Senin, 09 Maret 2009

ANOMALI “NEGARA HUKUM”

November, 13, 2007
ANOMALI “NEGARA HUKUM”
by : Agus Pranki Pasaribu, S.H.

Pendahuluan
Konsep negara yang berdasarkan hukum (rechtstaats) sebagaimana diatur UUD 1945 perubahan I, II, III, IV sudah merupakan isu yang lumrah didengungkan dan bahkan seringkali menjadi salah satu head line kancah perpolitikan Indonesia. Terlebih lagi, yang demikian itu sudah dipandang mengakar adanya sejak didirikannya negara kesatuan Republik Indonesia. Bahkan, dalam berbagai kesempatan seperti pidato kenegaraan maupun pandangan para ahli selalu membicarakan konsep negara hukum tanpa merasakan adanya suatu kegamangan bila dibandingkan dengan realitas yang ada. Hal ini membuktikan bahwa secara konsepsional istilah negara yang berdasarkan hukum masih benar adanya, meskipun pelaksanaannya di dalam praktek kurang begitu meyakinkan.

Sebagaimana kita ketahui, sejak reformasi bergulir berbagai harapan pun muncul di semua tingkatan kemasyarakatan. Apakah itu masyarakat golongan bawah, menegah dan atas sekalipun. Reformasi diharapkan sebagai sarana yang efektif untuk menghantarkan bangsa ini ke arah pelaksanaan sistem konstitusi yang membidani negara berdasarkan hukum tersebut.
Persoalannya, ketika reformasi telah berjalan lebih dari satu dekade lebih, namun hukum tetap bercokol pada tempatnya sehingga tidak mampu menjangkau asas kemanfaatan terhdapa kepentingan masyarakat luas. Bahkan, hukum justru terkesan semakin menjauh dari kenyataan sosial yang justru melukai kehidupan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.

Bertitik tolak dari uraian diatas, tentu menjadi pertanyaaan apakah benar konsep negara yang berdasarkan hukum pantas menjadi predikat bangsa ini jika melihat kenyataan yang ada ? atau jangan-jangan konsep negara hukum itu hanya sebagai kamuflase dari kekuasaan sehingga melahirkan anomali negara hukum. Tulisan ini akan menguraikan sejauh mana anomali negara hukum dalam praktek pelaksanaannya.

Kekuasaan menjadi “Hukum”
Idealnya suatu negara yang berasaskan hukum secara logis konstruksi kekuasaannya harus tunduk pada hukum yang ada, terlepas dari baik atau buruknya hukum itu sendiri. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari makna negara hukum. Berbicara masalah legalitas hukum dalam mengatur berbagai aspek kehidupan, apakah itu kehidupan politik, ekonomi, sosial- budaya dalam hal ini hukum bekerja seperti mesin yang menggerakkan seluruh komponen kehidupan. Bahkan lebih radikal lagi, bahwa hukum harus mampu menjangkau segala aspek kehidupan demi terciptanya suatu tatanan kehidupan ke arah yang lebih baik. Konstelasi hukum pasca reformasi sudah menjadi hal yang umum dipahami bahwa hukum menjadi sarana legalistik para penguasa (pemerintah) untuk melakukan tindakan-tindakan yang justru merugikan dan bertentangan dengan kepentingan umum (public order).

Berbagai penyimpangan hukum yang dijadikan sarana kekuasaan (power of tools) setelah pasca reformasi dicetuskan, kita liha misalnya kebijakan-kebijakan pemerintah yang merugikan masyarakat, bahkan dilematisnya lagi secara normatif justru bertentangan dengan nilai-nilai dasar konstitusi UUD 1945. Ada lagi kebijakan pemerintah yang terlalu mencampuri kebebasan beragama, dan lain sebagainya. Anehnya lagi, kebijakan pemerintah cenderung lebih mengarah kepada langkah-langkah represif yang membuktikan ketidakdewasaan (ketidakmatangan) dalam merencanakan arah bangsa dan negara ke depannya. Pemerintah terkesan sekedar menjalankan roda pemerintahan tanpa memahami apa yang menjadi esensi negara yang berdasarkan hukum serta apa yang dibutuhkan bangsa ini.

Kekuasaan menggunakan sarana hukum sebagai alat penjutsifikasian untuk menindas rakyatnya sendiri, kebobrokan pemerintah yang diwakili oleh institusi-institusinya, antara lain : Kepolisian, Peradilan, Kejaksaan. Bahkan, sampai kepada lembaga yang mengaku diri sebagai motor perubahan (baca : partai politik) justru hanya menjadi tempat untuk meraup keuntungan tanpa mementingakan rakyat yang diwakili olehnya, praktek kekuasaan yang mengatasnamakan hukum pun acapkali dilakukan. Realitas yang demikian itu, tentu mengindikasikan bahwa hukum hanya berfungsi sebagai alat kekuasaan, bukan untuk melindungi kepentingan warga negaranya.

Sangat dilematis memang, mengingat harapan masyarakat selama ini bbergantung kepada hukum yang ada sebagai sarana yang diharapkan menghasilkan perubahan menuju kehidupan yang sejahtera dan adil. Refomasi kini menjadi pertaruhan kepentingan (baca : kekuasaan). Dalam berbagai kesempatan, fakta membuktikan bahwa kekuatan dari kekuasaan lebih mendominasi dari pada penegakan idealisme hukum. Sehingga hukum telah berubah menjadi kekuasaan secara praktis.


Konflik Kepentingan
Elite politik dewasa ini sebenarnya kurang memahami makna dari konsep negara yang berdasarkan hukum, karena dalam secara praktis mereka-mereka yang merasa diri sebagai kaum pembawa aspirasi seperti anggota legislatif justru hanya mewakili kepentingan partai yang menyokongnya dan dengan tenang para elite politik melenggangkan kaki menuju ranah kekuasaan dengan kecenderungan tidak memperdulikan apakah melanggar hukum atau bukan. Ironisnya, para elite politik tidak berjiwa kesatria menyadari kekeliruan-kekeliruannya dalam menegakkan konsep negara yang berdasarkan hukum.

Masing masing institusi baik pemerintah maupun non pemerintah mengimplementasikan konsep negara hukum berdasarkan kepentingan belaka, sehingga tidak mengherankan apabila hukum untuk sebagian besar kalangan masyarakat luas tidak mempunyai manfaat secara langsung. Seperti yang sudah-sudah, para penguasa sibuk memperdebatkan konsep hukum yang ideal, meskipun sebenarnya mereka sudah menyadari akan kekeliruan-kekeliruan tersebut, namun karena kepentingan yang melatarbelakanginya hukum dipandang sebagai tujuan akhir bukan sarana. Alhasil, kekuasaan diperebutkan dan diperjualbelikan tanpa peduli melanggar hukum atau tidak. Kepentingan elite politik dan pemerintah lebih mendominasi daripada kepentingan yang menyangkut rakyat banyak. Selama ini rakyat masih berharap akan manfaat langsung dari penegakan hukum dalam kehidupan sehari-hari.


Penutup
Merefleksikan pengimplementasian dari asas negara hukum yang terkandung dalam UUD 1945, maka kita patut bertanya “Pantaskah bagnsa ini mengaku sebagai negara yang berdasarkan hukum (rechtstaat) dengan melihat segala realitas yang ada ?, atau sebaliknya, jangan-jangan negara hukum cuma anomali belaka. Kiranya, pertanyaan ini menjadi tugas dan tanggung jawab kita untuk menjawabnya.



Jakarta, © Februari 2007
Penulis Advokat pada “Law Firm Johanes Raharjo & Partners”
Contact Person : 0819644410
email : pangki_pasaribu@yahoo.com or
lawapp_office@yahoo.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar