahan, apakah itu melalui pemilu legislatif (pileg) maupun pemilihan presiden (pilpres), meskipun yang demikian itu merupakan penilaian demokrasi yang bersifat parsial. Sederhananya perwujudan demokrasi merupakan bagian yang integral dengan pesta demokrasi itu sendiri dalam bentuk pemilihan. Rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi berkesempatan untuk menggunakan hak politiknya melalui pemberian suara.
Berkaitan dengan persoalan demokrasi yang dimaksudkan diatas, dalam konteks ranah perpolitikan di negeri ini sebagaimana sedang berlangsung persiapan masing-masing kandidat presiden (capres) dan wapres untuk masa jabatan 2009 s/d 2014. Berbagai kampanye terselubung telah dimulai, dikatakan terselubung karena kampanye melalui media cetak, elektronik maupun kampanye terbuka telah dilakukan, padahal secara yuridis normatif kampanye sedianya baru akan dilaksanakan beberapa minggu kedepan.
Keterselubungan kampanye pilpres kali ini ditandai proses pencitraan diri dari masing-masing kandidat, dan bahkan terkesan memuji disendiri sendiri (baca : narsisme), sepertinya masing-masing tim kampanye mencoba menerapkan sugesti kepada rakyat dengan segala isu keberhasilan yang diklaim masing-masing kandidat. Kampanye kali ini lebih cenderung sebagai upaya masing-masing kandidat untuk membentuk interpolasi dalam kerangka menciptakan opini terkesan baik kandidat-kandidat tertentu dimata masyarakat. Jadi, jangan heran apabila kemudian ada kandidat presiden tertentu (SBY) yang menyerang kandidat lain dengan melemparkan isu bahwa “tidak pantas seorang penguasaha menjadi presiden”.
Meskipun isu yang dilemparkan itu terkesan biasa-biasa dilihat dari kacamata awam, namun sebenarnya jika jujur melihat persoalan maka yang terjadi itu adalah adanya upaya mengeliminir kandidat lain. Dalam hal ini capres SBY mengumbar isu “pengusaha tidak bisa menjadi presiden”, cenderung merupakan pernyataan yang bersifat emosional, sentiment, negative thinking, dan tak dewasa. Padahal, konstitusi saja menjamin hak setiap warga negara untuk mencalonkan diri, berserikat dan berkumpul. Nuansa pernyataan isu kepemimpinan SBY ini merupakan manifestasi demokrasi yang samar-samar (terselubung) dan cenderung menyerang pribadi pihak lain, sehingga jauh diluar makna demokrasi itu sendiri.
Demikian perwujudan demokrasi yang pada saat ini telah dinilai dan diaplikasikan menurut kepentingan belaka. Apakah tepat apabila demokrasi selamanya telah diartikan sebuah kebebasan yang tanpa dasar ?, berfikir negatif atau curiga terhadap orang lain dan bahkan cenderung memojokkan competitor lain yang dianggap akan menghalangi misi pemenangan pemilu?.


Kesesatan Memaknai Demokrasi
Dalam berbagai kesempatan pidato, tim sukses dan kandidat SBY sekalipun, seringkali lebih mengkampanyekan diri lewat pemujian terhadap diri sendiri dalam pola klaim keberhasilan selama lima tahun ini. Selain itu, adanya upaya menjatuhkan kredibilitas kandidiat lain secara tidak beradab. Dikatakan tidak beradab, karena capres SBY berani menuduh kandidat lain sesuatu hal yang diluar konteks pembuktian hukum, sehingga kesan yang timbul adalah SBY seolah-olah merasa diri yang paling mampu (perfeksionis) dibandingkan kandidat lain, padahal secara realitas sudah terbukti selama lima tahun bagaimana SBY menciptakan kegagalan demi kegagalan yang justru sangat merugikan hak-hak sipil masyarakat. Contoh sederhana saja, persoalan Lumpur lapindo merupakan bukti nyata bagaimana SBY selaku kepala pemerintahan gagal mencari solusi demi kepentingan rakyat. Ada lagi contoh yang sangat menarik, yaitu bahwa selama masa pemerintahan SBY mengkalim diri bebas dari utang IMF, padahal SBY tidak berani membeberkan fakta dan bukti hukum yang sebenaranya dimana justru dimasa pemerintahan SBY utang Indonesia terhadap negara-negara maju, khususnya eropa semakin meningkat tajam. Demokrasi telah diartikan secara sesat, yakni model pengkampanyeean diri sebagai kandidat didasarkan pada orientasi kebebasan memberikan infomasi, tanpa persoalan apakah informasi yang diisukan ke khalayak ramai bersifat menyesatkan atau tidak, mengandung kebenaran fakta mutlak atau tidak. Jadi informasi yang disebarkan semata-mata kebaikan yang dianggap dimiliki, terlepas dengan segala kebobrokan dan kegagalan pemerintahan yang ada selama ini. Padahal menurut hitung-hitungan logika sederhana saja, masyarakat tentu tau dan paham bahwa bahwa jika memang SBY berhasil menjalankan visi dan misinya selama lima tahun memimpin negeri ini, namun bagaimana mungkin SBY pada pilpres kali ini bersaing dengan wakilnya sendiri?, terlebih lagi mungkinkah SBY berhasil sendiri tanpa melihat peranan wakilnya?. Dalam dimensi lainnya, masyarakat tentu sangat mudah melihat dan menilai bagaimana perseteruan antara SBY dengan wakilnya selama lima tahun ini. Lantas, dimana wujud demokrasi itu, apakah demokrasi hanya mencerminkan kekebasan yang teramat kebabalasan ?. Pantaslah, apabila demokrasi pada ruang lingkup terkecil (baca : akar rumput) di negeri ini semakin parah, karena pemerintah (elite politk) saja yang konon dianggap terdidik dan paham essensi demokrasi, malah menerapkan demokrasi secara salah. .


Ketidakdewasaan Politik
Upaya kandidat SBY bersama tim suksesnya yang menyebarkan isu-isu keberhasilan sebagaimana yang diklaim lewat media, tentu saja secara sederhana dapat dinilai sebagai usaha sekedar ingin memenangkan pemilu belaka, tanpa berfikir sudah berapa banyak kepentingan masyarakat yang sangat dirugikan dengan cara-cara seperti itu. Bahkan, lebih jauh lagi, ada kesan bahwa SBY tidak mempunyai rasa malu dengan mengklaim sejumlah keberhasilan ditengah-tengah realitas persoalan yang semakin melilit rakyat, sehingga bertolak belakang dengan apa yang diklaim olehnya.
Faktanya selama ini, jumlah penganggur meningkat tajam, sistem pendidikan tidak terencana dengan baik karena sistem pendidikan yang ada sekarang hanya sekedar bagian dari warisan pemerintah sebelumnya, penegakan hukum yang belum optimal, kondisi ekonomi yang tidak stabil, harga kebutuhan pokok (termasuk BBM) yang turun-naik tak menentu, munculnya berbagai permasalahan sosial sepert kekerasan dalam bentuk tekanan kelompok tertentu terhadap kelompok lain, nasionalisme yang semakin pudar, lingkungan hidup yang semakin buruk, dan masih banyak lagi persoalan lain yang secara fakta membuktikan bagaimana SBY melakukan semua kegagalan itu.
Seharusnya sebagai pemimpin yang memahami atau paling tidak tahu politik sudah sepantasnya apabila SBY bertindak bijaksana mengukur segala kegagalannya, sehingga keegoisan sebagai pemimpin tidak merugikan masyarakat. Dikatakan merugikan masyarakat karena SBY tidak pernah mengakui kegagalannya selama lima tahun ini dalam setiap kampanyenya, namun SBY tetap ingin memimpin negeri ini, jadi itu sama saja artinya bahwa SBY tidak perduli dengan kegagalannya yagn merugikan masyarakat, mengapa tidak memberikan kesempatan kepada kandidat lain untuk memimpin jika memang perduli terhadap nasib bangsa ini ???
Dari diuraikan diatas, membuktikan bahwa pola kepemimpinan di negeri ini sudah salah mendasar, keegoisan dalam bentuk kepemimpinan yagn hanya sekedar ingin memenangkan pemilu sudah ibarat mercusuar yang tak terukur tingginya, sehingga sudah tak perduli pada kepentingan rakyat yang semakin ditelantarkan dan terabaikan. Akhirnya, pertanyaannya siapkah kita kembali terlantar sebagai masyarakat dimasa mendatang? Jika itu yang terjadi, maka demokrasi kita sebenarnya sudah berada dalam keruntuhan, sehingga sia-sialah upaya perjuangan reformasi yang dicetuskan satu dekade yang lalu.


Juni 2009
Penulis