Jumat, 06 Maret 2009

MEMAHAMI KONFIGURASI POLITIK HUKUM INDONESIA PASCA PEMILU 1999
(Suatu Tinjauan teoritis Yuridis Kelembagaan Negara)
Oleh : Agus P. Pasaribu, SH.

Pendahuluan
Sistem politik yang dianut pasca pemilu tahun 1999 di Indonesia kembali seperti pada masa demokrasi liberal, yakni sistem politik yang demokratis, bedanya dengna sistem terdahulu adalah dimana sistem pemerintahan yang dianut semasa permulaan reformasi bukan lagi parlementer tetapi presidensiil. Pemerintahan yang terbentuk adalah pemerintahan yang demokratis. Keberhasilan reformasi (dalam arti keberhasilan dalam konteks tata negara) menempatkan pemerintah yang terbentuk itu terbuka bagi kritik masyarakat, kekuasaan pemerintah dalam pembentukan undang-undang dikurangi melalui amandemen UUD 1945 dan beralih secara pasrsial ke DPR selaku lembaga legislatif. Pemerintah pasca pemilu 1999 benar-benar pemerintahan yang terbatas pada kekuasaanya, yang mana dibatasi oleh konstitusi. Dengan kata lain, dapat disebutkan sebagai pemerintahan yang berdasarkan konstitusi.
Disini pemerintahan pasca pemilu tahun 1999, sesuai dengan gagasan bahwa pemerintah merupakan suatu kumpulan kegiatan yang diselenggarakan oleh dan atas nama rakyat, tetapi yang dikenakan beberapa pembatasan yang diharapkan akan menjamin bahwa kekuasaan yang dibutuhkan untuk pemerintah itu tidak disalahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas untuk memerintah atau mereka yang dipilih melalui mandat rakyat, khususnya melalui mekanism epemilihan langsung, seperti era pemerintahan SBY dewasa ini. Bila ada keinginan Presiden untuk kembali mengkonsentrasikan kekuasaan di tangannya, konstitusi (sebelum amandemen keempat tahun 2002 memberi kewenangan kepada MPR untuk memberhentikan Presiden atas permintaan DPR melalui sidang istimewa, sebagaimana yang terjadi pada masa pemerintahan Gus Dur (Abdurahman Wahid). Dalam konteks yang demikian itu, legislatif pada sis yang berbeda menjalankan fungsi pengawasan terhadpa esekutif.
Keterbatasan kekuasaan Presiden itu juga disebabkan konfigurasi politik di lembaga DPR dan MPR yang menganut tidak adanya satu partai politik pun yang menguasai MPR dan DPR, melainkan didasarkan pada pada single mayority (suara terbanyak), sebagaimana yang terjadi pada masa orde baru. Selain itu, keterbukaan (tranparancy) dan HAM sudah merupakan sesuatu yang wajar yang harus diakomodasikan oleh pemerintah. Jadi pemerintah pasca pemilu 1999 benar-benar pemerintah yang bertanggung-jawab, pemerintah yang demokratis, berbanding terbalik dengan pemerintahan pada masa orde baru dan demokrasi terpimpin. Pertanggungjawaban eksekutif kepada lembaga MPR setelah amandemen UUD 1945 tahun 2002 adalah pertanggungjawaban eksekutif yang ada sanksinya. Bila Presiden dianggap melanggar GBHN oleh DPR, maka DPR dapat mengundang sidang istimewa MPR untuk meminta pertanggungjawaban Presiden.
Pertanggungjawaban Presiden yang berakibat pemberhentian presiden manakala dianggap melanggar ketetapan GBHN, sudah barang tentu karena kecilnya dukungan yang ada di MPR dan DPR kepada Presiden sebagaimana yang terjadi era kepemimpinan Abdurahman Wahid. Kecilnya dukungan MPR dan DPR kepada Presiden pada waktu itu setelah Presiden membuat kebijakan yang dianggap merugikan kepentingan partainya. Ini artinya bahwa penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia pasca pemilu 1999, partai politik tidak berperan kembali seperti pada masa liberal. Bedanya terletak pada sistem pemerintahan yang dianut bukan lagi parlementer, melainkan presidensil murni.
Berdasarkan apa yang telah penulis uraikan diatas, maka sangat menarik untuk menganalisis perkembangan ketatanegaraan di Indonesia khususnya konfigurasi politik dalam rangka politik hukum sejak dilaksanakannya amandemen UUD 1945.
Pada bagian berikut tulisan ini, penulis akan menguraikan pembatasan pokok permasalahan yang akan dibahas.

Perumusan Masalah

Permasalah yang akan penulis bahas pada tulisan ini, dengan mengajukan pertanyaan, sebagai berikut :
  1. Bagaimanakah konfigurasi politik Indonesia sejak pasca pemilu 1999?
  2. Bagaimanakah format politik yang diterapkan dalam hubungannya dengan politik hukum tersebut ?
  3. Bagaimanakah penerapan politik hukum Indonesia pasca pemilu tahun 1999?

Konfigurasi Politik dan Politik Hukum di Indonesia

Konfigurasi Politik

Seperti yang dikemukakan pada bagian terdahulu, bahwa pasca pemilu 1999 peranan partai politik di Indonesia kembali menguat, karena tidak adanya satu partai pun yang menguasai suara mayoritas di parlemen yakni MPR dan DPR dan juga karena iklim demokrasi sudah menyelimuti kehidupan politik di Indonesia sejak era reformasi bergulir di Indonesia. Tatanan politik pun berubah seiring dengan semakin berkurangnya peran dan dwifungsi ABRI dalam ketatanegaraan.

Pengangkatan anggota ABRI yang terdiri dari TNI dan POLRI sudah kurang pada periode sebelumnya. Dari 75 kursi yang tersedia menjadi 38 kursi di parlemen. Di MPR tidak ada lagi pengangkatan tambahan selain yang berasal dari DPR, yaitu melalui utusan daerah. Jumlah anggota DPR pasca pemilu 1999 sebanyak 500 orang, 462 orang duduk melalui pemilihan umum sedangkan 38 orang merupakan pengangkatan wakil ABRI. Sedangkan anggota MPR berjumlah 700 orang, 500 orang dari anggota DPR, 125 orang utusan daerah, dan 75 orang utusan golongan. Semua anggota MPR dari utusan daerah, karena memang dipilih oleh DPRD sehingga umumnya orang partai bergabung dengan partainya dari DPR menjadi satu fraksi di MPR. Tetapi anggota MPR yang dilantik pada Oktober 1999 hanya berjumlah 695 orang dengan komposisi, sebagai berikut :

  1. Reformasi adalah gabungan dari Partai Amanat Nasional dan Partai Keadilan;
  2. Kesatuan Kebangsaan Indonesia adalah gabungan dari PKP, PDI, PKD, PBI, IPKI, PNI, PM dan PP;
  3. Perserikatan Daulatul Ummah adalah gabungan dari Partai NU, PSII, Masyumi, PDR dan PKU
  4. Komposisi keanggotaan DPR berdasarkan hasil pemilu tahun 1999 dan penggabungan untuk dapat membentuk fraksi di DPR (berdasarkan ketentuan tata tertib di DPR untuk dapat membentuk fraksi maka anggota DPR yang bergabung minimal 10 orang). Dalam perkembangan selanjutnya, antar partai pun bergabung untuk dapat membentuk suatu fraksi yang memenuhi persyaratan sebagaiman yang telah ditentukan.

Dari konfigurasi politik yang demokratis tetapi tidak ada satu partai yang menguasai mayoritas di parlemen (dalam DPR), seperti yang telah diuraikan penulis diatas, maka akan sulit bagi suatu fraksi untuk menggolkan programnya tanpa berkoalisi dengan fraksi-fraksi lainnya sampai tercapai mayoritas di kedua lembaga negara tersebut. Demikian juga halnya dengan eksekutif adalah sulit bagi presiden untuk menggolkan rancangan UU yang diajukan ke DPR. Dan disisi lain, demikian pula terjadi dalam setiap sidang tahunan MPR, presiden harus dapat pula menampung aspirasi-aspirasi fraksi-fraksi di MPR agar ia tidak kesulitan dalam meloloskan program dan pertanggungjawabannya. Seblum amandemen ketiga UUD 1945 tahun 2001 dan yang keempat tahun 2002. Sesudah tahun 2002, presiden tidak lagi bertanggungjawab kepada MPR seperti pada masa sebelumnya. Presiden dapat diberhentikan MPR hanya bila melanggar hukum bukan karena masalah politik.

Dengan konfigurasi politik seperti itu, peranan partai politik menguat kembali seperti pada masa liberal dulu. DPR dan pemerintah telah menetapkan undang-undang tentang pemilu dan susunan DPR, DPRD, DPD dan pemilu langsung sebagaimana para masa terpilihnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). Dalam undang-undang baru tersebut, tidak ada lagi pengangkatan anggota MPR, DPR, DPRD, dan DPD. Partai politik diberi peranan yang besar dalam pemilihan anggota DPR dan DPRD, serta pemilihan presiden dan wakil persiden, perorangan untuk pemilihan anggota DPD. Kondisi seperti ini akan membangun peranan partai politik secara kokoh ke depannya. Sebaliknya, peranan POLRI dan ABRI akan semakin menurun. Dwifungsi ABRI yang dominan dan telah pula diformalkan pada masa Orde Baru ditiadakan melalui UU yang baru. Militer dibebaskan dari tugas-tugas politik (“kembali kebarak”), dan dikonsentrasikan kepada tugas-tugas pertahanan dan membantu polisi dalam menegakkan keamanan atas permintaan polisi.

Walaupun dalam sistem pemerintahan presidensiil, Presiden bebas menentukan dan mengangkat menteri-menterinya, tetapi karena Presiden RI, pada era kepemimpinan SBY, partai politik tidak ada yang mempunyai suara dominan di parlemen, hal ini telah berdampak negatif pada kontrak politik secara diam-diam antar partai tertentu dalam menentukan masing-masing menteri yang akan direkrut. Sedangkan pada masa pemerintahan Abdurahman Wahid, saat membentuk kabinetnya mengikuti konfigurasi politik di DPR dan MPR, dikarenakan di masing-masing lembaga tersebut tidak memilik suara partai politik yang dominan pula. Menurut seperti alur yang telah disebutkan, tindakan Abdurahman Wahid yang kemudian menggantikan meteri-menteri untuk selanjutnya dipilih sendiri olehya, maka hal ini yang menjadi faktor utama dia diberhentikan apda masa itu, sehingga menghasilkan sidang istimewa tahun 2001, sedangkan pada masa pemerintahan Megawati yang menggantikan, jelas bahwa dalam menentukan menteri-menterinya, dia mengikuti konfigurasi dan taat asas serta skenario konfigurasi politik tersebut diatas, itulah sebabnya ia menyebukan kabinetnya dengan nama kabinet gotong royong.

Format Politik dan Politik Hukum

Format politik sebenarnya sama dengan sistem politik yang dibangun untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, jangka pendek atau jangka menengah yang sebelumnya kurang atau tidak mendapat perhatian oleh pemerintah yang ada. Pada negara-negara yang menganut konstitusional, jarang disebut format politik karena sistem politik yang berlaku umumnya sudah mapan, diterima oleh masyarakat sebagai sesuatu yang wajar, sehingga mendukung sistem poitik tersebut.

Dalam memahami dan menjelaskan format politik tersebut, penulis mengemukakan perjalanan sistem politik demokrasi liberal, sebagaimana dikemukakan oleh Alvian (dalam bukunya “Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia”, Gramedia, Jakarta, 1978), yang menyebutkan : “Dua pengalaman traumatis dalam zaman demokrasi liberal dan demokrasi terpimpin telah mendorong para pendukung Orde Baru buat membangun sistem politik yang lain dari keduanya itu. Pilihan mereka jatuh pada sistem politik yang dikehendaki oleh UUD ’45 yaitu mengembangkan suatu sistem politik yang sesuai dengan tuntutan demokrasi pancasila”. Proses perpolitikan ke arah mencapai tujuan itulah yang disebut sebagai format baru poltik Indonesia.

Salah satu indikasi contoh politik hukum yang diciptakan pada masa Orde Baru adalah dalam rangka mendukung format politik dengan ciri menggantikan hukum tentang pertahanan keamanan negara yang ada dianggap tidak sesuai dengan format politik baru itu, dengan hukum yang baru yang sesuai. Untuk itu penguasa Orde Baru mencabut UU no. 29 Tahun 1954 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Peratahanan Keamanan Negara menjadi UU No. 20 tahun 1982, dalam UU No. 20 Tahun 1982 tersebut salah satu materi yang dirubah adalah pasal 28, hal mana menyebutkan bahwa : “Angkatan bersenjata mempunyai fungsi sebagai kekuatan pertahanan keamanan negara dan sebagai kekuatan sosial”, sedangkan dalam UU yang baru ini menjelaskan bahwa : “Angkatan bersenjata sebagai kekuatan bertindak, selaku dinamisator dan stabilisator yang bersama-sama dengan kekuatan sosial lainnya memikul tugas dan tanggung jawab mengamankan dan menyukseskan perjuangan bangsa dalam mengisi kemerdekaan serta meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Dari format politik tersebut diatas, nyata bahwa format politik menjadi sarana dalam menentukan strategi politik hukum yang didasarkan pada UUD ’45, sehingga dengan demikian sistem politik suatu negara sangat erat hubungannya dengan sistem hukumnya (dalam hal UUD ’45).

Politik Hukum Pasca Pemilu 1999

Dalam sistem politik dan konfigurasi politik yang demokratis sebagaimana diuraikan diatas, maka politik hukum yang ditempuh pasca pemilu tahun 1999 ini adalah politik hukum yang mendekatkan tata hukum dengan realitas sosial atau hukum yang populis. Berlarut-larutnya konflik politik antara DPR dan Presiden Abdurahman Wahid (hampir satu tahun dan dua tahun masa jabatan) membuat kebijakan di bidang ekonomi terabaikan sehingga pertumbuhan ekonomi masyarakat sangat terabaikan. Setelah Megawati ditetapkan menjadi presiden mengantikan Abdurahman Wahid, kebijakan juga banyak ditunjuk untuk memperbaiki sistem ketatanegaran seperti perubahan Undang Undang Dasar 1945, perubahan susduk MPR, DPR, DPRD dan DPD, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, pembentukan Mahkamah Konstitusi dan menuntaskan amandemen UUD ’45 yang sudah dimulai pada masa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid. Pembentukan undang-undang tersebut diatas dan amandemen atas UUD ’45 membutuhkan banyak waktu dan energi serta mengundang pro dan kontra masyarakat. Selain dari itu kondisi perekonomian dunia belum membaik akibat maraknya terorisme, peristiwa 11 Septemer 2001 di Amerika Serikat, perang Afganistan, dan Irak, KKN yang semakin marak, dan beberapa kebutuhan lain yang harus melakukan ratifikasi atas beberapa konvensi dunia, seperti UU HAM, UU Terorisme, UU Perlindungan Anak, UU Perlindungan Saksi dan lain sebagainya. Hal-hal tersebut membuat kebijakan ekonomi yang ditempuh belum juga mengangkat perekononomian secara keseluruhan sesuai dengan harapan rakyat dan cita-cita reformasi.

Lambatnya pertumbuhan ekonomi, mengundang banyak kritik dari masyarakat dengan mengatakan bahwa politik hukum pemerintah sekarang ini dan DPR barulah sebatas membentuk hukum untuk memantapkan kekuasaan partai-partai politik (terutama partai besar) belum diarahkan untuk memperbaiki kondisi ekonomi. Mungkin kritik yang demikian itu ada benarnya, tetapi karena beban pemerintah dan rakyat Indonesia pada masa 1999 - sekarang sangat berat, seperti diuraikan diatas ditambah dengan kegiatan partai-partai pun masih diarahkan pada pemilu 2004 yang lalu maupun pemilu 2009 yang akan datang, meskipun berdasarkan data makro pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan, namun pada sektor riill tidak banyak berpengaruh besar pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Perundang-undangan yang dihasilkan pada pasca 1999 sesuai dengan politik hukum yang ditempuh, yang pertama adalah : perubahan UUD ’45 (amandemen). Melalui amandemen sebanyak empat kali tersebut, yang dimulai pada Sidang Umum MPR Oktober 1999 dan berakhir pada amandemen keempat pada bulan Agustus 2002, dan sekarang ini politik hukum dalam rangka melaksanakan amandemen UUD ’45 di parlemen kembali mengemuka. Melalui perubahan UUD ’45 yang lalu, maka antara lain ditentukan :

  1. Kedaulatan bukan lagi ditangan MPR;
  2. Presiden tidak bertanggungajwab lagi kepada MPR;
  3. Presiden dipilih langsung oleh rakyat melalui suatu pemilu dan hanya dapat dipilih kembali untuk masa satu jabatan (hanya dua periode);
  4. DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang;
  5. Hadirnya lembaga Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Mahkamah Konstitusi, dan hapusnya Dewan Pertimbangan Agung;
  6. Hapusnya penjelasan UUD ’45 sebagai bagian dari UUD ’45.

Beberapa peraturan perundang-undangan lain, yang lahir dalam bentuk ketetapan MPR, antara lain:
a. Ketetapan MPR No. VI/MPR/1999 tentang pencalonan dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden oleh fraksi-fraksi, TAP ini juga mencabut TAP MPR No. II/MPR/1973 ;
b. Ketetapan MPR No. VI/MPR/2000 tentang pemisahan TNI dan POLRI, melalui TAP ini ABRI diganti dengan TNI dan POLRI, Dwifungsi ABRI sudah mulai dihilangkan dengan rumusan TNI adalah alat negara yang berperan dalam pertahanan negara ;
c. Ketetapan MPR No. VI/MPR/1999 tentang pencabutan TAP MPR No. VI/MPR/1999 tentang Tata Cara Pencalonan dan Pemilihan Presiden dan Wakli Presiden ;
d. Dan lain sebagainya.

Sedangkan undang-undang baru yang disyahkan pasca 1999 sangat banyak, diantaranya :
a. UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM ;
b. UU No. 3 Tahun 2001 tentang Pertahanan Negara, undang-undang ini mencabut UU No. 1 Tahun 1988 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara ;
c. UU No. 23 Tahun 2003 tentang Susduk MPR, DPR, DPRD, dan DPD ;
d. Dan lain-lain.

Keseluruhan peraturan perundang-undangan diatas, secara teoritis akan mendekatkan tata hukum dalam realitas sosial atau dapat juga disebut sebagia hukum yang populis. Produk-produk hukum yang telah disyahkan tersebut adalah bagian dari strategi politik hukum dalam menciptakan tata pemerintahan yang lebih baik. Meskipun pada kenyataannya sebagian masyarakat mengkritik pemberlakuan UU tersebut diatas, karena dianggap hanya merupakan produk politik yang bertujuan melanggengkan kekuasaan dan kepentingan partai besar.
Dikarenakan hal tersebut diatas, pada perkembangan selanjutnya partai-partai yang tidak lulus verifikasi di Departemen Kehakiman mengajukan judicial review atas UU Kepartaian dan Pemilu. Namun, dikarenakan UU tersebut lahir dalam bentuk yuridis murni secara legal formal telah sah, maka tidak berlebihan apabila UU Politik tersebut dikatakan cukup populis dan dapat mengantarkan rakyat ke era pemilu 2009 mendatang, dengan segala kelemahan yang terdapat di dalam UU tersebut, sehingga UU tersebut harus direvisi.

Adakalanya dalam sistem yang demokratis diterapkan politik hukum dengan membentuk hukum yang justru menjauhkannya tata hukum dari realitas sosial, seperti yang terjadi pada masa Presiden Abdurahman Wahid, dalam mengatasi konflik antara Presiden dengan dengan DPR/MPR, maka Presiden mengeluarkan Maklumat Presiden RI tanggal 23 Juli 2003 yang isinya :
1. Membekukan MPR dan DPR ;
2. Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan mengambil tindakan serta menyusun badan yang diperlukan untuk menyelenggarakan pemiihan umum dalam waktu satu tahun, meskipun wacana yang berkembagn apda masa itu, maklumat yang demikiat dianggap tidak konstitusional, karena bertentangan dengan prinsip ketatanegaraan yang terkandung dalam UUD ’45 ;
3. Menyelematkan gerakan reformasi total dan hambatan unsur-unsur Orde Baru dengan membekukan Partai Golkar (Golongan Karya) sambil menunggu putusan Mahkamah Agung RI.

Istilah maklumat tidak dikenal dalam ketatanegaraan Indonesia khususnya dalam tata urutan perundang-undangan sebagaimana diatur pada TAP MPR No. III/MPR/2000, selain itu berdasarkan ketentuan Konstitusi mengatur bahwa Presiden tidak berhak membekukan lembaga MPR dan DPR, atas dasar yuridis tersebut, pada waktu maklumat dikeluarkan, namun tidak mendapat dukungan dari masyarakat luas, terutama dikalangan elite politik.
Sedangkan di era Presiden Megawati, akibat peristiwa bom Bali I dan II, dan beberapa peristiwa peledakan bom lainnya ditanah air ayng dilakukan oleh teroris, maka Pemerintah mengeluarkan Perpu No. 1 Tahun 2000 tentang Pemberantasan tindak Pidana Terorisme, Perpu ini kemudian diajukan menjadi UU No. 15 Tahun 2003 yang diberlakukan saat ini.

Perkembangan politik hukum yang terjadi dewasa ini, dapat dilihat dengan banyaknya perubahan atas undang-undang perekonomian bukan saja karena kebutuhan dari dalam negeri melainkan juga pengaruh era globalisasi. Misalnya : UU Hak Cipta, UU Paten, UU Merek, UU Kepailitan, UU Hubungan Industrial, UU Perlindungan Konsumen dan masih banyak lagi UU perekonomian lain yang diciptakan maupun direvisi.

Dengan adanya pengaruh globalisasi terhadap politik hukum Indonesia dewasa ini, merupakan sesuatu yang tidak dapat diabaikan. Untuk itu dalam rangka membangun pemerintahan yang demokratis, konfigurasi politik yang demokratis, sistem politik yang demokratis dan mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis maka dibutuhkan politik hukum yang mendekatkan tata hukum dengan realitas sosial dengan demikian akan terdapat check and balance dalam tatanan politik yang akan meciptakan keseimbangan. Atau, mempertahankan hukum yang populis dengan memperhatikan lingkungan baik di dalam dan di luar negeri, dengan berorientasi pada kepentingan nasional dalam rangka pembangunan ekonomi.

Bila hal yang demikian dapat diwujudkan, maka tujuan negara yang telah ditentukan dalam Pembukaan UUD ’45 akan dapat tercapai. Seiring dengan itu, dengan diterapkannya hal yang telah diuraikan penulis diatas, maka tuduhan miring terhadap politik hukum Indonesia sebagaimana halnya dengan negara-negara lain yang sedang berkembang pada umumnya adalah mempertahankan kekuasaan, kekuasaan yang dipandang sebagai tujuan, bukan sarana, akan dapat terhindarkan. Kekuasaan haruslah dipandang sebagai alat pemerintahan dalam mencapai tujuan cita-cita kemasyarakatan yang berdasarkan kesejahteraan dan keadilan sosial.
Untuk itu dalam membangun masyarakat yang demokratis, sistem politik yang demoktaris, konfigurasi politik yang demokratis dan mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis atau negara demokrasi konstitusional maka politik hukum yang ditempuh adalah membentuk hukum yang realistis, terutama mencerminkan kebutuhan masyarakat, sehingga hukum pun dapat menjangkau berbagai aspek kehidupan yang pada akhirnya akan bermuara pada pembangunan sistem hukum ideal. Dengan demikian, maka cita-cita hukum untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, dalam hal hukum dapat mengatur berbagai aspek kehidupan seperti : ekonomi, politik, sosial dan lain sebagainya.

Terbentuknya politik hukum yang baik, dapat dilihat dari sistem politik suatu negara. Manakala sistem politiknya berakhir dengan kekacauan, demokrasi yang berakhir dengan anarki membuka jalan untuk melawan dengan kediktatoran, yang bersifat tangan besi. Dalam hal ini, akan bergantung kepada kewibawaan orang seorang yang tidak akan lama umurnya. Jadi tidak ada gunanya membangun sistem politik apabila Pemerintahannya diktator, sebagaimana yang terjadi pada era sebelumnya, masa Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru.

Dengan berjalannya reformasi selama kurang lebih delapan tahun dan pemilu yang dapat diwklifikasi demokratis sejak tahun 1999, maka harapan untuk membangun sistem hukum melalui politik hukum sangat besar kemungkinannya akan membawa hasil ke arah yang lebih baik. Kompleksitas hukum akan mencerminkan politik hukum yang direncanakan, dibentuk, untuk kemudian diberlakukan dimasa yang akan datang sebagai hukum positif (ius constitum). Karena itu, politik hukum ke depan, adalah membentuk hukum yang populis dan dijadikan dasar dalam bertindak dalam menata kehidupan hukum yang konstitusional dan demokratis dalam wadah kenegaraan kesatuan Republik Indonesia.

Hal lain, yang patut menjadi bahan pemikiran dimasa mendatang, berkenaan dengan politik hukum adalah bagaimana menyiasati perubahan jaman untuk merencanakan politik hukum nasional yang berorientasi dengan kepentingan nasional dan internasional, sehingga Indonesia dapat membentuk sistem hukum yang dinamis terhadap negara-negara maju. Perlu dipertimbangkan, bahwa semakin tingginya tingkat mobilitas perekonomian dunia, maka Indonesia harus berani menempatkan hukumnya sebagai sarana mencapai tujuan politik, ekonomi budaya, sosial dan lain sebagainya, dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Konstitusi UUD ’45 berkedudukan sebagai landasan politik hukum sehingga menjadi landasan berpijak dalam membuat suatu kebijakan tidak lagi berorientasi pada kepentingan pihak tertentu, kekuasaan tertentu, melainkan kepentingan yang berasaskan UUD.



IV. Penutup

Berdasarkan uraian diatas, penulis menguraikan kesimpulan sebagai berikut :
a. Konfigurasi politik Indonesia sejak pasca refomasi mengalami perubahan secara mendasar, diantaranya : perubahan jumlah partai politik (multi partai), perimbangan suara tanpa ada dominasi partai tertentu, dan perubahan jumlah kursi di legistatif (MPR dan DPR).
b. Format politik merupakan sarana dalam menentukan strategi politik hukum yang didasarkan pada UUD ’45, sehingga dengan demikian sistem politik suatu negara sangat erat hubungannya dengan sistem hukumnya (dalam hal UUD ’45).
c. Politik hukum yang ditempuh (diterapkan) pasca pemilu tahun 1999 ini adalah politik hukum yang mendekatkan tata hukum dengan realitas sosial atau hukum yang bersifat populis.


Jakarta, Pebruari 2008
Penulis









DAFTAR PUSTAKA

Alfian, “Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia”, Gramedia, Jakarta, 1978.

Bintan R. Saragih, “Politik Hukum di Negara-Negara Berkembang”, Makalah tanggal 11 Nopember 1985, Bandung.

Daniel S. Lev, “Hukum dan Politik di Indonesia”, (kesinambungna dan perubahan), LP3ES, Jakarta 1990.

Mahadi, “Beberapa Sendi Hukum di Indonesia”, PT. Saksama, Jakarta, 1954.

Moh. Mahfud MD, “Politik Hukum di Indonesia”, LP3ES, Jakarta 1998.

Soepomo, “Sistem Hukum di Indonesia”, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1997.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar