PATAMORGANA “SBY-BERBUDI”
Pemilihan Presiden (pilpres) tinggal menghitung hari, sinkron dengan itu koalisi antar partai telah melahirkan kandidat capres dan wapres dengan mengusung tiga pasangan yang akan berkompetisi memperebutkan kursi RI-1 dan RI-2 untuk masa 2009 s/d 2014. Namun proses seleksi kandidat capres dan wapres pemilu kali ini diwarnai berbagai kejanggalan, mulai dari penggunaan istilah penyebutan calon, proses pengambilan keputusan koalisi, sampai pada pencitraan calon (kandidat) yang berlebihan (dalam arti : over confident). Pertanyaaannya adalah kemanakah arah bangsa ini, jika melihat realitas yang demikian itu, sementara diujung jalan telah menanti segudang persoalan bangsa yang terbelenggu sekian lama ?.
Proses pendeklarasian capres-wapres “SBY-Berbudi” (singk. SBY bersama budi) sepintas memang terlihat biasa-biasa saja, namun jika ditelisik secara tajam, sebenarnya banyak hal-hal yang tidak patut dan janggal dilakukan oleh capres dan wapres ini. Mengingat, esensi utama kepemimpinan bukan membutuhkan hal-hal yang janggal itu, tetapi yang paling penting adalah seberapa bisa kandidat capres dan wapres yang bersangkutan benar-benar menunjukkan ide-ide nyata (real) untuk membangun masa depan negeri ini, sehingga mampu menciptakan kesejahteraan bagi rakyat banyak.
Seremonial
Pada saat deklarasi Capres Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selaku incumbent dan Cawapres Budiono berlangsung, detik-detik hingar-bingar penyambutan deklarasi yang berlebihan ditandai dengan persiapan tempat yang terkesan sangat wah, ekslusif, image tinggi dan lain sebagainya. Bahkan, seremonial pendeklarasian terkesan mubazir dan cenderung bersifat aspek hiburan (entertain). Dikatakan mubazir karena kompetisi belum berakhir, namun SBY-Berbudi seolah-olah sudah merayakan kemenangan pemilu, terbukti acara pendeklarasian jauh-jauh hari telah dipersiapkan secara teramat ekslusif. Ditambah lagi, biaya yang dikeluarkan tergolong tidak sedikit, sehingga sangat dilematis mengingat ditengah-tengah penderitaan rakyat yang dibalut kesulitan hidup. Dikatakan cenderung menghibur, karena capres dan wapres tersebut lebih memilih pidato-pidato yang tidak menyentuh langsung perjuangan kepentingan rakyat. Seandainya bisa diibaratkan, maka deklarasi capres SBY dan wapres Berbudi tak ubahnya seperti peluncuran (launcing) produk industri ke dunia pasar yang semata-mata bertujuan menarik hati konsumen belaka, tanpa memperhatikan keinginan masyarakat.
Lihat saja proses pencitraan diri yang dibuat kedua kandidat tersebut dengan menyebutkan dirinya sebagai “SBY-Berbudi”. Pidato pembukaan yang bersifat formalitas sangat tidak patut apabila diisi dengan pidato yang menggunakan istilah-istilah menyesatkan pikiran. Padahal, oritentasi kedua calon dapat dipastikan hanya terkesan familiar sehinga rakyat memilih dan mudah mengingat, demi memenangkan pemilu mendatang. Andaikan saja jujur melihat persoalan, siapapun tahu bahwa di republic ini masih banyak rakyat yang mudah termakan isu yang bersifat slogan-slogan belaka, mengingat tingkat pendidikan politik masyarakat sebagian besar belum memadai. Oleh karena itu, sangat tidak fair rasanya apabila pengistilahan kandidat "SBY-Berbudi" digunakan sebagai slogan kampanye kelak. Kekeliruan persepsi masyarakat tentang kedua calon ini akan semakin parah, jika melihat pidato-pidato capres dan wapres tersebut yang mengaku berhasil membayar utang negara, tanpa berani membeberkan fakta bahwa tahun 2004 - 2009 utang Indonesia justru semakin membengkak ke negara-negara maju, walaupun memang ada pelunasan utang ke International Moneter Fund (IMF). Itukah wujud dari keberhasilan?. Aneh memang, namun yang lebih mempriharinkan lagi, wapres Budiono yang didengung-dengungkan sebagai ahli ekonomi, justru berangkat dari latarbelakang persoalan BLBI yang tidak jelas juntrungannnya sampai saat ini. Sangat diragukan kredibilitas pasangan tersebut, terkesan orientasi pendeklarasian semata-mata cuma ingin memenangkan pemilu belaka. Jika sudah demikian, sebenarnya dimana itikad baik seorang calon pemimpin yang ingin menyejahterakan rakyat ?.
