Rabu, 27 Mei 2009

POLITIC ARTICLE


BUALAN CAPRES SBY “INCUMBENT”
By. Agus P. Pasaribu, S.H.
Penulis berprofesi sebagai Advokat di Jakarta, bergabung
pada Law Firm “Johanes Raharjo, SH., MH & Partners dan
terdaftar sebagai anggota dari Jakarta Lawyers Club (JLC)- Indonesian




Pertarungan politik memperebutkan kursi RI-1 dan RI-2 tinggal menghitung hari, perhelatan pendeklarasianpun sudah dilaksanakan masing-masing kandidat capres dan wapres, tanpa terkecuali capres SBY “incumbent” yang turut serta meramaikan bursa calon presiden (capres) untuk periode 2009 - 2014 mendatang. Bahkan, pencalonan kembali SBY ditandai dengan hingar-bingar pendeklarasian yang menunjukkan kemewahan ala negeri Paman Sam, yang disebut-sebut American Style atau Obama-obamaan, tanpa peduli berapapun biaya yang harus dikeluarkan untuk terlaksananya deklarasi yang konon menelan biaya milyaran rupiah. Ironisnya, semua itu berlangsung ditengah-tengah himpitan ekonomi yang mendera sebagian besar masyarakat. Ganjil memang tapi nyata, itulah realitas yang mengemuka, bagaimana seorang capres selaku “incumbent” melakukan pemborosan yang ujung-ujungnya tidak mempunyai relevansi dengan pencapaian kesejahteraan rakyat yang menjadi isu sentral pencalonan. Masyakarat hanya mangut-mangut dan mahfum melihat ulah capres SBY “incumbent”, toh masyarakat sudah terlanjut merasa tidak mempunyai andil dengan segala hingar bingar deklarasi tersebut. Bagi kebanyakan kalangan yang terpenting sekarang ini menjalani hidup agar dapat menopang kebutuhan sendiri, tanpa pernah mengharapkan uluran tangan atau campur tangan pemerintah, hal ini merupakan bentuk pesimisme atau antipati masyarakat untuk segala kebohongan dan janji-janji kandidat yang bersangkutan selama.


Kesesatan Propaganda
Dalam pendeklarasian calon presiden (capres) SBY “incumbent” pidato-pidato yang disampaikan terkesan seremonial dan formalistis belaka, karena muatan tiap pidato yang disampaikan capres SBY “incumbent” maupun koalisinya penuh kebohongan publik, yang justru jauh dari kesan apa adanya (baca : kenyataan) sehingga tidak mencerminkan kejujuran seorang pemimpin. Kenyataan ini tentu sangat mengkhawatirkan, karena masyarakat disuguhin dengan segala propaganda informasi yang menyesatkan tentang kinerja SBY selama 5 (lima) tahun ini. Lihat saja, mulai dari pengistilahah penyebutan calon SBY-berbudi (sing. SBY bersama Budiono) yang terkesan bermakna kabur dan dapat saja berarti konotatif yang seolah-olah SBY punya budi selama ini, sampai kepada narsisme diri yang mengklaim sejumlah keberhasilan selama lima tahun ini, apakah itu berbau kebijakan Bantuan Langsung Tunia (BLT), kemajuan ekonomi, berkurangnya jumlah penganggur, dan lain sebagainya. Keseluruhan propaganda yang baru saja disebutkan tidak cukup sampai disitu, karena masih banyak cara-cara yang dijadikan atribut sebagai modal kampanye yang lebih mengarah pada orientasi sekedar ingin memenangkan pemilu belaka tanpa program yang jelas dan kongkrit. Bagaimanapun, sejatinya kampanye belum resmi dinyatakan dimulai, namun capres SBY “incumbent” sudah mengklaim sekian banyak isu-isu keberhasilan yang sifatnya populis belaka dan terkesan membentuk opini di masyarakat, tanpa berani membeberkan fakta-fakta kebenaran kepada masyarakat apa yang sebenarnya terjadi lima tahun ini. Padahal, secara kasat mata jika ditelaah berbagai kerusakan dan ketimpangan telah timbul selama ini.
Pertama, berbicara soal berkurangnya jumlah pengangguran yang diklaim kubu capres SBY dan koalisinya sebagai wujud keberhasilan dan dijadikan modal kampanye, tidak sesuai kenyataan yang ada. Lihat saja, contoh sederhana berdasarkan pemberitaan “Poskota” (25/05/2009), dalam jangka waktu 14 hari terakhir, jumlah pekerja yang di PHK naik hingga 12,26 persen, dari total 32.981 orang pada 8 Mei 2009 menjadi 36.963 orang per 22 Mei lalu. Hal ini terjadi di empat provinsi terbesar yang melakukan PHK yakni DKI Jakarta, Jawa Tengah, Banten, Kalimantan Timur. Data Depnakertrans secara nasional, juga tercatat jumlah korban PHK dalam periode yang sama naik dari 51.506 menjadi 52.226 orang (Pos Kota : 9). Data-data tersebut diatas, belum termasuk jika dihitung daerah lainnya yang tentu saja tidak jauh berbeda mengalami nasib yang sama. Jadi bagaimana mungkin seorang capres “incumbent” menyampaikan informasi yang menyesatkan ke ruang publik (masyarakat) dengan mengklaim pengagguran berkurang ?, bukankah menjadi pertanyaan bagi kita bahwa kejujuran apa yang dimiliki jika melihat fakta ini ?.
Kedua, pada persoalan yang berbeda, isu yang dihembuskan capres SBY “incumbent” dan kolalisinya dalam bentuk klaim utang Indonesia yang telah lunas ke International Moneter Fund (IMF) dijadikan mesin politik baru dan terkesan isu yang dibesar-besarkan untuk membentuk citra diri dalam konteks sebuah keberhasilan. Padahal capres SBY “incumbent” dan koalisinya tidak memberikan informasi yang akurat atau akurat kepada masyarakat sehubungan dengan jumlah utang Indonesia, justru utang Indonesia tidak berkurang secar signifikan ke pihak asing (negara maju). Secara yuridis, Indonesia mempunyai utang ribuan trilyun rupiah ke negara-negara Eropa maupun negara lain. Berdasarkan fakta empiris ini, apakah SBY dan koalisinya mengungkapkan kejujuran, patut dipertanyakan maksud dan tujuan koalisi mereka yang cenderung cuma sekedar memikirkan kepentingan memenankan pemilu belaka.
Ketiga, dalam setiap pidato pendeklarasian capres SBY “incumbent” terbukti tidak ‘fair’ dalam mengkampanyekan diri karena hanya berbicara janji-janji belaka, meskipun sudha nyata selama lima tahun kepemimpinannya gagal total, namun capres SBY “incumbent” tanpa berani membeberkan berbagai kebobrokan yang timbul selama kepemimpinanya. Sederhananya, dikemukakan contoh-contoh kegagalam mendasar, antara lain, Kesatu : pemilu legislatif (pileg) lalu sudah merupakan bukti banyaknya kecurangan partai politik dan mekanisme pemilu yang sangat sembraut sehingga tidak mencerminkan wujud demokrasi, padahal Pemerintah (baca : SBY selaku Presiden) mempunyai tanggung jawab fungsional atas terselenggaranya pesta demokrasi tersebut jika ditinjua secara hukum, lantas dimana letak tanggungjawabnya ?. Kedua : pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat dipandang sebagai wujud suatu keberhasilan, padahal hanya merupakan upaya eksploitasi kemiskinan belaka, yang cederung bukan sebagai upaya mendidik warga negaranya, melainkan budaya yang mengajarkan ketidakmandirian. Bahkan, yang lebih parahnya lagi bilapun BLT dipandang sebagai wujud keberhasilan dari suatu proses kebijakan, namun jika dibandingkan dengan terbengkalainya penegakan hukum berkenaan kasus BLBI yang mengakibatkan negara rugi 700 Triliyun rupiah, apakah pantas diklaim sebagai bentuk keberhasilan ?. Sebagai penekanan yang harus patut diingat oleh masyarakat dan perlu diketahui bahwa justru diera Pemerintahan SBY mengemuka usaha atau upaya untuk mengehentian penyelematan dana BLBI dari tangan para konglomerat pengutang (debitor). Selain itu, kebijakan publik yang diterapkan capres SBY “incumbent” selalu menelan korban, seperti kebijakan BLT yang disebutkan diatas misalnya, masyarakat kisruh pada saat pembagian BLT, tak mengherankan apabila puluhan jiwapun melayang demi antrian BLT. Ada lagi kebijakan capres SBY “incumbent” yang sangat teramat buruk yaitu kebijakan dibidang Bahan Bakar Minyak (BBM) yang harganya selalu tidak stabil, namun naik turun, sehingga secara sadar atau tidak justru kebijakan yang demikian itu justru mengakibatkan terganggunya perekonomian dalam skala makro maupun mikro, karena ketidakpastian harga. Namun persoalan BBM ini pun telah diajdikan isu sentral sebagai klaim keberhasilan dengan alasan telah menurunkan harga BBM berkali-kali. Berdasarkan realitas itu, pantaskah capres SBY “incumbent” mengklaim diri sebagai sosok pemimpin yang berhasil ?, jika demikian dimana sebenarnya letak keberhasilan seorang pemimpin ?
Keempat, pengurangan anggaran bagi pertahanan keamanan negara adalah buktinya nyata bahwa capres SBY “incumbent” gagal menentukan prioritas utama dalam bidang pertahanan keamanan negara, padahal capres SBY “incumbent” bertindak selaku panglima tertinggi Angkatan Bersenjata. Paling tidak, sedikit banyaknya pengurangan anggaran militer dalam rangka perrtahanan keamanan negara telah mengakibatkan timbulnya kecelakaan pesawat militer kita berulangkali, ratusan nyawapun melayang dalam menjalankan tugas. Lantas dimana letak keberhasilan ?. Namun sayangnya, ketika setiap bencana yang demikian itu timbul, dengan mudahnya capres SBY “incumbent” justru hanya sekedar beretorika dengan menyatakan bahwa anggaran militer tidak dikurangi namun cuma dilakukan pemotongan saja.


Pembodohan Politik
Bagi sebagian kalangan masyarakat yang kurang pendidikan dan kurang arus informasi seperti di pedesaan, tentu propaganda keberhasilan capres SBY “incumbent” dengan koalisinya akan menelan korban, karena masyarakat yang kurang paham kinerja capres SBY “incumbent” selama ini akan menganggap bahwa capres SBY “incumbent” telah berhasil memimpin bangsa ini, sebagaimana didengung-dengungkan melalui media massa maupun elektronik, sehingga masyarakat secara tidak langsung akan disesatkan. Situasi ini tentu sangat tragis dan miris bagi kemajuan pendidikan politik masyarakat kita. Apapun alasannya hal yang demikian sangat tidak patut dilakukan seorang calon presiden, apalagi mengingat calon yang bersangkutan merupakan “incumbent”.
Pada persoalan lain, tentu masyarakat akan semakin antipati dan kecewa dimasa mendatang jika melihat propaganda capres SBY “incumbent” yang pada akhirnya terbukti tidak sesuai dengan kenyataan, hal ini tentu akan berpengaruh besar pada peta perpolitikan dimasa mendatang. Hal ini dapat menimbulkan teladan yang teramat buruk bagi masyarakat sekaligus keburukan itu dianggap pantas dilakukan dengan meniru berpolitik ala capres SBY “incumbent” dengan segala ketidakjujuran, terlepas apakah itu mencederai masyarakat atau tidak.
Pastinya, pembodohan politik yang ada semakin merugikan bangsa ini kedepannya, karena pembodohan politik yang dilakukan demikian terselubung dengan mengatasnamakan keberhasilan semu. Hal yang demikian itu justru akan semakin menjauhkan tujuan kesejahteraan rakyat yang menjadi cita-cita sebuah negara beradab dan dijamin konstitusi. Persoalannya sudikah kita ???


Penutup
Dengan semakin dekatnya pemilu presiden (pilpres) pada bulan juli mendatang, merupakan momen yang tepat bagi segenap elemen bangsa untuk memilih calon yang dekat dengan cita-cita kesejahteraan rakyat, dibutuhkan kebijaksanaan dalam menggunakan hak pilih, karena akan menentukan nasib bangsa ini lima tahun ke depan. Agar nasib bangsa ini tidak jatuh ke dalam lobang yang sama dimasa mendatang, maka perlu kiranya masyarakat merefleksikan diri untuk dapat memilih pemimpin yang benar - benar memiliki karakter yang jujur dan berbicara apa adanya tentang suatu kinerja kepemimpinan.


Penulis, ⓒ Mei 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar