Senin, 25 April 2011

PENEGAKAN HUKUM

“LAW ENFORCEMENT” DAN INDEPENDENSI ADVOKAT

(Sebuah Persfektif Profesi Hukum Dari Masa Lalu, Kini, dan Harapan di Masa Mendatang)[1]

Abstrak

Advokat sebagai profesi mulia (officium nobile) berangkat dari ketradisionalan menuju fenomena modernisasi ditengah-tengah arus globalisasi yang secara konservatif telah merasuki semua bangsa di berbagai belahan dunia, tanpa terkecuali Indonesia sebagai negara dunia ketiga (Third world). Sebagai profesi yang terhormat, Advokat mempunyai korelasi dengan aparat penegak hukum lainnya dalam menjalankan penegakan hukum, oleh karena itu, Advokat dalam menjalankan fungsinya harus dilindungi dan dipagari kode etik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pentingnya kode etik profesi Advokat sebagai landasan moral bertujuan untuk memberikan tolak ukur tanggung jawab (liability) dan independensi Profesi.

Keywords :Advokat, Profesi, Kode Etik, Tanggung Jawab, Independensi”.

I. Pendahuluan

Dewasa ini penegakan hukum (law enforcement) dalam kerangka ‘rule of law’ semakin melekat dalam perencanaan pembangunan ekonomi (economic development) nasional Indonesia. Pembangunan ekonomi ini didasarkan pada penataan sistem hukum (legal system) melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku. Meminjam istilah Lawrence M Friedman[2], sistem hukum terdiri dari tiga elemen (unsur) penting, yaitu : structure, substance, dan legal culture. Hukum sebagai pondasi awal dalam pembangunan ekonomi diterjemahkan ke dalam aspek pembaharuan hukum melalui tiga elemen tersebut. Ketiga elemen ini diyakini akan menciptakan hukum yang populis dan dinamis bagi masyarakat (society), terutama masyarakat negara berkembang (development countries) seperti Indonesia.

Secara sederhana dapat dikemukakan, bahwa hukum menjadi sarana (tools) pembaharuan untuk tercapainya negara kesejahteraan (welfare state). Hukum diasumsikan berlaku akomodatif jika ketiga elemen dalam sistem hukum tertata secara tepat.[3] Tesis hukum sebagai penggerak pembangunan melalui sektor perencanaan telah diidekan kira-kira empat samapi lima dasawarsa yang lalu dalam GBHN.[4] Demikian pula sebaliknya, pengoperasian hukum tidak akan maksimal jika ketiga elemen sistem hukum tidak bekerja secara baik.

Sejak pasca bergulirnya reformasi, pemerintah gencar mencanangkan berbagai program penegakan hukum, seperti : pembentukan dan atau perubahan peraturan perundang-undangan (substansi), pembentukan institusi hukum baru dan direalisasikannya peradilan-peradilan kekhususan (struktur) serta kampanye dan penyuluhan hukum (budaya hukum). Keseluruhan implikasi ini dimaksudkan untuk menciptakan asas peradilan yang “sederhana, cepat, dan biaya ringan”[5] sebagai bagian yang integral dengan kerangka penegakan hukum.

Berkenaan dengan tiga elemen sistem hukum sebagaimana disebutkan oleh Lawrence W. Friedman tersebut diatas, peranan Advokat sebagai salah satu aparat penegak hukum yang tidak kalah sentral-nya dalam proses hukum (due process of law) bila dibandingkan dengan fungsi aparat penegak hukum lainnya, seperti : hakim, jaksa dan kepolisian. Hal ini dikarenakan, tiga faktor utama yaitu : Pertama, Advokat secara historis kelembagaan merupakan aparat penegak hukum yang bersifat independen atau mandiri. Kedua, Advokat secara artifisial tidak termasuk ke dalam lembaga negara, seperti kehakiman, kepolisian dan kejaksaan sehingga bertanggung jawab atas tindakannya sendiri. Ketiga, Profesi Advokat dalam praktik masih sering sekali diasumsikan bukan sebagai aparat penegak hukum. Ada kesan, bahwa Advokat berada diluar dari mekanisme kelembagaan penegak hukum.

Oleh karena itu, sejak tanggal 5 April 2003 disahkan dan diundangkan UU No. 18 tahun 2003 tentang Advokat[6]. Melalui UU Advokat tersebut secara afirmatif kedudukan dan fungsi Advokat sebagai aparat penegak hukum. Disamping itu, pada tatanan internal sesungguhnya Advokat mempunyai kode etik sebagai aturan profesi. Pentingnya peranan advokat dalam proses penegakan hukum, tercermin dari politik hukum yang dianut dalam UU No. 18 tahun 2003 tentang Advokat yang antara lain dapat dilihat pada bagian penjelasan pasal ketentuan umum undang-undang tersebut.[7] Sebagai catatan, UU No. 18 tahun 2003 tentang Advokat terdiri dari 13 Bab dan 36 Pasal.

Peranan advokat jika dikaitkan dengan tiga elemen sistem hukum terletak pada stuktur hukum. Sedangkan stuktur itu sendiri berkaitan erat dengan landasan aturan hukum yang bersifat internal (secondary rules)[8] dalam praktek pelaksanaan profesi. Aturan (rules) ini kadang-kadang diterjemahkan sebagai kode etik profesi, namun dilain pihak penegakan aturan “per se” kode etik (dalam arti : moral) kadang-kadang membingungkan.[9] Pelanggaran moral barulah mendapat dukungan hukum apabila ia telah memasuki ranah hukum (peraturan perundang-undangan) yang secara tegas negara mengenakan sanksi.

Dalam menjalankan fungsi, tugas dan kewenangan Advokat sebagai profesi mulia harus mengendepankan kode etik sebagai barometer. Penegakan kode etik ini telah disinggung secara normatif sebagaimana pada Bab IX pasal 26 dan 27 UU No. 18 tahun 2003 tentang Advokat.[10] Lebih lanjut, pengaturan Kode etik profesi ini dimanifestasikan ke dalam praktik pelaksanaanya dengan mengacu pada Kode Etik Advokat Indonesia yang disahkan oleh 8 (delapan) Organisasi Advokat[11] yang terhimpun dalam Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) pada tanggal 23 Mei 2002.

Pentingnya Kode Etik Profesi Advokat sama halnya dengan penegasan hukum yang berlaku dalam pergaulan masyarakat. Namun secara karakteristik, kode etik hanya berlaku dalam lingkup profesi itu sendiri. Dengan lain perkataan, seseorang Advokat baru dapat dikenakan sanksi hukum apabila telah terbukti secara kode etik melakukan pelanggaran dan pelanggarannya pun harus dilihat dalam ranah hukum yang mana.

Berdasarkan uraian penulis diatas, kesentralan kode etik mendeskripsikan bagaimana seharusnya perilaku Advokat sebagai aparat penegak hukum dalam menjalankan profesinya. Sehubungan dengan paparan diatas, sekarang pertanyaaan yang perlu dikaji dalam perspektif hukum adalah : Bagaimanakah peranan kode etik Advokat dalam mempertahankan independesi profesi ?, selanjutnya, upaya-upaya apakah yang harus ditempuh untuk menciptakan profesionalisme advokat dalam penegakan hukum. Kemudian, pertanyaan terakhir bermuara pada persoalan klasik : bagaimanakah peranan advokat dalam pembangunan ekonomi dimasa kini dan harapan di masa mendatang ?

Makalah ini akan membahas pokok-pokok permasalahan yang diajukan dengan bertitik tolak pada paparan deskriktif yang mengetengahkan pemetaan profesi Advokat dalam relevansinya dengan tatanan kode etik. Adapun makalah ini juga akan tulisan juga bersifat preskriktif, selanjutnya diakhir tulisan diuraikan berupa kesimpulan singkat.

II. Tinjauan Singkat : Profesi dan Organisasi Advokat Indonesia Dalam Lintas Sejarah

Pada awal sejarah yang bisa ditelusuri, Advokat dikenal mulai dari Balie Van Advocaten yang menjelma menjadi Persatuan Advokat Indonesia (PAI), sebagai cikal bakal untuk membentuk / mendirikan Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN). Atas prakarsa pemerintah untuk mempersatukan Advokat kemudian dibentuk wadah tunggal dengan nama Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN). Selanjutnya, dalam perkembanganya IKADIN pecah dan dibentuk organisasi Asosiasi Advokat Indonesia (AAI). Kemudian, berturut-turut berdiri pula Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI) yang kemudian pecah dan berdiri pula Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia(HAPI). Setelahnya berturut-turut didirikan Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI).

Namun jauh sebelum itu, cikal bakal profesi awalnya dimulai dari diperkenalkannya Rechtshooge School (RH) pada jaman sebelum kemerdekaan. Rechtshooge School (RH) sebagai Pendidikan Tinggi Hukum yang pertama kali didirikan: 28 –10 – 1924 hanya beorientasi menyiapkan “ Tukang Trampil”akan tetapi setelah Indonesi merdeka muncul gagasan yang melahirkan sarjana hukum yang mampu berperan sebagai sarjana yang mampu mengubah pemahaman sosial, dengan hukum sebagai “A Tool of Social Engineering” seperti disampaikan oleh Mochtar Kusumaatmadja.[12]

Dalam perkembangan selanjutnya, sejak pasca reformasi, 8 (delapan) organisasi advokat yang ada sepakat untuk membentuk PERADI yang diawali dengan proses panjang. Pada masa itu, menurut Pasal 32 ayat (3) UU No. 18 tahun 2003 tentang Advokat menyatakan bahwa untuk sementara tugas dan wewenang Organisasi Advokat dijalankan bersama-sama oleh Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI). Untuk menjalankan tugas yang dimaksud, kedelapan organisasi advokat di atas, pada tanggal 16 Juni 2003 menyepakai memakai nama Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI). KKAI inilah yang menjadi cikal bakal terbentuknya wadah tunggal organisasi Advokat yang kini dikenal sebagai Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI).

Dalam koteks penegakan kode etik, di masa lalu sangat sedikit pelanggaran-pelanggaran kode etik profesi yang dapat dilihat, hal ini dapat dimaklumi mengingat pada masa itu dewan kode etik di masing-masing organisasi advokat kurang berfungsi secara baik. Bahkan, di era reformasi seperti sekarang ini dengan terbentuknya organisasi tunggal PERADI, kwantitas penegakan kode etik sebagai akibat adanya pelanggaran advokat dalam menjalankan profesinya tidak jauh berbeda dengan dimasa lalu. Sebagai contoh disini diambil, sejak berdirinya Dewan Pimpinan Daerah Perhimpunan Advokat Indonesia (DPD-PERADI) DKI Jakarta, baru 35 putusan[13] yang dihasilkan sehubungan dengan pelanggaran kode etik advokat. Mengenai hal ini ini, membutuhkan penelitian tersendiri yang khusus mengkaji dan menggali informasi untuk mengetahui persoalan-persoalan apa yang menjadi gejala penyebab sedikitnya pelanggaran kode etik yang disidangkan.

III. Peranan Kode Etik Dalam Profesi Advokat

A. Prinsip “Independesi” dan Keteraturan Profesi

Advokat sebagai salah satu pilar penegak hukum. Organisasi Advokat secara hierarkis kelembagaan menempatkan diri sebagai katalisator dalam proses hukum dan penegakan kode etik. Oleh karena itu, fungsi dan peranan Advokat sangat urgen untuk terciptanya keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum bagi para pencarinya. Untuk menjalankan fungsi itu, maka Advokat harus berpegang teguh pada prinsip “independesi”. Sebagai negara yang berdasarkan hukum (rechts staats), Indonesia mengedepankan hukum sebagai pisau analisis dalam menyelesaikan sengketa hukum (disputes settlement). Jadi, kapasitas hukum disini sebagai sarana (tools) untuk mencapai keadilan. Hukum tidak bertindak menjadi keadilan itu sendiri, melainkan hukum menjadi sarana penggerak perubahan sosial yang dijalankan oleh aparatur hukum, termasuk Advokat.

Prinsip independensi ini setidaknya harus didasarkan pada dua indikator pokok dalam praktek, yaitu : Pertama, Advokat dalam menjalankan profesinya harus mengedepankan kode etik sebagai tatanan moral yang menjadi pagar di dalam sistem pertanggung-jawaban (responsibility) terhadap masyarakat luas, termasuk kepada klien dalam proses penanganan perkara. Kedua, keteraturan perilaku dalam menjalankan profesinya. Advokat harus menempatkan diri sebagai aparat hukum yang tidak boleh melanggar hukum dalam menjalankan profesi. Kedua mekanisme ini menjadi ujung tombak profesi yang pada tempat berbeda menjadi tugas dan tanggung jawab organisasi profesi untuk mengawasi pelaksanannya.[14] Pada tatanan ini, maka dibutuhkan aturan kedua (secondary rules)[15] yang berlaku bagi Advokat, seperti UU No. 18 tahun 2003 tentang Advokat dan Kode Etik Profesi Advokat.

Prinsip Independesi advokat diatur pada pasal 25 ayat (1) UU No. 18 tahun 2003 tentang Advokat yang menyatakan :

(1) Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan.

Tujuan penegakan prinsip Independesi ini adalah untuk menciptakan harkat dan martabat Advokat yang profesional di mata masyarakat luas, walaupun pada praktek pelaksanaannya tidak mudah. Mengingat, ketidakteraturan tata peraturan perundang-undangan yang berlaku seringkali menghambat penegakan hukum dan hukum berlaku secara tidak pasti (unpredictable).

Dilain situasi, adakalanya hukum tidak mampu menjangkau keterasingan sosial yang berkembang di dalam masyarakat kita. Oleh karena itu, kadang-kadang seperti di era refomasi yang mengemuka dewasa ini, konsep hukum dengan moral seringkali dikotomi oleh sudut pandang aparat penegak hukum yang berada di wilayah abu-abu. Bahkan, tak jarang hukum dalam lapangan praktek diterjemahkan sebagai moral, sehingga dalam banyak kasus kita melihat bagaimana aplikasi hukum yang membingungkan dan absurd.

Menurut Michael Ager, dalam rangka menjalankan fungsi hukum sebagai “a tool of social engineering”, hukum sebagai sarana pembangunan dapat mengabdi pada 3 (tiga) sektor yaitu :

1. Hukum sebagai alat penertib (Ordering)

Dalam rangka penertiban ini hukum dapat menciptakan suatu kerangka bagi pengambilan keputusan politik dan pemecahan sengketa yang mungkin timbul melalui suatu hukum acara yang baik. Ia pun dapat meletakkan dasar hukum (legitimacy) bagi penggunaan kekuasaan.

2. Hukum sebagai alat penjaga keseimbangan (balancing).

Fungsi hukum dapat menjaga keseimbangan dan keharmonisan antara kepentingan negara/kepentingan umum dan kepentingan perorangan.

3. Hukum sebagai katalisator.

Sebagai katalisator hukum dapat membantu untuk memudahkan terjadinya proses perubahan melalui pembaharuan hukum (Law Reform) dengan bantuan tenaga kreatif di bidang profesi hukum.[16]

Tanpa adanya pengawasan (check and balance) dalam proses hukum melalui tugas dan fungsi Advokat, mustahil rasanya hukum akan mampu bergerak ke arah pencapaian keadilan yang menjadi substansi tujuan pokok. Pentingnya peranan Advokat sebagai aparat penegak hukum berlaku secara universal di berbagai negara, tanpa terkecuali ditengah-tengah masyarakat Indonesia yang dikenal komunal. Dimana hukum yang hidup (living law) seringkali diadaptasi dari adat-istiadat dan kebiasaan yang diyakini komunitasnya, namun kurang diakomodir dalam peraturan perundang-undangan oleh legislatif. Peraturan yang ada diterapkan secara a-priori dalam lapangan hukum yang tak jarang mengorbankan sosial kemasyarakatan. Gejala ini secara langsung atau tidak langsung akan berdampak pada pembangunan hukum.

Menurut J.D. Nyhart mengatakan : “Development plan being implemented in countries throughout the world frequently suggest some idea of the scope and variety of legal work that will be required”.[17] Berdasarkan pengertian ini, implemetansi pembangunan hukum suatu negara harus didukung oleh adanya ide yang ditetapkan melalui kerangka atau konsep yang dikehendaki. Sedangkan kerangka hukum itu sendiri terdapat dalam sistem hukumnya.

Advokat sebagai profesi penegak hukum harus berada dalam sistem hukum, sehingga dapat secara pro-aktif memposisikan hukum dalam berbagai aplikasi praktek pelaksanaan hukum yang semesti dijalankan. Advokat sebagai bagian dari suatu sistem peradilan jika dihubungkan dengan elemen sistem hukum yang dicetuskan Lawrence W. Friedman, maka Advokat menjadi bagian dari struktur hukum. Stuktur hukum ini mencakup institusi hukum dan aparat hukum.

Selanjutnya, legalisasi penegakan kode etik menjadi fungsi pokok dari organisasi Advokat. Terciptanya kenetralan organisasi Advokat sebagai lembaga yang bertugas mengawasi pelaksanaan profesi hukum harus dilaksanakan secara “fairness”. Prinsip fairness ini untuk menjamin kesinambungan kepercayaan masyarakat luas tentang penegasan sanksi pelanggaran yang dilakukan Advokat sebagai negasi dari keterpisahan antara advokat dengan organisasi advokat. Sederhananya, organisasi Advokat bukan sebagai badan atau wadah yang berfungsi melindungi kesalahan advokat di dalam menjalankan profesinya. Penindakan pelanggaran kode etik ini dalam praktek lajimnya dijalankan oleh Dewan Kehormatan Profesi. Sejalan dengan itu, UU Advokat mengatur pula ihwal pengawasan Advokat melalui Komisi Pengawas (Pasal 12-13) yang lingkup tugasnya kurang lebih sama dengan Dewan Kehormatan Advokat.[18]

Pentingnya organisasi Advokat juga berfungsi sebagai medium bagi Advokat untuk menjembatani proses hukum yang sedang dijalankan seorang Advokat dengan penegak hukum lainnya dalam hal ditemukannya berbagai kendala-kendala yang dihadapi dalam menjalankan tugas profesi. Organisasi Advokat sebagai bagian dari maturasi bertujuan menghasilkan Advokat yang profesional melalui pelatihan berbagai keterampilan hukum. Berdasarkan uraian diatas, bahwa prinsip independesi disatu pihak dengan prinsip fairness dipihak lain merupakan motor penggerak terciptanya profesi Advokat yang sesuai dengan kode etik.

Penegasan aturan profesi melalui proses evaluasi juga dibutuhkan untuk menakar penyimpangan perilaku Advokat dalam menjalanakan profesinya. Tugas ini diemban organisasi Advokat sebagai wadah yang bertugas menegakkan kode etik. Penegakan kode etik ini dapat ditempuh dengan berbagai cara, misalnya : mengadakan aturan yang berkenaan dengan adanya laporan tehnis tahunan yang diwajibkan bagi tiap Advokat. Sehingga secara umum organisasi Advokat dapat memantau proses keterlibatan Advokat dalam menjalankan profesi melalui penagangan suatu perkara. Untuk selanjutnya, diupayakan pula proses evaluasi untuk mengatasi berbagai rintangan yang dihadapi.

B. Disparitas Teori Hukum dengan Praktek Hukum

Telah banyak diskusi yang dilakukan para ahli hukum Indonesia berkenaan dengan disparitas hukum dalam dimensi teori dan praktik.. Bahkan, tak jarang semakin memperuncing asumsi pola praktek pelaksanaan hukum dengan teori hukum yang ada. Disparitas antara teori hukum dengan praktik hukum ini dapat dilihat dalam berbagai putusan lembaga peradilan, doktrin hukum, dan pengejewantahan aplikasi Jurisprudensi dalam banyak kasus. Bahkan, hukum pada tingkatan yang lebih jauh tendensinya semakin berada diluar keadilan.

Melihat sisi lain hukum sebagai bagian dari praktik hukum, Advokat dalam menjalankan profesinya sebagai aparat penegak hukum sangat dirugikan sebagai akibat adanya disparitas yang dimaksudkan diatas. Disparitas ini sebagai wujud dari tidak terprediksinya hukum dalam sebuah sistem yang berlaku. Oleh karena itu, hukum menjadi tidak kondusif dan Inkonsisten. Untuk dapat dikategorikan bekerjanya hukum di dalam pembangunan ekonomi, maka hukum harus : predictability, procedural capability, codification of goal, education, balance, definition and clarity of status, dan accomodation.[19] Khusus menyangkut peranan pendidikan hukum yang menjadi faktor bekerjanya hukum di dalam sebuah sistem akan dibahas pada bagian berikutnya tulisan ini.

Pengalaman Amerika Latin menunjukkan sebagai berikut :

“In Latin America countries, conference participants noted that a history of 300 years of an independent Bar has evolved a pattern different from that in United States”.[20]

Kenyataan diatas, medeskripsikan bagaimana negara berkembang menempuh cara yang berbeda dalam membangun sistem hukum bila dibandingkan dengan Amerika Serikat yang membangun tiga elemen hukum sebagai sub-sistem secara parsial. Artinya ada prioritas pembenahan. Pembangunan substansi hukum disini bertujuan untuk mengurangi disparitas penegakan hukum dalam kosep teori dan praktik. Substansi hukum ini perlu ditata ulang untuk memudahkan proses penegakan hukum. Substansi hukum yang tertata dengan baik akan memudahkan Advokat dan penegak hukum lainnya menjalankan profesi.

Mengingat banyaknya tumpang tindih peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, maka peranan organisasi Advokat sangat penting dimaksimalkan untuk tercapainya pendorongan kebijakan interrelasi antara Advokat dengan proses penegakan hukum yang ada. Lebih jauh lagi, organisasi Advokat seharusnya dapat dilibatkan oleh legislatif maupun eksekutif dalam merumuskan kebijakan hukum yang ada. Tujuan keterlibatan ini tidak lain sebagai upaya mensinkronkan antara praktek dan teoritis hukum. Namun sayangnya, pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia sangat dominan pada cara Top-Down[21].

Kegamangan hukum di lapangan praktek dapat dilihat dari sulitnya memprediksi arah hukum dalam putusan berbagai sengketa (case). Alhasil, proses Advokat dalam menjalankan profesinya cenderung : berbiaya tinggi (high cost), menghabiskan waktu dan tenaga yang kadang-kadang merugikan praktek hukum. Sementara, dalam situasi lain Advokat dituntut oleh klien agar menekan segi pembiayaan, waktu dan tenaga. Tanpa terprediksinya hukum yang disebabkan oleh disparitas antara teori dan praktek hukum akan dengan sendirinya menghambat Advokat dalam menjalankan profesionalismenyai. Padahal, hal yang demikian itu masih dapat diminimalisir jika terdapat sinkronisasi pada taraf peraturan perundang-undangan.

Persoalan menarik lainnya, disparitas hukum itu timbul sebagai akibat dari adanya perbedaan kontras praktek penegakan hukum yang dihadapi antara sesama aparat hukum. Sementara itu, Advokat sebagai penegak hukum yang independen tidak dapat disangkal mempunyai keterbatasan dana, waktu, dan tenaga dalam tiap penyelesaian sengketa. Perbedaan paradigma antara aparat hukum ini bersumber pada budaya hukum aparat penegakan hukumnya. Disini melibatkan banyak faktor, seperti : budaya korupsi, profesionalitas, SDM (pendidikan), dan lain sebagainya.

Jadi untuk mensinkronkan hukum di dalam teori dan pratek, maka penegakan hukum harus dimulai dari pembenahan budaya hukum aparatur hukum, khususnya Advokat. Faktor budaya hukum ini berkenaan dengan manusianya (the man behind the law).[22] Dalam sistem hukum, yang dimaksud dengan sumber manusia hukum adalah anggota masyarakat yang secara institusioal mengemban penyelenggaraan hukum, yaitu mereka yang membentuk hukum dan menegakkan hukum serta yang memberikan pelayanan hukum, seperti hakim, jaksa, polisi, pengacara, petugas pemasyarakatam dan sebagainya. Keberhasilan hukum ditentukan oleh kualitas mereka.[23]

Mengenai persoalan klasik perbedaan antara praktek hukum dengan teori hukum sebagai bentuk disparitas penegakan hukum yang timbul di negara berkembang, hal ini pernah pula disinggung oleh Michael Hager dengan menyatakan :

“The gap between theory and practice. Closely related to the problem of remoteness is the disparity between law in theory and law in practice. In many underdeveloped countries, formal legalism supplants legality. The impact of consititutional and statuory mandates upon everyday life may be negligible. Example of ineffectual law abound. In Latin America the zeal for legislative enacttemen of land reform has been exceeded by the ungness or innability of the government implement the laws....dst”.[24]

Disparitas antara teori hukum dan praktek bagi Advokat Indonesia sebagai penegak hukum menjadi dilema tersendiri. Untuk mengurangi ketegangan ini, maka Advokat harus mampu memaksimalkan penggunaan hak-hak hukumnya sebagai penegak hukum melalui instrumen peraturan perundang-undangan yang ada. Dengan tetap berpegang teguh pada UU No. 18 tahun 2003 dan Kode Etik Profesi, maka Advokat di dalam praktek dapat pula memberikan penyuluhan hukum sebagai bagian dari proses pendewasaan budaya hukum masyarakat. Untuk selanjutnya, perlu digagas melalui asosiasi advokat yang ada agar duduk bersama-sama dengan aparat penegak hukum lainnya untuk membahas berbagai kemungkinkan diciptakannya standar-standar baku mekanisme proses hukum sebagai pengisi kekosongan hukum sehingga fleksibilitas hukum dalam dimensi praktis dimungkinkan lebih mudah.

C. Pendidikan Hukum Sebagai Bagian dari Mendorong Profesionalisme Advokat dan Adaptasi Budaya

Persoalan lain yang tak kalah menariknya di bidang profesi Advokat adalah pendidikan hukum. Sebagaimana disinggung sebelumnya, bahwa indikator untuk mengetahui kondusifnya hukum dalam pembangunan maka hukum harus dapat diprediksi. Menarik pula mencermati studi hukum dalam pembangunan yang dilakukan oleh Bug’s. Untuk kondusifnya hukum dalam pembangunan menurut Bug’s hukum harus :[25] “(1) stability ; (2) predictability ; (3) fairness ; (4) education and (5) the special development abilities of the lawyer”.

Kelima elemen tersebut dijelaskan pula oleh Leonard J. Theberge dalam tulisannya sebagai berikut : [26]

The need for predictability is especially great in countries where most people are entering for the time into economic relationship beyond their traditional social environemnt. Included in the stability function is the potential of law to balance and accomodate competing interest.

Aspect fairness, such as due process, equality of treatment, and standards for goverment behaviour, have been epmhasized by other writes as necessary of bureaucratic excess. A lack of standards fairness is said by some scholars to be one ot the greatest problems conforting LCD’s.[27]

Selanjutnya, dikatakan pula : [28]

“The close connection between law and the humanities characteristic of the early American Lawyer did not survivie the century. The “more technical guidelines” for the prcatice of law absent at the birth of the republic began to supplied in a systematic way at the end of the nineteenth century. During the period from 1870 to 1890 it became more difficult to gain admission to many state bars”.

Dari uraian diatas, terlihat dengan jelas bagaimana peranan Sarjana Hukum dalam pembangunan ekonomi di suatu negara. Pengalaman Advokat di Amerika Serikat sebagai bukti pentingnya pendidikan hukum yang menjadi cikal bakal lahirnya profesionalisme dan kemandirian profesi.

Berkenaan dengan pendidikan hukum, uraian dibawah ini menjelaskan : [29]

“Perhaps the central quetions embedded in the intelectual woodwork of the law school is, what should a good lawyer be? In searching out answer to this quetion, one is struck by the relative paucity of material seriously exploring competing positions... Despite the relative absence of a comprehensive discussion of what a good lawyer is, one conception or another of the good lawyer is inevitably presupposed by legal education. The practice of any legal education makes it impossible to operate a conseption of the good lawyer ; because of importance of this issue in the life of the law, “those commited to legal education should take it on directly and reflectively rather than to allow it to get settled through custom, immatention, indifference, or ill-considered ideas and argument”.

Lebih lanjut dinyatakan pula :[30]

“...Legal education today is insturmental owing to a belief that lawyers must be trained to perform their practical roles in society... for the practical situations a lawyer may confront demand an ability to think adaptively and creatively. Often there will be no rule on unambigiouspolicy to which one might appeal in the course of making a decision or giving a recommendation to a client. Legal decisions are typically the result of the kind of human judgment that goes well beyond the methodical application of legal rules.”

Pada dasarnya, Amerika Serikat dalam membangun perekonomiannya melalui pembenahan sistem hukum kurang lebih telah berjuang selama kurun waktu 300 tahun untuk sampai pada taraf keberhasilan seperti sekarang ini. Perlu digarisbawahi bahwa pengalaman Amerika Serikat dalam rentang waktu tersebut, tidak serta merta membangun budaya, substansi, dan struktur hukum dengan melakukan perubahan sekaligus, melainkan secara parsial. Dengan lain perkataan, ketiga elemen yang diperbaharui dalam sistem hukum tidak berjalan secara bersamaan atau serentak dijalankan. Adapun pembangunan hukum melalui profesi Advokat di Amerika Serikat sudah dimulai pada tingkat pendidikan hukum di universitas-universitas. Metode pendidikan dari penelitian (research) diarahkan kepada pengajaran hukum yang mencanangkan studi hukum aplikatif. Sebagai contoh, untuk bidang hukum kesalahan (tort) di Amerika Serikat telah diajarkan secara mendalam dalam bentuk mata kuliah kekhususan atau tersendiri. Demikian pula hukum bidang perancangan kontrak. Jadi, pendidikan hukum di Amerika Serikat dan negara-engara Eropa pada umumnya sejak dini telah ditata sedemikain rupa untuk menciptakan aparat penegak hukum aygn handal, seperti : Advokat, Polisi, Hakim dan Jaksa. Bahkan, pada tingkat legislatur di Amerika Serikat peranan Sarjana Hukum mengambil posisi sentral dan terutama.

Perbedaan tajam antara kontribusi sarjana hukum di dalam pembangunan di negara berkembang dengan negara maju sebagai output pendidikan dapat dilihat dalam kutib sebagai berikut :

Lawyer have of course played a more or less importan part as legislators, in the shaping of modern planning and welfare legislation...dst (di negara berkembang)

In the tradition of the west, the lawyers has contributed to the development of the legal system, and thus in some way to the development of society, mainly as judge, advocate and scholar. He has also been concerned with legislative change- as a member of a law revision commitee, a parlimentary or extra parlimentary commission, as an expert in a government development, or as parliementary draft-man”.[31]

Pengalaman Amerika Serikat dan negara barat tersebut diatas, sangat jauh berbeda apabila dibandingkan dengan strategi yang ditempuh Indonesia pada saat ini. Bahwa, praktek pembaharuan hukum di Indonesia ditempuh jalan mengangkat sekaligus perbaikan ketiga elemen sistem hukum. Ketiga elemen sistem dijalankan secara serempak, sehingga sulit untuk menciptakan prioritas pelaksanaan dan menghasilkan upaya maksimal. Jika kita cermati, secara faktual pembangunan hukum melalui proses akulturasi pendidikan hukum masih kurang sinkron dengan sistem hukum yang menjadi target. Adapun pendidikan kekhususan profesi Advokat dewasa ini hanyalah segelintir iupaya yang baru-baru ini dijalankan. Sedangkan di bidang pendidikan hukum pada tingkat perguruan tinggi, jenis metode pembelajaran yang diterapkan masih sebatas pada kajian- teoritis hukum yang kadangkala sangat jauh tertinggal jika dibandingkan dengan praktek hukum, sehingga dalam bentuk ini pengetahuan hukum menjadi tidak aplikatif. Hal ini menjadi kendala tersendiri bagi seorang sarjana hukum yang ingin bergelut di bidang Advokat setelah menyelesaikan sekolah hukum.

Pentingnya pendidikan hukum untuk menciptakan profesionalisme Advokat sebagaimana yang telah dirintis organisasi advokat baru-baru ini patut mendapat perhatian. Hal ini terutama karena pendidikan hukum itu sendiri berkait erat dengan jangkauan pelaksanaan kode etik dalam menjalankan profesi hukum. Fakta yang tidak dapat kita pungkiri adalah bahwa dalam praktek hukum masih sering ditemukan Advokat keliru dalam memahami batasan kode etik. Kurangnya pendidikan hukum yang diterima pada saat menempuh pendidikan hukum secara sadar mempengaruhi profesionalisme Advokat. Bahkan, lebih jauh lagi, kesalahan dalam menjalankan profesi hukum sebagai akibat kekurang-pahaman profesi akan menimbulkan malpraktik yang ujung-ujungnya merugikan para pencari keadilan.

Peranan Organisasi Advokat untuk menyokong Advokat dalam menjalankan profesi dapat ditempuh melalui pendidikan hukum. Peranan ini sangat membantu untuk mengangkat keterasingan Advokat Indonesia terhadap hukum-hukum yang baru sebagai akibat gejala globalisasi diarahkan pada penyatuan hukum antar bangsa, seperti dalam kerangka hubungan ekonomi dan perdagangan (misalnya AFTA, APEC, dan WTO).[32]

Pentingnya pendidikan hukum bagi Advokat dimulai dari pengaplikasian praktek hukum yang perlu diajarkan pada tingkat perguruan tinggi. Fakta menunjukkan bahwa pendidikan hukum di Indonesia perlu dirancang untuk menghasilkan para sarjana hukum yang tidak saja paham dalam masalah teori, tetapi mampu mempraktekkan ilmu mereka.[33] Dalam bentuk profesionalismenya, Advokat Indonesia akan menjadi negosiator handal pada sengketa tingkat internasional. Kelemahan juru runding dan perancangan perjanjian internasional dari Indonesia adalah kelihaian untuk melakukan perundingan dan perancangan itu sendiri.[34] Salah satu kegagalan Indonesia dalam merumuskan konvensi-konvesi atau pun perjanjian-perjanjian internasional adalah kuangnya keterlibatan Advokat sebagai kaum intelektual hukum. Akibatnya, perjanjian-perjanjian internasional yang ada sekarang ini, cenderung hanya menguntungkan negara maju, seperti : General Agreement on Tariff and Trade (GATT), Agreement Estabilishing the World Trade Organization (WTO), Agreement on Agriculture, Agreement on Trade Related Investment Measures (TRIMs), dan Agreement on Trade Related Aspects of Intelectual Property Rights (TRIPs).[35]

Salah seorang ekonom kenamaan asal Prancis pada Abad ke-19, Frederic Bastiat pernah mengemukakan :

“Dalam masalah pendidikan ini, hukum hanya memiliki dua pilihan : Ia bisa mengijinkan transaksi pengajaran dan pembelajaran ini untuk beropreasi secara bebasdan tanpa penggunaan paksaan, atau ia dapat memaksa keinginan manusia dalam hal ini dengan meminta sebagian dari mereka membayar para guru yang diangkat oleh pemerintah untuk mengajar orang lain, gratis”.

Dilema pendidikan secara umum, pendidikan hukum secara khusus memang menjadi persoalan klasik bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia. Oleh karena itu, tidak asing lagi bagi kita apabila kesempatan untuk menempuh pendidikan bagi masyarakat secara gratis masih tergolong kecil. Akibatnya, pendidikan kurang mendapat porsi pengeksplorasian yang berujung pada sempitnya wawasan keilmuan para sarjana di masa sekarang ini, terutamanya sarjana hukum yang menjadi bagian dari pembangunan ekonomi bangsa melalui proses adaptasi hukum, sehingga implikasinya terdapat gab antara sarjana hukum dengan dunia advokat sebagai praktisi. Demikian pula masyarakat Indonesia secara umum, bahwa ketidaktergalian pendidikan menyebabkan sulitnya transformasi modernisasi yang mengadopsi hukum global. Contoh tentang hal ini sangat berlimpah, seperti : Implementasi UU Hak atas Kekayaan Intelektual (Cipta, Merek, Desain Industri, Bio Tehnologi, dan sebagainya), UU Kepailitan, UU Informasi Tehnologi dan Transaksai Elektronik, UU Pencucian Uang, UU Kepabean sebagai proteksi atas industri dalam negeri. Hasil akhirrnya, pada lingkup profesi, masih sedikitnya Advokat yang mampu untuk melakukan interaksi dan adaptasi terhadap hukum barat yang mennganut modernisasi tersebut.

Sulitnya adaptasi para sarjana hukum dan penegak hukum dalam bidang profesi hukum di Indonesia sebagai akibat akumulasi ketidaktertataan pendidikan hukum, tidak jauh berbeda jika melihat pengalaman negara India, Prof. Von Mehren menyatakan, dikutib :[36]

“In India, the private law practice in developing countries offers fever financial or intelectual rewards than other profession and occupations. Consequently, a large number of lawyers in poor countries rely on government service for employement, often retaining a part-time practice directed to foreign concessionaires”.

IV. Profesionalisme Advokat Indonesia di Masa Kini dan Harapan di Masa Mendatang

Untuk kajian ini, terlebih dahulu dikutib pernyataan berikut :[37] “Doktrin modern menempatkan keputusan pengadilan dalam persfektif mereka yang sesuai dan mengindikasikan berbagai kebijakan yang mendasari legislasi”. Pada konsep ini, hukum modern secara faktual telah mulai memasuki berbagai sistem hukum yang ada, apakah sosialist system, common law system, civil law system dan sebagainya.

Proses perpindahan hukum antar bangsa diterapkan dengan berbagai cara, seperti : transplantasi hukum, pengenalan hukum internasioal baru dalam bentuk mengadopsi langsung, doktrin / ajaran hukum, perjanjian-perjanjian internasional yang mengikat maupun tidak (seperti UCP 600), dan kebiasaan-kebiasaan internasional lainnya.

Menariknya, Indonesia dan negara berkembang lainnya, termasuk pula negara maju bersama-sama dalam satu kasta persaingan di dalam memajukan perekonomian negaranya melalui pembangunan sistem hukum yang dianut masing-masing negaranya. Persaingan ekonomi ini dengan satu ketentuan bahwa tanpa adanya pengkalsifikasian sebagai akibat adanya perbedaan sumber daya manusia, modal (capital), pendapatan perkapita, manajemen, dan sebagainya. Bahkan ironisnya sesama negara berkembang sendiri tidak mempunyai kesepahaman narasi penegakan hukum dan kesatuan kans di masa mendatang.

Bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia kenyataan diatas merupakan persoalan yang cukup dilematis, mengingat negara-negara maju dalam pergaulan Internasional lebih mendominasi kesepakatan-kesepakatan dagang untuk keuntungan negaranya. Contoh dari kesalahpahaman negara-negara berkembang ini telah banyak ditemukan dalam praktek. Misalnya, perubahan atas peraturan perundang-undangan pada dasarnya dilakukan secara sukarela oleh negara yang memiliki ketergantungan agar dapat memperoleh apa yang diinginkan lembaga Keuangan Internasional, seperti International Monetary Fund (IMF),[38] seperti UU Kepailitan, UU Anti Monopoli, dsb. Demikian pula Asian Development Bank (ADB) yang bersedia memberi hibah (grant) ke Indonesia bila pemerintah mau membuat UU Anti Money Laundering.[39]

Pertanyaannya, kemudian adalah siapkah para Advokat Indonesia menghadapi persaingan global dengan melihat kondisi yang ada sekarang ini?. Lalu, bagaimana pula menyiasati persaingan di bidang profesi hukum antara negara maju dengan negara berkembang ditengah-tengah perbedaan sumber daya manusia?. Persoalan persaingan profesi ini cepat atau lambat akan menjadi persoalan utama dalam menggagas eksistensi Advokat Indonesia.

Sebagaimana diketahui, kesembrawutan sistem peradilan di Indonesia mengakibatkan mahalnya biaya (high cost) yang harus dikeluarkan oleh para pencari keadilan dalam berperkara. Lebih dari itu, sebagai akiabtnya Advokat sebagai profesi penegak hukum yang disokong oleh independesi dan profesionalisme harus bekerja dua kali lipat di dalam sistem peradilan yang ada untuk memecahkan masalah hukum dan menentukan strategi tercapainya keadilan yang maksimal bagi klien. Lantas, dengan kondisi seperti itu bagaimana Advokat Indonesia menjawab tantangan pasar bebas ?.

Secara a-priori dapat dikatakan bahwa prospek penegakan hukum yang dijalankan pemerintah dewasa ini kurang menunjukkan progress yang menggembirakan. Meskipun secara kelembagaan sistem peradilan telah menghasilkan berbagai invensi dalam wujud institusi, namun kenyataanya para pencari keadilan (jusittia belen) masih mengeluhkan lemahnya penegakan hukum. Disisi lain, harapan yang digantungkan kepada Advokat sebagai penegak hukum yang independen tidak kalah besarnya. Sementara itu, Advokat lebih cenderung menjalankan praktek hukum berdasarkan kognisi, tanpa disokong oleh pendidikan hukum yang kuat sejak awal ia memasuki sekolah hukum. Hal ini berbeda jauh dengan para Advokat di negara maju yang sejak dini telah dididik untuk memperoleh pengetahuan hukum yang mumpuni semasa menempuh sekolah hukum. Untuk selanjutnya, para calon Advokat di negara maju melalui budaya hukum yang diterapkan telah diberikan pilihan untuk menentukan bidang profesi kekhususan apa yang akan digeluti dalam pratek.

Dalam kerangka pasar bebas, Advokat di negara berkembang seperti Indonesia akan menghadapi dua kali lipat masalah, yaitu : Pertama, Bagaimana penegakan kode etik ditengah-tengah kesimpangsiuran hukum sebagai suatu sistem. Kedua, bagaimana mengejar ketertinggalan Advokat Indonesia dalam menyeimbangkan kemampuan (capability) advokat dibandingkan negara-negara maju.

Untuk persoalan pertama, Advokat Indonesia melalui organisasi dapat menciptakan kesatuan visi dan misi layanan hukum dan menggagas konfigurasi kode etik yang sesuai dengan kemampuan advokat. Disini terlihat secara kontras fungsi organisasi Advokat itu sendiri, dimana organiasi harus mencanangkan re-oritentasi terhadap muatan pasal-pasal kode etik. Dengan catatan, re-orientasi yang dimaksudkan di bdiang kode etik tidak bertentangan dengan kepentingan hukum, para pencari keadilan, dan kepentingan nasional secara mendasar. Sehingga, kode etik yang ada mampu diterapkan secara tepat dan mempunyai nilai (value) moral yang dijunjung tinggi.

Sedangkan untuk persoalan kedua, perubahan sistem pendidikan dan metode pengajaran hukum secara akademis menjadi bagian dari para akademisi. Jadi sederhananya, pendidikan hukum kita harus mengambil langkah radikal untuk menciptakan Advokat yagn mempunyai daya saing dalam kerangka pasar bebas. Dari kajian yang bersifat teoritis menuju kepada aktualisasi profesi hukum, sehingga dimasa mendatang, mahasiswa fakultas hukum yang menjadi calon advokat mampu mengikuti aplikasi hukum praktis yang ada. Untuk solusi kedua ini, maka perlu dilakukan pembinaan dini dalam bentuk program-program pembelajaran kasus (case study) melalui pendidikan hukum yang diajarkan oleh para advokat bekerjasama dengan universitas dan organisasi advokat. Hal ini pula yang diterapkan oleh negara-negara maju.

Melalui dua metode yang disebutkan diatas, maka ketertinggalan Advokat Indonesia di masa mendatang dapat diatasi, sehingga Advokat Indonesia mampu bersaing dengan Advokat asing dalam menyambut pasar global.

Pilihan lain yang dapat ditempuh yakni melalui upaya pembenahan sistem hukum dalam aspek substansinya. Sebagai ilustrasi, Indonesia harus mampu menentukan arah pembangunan hukum yang berdasarkan rule of law. Rule of law bisa dicapai apabila tatanan unsur yang menjadi moda penggerak sistem hukum dirancang sedemikian rupa. Perancangan sistem hukum melalui sub-sistem (elemen) ini berperan penting sebagai tolak ukur untuk terciptanya efisiensi. Bukan merupakan rahasia umum lagi, bahwa ketidakteraturan suatu sistem hukum akan menimbulkan efek domino berupa sulitnya menciptakan efisiensi ekonomi. Pada lingkup yang lebih kecil, profesi Advokat di Indonesia melalui organisasi Advokat harus membuat pilihan konsep perbaikan sistem dalam rangka menghasilkan profesionalitas, apakah pada tatanan mengganti atau merubah substansi hukum atau budaya hukumnya atau bahkan struktur. Pengalaman selama ini telah membuktikan bahwa ketiga elemen sistem hukum tersebut tidak dapat dijalankan sekaligus. Dalam lingkup yang lebih luas, Indonesia harus membuat prioritas pada tatanan mana yang diperbaiki pertama-tama.

Profesi Advokat dimasa mendatang agar mampu mengikuti persaingan global sangat dipengaruhi oleh : pendidikan hukum, kesesuaian kode etik menurut kebutuhan penegakan hukum, substansi hukum (peraturan), dan kesatuan visi-misi organisasi yang menaungi profesi. Dalam bentuk lain, profesionalisme Advokat akan menghasilkan proses penegakan hukum yang efisien, sehingga mempermudah terciptanya keadilan, kemanfaatan dan kepastian bagi para pencarinya yang ujung-ujungnya melindungi kepentingan nasional.

V. Penutup dan Rekomendasi

A. Penutup

Berdasarkan uraian pembahasan diatas, maka disimpulkan bagaimana interrelasi antara penegakan hukum dengan independensi advokat ditinjau dari persfektif profesi hukum di masa lalu, kini, dan harapan di masa mendatang, sebagai berikut :

1. Peranan kode etik profesi advokat sangat penting ditegaskan demi menjaga kestabilan moral sebagai tolak ukur “independesi” dan “keteraturan” Advokat dalam menjalankan praktek penegakan hukum ;

2. Profesionalisme Advokat mempunyai interrelasi dengan organisasi Advokat sebagai wadah yang berfungsi untuk memfasilitasi Advokat di dalam memecahkan kendala-kendala praktek penegakan hukum, terutamanya dalam rangka membangun hubungan kelembagaan dengan instansi aparat penegak hukum lainnya, sekaligus melakukan pengawasan pelaksanaan praktik hukum dengan mengacu pada kode etik.

B. Rekomendasi

1. Professionalisme Advokat dapat dibangun melalui pendidikan hukum dini, penegasan prinsip independensi, dan keteraturan profesi didalam praktek yang pada tingkat organisasi dapat diciptakan dengan melakukan kerjasama antara organisasi Advokat dengan perguruan tinggi maupun lembaga lembaga kekhususan yagn bersifat kompetensi keahlian hukum.

2. Untuk menciptakan advokat handal di masa kini dan masa mendatang sebagai bagian dari penyatuan hukum bangsa-bangsa yang enamakan diri globalisasi, maka organsiasi Advokat harus menentukan prioritas pembangunan sistem profesi advokat yang terletak pada : budaya, substansi, dan struktur. Sedangkan pada skala yang lebih luas, Pemerintah harus membangun sistem hukum yang ada dengan menentukan prioritas program pembaharuan, apakah mendahulukan substansi hukum, budaya hukum, atau struktur hukum, yang secara faktual ketiga elemen sistem hukum tesebut tidak dapat diperbaiki dalam waktu yang bersamaan.



DAFTAR PUSTAKA

A Muhammad Asrun, “Krisis Peradilan Mahkamah Agung di Bawah Soeharto”, Elsam, Jakarta, 2004

Catherine J. Lanctot, “Attorney-Client Relationship in Cyberspace : The Peril and The Promise”, Duke Law Journal, Vol. 49, 1999

C.S.T Kansil., Cristine S.T. Kansil,Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum”, Pradnya Paramita, Jakarta, 2006

Frederic Bastiat, “The Law”, Foundation for Economic Education, Inc, Irvington on Hudson, New York, 1998

Gregory Leyh, “Legal Hermeneutics”, University of California Press, California, 1992

H.A.S. Natabaya, “Penegakan Sumpremasi Hukum”, Majalah Hukum Nasional-BPHN, No.1, Jakarta, 2001

______________ Profesionalisme Aparatur Pengawasan dan Penegakan Hukum”, Majalah Hukum Nasional-BPHN, No. 2, Jakarta, 2001

H.L.A. Hart, “Law, Liberty and Morality”, Stanford University Press, Standord, California, 1963

H. Harjono Reksodiputro, “Beberapa Catatan tentang Supremasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penyelenggaraan Peradilan Dalam Era Globalisasi”, Majalah Hukum Nasional-BPHN, No.2, Jakarta, 2000

Hikmahanto Juwana, Hukum Internasional Dalam Persfektif Indonesia Sebagai Negara Berkembang”, Yarsif Watampone, Jakarta, 2010

John Stuard Mill, “On Liberty”, Oxford University Press, Oxford, 1980

J. D. Nyhart, “The Role of Law in Economic Development”, Massachusset Institute of Technology, Massachusset, 1964

Lawrence W. Friedman, “American Law”, W.W. Norton & Company, New York-London, Second Edition, 1984

Leonard J. Theberge, “Law and Economic Development”, Journal of International Law and Policy, Vol. 9:231, 1980

Moh. Hasan Wargakusumah, “Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional”, Jurnal Hukum Nasional – BPHN, No. 2, Jakarta, 2000

Peter De Cruz, “Comparative Law in a Changing World”, Cavendish Publishing Limited, London-Sydney, 1999

Paul R. Rice, “Attorney-Client Privilege : The Eronding Concept of Confidential Should be Abolished”, Duke Law Journal, Vol. 47 Num. 5, March 1998

Roberto M. Unger, “Law and Modern Society : Toward a Criticism of Social Theory”, The Free Press, USA, 1976

Randall O. Sorells., Neel Choundhury, “Plaintiff’Attorneys Beware : Little Known Tax Consequences Assosiated With Confidentially Provisions”, Hounston Business and Tax Journal, Vol. VI, 2006

Subarkah, “Advokat Sebagai Profesi Officium Nobile dan Peranan Dalam Penegakan Hukum”, Jurnal Mawas, Desember 2009

END NOTE :



[1]Mahasiswa Program Pasca Sarjana Magister Hukum Universitas Trisakti-Jakarta

[2]Lawrence M. Friedman,American Law : An Introduction”, WW Norton & Company, New York-London, 1984, hal. 5-6.

[3]Lebih lanjut, Lawrence M. Friedman memberikan uraian ketiga elemen sistem hukum sebagai berikut : “... This is the stucture of the legal system-its skeleton or framework, the durable park, which gives a kind of shape and defenition to the whole... By this is meant the actual rules, norms, and behaviour patterns of people inside the system... By this we mean people’s attitude toward law and the legal system-their belief, value, ideas, and expectation. In other words, it is that part of the general culture which concerns the legal system. These idea and opinion are, in a sense what sets the legal process going”.

[4]Moh. Hasan Wargakusuma dalam Jurnal Hukum – BPHN “Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional”, Jakarta, 1998, hal 145 mengatakan : “... waktu itu dalam GBHN 1973 terdapat 4 bidang yaitu a. Peningkatan dan pembinaan hukum nasional ; b. Menertibkan fungsi lembaga-lembaga hukum ; c. Peningkatan kemampuan dan kewibawaan penegak hukum ; yang dalam penuangannya ke dalam Repelita II menjadi 6 bidang, yaitu Pembinaan hukum (perencanaan hukum dan perundang-undangan), penegakan hukum, pembinaan peradilan, pembinaan tunawarga (pemasyarakatan dan reklasering), penyelenggaraan administrasi urusan hukum serta pendidikan, pelatihan dan penyuluhan hukum”.

[5] Asas ini dianut dalam sistem peradilan Indonesia dalam rangka terciptanya keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Meskipun pada kenyataanya, masih banyak peraturan perundang-undangan yang tidak sinkron dengan upaya penciptaan peradilan cepat, sederhana dan berbiaya ringan.

[6]Lih. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 49.

[7]Prinsip negara hukum menuntut antara lain adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality before the law). Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar juga menentukan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Dalam Undang-undang ini diatur secara komprehensif berbagai ketentuan penting yang melingkupi profesi Advokat, dengan tetap mempertahankan prinsip kebebasan dan kemandirian Advokat, seperti dalam pengangkatan, pengawasan, dan penindakan serta ketentuan bagi pengembangan organisasi Advokat yang kuat di masa mendatang. Di samping itu diatur pula berbagai prinsip dalam penyelenggaraan tugas profesi Advokat khususnya dalam peranannya dalam menegakkan keadilan serta terwujudnya prinsip-prinsip negara hukum pada umumnya.

[8]Lawrence F. Friedman., Log.,cit hal 4. sebagaimana dikutib dari buku H.L.A Hart yang menyatakan : “...he called rules about actual behaviour “primary rule”. Selanjtunya, H. L. A. Hart mengartikan hukum adalah kesatuan dari aturan primer dan sekunder.

[9]H.L.A. Hart, “Law, Liberty and Morality”, Stanford University Press, Stanford California, 1963, hal. 21-22

[10]Ketentuan Pasal 26 berbunyi : “(1) Untuk menjaga martabat dan kehormatan profesi Advokat, disusun kode etik profesi Advokat oleh Organisasi Advokat ; (2) Advokat wajib tunduk dan mematuhi kode etik profesi Advokat dan ketentuan tentang Dewan Kehormatan Organisasi Advokat ; (3) Kode etik profesi Advokat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan ; (4) Pengawasan atas pelaksanaan kode etik profesi Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat ; (5) Dewan Kehormatan Organisasi Advokat memeriksa dan mengadili pelanggaran kode etik profesi Advokat berdasarkan tata cara Dewan Kehormatan Organisasi Advokat ; (6) Keputusan Dewan Kehormatan Organisasi Advokat tidak menghilangkan tanggung jawab pidana apabila pelanggaran terhadap kode etik profesi Advokat mengandung unsur pidana ; (7) Ketentuan mengenai tata cara memeriksa dan mengadili pelanggaran kode etik profesi Advokat diatur lebih lanjut dengan Keputusan Dewan Kehormatan Organisasi Advokat.”. Sedangkan Pasal 27 berbunyi : “(1) Organisasi Advokat membentuk Dewan Kehormatan Organisasi Advokat baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah ; (2) Dewan Kehormatan di tingkat Daerah mengadili pada tingkat pertama dan Dewan Kehormatan di tingkat Pusat mengadili pada tingkat banding dan terakhir ; (3) Keanggotaan Dewan Kehormatan Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas unsur Advokat ; (4) Dalam mengadili sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Dewan Kehormatan membentuk majelis yang susunannya terdiri atas unsur Dewan Kehormatan, pakar atau tenaga ahli di bidang hukum dan tokoh masyarakat ; (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan, tugas, dan kewenangan Dewan Kehormatan Organisasi Advokat diatur dalam Kode Etik”.

[11]Kedelapan Organisasi yang tergabung dalam Komite Kerja Advokat Indonesia adalah : Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (HAPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), dan Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM).

[12] Subarkah, “Advokat Sebagai Profesi Officium Nobile dan Peranan Dalam Penegakan Hukum”, Jurnal Mawas, Desember 2009, hal 6.

[13] lih.Buletin PERADI Vol. 2 Edisi kedua tanggal 1 Agustus 2008, hal. 12.

[14] lih. Ketentuan Pasal 12 ayat (1) UU No. 18 tahun 2003 tentang Advokat yang menyatakan : “Pengawasan terhadap Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat”.

[15]H.L.A. Hart., log.,cit

[16]Abdurrahman, “Aneka Masalah Hukum Dalam Pembangunan Nasional”, Alumni, Bandung, 1979, hal 21-22.

[17] J.D. Nyhart, “The Role of Law in Economic Development”, Massachusset Institute of Technology, Massachusset, 1964, hal. 396.

[18]Subarkah., Log.,cit. hal 8

[19]J.D. Nyhart., Ibid hal. 400-402

[20] J.D. Nyhart., Ibid hal. 406

[21] Hikmahanto Juwana, “Tantangan reformasi Hukum di Indonesia, FH-Universitas Indonesia bekerjasama dengan Legal Development Facility, hal 34.

[22] H.A.S. Natabaya, “Penegakan Supremasi Hukum”, dalam Majalah Hukum Nasional-BPHN,No.1, 2001 Jakarta, hal 5.

[23]H.A.S. Natabaya., Ibid

[24]L. Michael Hager, “The Role of Lawyers in Developing Countries”, ABA Journal, Law and Development Countries, 56 : 33, 1972,.

[25]Leonard J. Theberge, “Law and Economic Development”, Journal of Internatioal Law and Policy, Vol. 9 : 231, 1980, hal. 232

[26]Leonard J. Theberge., Ibid.

[27]Least Development Countries (LCD’s) adalah sebuah konsep yang diusung pada akhir tahun 60-an dan untuk pertama sekali terdaftar melalui resolusi PBB Nomor 2768 tanggal 18 Nopember 1971 dengan tiga kriteria yang bisa dikategorikan sebagai negara berkembang, yaitu: penghasilan rendah (pendapatan GNI perkapitanya US$ 905 dan tidak melebihi US$ 1,086), sumber daya manusia yang lemah (indikator : makanan, kesehatan, pendidikan dan kemampuan membaca dan menulis), dan ekonominay mudah guncang (pada dasarnya ketidakstabilan produksi pertanian, ekspor, pelayanan, dsb).

[28]Gregory Leyh, “Legal Hermeneutic - History Theory, and Practice”, University of California Press, Berkley, Los Angeles, Oxford, 1992, hal 274.

[29]Gregory Leyh., Ibid hal 277-278

[30]Gregory Leyh., Ibid hal 288

[31]Wolfgang G. Friedmann, “The Role of Law and the Function of the Lawyer in the Developing Countries”, Vanderbilt Law Review, hal 182-183

[32]H.A.S. Natabaya., log.,cit hal 1.

[33] Hikmahanto Juwana., log.,cit hal 23.

[34]Hikmahanto Juwana., Ibid, hal 24

[35]Hikmahanto Juwana., Ibid hal 15

[36]L. Michael Hager., Log.,cit. hal

[37]Peter De Cruz, “Comparative Law” ditermejahkan oleh Narulita Yusron, Nusa Media, Bandung, 2010, hal 97.

[38]Hikmahanto Juwana., op.,cit hal 52

[39]Hikmahanto Juwana., Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar