IDEALKAH CALON PEMIMPIN KITA ?
by. Agus P. Pasaribu, S.H.
Belakangan, mass media kita diramaikan dengan berita gonjang-ganjing partai politik yang menyoalkan hasil perolehan suara pemilihan legislatif (pileg) lalu. Ditambah lagi, suhu perpolitikan semakin memanas menjelang Perebutan kursi Presiden dan Wakil Presiden yang sedianya akan digelar bulan juni mendatang. Pertarungan sengit antar kandidat semakin sengit untuk memperebutkan kursi presiden dan wakil presiden, bak primadona yang siap dijadikan pingitan sang pangeran. Aktivitas partai politik semakin gencar melakukan pendekatan-pendekatan dalam rangka koalisi. Dalam konteks disiplin ilmu politik, hal yang demikian lumrah terjadi, mengingat fakta bahwa partai-partai politik peserta pemilu kali ini tidak satupun memperoleh quota perolehan suara 25 % sebagaimana diamanat UU Pemilu, sehingga hanya melalui mekanisme koalisi saja yang dimungkinkan mengajukan calon presiden dan wakil presiden. Sejalan dengan itu, bentuk koalisi sendiri memang diperkenankan dalam UU No. 22 tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum.
Namun, persoalan yang patut disoroti dalam pilpres mendatang adalah seberapa idealkah kandidat yang telah memastikan diri mencalonkan diri sebagai pemimpin di negeri ini?. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis yang mencoba mengkritisi tentang rumitnya sistem demokrasi di Indonesia, yang bermuara pada kepemimpinan yang sudah stagnasi (berhenti) tanpa adanya alternatif pilihan, hal ini tentu saja akan berujung pada kerugian masyarakat dalam suatu negara demokratis.
Idealime Politik
Berdasarkan situasi yang mengemuka belakangan, sangat jarang kita melihat partai politik benar-benar mau menerapkan aturan partai yang real demi kepentingan bangsa dan negara (baca : kepentingan rakyat), yakni : tidak mengenal kompromi, sebagaimana pada saat hingar-bingar mengiklankan diri pada kampanye pileg lalu. Hampir semua partai politik di negeri ini menerapkan pola tawar-menawar kekuasaan yang bersifat politik pragmatis. Anehnya, partai politik secara sadar memerankan standar ganda cuma demi menyelematkan kepentingan kekuasaan belaka (baca : terpilih menjadi capres/wapres). Jika sudah demikian, sebenarnya dimana hak rakyat selaku pemegang otoritas tertinggi dalam sebuah negara berdaulat?. Pemahaman tentang demokrasi pun telah bergeser secara mendasar, tanpa memperhatikan ekspektasi masyarakat selaku patron. Partai-partai politik yang berkoalisi mengaku-mengaku mewakili kepentingan rakyat, padahal sebaliknya jika melihat fatamorgana yang diciptakan koalisi, sejalan dengan membumbungnya nilai kekuasaan yang dielu-elukan, termasuk atur-mengatur siasat demi memperoleh kemenangan pemilu, maka tidak jelas keinginan siap yang sebenarnya hendak diperjuangkan partai poltik.
Sederhananya, jika dinilai dengan hitung-hitungan logika, sebenarnya partai-partai politik teramat ambisius berkuasa di pemerintahan, meskipun mereka mengatasnamakan demi kepentingan bangsa, negara, atau rakyat sekalipun. Namun rakyat yang mana diperjuangkan, sementara partai politik lebih menekankan nilai koalisi daripada kesinergisan untuk membangun bangsa ke depannya. Bukankah tidak lebih baik apabila partai politik bersatu dan duduk bersama memikirkan kepentingan rakyat, tanpa harus mempersoalkan posisi tawar-menawar yang cenderung mengabaikan kepentingan rakyat, inilah bentuk real politik praktis, sebagaimana yang dikemukakan diatas. Kekuasaan pun menjadi sesuatu yagn istimewa bagi kalangan partai politik, padahal sudah seharusnya yang menjadi perdebatan bukan posisi tawar-menawar yang diracuni kata “koalisi belaka”, melainkan partai-partai sewajarnya bersinergi dalam koalisi demi menyatukan visi dan misi untuk mencapai kesejahteraan rakyat.
Aneh memang, karena kebanyakan kandidat capres dan wapres sudah terbukti tidak mampu memimpin negeri ini, hal ini bila melihat kilas balik track record masing-masing kandididat, tanpa bermaksud mengecilkan kemampuannya. Namun, mengapa masih mencalonkan diri, pemimpin sejatikah itu ?, jangan-jangan orang-orang gagal itu masih penasaran dengan “kekuasaan” jadinya memaksakan diri untuk memimpin negara yang sebenarnya tak pernah dipahami dengan baik. Sangat beralasan apabila kemudian kita mempertanyakan apakah partai-partai yang mengusung kandidatnya mempunyai idealisme politik?
Untuk mencapai suatu pemahaman mendasar tentang idealisme politik, tentu terlebih dahulu masing-masing kandidat harus memahami politik secara kompleks. Dimana didalamnya ada unsur kekuasaan yang berorientasi pada pencapaian cita-cita kesejahteraan rakyat dan adanya kesinergian elemen-elemen yang bekerja didalamnya sebagai suatu proses sistem.
Karakter Kepemimpinan
Pemilihan pemimpin di negeri ini sangat tidak responsif, sehingga sama sekali tidak mencerminkan adanya kehendak rakyat didalamnya. Pilihan pun dibatasi melalui mekanisme undang-undang. Alhasil, kandidat yang mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden hanya diisi oleh orang-orang yang itu-itu saja, tanpa adanya alternatif lain semisal pencalonan independen..
Karakter kepemimpinan para kandidat presiden dan wakil presiden sebenarnya sudah tidak ideal bila melihat banyaknya tantangan persoalan yang dihadapi bangsa ini. Namun, sayangnya pemahaman bagi para kandidat tentang kebutuhan kepemiminan yang ideal bagi bangsa ini sangat jauh dari kenyataan, jadi tidak mengherankan apabila kemudian tidak diberikannya sama sekali peluang terhadap generasi muda selaku pemegang estapet kepemimpinan. Pemimpin yang berkarakter tidak selamanya harus bicara kemenangan diatas kertas dalam sebuah pertarungan politik, melainkan adanya kedewasaan politik untuk mengayomi generasi muda. Kesempatan harus diberikan kepada pemimpin muda agar tumbuh kembang dalam wujud regenerasi kepemimpinan dimasa mendatang.
Andaikan saja para calon kandidat menyadari makna kepemimpinan yang berkarakter, tentu akan paham betapa pentingya pengayoman bukan sekedar bicara perebutan kekuasaan belaka. Bagaimanapun, kepentingan rakyat akan menjadi pertaruhan jika yang terpilih tidak mempunyai kemampuan yang baik. Kemampuan yang baik ini hanya ditemukan dalam diri pemimpin yang berkarakter, bukan dari partai politiknya. Siapkah kita menaruh harapan kepada pemimpin-pemimpin yang telah gagal?. Perlu direnungkan bahwa para kandidat dapat disebut sebagai pemimpin, namun belum tentu mereka mempunyai jiwa kepemimpinan. Hanya orang yang mempunyai jiwa kepemimpinan yang sanggup mengeluarkan bangsa ini dari berbagai kemelut yang melanda.
by. Agus P. Pasaribu, S.H.
Belakangan, mass media kita diramaikan dengan berita gonjang-ganjing partai politik yang menyoalkan hasil perolehan suara pemilihan legislatif (pileg) lalu. Ditambah lagi, suhu perpolitikan semakin memanas menjelang Perebutan kursi Presiden dan Wakil Presiden yang sedianya akan digelar bulan juni mendatang. Pertarungan sengit antar kandidat semakin sengit untuk memperebutkan kursi presiden dan wakil presiden, bak primadona yang siap dijadikan pingitan sang pangeran. Aktivitas partai politik semakin gencar melakukan pendekatan-pendekatan dalam rangka koalisi. Dalam konteks disiplin ilmu politik, hal yang demikian lumrah terjadi, mengingat fakta bahwa partai-partai politik peserta pemilu kali ini tidak satupun memperoleh quota perolehan suara 25 % sebagaimana diamanat UU Pemilu, sehingga hanya melalui mekanisme koalisi saja yang dimungkinkan mengajukan calon presiden dan wakil presiden. Sejalan dengan itu, bentuk koalisi sendiri memang diperkenankan dalam UU No. 22 tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum.
Namun, persoalan yang patut disoroti dalam pilpres mendatang adalah seberapa idealkah kandidat yang telah memastikan diri mencalonkan diri sebagai pemimpin di negeri ini?. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis yang mencoba mengkritisi tentang rumitnya sistem demokrasi di Indonesia, yang bermuara pada kepemimpinan yang sudah stagnasi (berhenti) tanpa adanya alternatif pilihan, hal ini tentu saja akan berujung pada kerugian masyarakat dalam suatu negara demokratis.
Idealime Politik
Berdasarkan situasi yang mengemuka belakangan, sangat jarang kita melihat partai politik benar-benar mau menerapkan aturan partai yang real demi kepentingan bangsa dan negara (baca : kepentingan rakyat), yakni : tidak mengenal kompromi, sebagaimana pada saat hingar-bingar mengiklankan diri pada kampanye pileg lalu. Hampir semua partai politik di negeri ini menerapkan pola tawar-menawar kekuasaan yang bersifat politik pragmatis. Anehnya, partai politik secara sadar memerankan standar ganda cuma demi menyelematkan kepentingan kekuasaan belaka (baca : terpilih menjadi capres/wapres). Jika sudah demikian, sebenarnya dimana hak rakyat selaku pemegang otoritas tertinggi dalam sebuah negara berdaulat?. Pemahaman tentang demokrasi pun telah bergeser secara mendasar, tanpa memperhatikan ekspektasi masyarakat selaku patron. Partai-partai politik yang berkoalisi mengaku-mengaku mewakili kepentingan rakyat, padahal sebaliknya jika melihat fatamorgana yang diciptakan koalisi, sejalan dengan membumbungnya nilai kekuasaan yang dielu-elukan, termasuk atur-mengatur siasat demi memperoleh kemenangan pemilu, maka tidak jelas keinginan siap yang sebenarnya hendak diperjuangkan partai poltik.
Sederhananya, jika dinilai dengan hitung-hitungan logika, sebenarnya partai-partai politik teramat ambisius berkuasa di pemerintahan, meskipun mereka mengatasnamakan demi kepentingan bangsa, negara, atau rakyat sekalipun. Namun rakyat yang mana diperjuangkan, sementara partai politik lebih menekankan nilai koalisi daripada kesinergisan untuk membangun bangsa ke depannya. Bukankah tidak lebih baik apabila partai politik bersatu dan duduk bersama memikirkan kepentingan rakyat, tanpa harus mempersoalkan posisi tawar-menawar yang cenderung mengabaikan kepentingan rakyat, inilah bentuk real politik praktis, sebagaimana yang dikemukakan diatas. Kekuasaan pun menjadi sesuatu yagn istimewa bagi kalangan partai politik, padahal sudah seharusnya yang menjadi perdebatan bukan posisi tawar-menawar yang diracuni kata “koalisi belaka”, melainkan partai-partai sewajarnya bersinergi dalam koalisi demi menyatukan visi dan misi untuk mencapai kesejahteraan rakyat.
Aneh memang, karena kebanyakan kandidat capres dan wapres sudah terbukti tidak mampu memimpin negeri ini, hal ini bila melihat kilas balik track record masing-masing kandididat, tanpa bermaksud mengecilkan kemampuannya. Namun, mengapa masih mencalonkan diri, pemimpin sejatikah itu ?, jangan-jangan orang-orang gagal itu masih penasaran dengan “kekuasaan” jadinya memaksakan diri untuk memimpin negara yang sebenarnya tak pernah dipahami dengan baik. Sangat beralasan apabila kemudian kita mempertanyakan apakah partai-partai yang mengusung kandidatnya mempunyai idealisme politik?
Untuk mencapai suatu pemahaman mendasar tentang idealisme politik, tentu terlebih dahulu masing-masing kandidat harus memahami politik secara kompleks. Dimana didalamnya ada unsur kekuasaan yang berorientasi pada pencapaian cita-cita kesejahteraan rakyat dan adanya kesinergian elemen-elemen yang bekerja didalamnya sebagai suatu proses sistem.
Karakter Kepemimpinan
Pemilihan pemimpin di negeri ini sangat tidak responsif, sehingga sama sekali tidak mencerminkan adanya kehendak rakyat didalamnya. Pilihan pun dibatasi melalui mekanisme undang-undang. Alhasil, kandidat yang mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden hanya diisi oleh orang-orang yang itu-itu saja, tanpa adanya alternatif lain semisal pencalonan independen..
Karakter kepemimpinan para kandidat presiden dan wakil presiden sebenarnya sudah tidak ideal bila melihat banyaknya tantangan persoalan yang dihadapi bangsa ini. Namun, sayangnya pemahaman bagi para kandidat tentang kebutuhan kepemiminan yang ideal bagi bangsa ini sangat jauh dari kenyataan, jadi tidak mengherankan apabila kemudian tidak diberikannya sama sekali peluang terhadap generasi muda selaku pemegang estapet kepemimpinan. Pemimpin yang berkarakter tidak selamanya harus bicara kemenangan diatas kertas dalam sebuah pertarungan politik, melainkan adanya kedewasaan politik untuk mengayomi generasi muda. Kesempatan harus diberikan kepada pemimpin muda agar tumbuh kembang dalam wujud regenerasi kepemimpinan dimasa mendatang.
Andaikan saja para calon kandidat menyadari makna kepemimpinan yang berkarakter, tentu akan paham betapa pentingya pengayoman bukan sekedar bicara perebutan kekuasaan belaka. Bagaimanapun, kepentingan rakyat akan menjadi pertaruhan jika yang terpilih tidak mempunyai kemampuan yang baik. Kemampuan yang baik ini hanya ditemukan dalam diri pemimpin yang berkarakter, bukan dari partai politiknya. Siapkah kita menaruh harapan kepada pemimpin-pemimpin yang telah gagal?. Perlu direnungkan bahwa para kandidat dapat disebut sebagai pemimpin, namun belum tentu mereka mempunyai jiwa kepemimpinan. Hanya orang yang mempunyai jiwa kepemimpinan yang sanggup mengeluarkan bangsa ini dari berbagai kemelut yang melanda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar