Sabtu, 25 Desember 2010

CRIMINOLOGY LAW

PENYIMPANGAN PERILAKU ORANG DEWASA DALAM BENTUK “KEKERASAN TERHADAP ANAK” DITINJAU DARI SUDUT PANDANG TEORI ASOSIASI DIFERENSIAL

(Sebuah telaahan Dari Sudut Pandang Sosiologi Hukum)

I. Pendahuluan

Fenomena kekerasan terhadap anak yang sering terjadi dewasa ini sangat mengagetkan masyarakat kita. Bagaimana tidak, selama ini kultur masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang ramah, berbudaya dan penuh rasa kekeluargaan. Ironisnya, pelaku kejahatan justru orang-orang dewasa yang mempunyai hubungan kedekatan dan atau keterikatan (relationship) dengan korbannya, contohnya : Orang tua, Paman, Kakek, Guru, dan sebagainya, sehingga nyaris pada saat ini anak-anak hampir sudah tidak mendapat tempat yang aman lagi untuk berlindung dari para pelaku kejahatan. Padahal, anak sebagaimana mestinya membutuhkan perlindungan, karena masih dianggap lemah secara fisik dan tidak mempunyai akses untuk melakukan pembelaan terhadap diri sendiri. Berdasarkan fakta empiris yang dirilis Komisi Perlindungan Anak pada tahun 2010 baru-baru ini, kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh orang dewasa lambat laun kualitas maupun kuantitiasnya meningkat secara tajam dari tahun ke tahun.

Sangat dilematis memang, mengingat peningkatan kekerasan terhadap anak justru terjadi pada saat Pemerintah sedang giat-giatnya menggalakkan program sosialasi perlindungan terhadap hak-hak perempuan dan anak, baik melalui metode penyuluhan langsung ke masyarakat dengan melibatkan instansi terkait maupun pembentukan peraturan perundang-undangan (hukum) yang mengaturnya, antara lain : UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Jo. UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo. UU No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi.

Merujuk pada berbagai kasus kekerasan terhadap anak yang marak terjadi, satu dari lain fakta yang menarik perhatian kita perlu diungkapkan, bahwa kejahatan terhadap anak secara umum dari sisi aspek psikologis dan sosiologis adalah bentuk penyimpangan perilaku. Terlepas apakah penyimpangan yang dimaksudkan bersifat bias atau terarah, namun realitanya kebanyakan penyimpangan sebagai bagian dari sistem keberlakuan perbuatan tindak pidana (kejahatan) yang bersifat melanggar hukum dan melanggar norma-norma yang diyakini oleh masyarakat secara luas.

Makalah ini akan membahas pola sebab musabab timbulnya penyimpangan perilaku yang menghasilkan kejahatan (crime) sebagai output. Analisis pokok dalam makalah ini akan membahas ruang lingkup sebab-sebab terjadinya perilaku jahat yang diciptakan pelaku (crimen) terhadap anak menurut teori asosiasi diferensial yang dicetuskan oleh Edwin H. Sutherland. Dengan kata lain, makalah ini akan menguji keterkaitan sebab-sebab timbulnya kejahatan yang diaplikasikan dalam sembilan premise (dalil) teori asosiasi diferensial dari Edwin H. Sutherland. Dimana kesembilan premise yang akan diuraikan dalam pembahasan untuk membuktikan sifat linear sebab-sebab kejahatan yang dimaksudkan.

Untuk maksud dan tujuan tersebut diatas, terlebih dahulu penulis menguraikan permasalahan yang akan menjadi topik pembahasan sehubungan dengan 9 (sembilan) premise teori asosiasi diferensial tersebut, dengan mengemukakan tiga poin permasalahan sebagai berikut :

a. Apakah essensi premise-premise dalam teori asosiasi diferensial dalam hubungannya dengan perilaku jahat terhadap anak ???

b. Seberapa jauhkan teori asosiasi diferensial dapat menjangkau sebab-sebab timbulnya kejahatan terhadap anak yang didasarkan pada 9 (sembilan) premise yang dikemukakan oleh Edwin H. Sutherland ???

c. Upaya penanggulangan apakah yang perlu dilakukan sehubungan dengan kejahatan terhadap anak yang terjadi dewasa ini ???

II. Kerangka Teoritis

Yang dimaksud dengan penyimpangan perilaku menurut Zames Vander Zenden ADALAH : “perilaku yang oleh sejumlah besar orang dianggap sebagai hal yang tercela dan di luar batas toleransi”.[1] Lain dari itu, Robert M.Z. Lawang memberikan pula defenisi perilaku menyimpang sebagai :

semua tindakan yang menyimpang dari norma yang berlaku dalam sistem sosial dan menimbulkan usaha dari mereka yang berwenang dalam sistem itu untuk memperbaiki perilaku yang menyimpang itu”.

Peyimpangan perilaku dalam dunia nyata sebagai perbuatan yang akan dan selalu bertentangan dengan norma-norma : moral, agama, sosial, dan khususnya norma hukum. Oleh karenanya, penyimpangan perilaku lazimnya berbanding lurus dengan norma-norma yang hidup di dalam masyarakat. Dalam konteks hubungan sebab akibat, perilaku menyimpang melahirkan kejahatan, sehingga perilaku menyimpang merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan ilmu kriminologi dan hukum pidana. Sedangkan gejala-gejala perilaku masyarakat merupakan bagian dari objek kajian sosiologi hukum.

Penyimpangan perilaku dilihat dari sudut pandang sosiologi, sangat beraneka ragam, karena dalam sosiologi telah banyak teori yang dikembangkan oleh para ahli untuk menerangkan faktor penyebab perilaku yang menyimpang. Misalnya, ada yang menyebutkan kawasan kumuh (slum) di kota besar sebagai tempat persemaian deviasi dan ada juga yang mengatakan bahwa sosialisasi yang buruk membuat orang berperilaku menyimpang. Selanjutnya ditemukan hubungan antara 'ekologi' kota dengan kejahatan, mabuk-mabukan, kenakalan remaja, dan bunuh diri. Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan diuraikan beberapa sebab atau proses terjadinya perilaku menyimpang ditinjau dari faktor sosiologis.[2]

Menurut teori Assosiasi Diferensial yang dicetuskan oleh Edwin H. Shuterland, sebab musabab timbulnya kejahatan disebabkan oleh 9 (sembilan) premise. Masing-masing kesembilan premise tersebut bersifat saling melengkapi atau berkaitan erat (linear). Dalam teori Edwin H. Shuterland ke-9 (sembilan) premise yang dimaksudkan sebagai berikut :[3]

  1. Criminal behavior is learned ;
  2. Criminal behavior is learned in interaction with other persons in a process of communication ;
  3. The principal part of the learning of criminal behaviour occurs within intimate personal groups ;
  4. When criminal behaviour is learned, the learning includes (a) techniques of committing the crime, wich are sometimes very complicated, sometimes very simple, (b) the specific direction of movies, drives, rationalizations, and attitudes ;
  5. The specific direction of motives and drives is learned from definitions of the legal codes as favorable or unfavourable ;
  6. A person becomes delinquent because of an excess of definitions favorable to violation of law over definitions unfavorable to violation of law ;
  7. Differential associations may vary in frequency, duration, priority, and intensity ;
  8. The process of learning criminal behavior by association with criminal and anticriminal patterns involves all of mechanisms that are involved in any other learning ; dan,
  9. While criminal behavior is an expression of general needs and values, it is not explained by those general needs and value, since noncriminal behavior is an expression of the same needs and value.

Terjemahan bebas :

“1. Perilaku kejahatan adalah perilaku yang dipelajari. Secara negatif berarti perilaku itu tidak diwariskan.

2. Perilaku kejahatan dipelajari dalam interaksi dengan orang lain dalam suatu proses komunikasi. Komunikasi tersebut terutama dapat bersifat lisan ataupun menggunakan bahasa tubuh.

3. Bagian terpenting dalam proses mempelajari perilaku kejahatan terjadi dalam kelompok personal yang intim. Secara negatif ini berarti bahwa komunikasi interpersonal seperti melalui bioskop, surat kabar, secara relatif tidak mempunyai peranan penting dalam terjadinya kejahatan.

4. Ketika perilaku kejahatan dipelajari, maka yang dipelajari termasuk : (a) teknik melakukan kejahatan, (b) motif-motif, dorongan-dorongan, alasan-alasan pembenar dan sikap-sikap tertentu.

5. Arah dan motif dorongan itu dipelajari melalui definisi-definisi dari peraturan hukum. Dalam suatu masyarakat, kadang seseorang dikelilingi orang-orang yang secara bersamaan melihat apa yang diatur dalam peraturan hukum sebagai sesuatu yang perlu diperhatikan dan dipatuhi, namun kadang ia dikelilingi orang-orang yang melihat aturan hukum sebagai sesuatu yang memberikan peluang dilakukannya kejahatan.

6. Seseorang menjadi delinkuen karena ekses pola-pola pikir yang lebih melihat aturan hukum sebagai pemberi peluang melakukan kejahatan daripada melihat hukum sebagai sesuatu yang harus diperhatikan dan dipatuhi.

7. Asosiasi Diferensial bervariasi dalam frekuensi, durasi, prioritas serta intensitasnya.

8. Proses mempelajari perilaku jahat diperoleh melalui hubungan dengan pola-pola kejahatan dan mekanisme yang lazim terjadi dalam setiap proses belajar secara umum.

9. Sementara perilaku jahat merupakan ekspresi dari kebutuhan nilai umum, namun tidak dijelaskan bahwa perilaku yang bukan jahat pun merupakan ekspresi dari kebutuhan dan nilai-nilai umum yang sama”.

Berdasarkan apa yang penulis kutiban diatas, maka kita dapat melihat bahwa paling tidak ditinjau dari sudut pandang proses terjadinya, kejahatan terjadi karena hal-hal sebagai berikut :

1) Perilaku jahat adalah perilaku yang dipelajari, bukan diwariskan

Yang dimaksudkan sebagai perilaku yang dipelajari bahwa dari persepsi umum sebagaimana lajimnya manusia mempelajari suatu objek tertentu dari apa yang ingin diketahui olehnya melalui sebuah proses pengamatan, pemikiran dan penangkapan melalui indera, sehingga faktor didikan pada bagian ini sangat menentukan perilaku seseorang. Melalui presmise ini, Ahli kriminologi Edwin Shuterland secara tegas pula membantah dalil bahwa kejahatan disebabkan oleh adanya faktor keturunan (biologis) sebagaimana teori kriminologi yang dikemukakan oleh Cesare Lamrosso yang menyatakan dalam bukunya Crime, Its Causes and Remedies (1918) memberikan gambaran tentang perilaku menyimpang yang dikaitkan dengan bentuk tubuh seseorang. Dengan tegas, Lombrosso mengatakan bahwa ditinjau dari segi biologis penjahat itu keadaan fisiknya kurang maju apabila dibandingkan dengan keadaan fisik orang-orang biasa. [4]

2) Perilaku jahat dipelajari dalam proses komunikasi dalam kelompok personal yang intim

Dalam mempelajari kejahatan, pelaku mendapatkan pembelajaran dalam sebuah komunitas yang terbentuk dalam sebuah lingkungan, apakah itu keluarga, masyarakat, atau organisasi. Dimana pada fase ini kejahatan diadopsi melalui suatu proses komunikasi baik verbal maupun non verbal. Termasuk didalamnya teknik melakukan, motif, dorongan, alasan pembenar tertentu, dan sebagainya.

3) Perilaku jahat lebih melihat hukum sebagai sesuatu peluang untuk dilanggar daripada harus diperhatikan atau dipatuhi pelaku

Dari perspektif pelaku, perilaku penyimpangan yang dilakukan lajimnya karena melihat hukum sebagai sesuatu yang memberikan peluang untuk dilanggar daripada ditaati, sehingga pelaku beranggapan bahwa kejahatan yang dilakukan masih dalam batas wajar atua normal atau dapat ditolerir jika diketahui oleh orang lain atau umum, contohnya seorang ayah yang memukuli anaknya yang ketahuan bolos sekolah.

4). Perilaku jahat bervariasi dalam frekuensi, durasi, prioritas serta intensitasnya.

Dilihat dari sisi kualitatif maupun kuantitatif, kejahatan yang dilakukan pelaku biasanya mencirikan secara umum dengan mengambil tempat, waktu yang hampir bersamaan. Dengan kata lain, ciri-ciri yang dibawa oleh bentuk kejahatan ini dapat digeneralisasikan yakni korban kejahatan adalah anak-anak yang pada dasarnya masih lemah secara fisik.

Keempat faktor yang dijelaskan diatas, merupakan bagian yang saling berkaitan secara keseluruhan. Artinya, masing-masing faktor saling melengkapi untuk timbulnya suatu kejahatan dalam bentuk penyimpangan perilaku.

III. Data Kualitatif dan Kuantitatif Kekerasan Terhadap Anak

Meningkatnya kejahatan terhadap anak pada tahun 2010 yang dilakukan oleh orang dewasa, secara kualitatif dan kuantitatif setidaknya dapat dilihat dari data-data sebagai berikut :

“Bahwa sekitar 17 (tujuh belas) persen disbanding tahun lalu dimana tercatat ada 1.998 kasus kekerasan pda anak. “Selain jumlahnya meningkat, bentuk kekerasan terhadap anak tahun 2010 ini juga semakin kejam dan tidka bisa diterima akal sehat”.[5]

Lebih jauh pula diungkapkan lagi (dikutib) :

“Jika pada tahun-tahun sebelumnya tidak ditemukan kekerasan terhadap anak dibawah umur satu tahun, pada tahun 2010 ini Komnas PA menemukan sejumlah kasus kekerasan pada anak yang masih berusia dibawah satu tahun. Anak yang tidak bisa melawan apa-apapun disakit.[6]

Pada tahun sebelumnya kekerasan terhadap anak juga tidak luput dari perhatian Komisi Perlindungan Anak (KPA) dimana kuantitatif-nya diuraikan sebagai berikut : [7]

Beberapa data yang terserak bisa menjadi gambaran betapa eskalatifnya kekerasan terhadap anak di tanah air. World Vision yang melakukan pendataan ke berbagai daerah menemukan angka 1.891 kasus kekerasan selama tahun 2009, pada tahun 2008 hanya ada 1600. Kompilasi dari 9 surat kabar Nasional menemukan angka 670 kekerasan terhadap anak selama tahun 2009, sementara tahun 2008 sebanyak 555 kasus. Sementara Pengaduan langsung ke KPAI tahun 2008 ada 580 kasus dan tahun 2009 ada 595 kasus, belum termasuk Laporan melalui E-mail dan telepon. Dari Bareskrim Polri, selama tahun 2009 terjadi tindak kekerasan terhadap anak sebanyak 621 yang diproses hingga tahap P-21 dan diputus pengadilan”.

Sejalan dengan itu, Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia mencatat pula : [8]

Jumlah kasus kekerasan pada anak di Indonesia terus meningkat. Data dari Komisi Nasional Perlindungan Anak mencatat, pada 2007 jumlah pelanggaran hak anak yang terpantau sebanyak 40.398.625 kasus.

Jumlah itu melonjak drastis jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai 13.447.921 kasus. Data tersebut berdasarkan laporan yang masuk ke lembaga tersebut, yang tersebar di 30 provinsi”.

Disamping meningkatnya jumlah kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh orang dewasa, bentuk dan sifat kekerasannya juga semakin bermacam-macam, seperti : sodomi, pembunuhan, menyakiti secara psikologis, penyiksaan, dan sebagainya. Berdasarkan hasil penelitian di Indonesia yang didukung oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations) melalui United Nation Childrens Fun (Unicef) disimpulkan fakta bahwa banyak anak-anak di Indonesia masih diperlakukan secara buruk dan tidak layak.[9] Bahkan, angka kekerasan terhadap anak di Indonesia dinilai sudah sampai pada taraf yang mengkhawatirkan. Setidaknya 25 juta anak Indonesia pernah mengalami kekerasan. Demikian disampaikan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Amalia Sari Gumelar di Jakarta, Jumat (19/3/2010). Ia memaparkan, berdasarkan hasil survei kekerasan terhadap perempuan dan anak pada 2006, secara nasional telah terjadi sekitar 2,81 juta tindak kekerasan dan sekitar 2,29 juta anak pernah menjadi korban kekerasan.[10]

Lain dengan paparan data-data statistik diatas, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pula bahwa sampai dengan pertengahan 2009 tercatat jumlah anak di Indonesia sebanyak 85.146.600 atau 38,86 persen dari keseluruhan penduduk Indonesia yang berjumlah 231.000.000 jiwa.[11] Jika persentase kekerasan 2009 ini dianggap sama dengan 2006, yaitu 3,02 persen, berarti ada lebih kurang 25 juta anak yang pernah mendapat kekerasan.[12]

Bertitik tolak dari statistik frekuwensi kekerasan yang dialami oleh anak-anak Indonesia diatas, hal tersebut membuktikan bahwa disatu sisi, kerentanan perilaku menyimpang orang dewasa yang cenderung memilih anak-anak sebagai korbannya. Padahal yang demikian itu, secara hukum melanggar norma-norma yang ada. Sedangkan disisi lain, sebagaimana dinyatakan oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Amalia Sari Gumelar dikutib :

“Penyebab tingginya tingkat kekerasan, ia mengatakan, salah satunya akibat kesulitan ekonomi sehingga para orangtua melampiaskan kepada anak-anaknya”.

Oleh karena itu, bentuk penyimpangan perilaku secara lahiriah pada dasarnya sudah sering terjadi, namun kecenderungannya gejala yang dapat diamati baru-baru ini bahwa pelaku kejahatan tidak lagi memandang usia korban, sehingga tidak mengherankan apabila anak balita maupun bayi turut menjadi korban kekerasan.

Pola kekerasan dalam bentuk yang semakin komplek setidaknya dapat dilihat dari indikator sebagai berikut : [13]

“Awal tahun 2010 kita dihentakkejutkan oleh peristiwa kekerasan terhadap anak secara beruntun. Di Depok Jawa Barat seorang guru ngaji menyiksa 3 santrinya dengan air keras. Di Jakarta Utara seorang homosek dan paedofil telah memutilasi 3 anak. Di Tangerang seorang Ibu membekap bayinya yang berusia 9 bulan hingga tewas. Terakhir, KPAI menerima laporan kekerasan yang dilakukan oleh seorang guru Sekolah Dasar di Jakarta Selatan, terhadap seorang siswanya sehingga korban merasa trauma dan tidak mau masuk sekolah. Sebelumnya diberitakan seorang bayi di Semarang hilang diculik dari Rumah Sakit daerah, demikian juga seorang bayi lainnya diculik dari Puskesmas Kembangan, Jakarta Barat”.

Sebagai perbandingan, dikutib sedikit data-data kekerasan yang pernah dialami anak-anak di Amerika Serikat sebagai berikut : [14]

“Beberapa kasus serial penculikan dan pembunuhan yang terjadi di Paman Sam semenjak tahun 1972, menunjukkan bahwa antara pelaku dan korban (juga keluarganya) belum pernah saling mengenal, berikut contohnya, Jeffrey Dahmer, antara 1976-1991 membunuh dan melakukan kanibalisme terhadap 17 anak laki-laki. John Wayne Gacy, melakukan penganiayaan seksual dan pembunuhan atas 33 bocah laki-laki. Kebiadaban ini berlangsung selama 6 tahun dari 1972 sampai dengan 1978. Selanjutnya, Joel Rifkin merenggut 17 nyawa, Richard Ramirez 13, dan puncaknya adalah Ted Bundi yang memakan 40 korban”.

Dalam kasus yang berbeda, beberapa waktu yang lalu marak kasus penculikan anak dengan motif ekonomi.[15] tuntutan uang tebusan kepada orang tua korban, merupakan indikasi kuat bahwa kejahatan ini semata-mata bersifat economi crime. Tragisnya, untuk mendapatkan sejumlah uang itu, korban acapkali dianiaya, bahkan tak jarang dibunuh.[16]

Berdasarkan data statistik yang dibandingkan diatas, secara jelas menggambarkan fakta bahwa anak-anak sangat rentan dijadikan sebagai korban penyimpangan perilaku orang dewasa, baik itu di Indonesia, Amerika Serikat (USA) maupun diberbagai belahan dunia ini.

.


IV. Pembahasan

a. Faktor-faktor Pemicu Penyimpangan Perilaku Dalam Bentuk Kekerasan

Penyimpangan perillaku dalam bentuk melakukan kekerasan terhadap anak disebabkan oleh multi faktor yang saling mendukung. Menurut Richard J. Gelles, Ph.D faktor-faktor penyebab penganiayaan ini dapat dikelompokkan dalam empat kategori utama :

“1. Penyebaran perilaku jahat antar generasi.

2. Tekanan sosial.

3. Isolasi sosial.

4. Struktur keluarga.[17]

Mang-masing dari faktor sebagaimana disebutkan diatas, penulis uraikan sebagai berikut :[18]

1. Penyebaran perilaku jahat antar generasi

Banyak anak belajar perilaku jahat dari orang tua mereka dan kemudian berkembang menjadi tindak kekerasan. Jadi, perilaku kekerasan diteruskan antar generasi. Penelitian menunjukkan bahwa 30% anak-anak korban tindak kekerasan menjadi orang tua pelaku tindak kekerasan. Mereka meniru perilaku ini sebagai model ketika mereka menjadi orang tua kelak.
Namun, beberapa ahli percaya bahwa yang menjadi penentu akhir adalah apakah anak menyadari bahwa perilaku kasar yang dialaminya tersebut salah atau tidak. Anak-anak yang yakin bahwa mereka berbuat salah dan pantas mendapat hukuman akan menjadi orang tua pelaku kekerasan lebih sering daripada anak-anak yang yakin bahwa orang tua mereka salah kalau berlaku kasar pada mereka.

2. Ketegangan Sosial

Stres yang ditimbulkan oleh berbagai kondisi sosial meningkatkan risiko tindak kekerasan pada anak dalam sebuah keluarga. Kondisi ini mencakup :

- Pengangguran ;

- Sakit-penyakit ;

- Kemiskinan dalam rumah tangga ;

- Ukuran keluarga yang besar ;

- Kehadiran seorang bayi atau orang cacat mental dalam rumah.

- Kematian anggota keluarga.

- Penggunaan alkohol dan obat-obatan.

3. Isolasi sosial

Para orang tua atau pengasuh yang melakukan tindak kekerasan pada anak cenderung kurang bersosialisasi. Beberapa orang tua pelaku kekerasan bahkan bergabung dengan berbagai organisasi kemasyarakatan, dan kebanyakan kurang berkomunikasi dengan teman-teman atau kerabatnya. Kurangnya sosialisasi ini menyebabkan kurangnya dukungan masyarakat pada orang tua pelaku tindak kekerasan untuk menolong mereka menghadapi ketegangan sosial atau ketegangan dalam keluarga.

Faktor budaya sering menentukan banyaknya dukungan komunitas yang diterima sebuah keluarga. Komunitas itu berupa para tetangga, kerabat dan teman-teman yang membantu pemeliharaan anak ketika orang tuanya tidak mau atau tidak mampu. Di AS, para orang tua sering menaruh tanggung jawab pemeliharaan pada diri anak sendiri, yang berisiko tinggi mengakibatkan tegangan dan tindak kekerasan pada anak.


4. Struktur Keluarga

Tipe keluarga tertentu memiliki risiko anak terlantar dan terjadi tindak kekerasan pada anak.

Disamping faktor-faktor determinan tersebut diatas, secara umum ada pula faktor-faktor lainnya yang lajim menimbulkan penyimpangan perilaku terhadap diri seseorang, dijelaskan sebagai berikut :

1) Faktor Ekonomi

Penyebab penyimpangan perilaku dalam bentuk ini bersifat klasik yang merupakan bagian dari persoalan utama negara-negara dunia ketiga (bac : berkembang) yang secara ekonomis masih hidup dalam garis kemiskinan, seperti Indonesia, sehingga memicu perilaku jahat penduduk sebagaimana lajimnya kekerasan yang terjadi secara konvensional.

Faktor kejahatan disini didominasi oleh kurangnya pemenuhan terhadap kebutuhan manusia, yang terdiri dalam 3 (tiga) pokok kebutuhan penting yaitu : pangan (foods), sandang (jobs), tempat tinggal (shelters). Dimana, ketiga hal ini, foods, shelters, dan jobs, nyaris tidak terbuat urutan berdasarkan skala prioritas.[19]

Lebih lanjut dinyatakan pula : [20]

“Penelitian tentang hubungan antara buruknya kondisi ekonomi dengan peningkatan jenis kejahatan tertentu telah lama diselidiki oleh para ahli kriminologi sekitar abad 19 (lihat Von Mayr, dikutib dalam Nannheim, 1925). Von Mayr membuktikan adanya hubungan pencurian dengan fluktuasi harga gandum. Sedangkan Bonger pernah membahas hubungan antara kemiskinan, pengangguran, dan kejahatan pada umumnya”.

Dalam banyak kasus, kondisi sosio-ekonomi suatu masyarakat terutama ditengah-tengah arus globalisasi dan konsumtif telah menimbulkan kecenderungan perilaku agresif masyarakat sebagai akibat persaingan lokal maupun antar negara. Kenyataan yang demikian itu telah banyak memacu orang dewasa untuk bertindak melakukan kekerasan yang dipandang sebagai wujud pelampiasan yang disebut ekspresi diri.

Runtuhnya moralitas masyarakat ditenggarai oleh sistem kekerabatan dan budaya pergaulan yang semakin mengarah kepada usaha individualisme, sehingga dalam tataran ini pelaku berasumsi bahwa perilaku menyimpang dengan melakukan tindak kekerasan terhadap anak adalah hak pelaku. Dalam hal ini hukum dianggap tidak dapat memasuki ruang yang bersifat privasi (pribadi). Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila kemudian kebanyakan kekerasan yang dilakukan orang dewasa terhadap anak kurang mendapat perhatian masyarakat, karena sebagian besar masyarakat kita menganut anggapan bahwa hukum negara tidak berhak mengatur atau mencampuri tindak kekerasan yang dilakukan orang tua terhadap anaknya.

Sejalan dengan itu, perlu kiranya dikutib pendapat Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang mengatakan : [21]

“Ada kultur kekerasan yang sangat kuat di sebagian masyarakat kita. Anak dilihatnya sebagai miilik mutlak yang harus takluk untuk menggayuh keinginan orang dewasa. Anak menjadi target dalam rangka memenuhi ambisi orang dewasa, dan ketika ia tidak bisa memenuhi anak akan diperlakukan dengan kekerasan. Perlakuan kekerasan terhadap anak ini tidak hanya di rumah, atau komunitas tertentu saja, bahkan di sekolah pun, di mana anak mestinya memperoleh jaminan rasa aman, yang terjadi juga praktek kekerasan. Masih banyak guru menganggap, bahwa kekerasan adalah bagian dari proses pendidikan. Banyak guru lupa, bahkan mungkin tidak tahu, bahwa dasar pendidikan adalah cinta. Jangan mendidik, jangan mengajar, bila gelora hatinya bukan gelora cinta cinta, sebaliknya gelora dendam dan kebencian”.

Lebih jauh dia kemudian menjelaskan pula bahwa : [22]

“Kedua, modernisasi yang tidak terkendali akan selalu melahirkan kemiskinan kota dengan segala karakternya; meningkatnya angka kriminalitas, prostitusi, dan tekanan hidup. Keempatnya saling berangkai dan saling menjadi sebab dan akibat. Muaranya satu, kekerasan terhadap anak dalam berbagai bentuk seperti ; penelantaran, pemekerjaan, perdagangan anak, pelacuran anak, hingga kekeerasan fisik yang menyebabkan penderitaan dan kematian anak.”

Berdasarkan uraian diatas, maka sangat jelas sekali bahwa pada dasarnya persoalan ekonomi sebagai salah satu faktor utama pemicu penyimpangan perilaku yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak-anak. Dimana dalam persepsi atau asumsi orang dewasa, dengan didudukannya anak sebagai korban, anak tersebut yang pada dasarnya lemah tidak akan mempunyai sebuah akses untuk melakukan pembelaan diri.

2) Faktor Psikologis

Dalam ranah ini, aspek psikologi menyangkut beberapa faktor penting, seperti : tingkat pendidikan, kondisi budaya setempat, pergaulan, pengaruh mass media, dan preseden terdahulu yang dijadikan referensi untuk ditiru seorang pelaku.

Timbulnya kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh orang dewasa biasanya ditentukan oleh faktor kondisi kejiwaan si pelaku. Karakter psikologis akan terekspresikan bila ada media yang mempertemukan dengan kondisi sosial. Untuk kasus Ibu yang membunuh anak di kota-kota besar pada umumnya karena tidak kuatnya menghadapi tekanan hidup. Ekspresi tekanan hidup yang tak tertanggungkan akan selalu dilampiaskan kepada orang-orang terdekatnya. Fromm (1970) mengutip hasil studi Sigmund Freud bahwa sesungguhnya dalam diri manusia ada dua kekuatan yang saling bersaing untuk keluar, yaitu keinginan untuk mencintai dan keingininan untuk membunuh. Seseorang yang memiliki karakter psikis dominan keingian membunuh akan segera terekspresikan ketika ada lingkungan sosial ekonomi yang tidak bisa dihadapi, menekan dirinya, dan jadllah orang-orang di sekitarnya sebagai pelampiasan.[23]

Kondisi psikologis penyimpangan perilaku dengan jalan melakukan tindak kekerasan terhadap anak atau bayi biasanya dikarenakan pelaku mengalami berbagai tekanan hidup karena kompleksnya persoalan sosial yang dihadapi dalam kehidupan senhari-hari. Disisi lain, dalam persfektif pelaku ketiadaan jalan keluar dari tiap persoalan yang dihadapi tersebut.

Karakter psikologis ini pembentukannya tidak terlepas oleh berabgai faktor lain, seperti : budaya minum alkohol, narkoba, kurangnya sosialisasi kemasyarakatan, ketertutupan sifat, dan rendahnya kualitas pendidikan maupun agama. Oleh karena itu, faktor psikologis menimbulkan kesalahpahaman pelaku dalam menilai suatu tindakan yang menyimpang tersebut, dan cenderung pelaku menganggap tindakan kekerasan tersebut sebagai alasan pembenar yang bersifat subyektif untuk tiap persoalan..

3) Faktor Informasi Media

Faktor ketiga yang melahirkan tindak kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh orang dewasa adalah mudahnya akses berbagai informasi kekerasan dalam bentuk yang sama melalui media massa cetak maupun elektronik. Banyaknya tayangan-tayangan yang lebih mengedepankan contoh-contoh kekerasan daripada informasi pengetahuan dan hiburan.

Dalam konteks ini, penyimpangan perilaku dihasilan dari berbagai varian kejahatan terdahulu yang mempunyai modus operandi yang sama, namun bentuk dan cara berbeda. Contohnya : kekerasan terhadap anak yang dilakukan dengan jalan membungkam mulut korban sampai meninggal dunia Dalam kasus yang berbeda, selanjutnya seringkali ditemui tindak kekerasan yang sama dengan menambahkan bentuk atau cara baru dalam melakukan kejahatannya, yakni : korban setelah dibungkam, mayatnya ditenggelamkan ke dalam air.

Jadi, media seharusnya sebagai alat (tools) kontrol sosial dengan memperketat informasi yang akan dipublikasikan ke publik, terlebih dahulu perlu dilakukan penyaringan (filtrasi).

4) Faktor Lemahnya Penegakan Hukum

Lemahnya penegakan hukum merupakan bagian dari usaha preventif dan repfresif untuk mencegah timbulnya upaya-upaya kekerasan terhadap anak. Namun kenyataan yang demikian tidak semudah yang kita bayangkan, mengingat penegakan hukum di Indonesia masih berbasis pada kepentingan tertentu (parsial) dan kurang mengedepankan pola-pola kebijaksanaan (will) pemerintah yang menitiberatkan kepada perlindungan nyata terhadap anak. Dengan kata lain, politik hukum lahirnya undang-undang yang mengatur perlindungan anak belum sepenuhnya dipandang sebagai prioritas dalam pelaksanaanya.

Oleh karena itu, dampak langsung yang ditimbulkan oleh kondisi yang demikian dimana penyimpangan perilaku orang dewasa dalam bentuk kekerasan terhadap anak semakin tidak terkendali. Sebaliknya, dari sisi pelaku semakin melahirkan asumsi (anggapan) bahwa tindak kekerasan yang dilakukan dianggap sah dan tidak melanggar hukum sepanjang yang menjadi korban adalah anak yang nota bene mempunyai ketertikatan hubungan dengan pelaku, apakah sebagai orang tua, paman, guru dan sebagainya.

b. Analisis Teori Asosiasi Diferensial Dalam Kasus Kekerasan Terhadap Anak

Sebagaimana diuraikan pada bagian terdahulu makalah ini bahwa teori sebab musabab timbulnya kejahatan ditentukan oleh 9 (sembilan) premise yang berlaku secara linear. Berikut ini diuraikan analisis kesembilan premise teori asosiasi diferensial dalam kasus-kasus penyimpangan perilaku orang dewasa yang melakukan kekerasan terhadap anak atau bayi.

1) PREMISE I : “Perilaku kejahatan adalah perilaku yang dipelajari. Secara negatif berarti perilaku itu tidak diwariskan”.

Memang harus diakui, dalam bentuk yang primitif sekalipun kekerasan terhadap sesama manusia sebagai mahluk sosial sudah lajim terjadi, hal ini setidaknya dikarenakan adanya persaingan untuk memenuhi kebutuhan sandang, pagan dan papan. Manakala terjadi ketidakseimbangan diantara penduduk atas ketiga hal tersebut akan melahirkan berbagai konflik, yang tidak jarang muaranya adalah kejahatan.[24] Persoalannya, di abad duapuluhsatu sekarang ini kejahatan secara umum, khususnya kejahatan terhadap anak atau balita merupakan bentuk kejahatan yang tergolong baru dengan anak atau bayi sebagai korban.

Dalam masyarakat modern dewasa ini, nampaknya telah terjadi pergeseran nilai-nilai moral tatanan sosial, dimana anak bukan lagi dianggap sebagai asset yang berharga atau mahluk yang wajib dilindungi, melainkan kecenderungan bagi pelaku kejahatan mengasumsikan bahwa dengan mengorbankan anak dipandang sebagai jalan keluar untuk tiap persoalan yang ada. Permasalahan penyakit masyarakat yang berkembang semakin kompleks, seperti : perdagangan orang (trafficking), kemiskinan, prostitusi, eksploitasi kerja dibawah umur, perjudian, dan sebagainya.

Dalam konstelasi kejahatan dimaksud, kenyataan membuktikan bahwa ketika penyimpangan perilaku timbul dengan jalan kekerasan terhadap anak atau bayui, sementara bentuk dan pola kejahatan yang demikian merupakan varian baru jenis dari kejahatan, maka kita dapat menyimpulkan sebuah sintetis bahwa kebaruan pola kejahatan diperoleh melalui suatu penciptaan ide dari sisi pelaku, sehingga kejahatan dalam bentuk kekerasan terhadap anak disini dilihat bukan sebagai hasil pewarisan secara turun temurun. Dengan kata lain, munculnya jenis kejahatan terhadap anak bukan bagian dari warisan turun-temurun, karena dilhat dari bentuk dan pola kejahatannya tergolong baru.

2) PREMISE II : Perilaku kejahatan dipelajari dalam interaksi dengan orang lain dalam suatu proses komunikasi. Komunikasi tersebut terutama dapat bersifat lisan ataupun menggunakan bahasa tubuh”.

Penyimpangan perilaku dalam bentuk kejahatan terhadap anak dan bayi dihasilkan melalui proses pembelajaran oleh si pelaku. Secara psikologis, bebrapa fakta yang dapat dirunut berdasarkan ciri pelaku, antara lain : bahwa pelaku kejahatan umumnya dalam lingkup yang tertutup dan kurang toleran terhadap adaptasi kebudayaan yang bersifat kebersamaan dan terbuka ; pelaku mempelajari kekerasan terhadap anak melalui interaksi dengan sesama golongan (komunitas) yang terdahulu pernah dilihat atau diamati sebagai suatu pengalaman yang lajim dan etis ; pelaku dalam mempelajari pola kejahatan terhadap anak dengan input adalah arus informasi maupun komunikasi yang secara a-priori mencontohkan tayangan-tayangan yang mirip dengan kekerasan yang akan dilakukan pelaku.

Dalam persfektif ini, pelaku kejahatan sebagai pihak yang menampung berbagai informasi dalam suatu proses komunikasi, apakah itu komunikasi langsung atau tidak langsung, baik antar person dalam suatu komunitas maupun melalui perantaraan media massa. Dalam premise ini, peranan psikologis membuktikan perlunya penyaringan informasi dengan benar. Dengan kata lain, penyimpangan perilaku timbul sebagai bagian dari proses mengasumsikan secara negatif tiap informasi yang diserap pelaku, sehingga menghasilkan output kejahatan.

3) PREMISE III : Bagian terpenting dalam proses mempelajari perilaku kejahatan terjadi dalam kelompok personal yang intim. Secara negatif ini berarti bahwa komunikasi interpersonal seperti melalui bioskop, surat kabar, secara relatif tidak mempunyai peranan penting dalam terjadinya kejahatan”.

Dalam mempelajari kejahatan, biasanya pelaku terlebih dahulu telah mendapat pengalaman yang sama di dalam komunitas sosialnya yang bersifat tertutup, sehingga tidak mengherankan apabila kemudian terhadap kejahatan yang demikian biasanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Tindakan menyakiti terhadap anak kecenderungannya, ditiru oleh para pelaku dari hasil adaptasi lingkungan yang tertutup, terutamanya lingkungan pergaulan. Contohnya pelaku pernah melihat kejahatan yang sama di dalam lingkungan pergaulan atau komunitasnya, tetapi terhadap perilaku yang demikian tidak dikenai sanksi hukum. Bahkan untuk skala prioritas tertentu misalnya mendidik anak dengan cara memukul adalah dipandang baik.

4) PREMISE IV : Ketika perilaku kejahatan dipelajari, maka yang dipelajari termasuk : (a) teknik melakukan kejahatan, (b) motif-motif, dorongan-dorongan, alasan-alasan pembenar dan sikap-sikap tertentu”.

Ketika pelaku kejahatan menjalankan aksinya, maka setiap tindakan tersebut didasarkan pada motif, perencanaan (teknik), dorongan dan adanya alasan pembenar. Hal ini dapat dicermati dari berbagai kasus kejahatan terhadap anak atau bayi. Salah satu contoh : kekerasan terhadap anak yang pernah terjadi di Jakarta, dimana pelaku (dikenal : Babeh) menyodomi puluhan anak jalanan. Motif dari tindakan pelaku yakni untuk menyalurkan hasrat biologisnya yang bersifat penyimpangan perilaku. Dalam melakukan aksi kejahatannya, pelaku mencoba mendekati korban dengan bertindak ramah dan kekeluargaan untuk menarik hati korbannya. Tehnik ini cukup terbukti ampuh, mengingat para korban yang disodomi pelaku adalah anak jalanan yang secara politis dan ekonomis kurang mendapat perhatian dari negara atau pemerintah maupun masyarakat. Jadi, melalui sarana memilih calon korban berarti pelaku dikategorikan menggunakan teknik untuk dapat menjalankan aksi kejahatannya.

Disisi lain, faktor dorongan dan alasan pembenar dari sisi pelaku menentukan sikap seseorang untuk melakukan suatu tindak kejahatan. Dalam banyak kasus kekerasan terhadap anak dan bayi, berdasarkan hasil analisis para psikolog bahwa pelaku pada dasarnya di dorong oleh suatu suatu hasrat atua keinginan untuk melakukan suatu kejahatan yang disebabkan oleh multi faktor (kompleks), seperti : frustasi, tekanan hidup, ketertutupan sifat, kurangnya ruang pergaulan, akses inforamsi yang berlebih dalam pergaulan dan sebagainya.

Berdasarkan uraian yang terdahulu telah disebutkan bahwa salah satu bentuk kekerasan yang serign dan marak belakangan ini dialami anak di Indonesia adalah kasus penculikan. Dimana motivasi pelaku kejahatan melakukan penculikan dengan maksud dan tujuan yang beroritentasi kepada motif ekonomi dengan meminta uang tebusan kepada orang tuan atau keluarga korban. Adanya dorongan kuat sebagai bagian dari akumulasi tekanan ekonomi menimbulkan motif dalam diri pelaku untuk melakukan tindakan kejahatan yang bersifat penyimpangan, termasuk pula didalamnya hal-hal yang tak lajim seperti kanibalisme. Dalam kasus kanibalisme, di Indonesia pernah pula terjadi hal yang demikian, dimana pelaku kejahatan memberikan pengakuan bahwa adanya dorongan yang kuat dalam diri pelaku sebagia wujud yang bersifat metafisis untuk memakan korbannya sebagai tumbal.

5) PREMISE V : Arah dan motif dorongan itu dipelajari melalui definisi-definisi dari peraturan hukum”.

Lemahnya pengaturan dan penegakan di bidang hukum tentang hak-hak anak di Indonesia merupakan faktor penting mengapa orang dewasa semakin banyak melakukan penyimpangan perilaku dengan jalan menyakiti anak dan bayi. Berdasarkan aspek budaya yang dianut di Indonesia, kita harus mengakui bahwa penganiayaan terhadap anak selama ini dianggap sebagai bagian dari persoalan individu belaka yang bukan bagian dari ruang publik, sehingga negara dipandang tidak berhak mengatur bagaimana cara orang dewasa memperlakukan anak atua keluarganya. Faktor budaya hukum kita yang lebih cenderung mengedepankan musyawarah tanpa campur tangan hukum negara dalam hal timbulnya kekerasan dalam keluarga sangat menentukan dalam premise ini.

Dari sisi pelaku, ketika pelaku memilih untuk menyakiti anak-anak, apakah itu terkait karena adanya hubungan darah atau tidak, membuktikan bahwa pelaku menganggap hukum sebagia peluang untuk melakukan tindak kekerasan. Dalam bentuk ini, pelaku mengasumsikan bahwa dengan melakukan kekerasan terhadap anak, maka resiko yang ditimbulkan olehnya secara hukum akan lebih kecil dibadingkan kekerasan yang sama dilakukan terhadap orang dewasa, hal ini karena anak tidak mempunyai akses dalam mempertahankan diri sendiri. Dilain pihak, banyak dari para pelaku kekerasan terhadap anak beranggapan bahwa kekerasan terhadap anakyang dilakukan apalagi didasari oleh adanya suatu hubungan kekeluargaan, maka yang demikian bukan merupakan wewenang hukum negara. Jadi, negara dianggap tidak mempunyai keterkaitan dengan kasus yang demikian.

6) PREMISE VI : “Pola-pola pikir yang melihat hukum sebagai peluang untuk melakukan kejahatan”

Bahwa, tindak kekerasan terhadap anak kecenderunganya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai keterikatan batin dengan anak sebagai korban. Oleh karena itu, pelaku mengasumsikan bahwa hukum negara tidak relevan dalam kasus kekerasan yang dilakukan, sepanjang hal tersebut tidak menyangkut hak orang lain diluar hubungan kekerabatan pelaku. Oleh karena itu, dari sisi ini pelaku kejahatan melihat hukum sebagai peluang untuk melakukan kejahatan karena hukum kekerasan terhadap anak baru-baru ini saja diundangkan dan penegakannya pun masih bersifat parsial.

7) PREMISE VII : “Asosiasi Diferensial bervariasi dalam frekuensi, durasi, prioritas serta intensitasnya”.

Timbulnya kejahatan terhadap anak dan bayi merupakan fakta baru di bidang hukum kriminologi, khususnya di Indonesia. Perkembangan kasus kekerasan yang dialami anak dan bayi yang belakangan santer karena terjadinya peningkatan tajam dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Bahkan, kualitas dari kejahatannya pun semakin variatif dengan berbagai modus operandi yang tergolong sadistis, seperti : meracuni, menenggelamkan dalam air, mutilasi, dsb. Sederhananya, kekerasan terhadap anak jumlahnya, intensitas, durasi, dan prioritasnya belakangan ini semakin mengkhawatirkan.

8) PREMISE VIII : “Proses mempelajari perilaku jahat diperoleh melalui hubungan dengan pola-pola kejahatan dan mekanisme yang lazim terjadi dalam setiap proses belajar secara umum”.

Pada saat perilaku jahat timbul, setidaknya orang dewasa menyerap arus informasi melalui komunikasi, namun penyerapan informasi dari sisi pelaku didasarkan pada kekeliruan pemahaman. Singkatnya, pelaku mengartikan secara negatif peristiwa kejahatna yang sama seabgia suatu cara untuk melakukan kejahatan. Disini terbentuk suatu proses pembelajaran umum bagi si pelaku untuk melakukan kejahatan yang sama, sehingga pada saat kejiwaan pelaku tidak stabil, maka akan melahirkan kejahatan yagn sama atau kejahatan yagn berbeda namun tetap sebagai bagian dari pengembangan pola kejahatan yang terdahulu.

Jadi, pola kekerasan terhadap anak timbul sebagai akibat dari adanya persepsi yang salah dalam diri pelaku mengenai hakekat kejahatan. Proses pembelajaran negatif secara sadar akan menghasilkan kejahatan yang sama. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila kemudian anak dilihat sebagai korban yang paling tepat. Anak yang pada dasarnya mempunyai hubungan keterikatan batin dan atau lingkungan dengan pelaku akan menjadi sasaran ideal untuk melampiaskan kefrustasian karena faktor tekanan hidup.

9) PREMISE IX :“Perilaku jahat merupakan ekspresi dari kebutuhan nilai umum”

Disini dikatakan kejahatan sebagai ekspresi dari kebutuhan nilai umum, dimana perilaku kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak biasanya cenderung terjadi karena anggap bahwa orang dewasa berwenang mutlak terhadap anak. Kenyataan ini dapat dilihat dari berbagai kasus yang mengemuka bahwa pelaku kejahatan membenarkan tindakan yang menyakiti anak sebagai bagian dari ekspresi.

Keharusan yang demikian tidak timbul serta merta, melainkan adanya kekeliruan pemikiran pelaku menyangkut keterwujudan suatu ekspresi. Bahkan, dalam banyak kasus masyarakat kita masih cenderung memelihara budaya kebiasaan yang membenarkan memukul anak seabgai ekspresi hukum apabila anak yagn bersangkutan melakukan kesalahan. Metode didikan yang demikian sudah lama hidup dan berkembang dalam kultur budaya masyarakat kita, sehingga tidak mengherankan apabila kemudian pada taraf tertentu tindakan memukul masih dianggap sebagai kelajiman. Namun disadari atau tidak, ternyata secara psikologis bentuk penyiksaan psikis terhadap anak meningkat dalam skala jumlah maupun variasi yang berujung pada korban jiwa.

V. Penutup

Berdasarkan uraian pembahasan tersebut diatas, maka kekerasan terhadap anak yang timbul dewasa ini jika dikaji secara sosiologis dengan menggunakan pisau analisis teori asosiasi diferensial yang dicetuskan oleh Edwin H. Shuterland disimpulkan sebagai berikut :

1. Keberlakuan teori asosiasi diferensial dalam kasus penyimpangan perilaku dengan jalan kekerasan terhadap anak didasarkan pada metode pembelajaran kejahatan (experience), cara (method), frekuwensi (frequency), durasi (duration), serta tidak semata-mata dilahirkan karena adnaya pewarisan, melainkan sesuatu yang dipelajari melalui proses komunikasi verbal ataupun non verbal.

2. Timbulnya kekerasan terhadap anak (kejahatan) dalam persfektif teori asosiasi diferensial yang didasarkan pada sembilan premise linear pada kenyataanya mengandung kebenaran kasuistik, sehingga terbukti bahwa dalam banyak kasus kejahatan timbul disebabkan oleh sembilan dalil yang berlaku secara keseluruhan sebagaimana diuraikan oleh Edwin H. Shuterland dalam teorinya.

3. Kekerasan terhadap anak yang dinilai sebagai ekspresi nilai umum bertalian pula dengan faktor ekonomi, politik, media, penegakan hukum dan psikologis. Bahkan, faktor budaya sebagai bagian yang turut menyumbangkan penyimpangan perilaku. Untuk itu perlu dilakukan pembenahan berkenaan dengan asumsi terhadap nilai didikan dalam perspektif budaya, hukum, ekonomi, psikologis dan kebijakan politik.


DAFTAR PUSTAKA

BUKU :

Delos H. Kelly, Deviant Behavior”, ST. Martin Press, 1979 New York.

Edwin H. Sutherland dan Donald R. Cressey, “Principles of Criminology”, New York Lippincontt Company, 1974, New York

Kusno Adi, “Kebijakan Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Oleh Anak”, UMM Press, 2009, Malang

Mark Costanzo, “Psycology Applied to Law”, Wardswort / Thomson Learning”, 10 Davis Drive, Belmont, USA

Tb. Ronny Rahman Nitibaskara, “Perangkap Penyimpangan dan Kejahatan”, YPKIK, Jakarta, 2009

_________________________________, “Tegakkan Hukum Gunakan Hukum” Kompas, Jakarta, 2006.

_________________________________, Ketika Kejahatan Berdaulat”, M2 Print, Cetakan Kedua 2004, Jakarta.

ARTIKEL DAN SITUS TERKAIT :

Alfin Nitihardjo, “Perilaku Menyimpang”, lih. pada http://www.alfinnitihardjo. ohlog.com/ perilaku-menyimpang.oh112678.html,

Harian Kedaulatan Rakyat, Jogjakarta, 19 Januari 2009,

Media Indonesia, tanggal 12 Juli 2010, sebagaimana dikutib Gugus Tugas Nasional

http://www.menegpp.go.id/menegpp.php?cat=detail&id=media&dat=495

Tadeus D. Wardhana, “Tindak Kekerasan Terhadap Anak”, 19 September 2008, sebagaimana dikutib dari buku berjudul “Child Abuse” Gelles Richard, J., Microsoft Sudent 2008 (DVD) Redmond, WA : Microsoft Corporation, 2007.

Www. Kompas.Com, Jumat 19 Maret 2010



[1] Alfin Nitihardjo, “Perilaku Menyimpang”, lih. pada http://www.alfinnitihardjo. ohlog.com/ perilaku-menyimpang.oh112678.html,

[2] Ibid.

[3] Edwin H. Shuterland, “Criminology”, Tenth Edition, J.B. Lippincot Company 1978, Hlm. 80-82

[4] Lih. artikel “Perilaku Menyimpang” pada http://www.alfinnitihardjo.ohlog.com/perilaku-menyimpang.oh112678.html, tanggal 26 September 2010.

[5] Sebagaimana diungkapkan Ketua Komnas Perlindungan Anak (PA) Arist Merdeka Sirait

kepada Warta Kota, pada hari Selasa tanggal 21 Desember 2010

[6] Ibid. Warta Kota, 22 Desember 2010

[7] Harian Kedaulatan Rakyat, Jogjakarta, 19 Januari 2009, hlm. 1.

[8] Media Indonesia, tanggal 12 Juli 2010, sebagaimana dikutib Gugus Tugas Nasional

[10] Lih. Www. Kompas.Com, Jumat 19 Maret 2010

[11] Ibid

[12] Ibid

[14] Tb. Ronny Rahman Nitibaskara, “Perangkap Penyimpangan dan Kejahatan”, YPKIK, Jakarta, Juni 2009, Hlm. 147

[15] Ibid 146

[16] Ibid.

[17] Tadeus D. Wardhana, “Tindak Kekerasan Terhadap Anak”, 19 September 2008, sebagaimana dikutib dari buku berjudul “Child Abuse” Gelles Richard, J., Microsoft Sudent 2008 (DVD) Redmond, WA : Microsoft Corporation, 2007.

[18] Ibid.

[19] Tn. Ronny Rahman Nitibaskara, “Tegakkan Hukum Gunakan Hukum”, Kompas, Jakarta, 2007, Hlm. 203

[20] Ibid. Hlm. 206-207

[22] Ibid.

[23] Ibid.

[24] Log.,cit. Tb. Ronny Rahman Nitibaskara Hlm. 203

Tidak ada komentar:

Posting Komentar