Bagi rakyat yang jauh dari arus informasi maupun pendidikan formil yang tertinggal tentu saja dengan penggunaan istilah "SBY-berbudi" akan dimaknai menurut apa yang tertulis (letterlijk), bahwa kandidat itu benar-benar berbudi dalam arti berjasa. Permasalahan ini sangat dilematis, karena bagaimanapun oritentasi rakyat memilih kandidat hanya karena kesesatan pola pikir akibat isu kata “SBY-Berbudi”. Jika ini terjadi, maka sebenarnya demokrasi sudah kehilangan arah tujuan (miss-orientation).
Pada konteks yang berbeda, seremonial pendeklarasian kandidat “SBY-Berbudi” tadi dibungkus dengan pidato-pidato bualan yang mengajak rakyat di republik ini berhalusinasi dengan sejuta impian yang sangat kabur alias patamorgana belaka, tanpa adanya ide kongkrit yang menjadi patron kandidat ini. Bahkan, secara tidak bijak pidato yang disampaikan secara keliru, seperti klaim keberhasilan SBY selama lima tahun ini. Padahal, contoh sederhana telah membuktikan baru-baru ini bahwa pemilihan legislatif lalu (pileg) merupakan tanggung jawab pemerintah, namun kenyataannya pileg tersebut gagal. Padahal, SBY selaku Incumbent berpidato tanpa berani menyatakan kegagalannya. Apakah itu bukan bagian dari kegagalan pemerintah (dalam arti sempit presiden) atau jangan-jangan pileg lalu dianggap juga keberhasilan, ironis memang !!
Sedangkan pada sisi calon wapresnya Budiono, selama ini kita mengetahui dia bukan siapa-siapa. Lihat saja kegagalannya selama ini, mulai dari skandal BLBI, penjualan asset-aset BUMN ke pihak asing, semua itu tidak terlepas dari peranannya di pemerintahan yang ada. Menyakitkan memang, masa menjadi capres dan wapres saja sudah dimulai dengan kebohongan publik dengan memberikan kesesatan informasi, malah terkesan memuji diri sendiri (narsisme), harusnya jadikanlah rakyat sebagai tolok ukur penilaian keberhasilan, bukan suara orang-orang disekitarnya yang perlu didengar masing-masing kandidat.
Pendeklarasian kandidat capres-wapres "SBY-Berbudi" sangat sarat dengan seremonial belaka yang tidak mempunyai hubungan dengan kepentingan rakyat, sangat memprihatinkan. Apalagi, penggunaan istilah SBY-Berbudi yang jelas-jelas dapat menyesatkan pikiran rakyat, oleh karena itu pemilu presiden kali ini akan sangat terkesan menonjolkan persaingan belaka, yang nota bene bukan bagian dari kepentingan rakyat banyak.
Tanggung Jawab “Incumbent”.
Secara garis besar siapapun tahu bahwa lima tahun belakangan keadaan perekonomian bangsa ini tidak mempunyai perubahan yang signifikan, bahkan kasarnya dapat dibilang diam (stag), meski banyak orang-orang disekitar presiden SBY Incumbent mengklaim sejumlah keberhasilan. Namun nyatanya, justru membuktikan sebaliknya, sebut saja misalnya permasalahan harga minyak (BBM), yang perumusannya tidak propesional, sehingga tidak mengherankan apabila kemudian harga BBM naik-turun tidak menentu yang justru menggangun laju pertumbuhan ekonomi. Proses pengambilan kebijakan (decision making) sangat terburu-buru, rakyat pun semakin menderita, bingung, ditengah-tengah membludaknya jumlah pengangguran karena PHK yang meningkat. Lantas, dari pembeberan fakta-fata diatas, dimana letak keberhasilan SBY selaku incumbent ?,
Kegagalan-kegagalan itu ternyata tidak membuka mata capres SBY sehingga masih mempunyai nyali untuk mencalonkan diri sebagai presiden untuk pemilu juni mendatang, ditambah lagi dalam setiap pidatonya SBY berpura-pura lupa dengan kegagalannya, sehingga hanya memuji keberhasilannya sendiri yang terkesan fatamorgana. Bagaimanapun, ukuran keberhasilan harus nyata bukan keberhasilan yang teoritis yang selalu diukur dari data-data maupun grafik belaka.
Detik-detik peralihan kekuasaan sudah semakin dekat, namun sayangnya bagaimana kita dapat menuntut tanggung jawab kegagagalan SBY, sementara kegagalan itu tidak pernah diakui, terbukti masih mencalonkan diri sebagai presiden dimasa lima tahun ke depan, dengan mengiming-imingi rakyat sejuta khayalan, yang sebenarnya hanya fatamorgana belaka.
Penutup
Perlu menjadi pemikiran bagi kita, agar pada saat pemilu presiden dan wakil presiden juni mendatang, kiranya rakyat bijak dalam menggunakan hak pilihnya. Terlebih lagi, memilih pemimpin yang berani menyatakan dirinya sesuai kebenaran, mengakui kegagalan, bijak, sehingga rakyat tidak tertipu oleh fatamorgana impian-impian belaka yang dibangun atas dasar khayalan kata “sejahtera”, yang tidak pernah terwujudkan selama ini.
Pemilihan Presiden (pilpres) tinggal menghitung hari, sinkron dengan itu koalisi antar partai telah melahirkan kandidat capres dan wapres dengan mengusung tiga pasangan yang akan berkompetisi memperebutkan kursi RI-1 dan RI-2 untuk masa 2009 s/d 2014. Namun proses seleksi kandidat capres dan wapres pemilu kali ini diwarnai berbagai kejanggalan, mulai dari penggunaan istilah penyebutan calon, proses pengambilan keputusan koalisi, sampai pada pencitraan calon (kandidat) yang berlebihan (dalam arti : over confident). Pertanyaaannya adalah kemanakah arah bangsa ini, jika melihat realitas yang demikian itu, sementara diujung jalan telah menanti segudang persoalan bangsa yang terbelenggu sekian lama ?.
Proses pendeklarasian capres-wapres “SBY-Berbudi” (singk. SBY bersama budi) sepintas memang terlihat biasa-biasa saja, namun jika ditelisik secara tajam, sebenarnya banyak hal-hal yang tidak patut dan janggal dilakukan oleh capres dan wapres ini. Mengingat, esensi utama kepemimpinan bukan membutuhkan hal-hal yang janggal itu, tetapi yang paling penting adalah seberapa bisa kandidat capres dan wapres yang bersangkutan benar-benar menunjukkan ide-ide nyata (real) untuk membangun masa depan negeri ini, sehingga mampu menciptakan kesejahteraan bagi rakyat banyak.
Seremonial
Pada saat deklarasi Capres Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selaku incumbent dan Cawapres Budiono berlangsung, detik-detik hingar-bingar penyambutan deklarasi yang berlebihan ditandai dengan persiapan tempat yang terkesan sangat wah, ekslusif, image tinggi dan lain sebagainya. Bahkan, seremonial pendeklarasian terkesan mubazir dan cenderung bersifat aspek hiburan (entertain). Dikatakan mubazir karena kompetisi belum berakhir, namun SBY-Berbudi seolah-olah sudah merayakan kemenangan pemilu, terbukti acara pendeklarasian jauh-jauh hari telah dipersiapkan secara teramat ekslusif. Ditambah lagi, biaya yang dikeluarkan tergolong tidak sedikit, sehingga sangat dilematis mengingat ditengah-tengah penderitaan rakyat yang dibalut kesulitan hidup. Dikatakan cenderung menghibur, karena capres dan wapres tersebut lebih memilih pidato-pidato yang tidak menyentuh langsung perjuangan kepentingan rakyat. Seandainya bisa diibaratkan, maka deklarasi capres SBY dan wapres Berbudi tak ubahnya seperti peluncuran (launcing) produk industri ke dunia pasar yang semata-mata bertujuan menarik hati konsumen belaka, tanpa memperhatikan keinginan masyarakat.
Lihat saja proses pencitraan diri yang dibuat kedua kandidat tersebut dengan menyebutkan dirinya sebagai “SBY-Berbudi”. Pidato pembukaan yang bersifat formalitas sangat tidak patut apabila diisi dengan pidato yang menggunakan istilah-istilah menyesatkan pikiran. Padahal, oritentasi kedua calon dapat dipastikan hanya terkesan familiar sehinga rakyat memilih dan mudah mengingat, demi memenangkan pemilu mendatang. Andaikan saja jujur melihat persoalan, siapapun tahu bahwa di republic ini masih banyak rakyat yang mudah termakan isu yang bersifat slogan-slogan belaka, mengingat tingkat pendidikan politik masyarakat sebagian besar belum memadai. Oleh karena itu, sangat tidak fair rasanya apabila pengistilahan kandidat "SBY-Berbudi" digunakan sebagai slogan kampanye kelak. Kekeliruan persepsi masyarakat tentang kedua calon ini akan semakin parah, jika melihat pidato-pidato capres dan wapres tersebut yang mengaku berhasil membayar utang negara, tanpa berani membeberkan fakta bahwa tahun 2004 - 2009 utang Indonesia justru semakin membengkak ke negara-negara maju, walaupun memang ada pelunasan utang ke International Moneter Fund (IMF). Itukah wujud dari keberhasilan?. Aneh memang, namun yang lebih mempriharinkan lagi, wapres Budiono yang didengung-dengungkan sebagai ahli ekonomi, justru berangkat dari latarbelakang persoalan BLBI yang tidak jelas juntrungannnya sampai saat ini. Sangat diragukan kredibilitas pasangan tersebut, terkesan orientasi pendeklarasian semata-mata cuma ingin memenangkan pemilu belaka. Jika sudah demikian, sebenarnya dimana itikad baik seorang calon pemimpin yang ingin menyejahterakan rakyat ?.
Bagi rakyat yang jauh dari arus informasi maupun pendidikan formil yang tertinggal tentu saja dengan penggunaan istilah "SBY-berbudi" akan dimaknai menurut apa yang tertulis (letterlijk), bahwa kandidat itu benar-benar berbudi dalam arti berjasa. Permasalahan ini sangat dilematis, karena bagaimanapun oritentasi rakyat memilih kandidat hanya karena kesesatan pola pikir akibat isu kata “SBY-Berbudi”. Jika ini terjadi, maka sebenarnya demokrasi sudah kehilangan arah tujuan (miss-orientation).
Pada konteks yang berbeda, seremonial pendeklarasian kandidat “SBY-Berbudi” tadi dibungkus dengan pidato-pidato bualan yang mengajak rakyat di republik ini berhalusinasi dengan sejuta impian yang sangat kabur alias patamorgana belaka, tanpa adanya ide kongkrit yang menjadi patron kandidat ini. Bahkan, secara tidak bijak pidato yang disampaikan secara keliru, seperti klaim keberhasilan SBY selama lima tahun ini. Padahal, contoh sederhana telah membuktikan baru-baru ini bahwa pemilihan legislatif lalu (pileg) merupakan tanggung jawab pemerintah, namun kenyataannya pileg tersebut gagal. Padahal, SBY selaku Incumbent berpidato tanpa berani menyatakan kegagalannya. Apakah itu bukan bagian dari kegagalan pemerintah (dalam arti sempit presiden) atau jangan-jangan pileg lalu dianggap juga keberhasilan, ironis memang !!
Sedangkan pada sisi calon wapresnya Budiono, selama ini kita mengetahui dia bukan siapa-siapa. Lihat saja kegagalannya selama ini, mulai dari skandal BLBI, penjualan asset-aset BUMN ke pihak asing, semua itu tidak terlepas dari peranannya di pemerintahan yang ada. Menyakitkan memang, masa menjadi capres dan wapres saja sudah dimulai dengan kebohongan publik dengan memberikan kesesatan informasi, malah terkesan memuji diri sendiri (narsisme), harusnya jadikanlah rakyat sebagai tolok ukur penilaian keberhasilan, bukan suara orang-orang disekitarnya yang perlu didengar masing-masing kandidat.
Pendeklarasian kandidat capres-wapres "SBY-Berbudi" sangat sarat dengan seremonial belaka yang tidak mempunyai hubungan dengan kepentingan rakyat, sangat memprihatinkan. Apalagi, penggunaan istilah SBY-Berbudi yang jelas-jelas dapat menyesatkan pikiran rakyat, oleh karena itu pemilu presiden kali ini akan sangat terkesan menonjolkan persaingan belaka, yang nota bene bukan bagian dari kepentingan rakyat banyak.
Tanggung Jawab “Incumbent”.
Secara garis besar siapapun tahu bahwa lima tahun belakangan keadaan perekonomian bangsa ini tidak mempunyai perubahan yang signifikan, bahkan kasarnya dapat dibilang diam (stag), meski banyak orang-orang disekitar presiden SBY Incumbent mengklaim sejumlah keberhasilan. Namun nyatanya, justru membuktikan sebaliknya, sebut saja misalnya permasalahan harga minyak (BBM), yang perumusannya tidak propesional, sehingga tidak mengherankan apabila kemudian harga BBM naik-turun tidak menentu yang justru menggangun laju pertumbuhan ekonomi. Proses pengambilan kebijakan (decision making) sangat terburu-buru, rakyat pun semakin menderita, bingung, ditengah-tengah membludaknya jumlah pengangguran karena PHK yang meningkat. Lantas, dari pembeberan fakta-fata diatas, dimana letak keberhasilan SBY selaku incumbent ?,
Kegagalan-kegagalan itu ternyata tidak membuka mata capres SBY sehingga masih mempunyai nyali untuk mencalonkan diri sebagai presiden untuk pemilu juni mendatang, ditambah lagi dalam setiap pidatonya SBY berpura-pura lupa dengan kegagalannya, sehingga hanya memuji keberhasilannya sendiri yang terkesan fatamorgana. Bagaimanapun, ukuran keberhasilan harus nyata bukan keberhasilan yang teoritis yang selalu diukur dari data-data maupun grafik belaka.
Detik-detik peralihan kekuasaan sudah semakin dekat, namun sayangnya bagaimana kita dapat menuntut tanggung jawab kegagagalan SBY, sementara kegagalan itu tidak pernah diakui, terbukti masih mencalonkan diri sebagai presiden dimasa lima tahun ke depan, dengan mengiming-imingi rakyat sejuta khayalan, yang sebenarnya hanya fatamorgana belaka.
Penutup
Perlu menjadi pemikiran bagi kita, agar pada saat pemilu presiden dan wakil presiden juni mendatang, kiranya rakyat bijak dalam menggunakan hak pilihnya. Terlebih lagi, memilih pemimpin yang berani menyatakan dirinya sesuai kebenaran, mengakui kegagalan, bijak, sehingga rakyat tidak tertipu oleh fatamorgana impian-impian belaka yang dibangun atas dasar khayalan kata “sejahtera”, yang tidak pernah terwujudkan selama ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar