KREDIBELKAH PEMERINTAH KITA ?
by. Agus P. Pasribu, S.H.
Pelaksaan pemilu legislatif (pileg) telah berlalu, namun berbagai persoalan pileg masih saja terus mendera tiada henti, sebagaimana dilansir media nasional maupun lokal selaku tonggak kebebasan informasi. Sangat tidak mengherankan apabila Komisi Pemilihan Umum (KPU) mulai kelimpungan seolah-olah sudah kehilangan logika untuk menyelesaikan berbagai konflik, ditengah-tengah belum rampungnya hasil penghitungna suara. Berbagai kecurangan pelaksanaan pileg sudah ditemukan, bahkan tak ketinggalan pula kecurangan tidak saja terjadi di Indonesia, melainkan di daerah pemilihan luar negeri tempat dimana warga negara Indonesia memberikan hak suaranya sebagaimana diberitakan media massa maupun elektronik belakangan ini. Aneh memang, tapi realitas itu setidaknya memberikan gambaran bahwa secara empiris pileg kali ini sangat jauh dari harapan masyarakat.
Banyak pihak telah melancarkan pernyataan (statement) untuk mengkritisi hasil pileg kali ini, termasuk kritikan tajam dari partai-partai politik peserta pemilu. Alih-alih mendapat respon positif dari pemerintah, justru “pemerintah” (baca : presiden) malah menaggapi dengan nada sumringah nada sindirian. Pemerintah malah terkesan tidak mau disalahkan dan malah menuduh balik pihak-pihak yang mengajukan protes dengan mengatakan bahwa “agar pihak-pihak tertentu jangan begitu mudah mengatakan curang pemilu kali ini, karena masih terang dalam ingatan saya kenangan pemilu pada tahun 2004 lalu”. Inikah wujud dan tanggung jawab pemerintah, khususnya tanggung jawab presiden selaku Kepala Negara?. Lantas, bagaimana pemerintah menilai fakta kecurangan-kecurangan para caleg yang sudah terang-terangan terbukti adanya. Paling tidak seberanya pemerintah tidak mempunyai alasan yang cukup kuat untuk mengkaitkan antara keberlangsungan pemilu tahun 2004 dengan pileg baru-baru ini. Bagaimanapun pernyataan yang dikemukakan itu tidak relevan dalam konteks permasalahan pemilu yang mengemuka saat ini. Sungguh ironis memang, pemerintah yang seharusnya menetralisir keadaan atas berbagai persoalan, malah cenderung antipati dan bertindak skeptis menilai berbagai fakta kecurangan pileg yang sudah diungkap berbagai kalangan.
by. Agus P. Pasribu, S.H.
Pelaksaan pemilu legislatif (pileg) telah berlalu, namun berbagai persoalan pileg masih saja terus mendera tiada henti, sebagaimana dilansir media nasional maupun lokal selaku tonggak kebebasan informasi. Sangat tidak mengherankan apabila Komisi Pemilihan Umum (KPU) mulai kelimpungan seolah-olah sudah kehilangan logika untuk menyelesaikan berbagai konflik, ditengah-tengah belum rampungnya hasil penghitungna suara. Berbagai kecurangan pelaksanaan pileg sudah ditemukan, bahkan tak ketinggalan pula kecurangan tidak saja terjadi di Indonesia, melainkan di daerah pemilihan luar negeri tempat dimana warga negara Indonesia memberikan hak suaranya sebagaimana diberitakan media massa maupun elektronik belakangan ini. Aneh memang, tapi realitas itu setidaknya memberikan gambaran bahwa secara empiris pileg kali ini sangat jauh dari harapan masyarakat.
Banyak pihak telah melancarkan pernyataan (statement) untuk mengkritisi hasil pileg kali ini, termasuk kritikan tajam dari partai-partai politik peserta pemilu. Alih-alih mendapat respon positif dari pemerintah, justru “pemerintah” (baca : presiden) malah menaggapi dengan nada sumringah nada sindirian. Pemerintah malah terkesan tidak mau disalahkan dan malah menuduh balik pihak-pihak yang mengajukan protes dengan mengatakan bahwa “agar pihak-pihak tertentu jangan begitu mudah mengatakan curang pemilu kali ini, karena masih terang dalam ingatan saya kenangan pemilu pada tahun 2004 lalu”. Inikah wujud dan tanggung jawab pemerintah, khususnya tanggung jawab presiden selaku Kepala Negara?. Lantas, bagaimana pemerintah menilai fakta kecurangan-kecurangan para caleg yang sudah terang-terangan terbukti adanya. Paling tidak seberanya pemerintah tidak mempunyai alasan yang cukup kuat untuk mengkaitkan antara keberlangsungan pemilu tahun 2004 dengan pileg baru-baru ini. Bagaimanapun pernyataan yang dikemukakan itu tidak relevan dalam konteks permasalahan pemilu yang mengemuka saat ini. Sungguh ironis memang, pemerintah yang seharusnya menetralisir keadaan atas berbagai persoalan, malah cenderung antipati dan bertindak skeptis menilai berbagai fakta kecurangan pileg yang sudah diungkap berbagai kalangan.
Ketidakdewasaan Pemerintah
Sebagai pemerintah yang bermartabat dalam suatu tatanan negara demokratis tidak sepantasnya pemerintah mencari-cari alasan dengan mengeluarkan berbagai statement yang terkesan mengalihkan perhatian rakyat untuk segala kejanggalan dan kekurangan pemilu yang sudah terlanjur terjadi. Justru hal ini membuktikan pemerintah bukan sosok yang menjadi panutan warga negaranya alias tidak dewasa dalam konteks negara hukum. Lantas, apakah rakyat yang harus mahfum untuk setiap kesalahan birokrasi yang dilakukan oleh KPU dan menanggung sendiri semua akibat kejanggalan / kesalahan pileg yang lalu ?, atau jangan-jangan pemerintah lupa bahwa tanggung jawab KPU merupakan bagian dari fungsi tugas dan tanggung jawabnya sendiri. Masih pantaskah kita menganggap ‘fair’ pelaksanaan pileg yang demikian itu, bila merefleksikan berbagai kecurangan para caleg ?. Padahal, masing-masing caleg adalah pihak yang nota bene sebagai motor (penggerak) untuk memastikan perolehan suara partai ?. Perlu untuk diingat, bahwa kecurangan para caleg pada pileg kali ini sedikit banyaknya telah menguntungkan partai, karena siapapun tidak dapat memungkiri bahwa tidak ada jaminan apapun tentang perolehan suara yang ada sekarang ini benar-benar murni sebagai suatu kompetisi yang jujur (fairness), bila menilik kembali berbagai kecurangan para caleg yagn merupakan bagian dari sistem partai politik.
Sebagai acuan perlu ditegaskan kembali bahwa pemerintah secara hukum bertanggung jawab dalam pelaksanaan pemilihan umum, hal ini didasarkan pada alasan-alasan sebagai berikut :
Pertama, menurut ketentuan pasal 12 ayat (1) UU No. 22 tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum yang berbunyi : “Presiden membentuk Tim Seleksi calon anggota KPU”. Sedangkan pada pasal 14 lebih lanjut secara tegas bahkan menyatakan : “Presiden menetapkan 21 (dua puluh satu) nama calon atau 3 (tiga) kali jumlah anggota KPU untuk selanjutnya diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat”.
Kedua, pemerintah secara organisatoris kelembagaan negara bertanggung jawab menjalankan roda pemerintahan tanpa terkecuali termasuk didalamnya menjamin terlaksananya pesta demokrasi sebagai perwujudan dari pelaksanaan UUD ’45.
Ketiga, pemerintah secara moralitas bertanggung jawab terhadap masyarakat dalam hal dirugikannya hak-hak politik warga negara yang dijamin oleh UU dalam sebuah tatanan demokrasi, dimana rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara yang berdasarkan hukum (rechtstaat), bukan kekuasaan belaka (machstaat).
Keempat, Bagaimanapun pelaksanaan pemilu yang telah berlangsung, jika merujuk pada fakta persoalan yang timbul, maka benang merah yang dapat ditarik sebagai kesimpulan adalah banyaknya warga negara yang tidak dapat menggunakan hak pilihnya, dengan lain perkataan pemerintah secara tidak langsung telah memasung hak-hak politik warga negara melalui ketidakikutsertaan warga negara memilih. Oleh karenanya, jelas hal yang demikian merupakan pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) yang teramat sangat serius.
Secara sederhana berdasarkan alasan-alasan tersebut diatas, maka sudah sepantasnya jika pemerintahan yang ada sekarang dipertanyakan kapabilitas dan responsibilitasnya oleh masyarakat. Bagaimanapun, dalam suatu negara yang berdaulat dan demokratis pemerintahanan mutlak harus menjamin hak-hak politik warga negara yang diwujdukan dalam bentuk pertanggungjawaban secara moral maupun hukum manakala timbul kekacauan (chaos).
Mempertanyakan Itikad Baik Pemerintah
Berbagai konflik secara sadar atau tidak ditengah-tengah masyarakat semakin hari semakin bertambah sejak dilaksanakannya pileg lalu. Secara gamblang hal tersebut tentu saja sangat meresahkan kehidupan sosial warga negara. Munculnya berbagai konflik merupakan manifestasi ketidakberesan pemerintahan yang ada, mulai dari manajemen kependudukan yang amburadul, pendidikan politik warga negara yang cenderung miss-orientasi, atau bahkan pemahaman yang keliru dalam menilai makna dan manfaat pesta demokrasi.
Pemerintah kurang memahami akar persoalan demokrasi dalam ranah perpolitikan di negeri ini. Kecenderungannya, jika dianalisis maka yang terjadi adalah di saat pemerintah yang berkuasa masih menjalankan roda pemerintahan sebelum menuju pemilihan presiden berikutnya, namun disaat yang bersamaan pula pemerintah justru disibukkan dengan berbagai manuver politik yang tidak ada hubunganya dengan menjalankan roda pemerintahan itu sendiri, bahkan pemerintah sangat berani mengeluarkan pendapat-pendapat yang tidak mewakili kepentingan rakyat banyak. Pemerintah bertindak tidak ideal diujung sisa kepemimpinanya, hal ini tentu sangat merugikan bangsa dan negara, terutama masyarakat. Bagaimanapun, kegagalan pemerintah melaksanakan pileg yang lalu membuktikan bahwa pemerintah telah menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power), sehingga tujuan utama kepemimpinan untuk memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara sangat jauh dari harapan.
Penutup
Persoalan negara berdemokrasi memang tidak mudah untuk dilaksanakan, meskipun demikian bukan berarti pemerintahan dalam suatu negara hukum yang demokratis dapat dengan mudah begitu saja mengelak dari tanggung jawab hukum terhadap rakyat, khususnya menyangkut kegagalan pileg lalu. Apalagi, pemerintahan (baca : Presiden) yang ada merupakan pilihan langsung dari rakyat. Perlu menjadi sebuah pemikiran bagi seluruh rakyat di negeri ini untuk meminta pertanggungjawaban nyata (real responsibility) untuk semua kegagalan yang ada, mengingat sebentar lagi masa kepemimpinan pemerintahan yang ada akan berakhir. Kredibelkah pemerintah ?
Penulis,
Advokat pada Law Firm “Johanes Raharjo, SH & Partners”
Advokat pada Law Firm “Johanes Raharjo, SH & Partners”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar