September 22, 2007
PERADILAN KITA, HUKUM DITEGAKKAN ?
By : Agus P. Pasaribu, S.H.
Beberapa waktu yang lalu, kasasi terhadap perkara perdata mantan Presiden Soeharto yang diberi register dibawah nomor 3215K/Pdt/2001 telah diputus pada tanggal 28 Agustus 2007 oleh Mahkamah Agung R.I (Media Indonesia, 11-09-2007). Putusan itu menarik untuk dicermati, mengingat salah satu amar putusan berbunyi : “Mengadili, mengabulkan sebagian permohonan kasasi yang diajukan penggugat HM. Soeharto”. Sebelumnya, sekedar catatan bahwa permohonan banding HM. Soeharto ditolak di tingkat Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Sengketa berawal dari gugatan HM. Soeharto terhadap pemberitaan majalah Time Asia, Cs Edisi 24 mei 1999 volume 153 Nomor 20 yang menulis artikel tentang kekayaan mantan Presiden Soeharto dengan judul : “Soeharto Inc How Indonesia’s longtime Boss Built a Family Fortune“ (perusahaan Soeharto bagaimana pimpinan Indonesia dalam waktu lama membangun kekayaan keluarga) (Media Indonesia, 11-09-2007).
Putusan kasasi tersebut sangat tendensius dan menduga-duga sehingga Cuma sebagai anomali penegakan hukum di Indonesia yang konon katanya negara yang berdasarkan hukum, karena alasan-alasan sebagai berikut :
Pertama, putusan perkara a-quo secara yuridis masih prematur. Bahwa putusan di tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung didasarkan pada pertimbangan hukum bahwa : “majelis hakim menilai bahwa gambar dan tulisan yang dibuat para tergugat telah tersiar secara luas dan telah melampaui batas kepatutan, ketelitian dan sikap ketidakhati-hatian”. Padahal, ukuran melampaui batas ketidakpatutan, ketelitian dan sikap ketidakhati-hatian sangat kabur dan tidak jelas. Faktanya, disatu sisi dasar hukum (rechts ground) untuk mengajukan gugatan a-quo belum terbukti menurut hukum pidana. Dalam arti belum ada putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa para tergugat telah melakukan pencemaran nama baik dan kehormatan HM. Soeharto. Disisi lain, apabila dikaji secara cermat maka perlu dipahami bahwa pers sebagai lembaga profesi yang dalam menjalankan tugasnya dipagari oleh kode etik profesi itu sendiri. Sehingga, untuk menilai apakah tindakan para Tergugat melampaui batas kepantasan atau kewajaran harus dibuktikan dahulu dalam sidang kode etik,. Hal ini penting karena kode etik profesi merupakan tolok ukur untuk menilai apakah suatu perbuatan telah melampaui batasan atau tidak dalam menjalankan profesi. Bagaimana pun kode etik merupakan tatanan moral nilainya lebih tinggi daripada sekedar peraturan hukum normatif (baca : undang-undang). Bahkan dalam perkara Kasasi HM. Soeharto, pertimbangan hukum Hamim Mahkamah Agung terkesan dipaksakan. Hukum pun menjadi tidak fleksibel, namun diterapkan secara kaku sehingga menindas rasa keadilan sejati itu sendiri. Persoalan lain yang tidak kalah menariknya dalam kasus ini adalah locus delicti (tempat dilakukan) perbuatan yang menjadi dasar dari gugatan belum jelas. Hal ini penting mengingat Indonesia mengenal asas territorial dalam memberlakukan KUHP.
Kedua, putusan kasasi tersebut tidak mencerminkan rasa keadilan. Bahwa petitum yang dikabulkan oleh Judex Juris (Mahkamah Agung R.I) antara lain : menghukum Para Tergugat untuk membayar ganti rugi sebesar Rp. 1 Triliun, meminta maaf dibeberapa majalah Mingguan yang terbit di Indonesia dan meminta maaf di lima harian umum besar di Indonesia. Padahal, hukum dalam hal ini seharusnya bersifat objektif dan adil. Karena pada dasarnya, pengabulan tuntutan ganti rugi tersebut tidak jelas tolok ukurnya, dan tidak bercermin pada kondisi keadilan yang objektif. Mengingat, apabila dikaji ulang persoalannya adalah : “Secara faktual, benarkah HM. Soeharto menurut pandangan masyarakat luas di Indonesia sebagai tokoh yang kehormatannya tercemar?. Kenyataanya, HM. Soeharto selaku mantan Panglima Jenderal TNI dan mantan Presiden R.I yang dipaksa turun akibat adanya tekanan masyarakat luas yang sangat kecewa pada era kepemimpinanya pada masa itu.
Ketiga, putusan itu menjadi preseden buruk dikemudian hari. Selama ini bukan merupakan rahasia, bahwa Indonesia di mata internasional dipandang sebagai salah satu negara terkorup dan pelanggar hukum di dunia. Bercermin pada putusan perkara kasasi HM. Soeharto, masihkah kita patut mengaku sebagai negara yang penegakan hukumnya sudah mengalami kemajuan ?. Siapapun di negara ini tahu, bahwa selama ini mafia peradilan berkeliaran dimana-mana. Sayang, kita selalu berusaha menutup-nutupi kebobrokan dunia peradilan di Indonesia.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, sekali lagi konsep penegakan hukum bangsa ini masih jauh dari harapan dan patut dipertanyakan. Bahkan, putusan kasasi yang sangat janggal tersebut bisa jadi sebagai anomali penegakan hukum itu sendiri. Dalam hal ini integritas dan profesionalisme para hakim Mahkamah Agung pun patut dipertanyakan. Semoga idealisme penegakan hukum masih ada di negeri ini.
Agus P. Pasaribu, S.H
Advokat pada Law Firm "Johanes Raharjo, SH & Partners",
PERADILAN KITA, HUKUM DITEGAKKAN ?
By : Agus P. Pasaribu, S.H.
Beberapa waktu yang lalu, kasasi terhadap perkara perdata mantan Presiden Soeharto yang diberi register dibawah nomor 3215K/Pdt/2001 telah diputus pada tanggal 28 Agustus 2007 oleh Mahkamah Agung R.I (Media Indonesia, 11-09-2007). Putusan itu menarik untuk dicermati, mengingat salah satu amar putusan berbunyi : “Mengadili, mengabulkan sebagian permohonan kasasi yang diajukan penggugat HM. Soeharto”. Sebelumnya, sekedar catatan bahwa permohonan banding HM. Soeharto ditolak di tingkat Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Sengketa berawal dari gugatan HM. Soeharto terhadap pemberitaan majalah Time Asia, Cs Edisi 24 mei 1999 volume 153 Nomor 20 yang menulis artikel tentang kekayaan mantan Presiden Soeharto dengan judul : “Soeharto Inc How Indonesia’s longtime Boss Built a Family Fortune“ (perusahaan Soeharto bagaimana pimpinan Indonesia dalam waktu lama membangun kekayaan keluarga) (Media Indonesia, 11-09-2007).
Putusan kasasi tersebut sangat tendensius dan menduga-duga sehingga Cuma sebagai anomali penegakan hukum di Indonesia yang konon katanya negara yang berdasarkan hukum, karena alasan-alasan sebagai berikut :
Pertama, putusan perkara a-quo secara yuridis masih prematur. Bahwa putusan di tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung didasarkan pada pertimbangan hukum bahwa : “majelis hakim menilai bahwa gambar dan tulisan yang dibuat para tergugat telah tersiar secara luas dan telah melampaui batas kepatutan, ketelitian dan sikap ketidakhati-hatian”. Padahal, ukuran melampaui batas ketidakpatutan, ketelitian dan sikap ketidakhati-hatian sangat kabur dan tidak jelas. Faktanya, disatu sisi dasar hukum (rechts ground) untuk mengajukan gugatan a-quo belum terbukti menurut hukum pidana. Dalam arti belum ada putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa para tergugat telah melakukan pencemaran nama baik dan kehormatan HM. Soeharto. Disisi lain, apabila dikaji secara cermat maka perlu dipahami bahwa pers sebagai lembaga profesi yang dalam menjalankan tugasnya dipagari oleh kode etik profesi itu sendiri. Sehingga, untuk menilai apakah tindakan para Tergugat melampaui batas kepantasan atau kewajaran harus dibuktikan dahulu dalam sidang kode etik,. Hal ini penting karena kode etik profesi merupakan tolok ukur untuk menilai apakah suatu perbuatan telah melampaui batasan atau tidak dalam menjalankan profesi. Bagaimana pun kode etik merupakan tatanan moral nilainya lebih tinggi daripada sekedar peraturan hukum normatif (baca : undang-undang). Bahkan dalam perkara Kasasi HM. Soeharto, pertimbangan hukum Hamim Mahkamah Agung terkesan dipaksakan. Hukum pun menjadi tidak fleksibel, namun diterapkan secara kaku sehingga menindas rasa keadilan sejati itu sendiri. Persoalan lain yang tidak kalah menariknya dalam kasus ini adalah locus delicti (tempat dilakukan) perbuatan yang menjadi dasar dari gugatan belum jelas. Hal ini penting mengingat Indonesia mengenal asas territorial dalam memberlakukan KUHP.
Kedua, putusan kasasi tersebut tidak mencerminkan rasa keadilan. Bahwa petitum yang dikabulkan oleh Judex Juris (Mahkamah Agung R.I) antara lain : menghukum Para Tergugat untuk membayar ganti rugi sebesar Rp. 1 Triliun, meminta maaf dibeberapa majalah Mingguan yang terbit di Indonesia dan meminta maaf di lima harian umum besar di Indonesia. Padahal, hukum dalam hal ini seharusnya bersifat objektif dan adil. Karena pada dasarnya, pengabulan tuntutan ganti rugi tersebut tidak jelas tolok ukurnya, dan tidak bercermin pada kondisi keadilan yang objektif. Mengingat, apabila dikaji ulang persoalannya adalah : “Secara faktual, benarkah HM. Soeharto menurut pandangan masyarakat luas di Indonesia sebagai tokoh yang kehormatannya tercemar?. Kenyataanya, HM. Soeharto selaku mantan Panglima Jenderal TNI dan mantan Presiden R.I yang dipaksa turun akibat adanya tekanan masyarakat luas yang sangat kecewa pada era kepemimpinanya pada masa itu.
Ketiga, putusan itu menjadi preseden buruk dikemudian hari. Selama ini bukan merupakan rahasia, bahwa Indonesia di mata internasional dipandang sebagai salah satu negara terkorup dan pelanggar hukum di dunia. Bercermin pada putusan perkara kasasi HM. Soeharto, masihkah kita patut mengaku sebagai negara yang penegakan hukumnya sudah mengalami kemajuan ?. Siapapun di negara ini tahu, bahwa selama ini mafia peradilan berkeliaran dimana-mana. Sayang, kita selalu berusaha menutup-nutupi kebobrokan dunia peradilan di Indonesia.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, sekali lagi konsep penegakan hukum bangsa ini masih jauh dari harapan dan patut dipertanyakan. Bahkan, putusan kasasi yang sangat janggal tersebut bisa jadi sebagai anomali penegakan hukum itu sendiri. Dalam hal ini integritas dan profesionalisme para hakim Mahkamah Agung pun patut dipertanyakan. Semoga idealisme penegakan hukum masih ada di negeri ini.
Agus P. Pasaribu, S.H
Advokat pada Law Firm "Johanes Raharjo, SH & Partners",
beralamat di Jl. Cikini IV No. 20 Jakarta pusat.
Mobile : 0819644410, e-mail : pasaribu.prankgmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar