Kamis, 25 November 2010

CRIMINOLOGY LAW

KAJIAN ANALISIS TERHADAP TINDAK PIDANA PERAMPOKAN BANK DITINJAU DARI TEORI “ASOSIASI DIFERENSIAL”
By. Agus Pranki Pasaribu, S.H.






I. Pendahuluan

Belakangan ini mass media cetak maupun elektronik menyuguhkan berbagai pemberitaan mengenai peristiwa perampokan bank yang melibatkan kelompok tertentu dengan menggunakan senjata api sebagai sarana, sehingga tidak mengherankan apabila publik di Indonesia dihebohkan oleh peristiwa tersebut. Uniknya, pelaku perampokan dalam menjalankan aksinya secara berkelompok dan siang hari, disamping ada pula peristiwa perampokan yang terjadi pada malam hari. Salah satu bank yang menjadi sasaran perampokan sebagaimana kita ketahui adalah Bank CIMB Niaga Cabang Medan pada tanggal 18 Agustus 2010. Sebagai akibat dari peristiwa perampokan tersebut beberapa orang dinyatakan sebagai korban yang meninggal dunia. Sedangkan dilain pihak para para perampok berhasil membawa kabur uang nasabah sebesar Rp. 400 juta (empat ratus juta rupiah).

Pada kasus yang berbeda, sebelumnya pernah pula terjadi sekelompok orang dengan menggunakan senjata api menjalankan aksi perampokan terhadap toko emas, koperasi simpan pinjam, dealer mobil, dan juga pegadaian. Berdasarkan data kwantitatif yang ada, peristiwa perampokan di Indonesia yang tejadi sejak bulan Juni hingga pertengahan Agustus 2010 sebanyak 25 kasus. Hal ini tentu saja mengundang perhatian para ahli hukum, khususnya kriminologi maupun psikologi untuk menganalisa gejala-gejala perilaku masyarakat yang timbul dewasa ini.

Secara sederhana perbuatan para pelaku perampokan telah memenuhi unsur-unsur pidana sehingga dapat dikwalifisir sebagai tindak pidana kejahatan yang melanggar hukum, namun dari aspek sosiologis perilaku perampokan yang dilakukan mempunyai ciri yang khas dan tersendiri jika dibandingkan dengan kelajiman perampokan yang pernah terjadi selama ini. Untuk lebih jelasnya, disini diuraikan beberapa ciri perampokan yang terjadi belakangan ini sebagai berikut :

(a).Secara umum pelaku menggunakan sarana senjata api, secara khusus senjata api yang
digunakan jenis AK-46 dan AK-47 ;
(b).Dalam menjalankan aksinya para pelaku terdiri dari kelompok orang ( perorangan ) atau
bukan personal ;
(c).Aksi perampokan yang dilakukan tidak bersifat konvensional, dengan pengertian
perampokan tidak dilakukan secara acak maupun di malam hari, melainkan terorganisir,
canggih dan berstrategi ;
(d).Para pelaku perampokan dalam menjalankan aksinya memilih calon korban, seperti : Bank,
Toko Emas, Pegadaian, dsb ; Dengan tesis bahwa masing-masing korban mempunyai asset
yang secara ekonomis mempunyai nilai tinggi ; dan,
(e).Umumnya para pelaku perampokan dalam menjalankan aksinya pada siang hari disaat
petugas keamanan calon korban lengah, meskipun dalam beberapa fakta ada juga
perampokan yang terjadi pada subuh hari.

Bercermin dari uraian tipikal aksi perampokan yang disebutkan diatas, makalah ini akan mengkaji fakta mengenai peristiwa perampokan secara umum, bank pada khususnya dengan jalan menganalisa tipikal aksi kejahatan dari sudut pandang perilaku psikologis dalam kaitannya dengan teori- “Differential Association” yang dipelopori oleh Edwin H. Sutherland dan Donald R. Cressey.



II. Pengertian dan Istilah

Istilah kriminologi (German = Kriminologie, English = Criminology) pertama sekali dikemukakan oleh seorang Antropolog yang berasal dari Perancis bernama Paul Topiward, dimana menurutnya kriminologi itu sendiri berasal dari dari kata crimen (kejahatan / penjahat) dan logos (ilmu pengetahuan). Selanjutnya, istilah kriminologi dalam ranah ilmu sosiologi hukum maupun kriminologi telah dikembangkan oleh para ahlinya yang salah satunya sebagaimana dikemukakan oleh Edwin H. Sutherland dan Donald R. Cressey dengan memberikan pengertian sebagai berikut :
“... the body of knowledge regarding delinquency and crime as social phenomenon. It includes within it’s scope the process of making law, the breaking of laws, and reacting to word the breaking of laws...dst”.

Lebih lanjut batasan kriminologi sebagai bagian dari sosiologi dinyatakan pula sebagai berikut :
“Kumpulan pengetahuan yang meliputi delinkuensi dan kejatahan sebagai gejala sosial. Tercakup dalam ruang lingkup ini adalah proses pembuatan hukum, pelanggaran hukum, dan reaksi terhadap pelanggaran hukum. Proses tersebut terdiri dari tiga aspek yang merupakan suatu kesatuan interaksi yang berkesinambungan. Tindakan-tindakan tertentu yang dipandang tidak disukai oleh para politisi (political society) didefinisikan sebagai kejahatn. Kendatipun ada batasan tindakan tersebut, terdapat orang-orang yang terus-menerus melanggarnya dan dengan demikian melakukan kejahatan; politisi memberikan reaksi berupa penghukuman, pembinaan, atau pencegahan. Urutan interaksi inilah yang merupakan pokok masalah dalam kriminologi” (Edwin H. Shuterland.,Donald R. Cressey, 1974:1)”.

Sedangkan pengertian kriminologi (criminology) secara umum dalam Black’s Law Dictionary diartikan sebagai :
“The study of crime and criminal punishment as social phenomena ; the study of the causes of crime and the treatment of offenders, comprising (1) criminal biology, which examines causes that may be found in the mental and physical constitution of an offender (such as hereditary tendencies and physical defects), and (2) criminal sociology, wich deals with inquires into the effects of environment as a cause of criminality”.

Berdasarkan uraian defenisi diatas, maka telaahan kriminologi berorintasi pada :
“Pertama, pembuatan hukum yang dapat meliputi telaah konsep kejahatan, siapa pembuat hukum dengan faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam pembuatan hukum. Kedua, pelanggaran hukum yang dapat meliputi siapa pelakunya, mengapa sampai terjadi pelanggaran hukum tersebut serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Ketiga, reaksi terhadap pelanggaran hukum melalui proses peradilan pidana dan reaksi masyarakat”.

Dalam perkembangan disiplin ilmu kriminologi telah pula melahirkan berbagai teori-teori yang membahas tentang sebab musabab suatu kejahatan terjadi. Dimana terdapat 7 (tujuh) teori yang dikemukakan para ahli. Salah satu teori yang dikenal dalam kriminologi adalah Teori “Differential Association” (Diferensiasi Asosiasi) yang dipelopori dan dikembangkan oleh Edwin H. Sutherland dan Donald R. Cressey. Menurut mereka terdapat 9 (sembilan) premise yang menjadi sebab-musabab suatu kejahatan terjadi, yakni :
1.Criminal behavior is learned ;
2.Criminal behavior is learned in interaction with other persons in a process of communication
3.The principal part of the learning of criminal behaviour occurs within intimate personal
groups

4.When criminal behaviour is learned, the learning includes (a) techniques of committing the
crime, wich are sometimes very complicated, sometimes very simple, (b) the specific
direction of movies, drives, rationalizations, and attitudes ;

5.The specific direction of motives and drives is learned from definitions of the legal codes as
favorable or unfavourable ;

6.A person becomes delinquent because of an excess of definitions favorable to violation of law
over definitions unfavorable to violation of law ;

7. Differential associations may vary in frequency, duration, priority, and intensity ;
8.The process of learning criminal behavior by association with criminal and anticriminal
patterns involves all of mechanisms that are involved in any other learning ; dan,

9.While criminal behavior is an expression of general needs and values, it is not explained by
those general needs and value, since noncriminal behavior is an expression of the same needs
and value.


Berdasarkan proposisi-proposisi tersebut diatas, maka lebih lanjut proses terjadinya kejahatan disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut :
“1.Perilaku kejahatan adalah perilaku yang dipelajari. Secara negatif berarti perilaku itu tidak
diwariskan.

2.Perilaku kejahatan dipelajari dalam interaksi dengan orang lain dalam suatu proses
komunikasi. Komunikasi tersebut terutama dapat bersifat lisan ataupun menggunakan
bahasa tubuh.

3.Bagian terpenting dalam proses mempelajari perilaku kejahatan terjadi dalam kelompok
personal yang intim. Secara negatif ini berarti bahwa komunikasi interpersonal seperti
melalui bioskop, surat kabar, secara relatif tidak mempunyai peranan penting dalam
terjadinya kejahatan.

4.Ketika perilaku kejahatan dipelajari, maka yang dipelajari termasuk : (a) teknik melakukan
kejahatan, (b) motif-motif, dorongan-dorongan, alasan-alasan pembenar dan sikap-sikap
tertentu.

5.Arah dan motif dorongan itu dipelajari melalui definisi-definisi dari peraturan hukum. Dalam
suatu masyarakat, kadang seseorang dikelilingi orang-orang yang secara bersamaan
melihat apa yang diatur dalam peraturan hukum sebagai sesuatu yang perlu diperhatikan
dan dipatuhi, namun kadang ia dikelilingi orang-orang yang melihat aturan hukum sebagai
sesuatu yang memberikan peluang dilakukannya kejahatan.

6.Seseorang menjadi delinkuen karena ekses pola-pola pikir yang lebih melihat aturan hukum
sebagai pemberi peluang melakukan kejahatan daripada melihat hukum sebagai sesuatu
yang harus diperhatikan dan dipatuhi.

7.Asosiasi Diferensial bervariasi dalam frekuensi, durasi, prioritas serta intensitasnya.
8.Proses mempelajari perilaku jahat diperoleh melalui hubungan dengan pola-pola kejahatan
dan mekanisme yang lazim terjadi dalam setiap proses belajar secara umum.

9.Sementara perilaku jahat merupakan ekspresi dari kebutuhan nilai umum, namun tidak
dijelaskan bahwa perilaku yang bukan jahat pun merupakan ekspresi dari kebutuhan dan
nilai-nilai umum yang sama”.


Lebih jauh lagi, Edwin H. Sutherland dan Donald R. Cressey mengartikan Differential Association itu sebagai “the contens of the patterns presented in association”. Ini tidak berarti bahwa hanya pergaulan dengan penjahat yang akan menyebabkan perilaku kriminal, akan tetapi yang terpenting adalah isi dari proses komunikasi dari orang lain. Pada tahun 1947 Edwin H. Sutherland kemudian menyajikan versi kedua dari teori Differential Association yang menekankan bahwa semua tingkah laku itu dipelajari, tidak ada yang diturunkan berdasarkan pewarisan orang tua. Tegasnya, pola perilaku jahat tidak diwariskan tapi dipelajari melalui suatu pergaulan yang akrab.

Adapun kekuatan teori asosiasi diferensial yang dicetuskan oleh Edwin H. Sutherland dan Donald R. Cressey bertumpu pada tiga pemikiran pokok penyebab kejahatan bahwa :
a. Perilaku jahat ditimbulkan sebagai sebab akibat adanya penyakit sosial ;
b. Perilaku jahat merupakan suatu proses pembelajaran yang dihasilkan dari lingkungan (baca :
kelompok) dalam interaksi sosialnya dimana si pelaku berada.
c. Perilaku jahat dari sisi pelaku melihat hukum sebagai peluang untuk melakukan suatu
kejahatan.
Perilaku yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah perilaku menyimpang yang dalam pengertian Zames Vander Zenden sebagai : “perilaku yang oleh sejumlah besar orang dianggap sebagai hal yang tercela dan di luar batas toleransi”.



III. Analisis Fakta Mengenai Kasus Perampokan Bank

Kejahatan perampokan khususnya bank yang tren terjadi dewasa ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana yang bersifat sadistis, mengingat tindakan para pelaku dalam menjalankan aksinya disamping menggunakan senjata api, para pelaku juga tanpa ragu-ragu melakukan perlawanan dengan mencederai atau melumuhkan atau menghilangkan nyawa korbannya. Bahkan, tidak tanggung-tanggung belakangan pemberitaan media menyuguhkan adengan kontak senjata antara pelaku perampokan dengan pihak aparat Kepolisian. Sebagai contoh, peristiwa perampok yang terjadi di Bank CIMB Cabang Medan yang mengakibatkan jatuhnya korban di pihak Kepolisian dan tenaga security (keamanan) internal bank yang mengalami luka-luka.

Sejak timbulnya berbagai peristiwa tragis perampokan yang menelan korban jiwa dan harta benda, perbankan kita mau tidak mau harus berfikir ulang (dalam arti : mindset) untuk melakukan pembenahan terhadap sistem pengamanan perbankan, karena selama ini bank-bank di Indonesia sebagaimana kita ketahui lebih cenderung berkonsentrasi pada tindakan preventif dan refresif berkenaan dengan pengamanan sistem perbankan dalam arti manajemen usaha dan pencegahan pembobolan ATM melalui internet.

Apabila kita menelusuri secara cermat dan tajam tentang keseluruhan fakta menyangkut berbagai asksi perampokan bank yang terjadi dewasa ini, maka kesimpulan yang diperoleh adalah bahwa para pelaku kejahatan (baca : perampokan) terlebih dahulu sudah mempelajari situasi dan kondisi medan yang akan dijadikan objek sasaran. Kenyataan ini dapat dilihat dari gejala real bahwa para pelaku sangat sulit untuk ditangkap pihak aparat kepolisian, padahal rata-rata tempat korban berada merupakan wilayah pemukiman atau perkotaan yang berpenduduk padat. Namun karena situasi dan kondisi medan disekitar wilayah perampokan telah dipahami dan dipelajari secara baik oleh para pelaku, maka tidak mengherankan apabila kemudian para pelaku secara gamblang menjalankan aksinya dan mudha meloloskan diri.
Salah satu dari sekian banyak gejala-gejala lain yang umumnya dapat dicermati dalam peristiwa perampokan bank yang terjadi belakangan ini adalah bahwa para pelaku telah mempersiapkan sarana maupun prasarana dalam menjalankan aksinya. Sarana dan prasarana tersebut diperoleh melalui suatu pembelajaran yang diciptakan sendiri oleh komunitas para pelaku, sebagai berikut:
- persiapan kelengkapan senjata api dan mobil ;
- perekrutan sejumlah orang sebagai anggota komplotan ;
- persiapan mental yang bersifat konfrontatif, destruktif dan represif dalam menghadapi semua
ancaman bahaya, seperti kontrak senjata dengan pihak aparat kepolisian ; dan,
-persiapan untuk mengetahui segala akses keluar-masuk lokasi perampokan.

Bercermin dari usaha-usaha untuk persiapan yang dilakukan para pelaku perampokan sebagaimana pemaparan diatas, maka dapat dikatakan bahwa para pelaku membentuk sebuah komunikasi (baca : jarainga) sendiri untuk mencapai dan menetapkan tujuan-tujuannya. Dengan kata lain, para pelaku perampokan (robbery) semenjak awal telah mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan guna melumpuhkan korban melalui sarana dan cara-cara kekerasan.

Kesiapan para pelaku kejahatan dengan menggunakan kekerasan diperparah pula dengan ketidaksigapan pihak aparat keamanan untuk merespon setiap gerakan para pelaku kejahatan. Sebagai ilustrasi dikemukakan disini, andaikan saja pihak keamanan internal bank atau aparat kepolisian terbiasa menghadapi situasi yang responsif untuk menangkal tiap tindak kejahatan dalam konteks perampokan, maka tentu saja kerugian materiil maupun immaterill yang ditimbulkan olehnya dapat diminimalisir dengan baik.

Situasi lain yang menjadi ciri pokok perampokan adalah kehidupan sosial ekonomi para pelaku sangat dekat dan identik dengan kemiskinan. Dengan kata lain, kerentanan terhadap budaya tidak taat hukum yang berbarengan dengan kondisi kemiskinan membawa dampak moral bagi diri pelaku untuk melakukan tindak pidana. Oleh karena itu, barangkali hal ini pula yang menjadi pusat perhatian Bonger, dalam analisanya terhadap masalah kejahatan, yang lebih mempergunakan pendekatan sosiologis, misalnya analisa tentang hubungan antara kejahatan dengan kemiskinan. Hal senada juga dikemukakan oleh Herlianto, yang menyatakan :
“bahwa bermacam penyebab kejahatan bisa terjadi seperti adanya : kesenjangan sosial ekonomi, antipati terhadap kemapanan, SARA yang sangat peka maupun tersumbatnya saluran sosial politik".

Selain pendapat diatas, dikutib pula komentar Erlangga Masdiana, Kriminolog dari Universitas Indonesia yang menyatakan bahwa :
“Tindak kriminalitas yang belakangan makin nekat merupakan cermin dari kondisi sosial dan ekonomi yang makin memprihatinkan. Akses rakyat terhadap berbagai kesempatan untuk hidup lebih layak makin sempit. Akses itu hanya dinikmati kalangan elite, yang justru cenderung tidak sensitif menyikapi situasi sosial”.

Lebih lanjut Masdiana menyatakan pula, dikutib :
“Dalam kriminologi, hal ini diistilahkan dengan blocked opportunity, di mana segala akses bagi orang kecil semakin tertutup, sementara negara mengabaikan kebutuhan mereka. Sebaliknya, kalangan elite justru cenderung makin demonstratif",
"Kondisi makin diperparah karena tontonan yang diperlihatkan sehari-hari dalam tayangan televisi telah menumbuhkan impian bagi kelompok yang terpinggirkan secara ekonomi".
"Cara termudah untuk meraih impian itu adalah merampok. Dengan risiko hukuman yang sama dengan kriminalitas lain, tetapi hasil yang lebih besar, akhirnya orang memilih merampok”.
"Praktik perampokan itu makin mudah karena saat ini peredaran senjata api gelap semakin marak. Dengan memiliki senjata api, perampok semakin berani, dan nyawa petugas keamanan pun semakin terancam”.

Ditinjau dari sisi pelaku kejahatan, bahwa pelaku perampokan bank pada dasarnya tidak mempunyai track record sebagai pelaku kejahatan yang tergolong sadis sebelumnya. Bahkan berdasarkan penelusuran berbagai media pasca kejadian perampokan bank dapat diketahui suatu fakta dimana para pelaku perampokan dalam lingkungan keluarganya sangat jarang ditemukan melakukan tindak pidana dengan modus operandi yang sama. Dengan kata lain, para pelaku dalam menjalankan aksinya menciptakan secara terpisah sebuah proses komunikasi verbal atau non verbal dalam lingkungan pergaulannya yang berada diluar komunitas keluarga. Pembentukan kelompok pergaulan ini bertujuan untuk menetapkan jenis kejahatan yang disepakati oleh masing-masing anggota perampokan. Artinya, dalam hal ini kejahatan tidak serta merta diwariskan oleh keluarga masing-masing kepada si pelaku, melainkan kejahatan merupakan sebuah bentuk penyimpangan perilaku yang terpisah dari komunitas keluarga. Penyimpangan ini yang menjadi alasan para pelaku untuk menerobos hukum dengan jalan melakukan segala cara untuk mendapatkan nilai ekonomi yang ditetapkan, meskipun melakukan cara-cara kejahatan yang terkesan vulgar dan bersentuhan dengan fisik (physickly).

Persoalan lainnya yang menyebabkan timbulnya tindak kejahatan perampokan bank yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu karena adanya eksploitasi pemberitaan dari media massa mengenai berbagai aksi kejahatan yang timbul dewasa ini. Bahkan, jika merujuk ke belakang dengan berbagai peristiwa perampokan yang pernah terjadi di Indonesia, tidak jarang umumnya perampokan dilakukan pada malam hari dan korbannya terbatas pada perusahaan-perusahaan tertentu yang nota bene bukan sebagai perusahaan pembiayaan (finance), hal ini setidaknya terlihat dari kutiban sebagai berikut:
“Berdasarkan keterangan yang yang dihimpun Kompas, aksi perampokan mesin jahit di parik garmen PT. Balita Garmen tersebut terjadi Sabtu (4/8/2001) dini hari pukul 01.30. Saat itu, seorang satpam pabrik sedang mengisi buku mutasi di pos satpam..........”
“Seminggu sebelumnya juga telah terjadi perampokan serupa, sama-sama masih dalam wilayah Kabupaten Bogor. Kali ini korban pabrik garmen PT. Jinnin di Desa Banjarwaru, Ciawi. Lima hari kemudian, Jumat (3/8/2001) terjadi lagi perampokan, juga masih dalam wilayah kabupaten Bogor......”.

Berdasarkan fakta-fakta diatas, disimpulkan bahwa sebab musabab timbulnya aksi kejahatan dari yang konvensional ke arah yang lebih canggih, modern dan terorganisir dilakukan dalam suatu proses pembelajaran. Kejahatan konvensional yang lajimnya hanya dilakukan oleh perorangan, kelompok namun tidak terorganisir biasanya pada malam hari, tempat tertentu, sarana tertentu dan oknum tertentu. Adanya pergeseran ke arah kejahatan dengan menggunakan aksi konfrontasi, waktu siang hari, dan korban lembaga finansial (sektor keuangan) merupakan perwujudan nyata dari suatu proses pembelajaran para pelaku untuk menentukan strategi perampokan. Disamping itu, aksi perampokan yang cenderung vulgar merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan besaran tingkat kesadaran hukum para pelaku perampokan yang beranggapan bahwa dengan cara-cara melanggar hukum sebagai pilihan untuk memperoleh nilai kemapanan ekonomi. Hal ini pula yang menggejala di masyarakat kita, dimana terjadinya perubahan secara mendasar prinsip kesadaran hukum yang bersifat moral hazard. Oleh karena itu kesadaran hukum masyarakatlah yang menjadi satu-satunya sumber dari kekuatan mengikat hukum.

Adanya suatu proses pembelajaran, dimulai dari bagaimana para pelaku tindak kejahatan bisa menemukan tempat perdagangan atau peredaran senjata api untuk diperjual-belikan. Bahkan, melihat korban yang ditimbulkan oleh para perampok sudah dapat disimpulkan suatu fakta bahwa para pelaku kejahatannya telah terbiasa dengan penggunaan senjata api untuk melumpuhkan pihak korban. Keakuratan calon korban dalam persitiwa perampokan tersebut tentu saja merupakan tujuan utama dalam suatu proses pembelajaran kejahatan, sehingga tidak mengherankan apabila kemudian para pelaku sulit ditangkap.

Dalam berbagai aksi perampokan yang terjadi dewasa ini, jika dikaji dari sudut pandang orientasi kejahatan yang dipilih para pelaku, maka kita dapat menyimpulkan sebenarnya para pelaku kejahatan telah terlebih dahulu mempertimbangkan, mempelajari dan memahami nilai ekonomis calon korban, hal ini berhubungan dengan asset yang dapat diperoleh. Kecenderungan para pelaku kejahatan perampok memilih calon korban yangn mempunyai nilai ekonomis yang tinggi bila dibandingkan dengan korban-korban perampokan yang lajimnya. Artinya, para pelaku kejahatan dalam hal ini mengetahui secara persis pihak-pihak mana yang dianggap menguntungkan untuk dijadikan korban kejahatan.

Sebagai gambaran berikut ini disajikan data nilai kerugian materill yang dialami oleh beberapa lembaga pembiayaan yang menjadi korban perampokan :
“1.Pada perampokan di dealer mobil yang beralamat di Jalan Dewi Sartika, Cawang, Jakarta
Timur, 17 Juni lalu, empat mobil dibawa kabur oleh delapan laki-laki bersenjata api. Nilai
kerugian tercatat Rp 750 juta.

2.Di Kantor Pegadaian Cabang Patriot, Bekasi, emas seberat 2 kilogram (satu kilogram
equivalent Rp 1. Milyard) dan uang Rp 32 juta dibawa kabur perampok yang berpura-pura
sebagai nasabah, 26 Juni.

3.Sekelompok perampok juga menggondol uang sebesar Rp 675 juta dari Bank UOB
Samarinda, Kalimantan Timur, 7 Juli.

4.Koperasi Simpan Pinjam Intidana, Pedurungan, Semarang, perampok membawa kabur
uang Rp 200 juta, 18 Agustus lalu.

5.Dan masih banyak kasus....dst”.



a. Pelaku Kejahatan Yang Agresif

Merefleksikan berbagai aksi perampokan bank yang terjadi dewasa ini, rasanya kita kurang meyakini bahwa tindak kejahatan semata-mata dilakukan para pelaku hanya untuk sekedar melakukan suatu perlawanan ekonomis, atau mungkin para pelaku sekedar tidak taat hukum. Namun lebih dari itu, sesungguhnya tindakan para pelaku tidak lain dan tidak bukan sebagai ekspresi kefrustasian dalam dunia hukum kita yang saat ini mengalami ketimpangan penerapan. Bagi masyarakat kita dewasa ini, perbuatan melanggar hukum (baca : tindak pidana) antara kejahatan berat dan ringan mempunyai dampak psikologis yang sama. Oleh karena itu, tanpa terkecuali para pelaku perampokan bank, tentu mempunyai pola pikir yang sejalan dalam menjalankan aksi kejahatannya. Meskipun sepenuhnya harus disadari bahwa aksi kekerasan para pelaku perampokan dari sisi sosiologis - psikologis sedikit banyaknya merupakan peniruan model kejahatan yang ditayangkan oleh media-media.

Jadi, menurut hemat kami dalam hal ini terdapat benang merah bagaimana para pelaku perampokan berusaha menunjukkan otoritas komplotannya dengan mengadakan konfrontasi terhadap aparat kepolisian, meskipun para pelaku harus mengorbankan nyawanya seperti yang terjadi pada para pelaku perampokan Bank CIMB Niaga Cabang Medan baru-baru ini. Dengan pengertian, bahwa para pelaku perampokan lebih memilih untuk melawan hukun daripada taat hukum, karena peluang untuk meloloskan diri dengan mengadakan perlawanan terhadap aparat hukum dianggap sebagai pilihan yang lebih baik.


b. Tindakan Preventif Aparat Kepolisian

Menyimak berbagai kasus perampokan lembaga termasuk bank yang menjamur terjadi sekarang ini, maka sebenarnya dibutuhkan adanya suatu upaya strategis yang bersifat preventif, bukan refresif sebagaimana yang dijalankan pihak aparat penegak hukum kita selama ini. Bagaimanapun, realitas yang tidak dapat dibantah kebenaranya bahwa kejahatan perampokan yang terjadi dewasa ini merupakan bagian dari dimensi ketidaktaatan hukum masyarakat disisi pelaku, disamping adanya dimensi sosiologis, psikologis, kriminologis dan pembenahan moral.


C. Hubungan Sebab-Akibat Perampokan Bank Dalam Perspektif Teori Asosiasi
Diferensial


Berdasarkan uraian analisis fakta yang penulis uraikan diatas, maka berikut dipaparkan hubungan sebab akibat perilaku kejahatan (baca: perampokan) dalam persfektif teori “Asosisasi Diferensial”, seabgai berikut :
1.Perilaku kejahatan adalah perilaku yang dipelajari. Secara negatif berarti perilaku itu tidak
diwariskan
Para pelaku perampokan berdasarkan analisis faktanya tidak diwarisi perilaku menyimpang
dari keluarga ditempat dimana pelaku tumbuh kembang secara psikologis, kenyataan ini dapat
dicermati dari keluarga pelaku kejahatan yang sama sekali bukan pihak atau oknum yang
pernah melakukan kejahatan yang sama.
2.Perilaku kejahatan dipelajari dalam interaksi dengan orang lain dalam suatu proses
komunikasi. Komunikasi tersebut terutama dapat bersifat lisan ataupun menggunakan bahasa
tubuh.
Para pelaku kejahatan mempelajari teknik dan cara bagaimana kejahatan dilakukan, hal ini
dapat dilihat dari metode pendekatan dalam melakukan kejahatan, seperti : penggunaan
bersenjata api, sistem perekrutan anggota, upaya keluar-masuk dari wilayah perampokan dan
mentalitas yang agresif dalam menghadapi tiap bahaya yang mengancam.
3.Bagian terpenting dalam proses mempelajari perilaku kejahatan terjadi dalam kelompok
personal yang intim. Secara negatif ini berarti bahwa komunikasi interpersonal seperti melalui
bioskop, surat kabar, secara relatif tidak mempunyai peranan penting dalam terjadinya
kejahatan.
Para pelaku dalam menjalankan aksinya terlebih dahulu membentuk suatu kelompok
komunikasi, sehingga dengan mudah dapat memperoleh senjata api di pasar gelap, serta
jaringan perampokan yang bersifat terorganisir.
4.Ketika perilaku kejahatan dipelajari, maka yang dipelajari termasuk : (a) teknik melakukan
kejahatan, (b) motif-motif, dorongan-dorongan, alasan-alasan pembenar dan sikap-sikap
tertentu.
Para pelaku perampokan memahami strategi konfrontasi dengan baik, termasuk metode
penggunaan senjata api dan pola melarikan diri serta peta lokasi dimana korban berada, hal ini
dapat dibuktikan dengan sulitnya jaringan para pelaku kejahatan untuk diungkap pihak aparat
kepolisian.
5.Arah dan motif dorongan itu dipelajari melalui definisi-definisi dari peraturan hukum.
Para pelaku dalam menjalankan aksinya lebih melihat pada peluang untuk melanggar hukum
meskipun dengan jalan konfrotnasi terhadap aparat kepolisian di dalam menjalankan aksi
kejahatan, bahkan melihat pelanggaran hukum sebagai pilihan untuk memperoleh nilai
ekonomi.
6.Seseorang menjadi delinkuen karena ekses pola-pola pikir yang lebih melihat aturan hukum
sebagai pemberi peluang melakukan kejahatan daripada melihat hukum sebagai sesuatu yang
harus diperhatikan dan dipatuhi.
7.Asosiasi Diferensial bervariasi dalam frekuensi, durasi, prioritas serta intensitasnya.
Munculnya tindak kejahatan perampokan dilihat dari frekwensinya sanagt relatif bersamaan,
sebagaimana berdasarkan fakta bahwa kejahatan perampokan di Indonesia dalam hitungan
Juni s/d Agustus 2010 terjadi sebanyak 25 Kasus dengan ciri perampokan yang sangat cepat,
tepat, sadistis. dan terorganisir.
8.Proses mempelajari perilaku jahat diperoleh melalui hubungan dengan pola-pola kejahatan dan
mekanisme yang lazim terjadi dalam setiap proses belajar secara umum.
Para pelaku perampokan dalam menjalankan aksinya telah ternyata berkaitan erat dengan
peredaran senjata api di pasar gelap yang justru juga bagian dari bentuk kejahatan yang
terorganisir.
9.Sementara perilaku jahat merupakan ekspresi dari kebutuhan nilai umum, namun tidak
dijelaskan bahwa perilaku yang bukan jahat pun merupakan ekspresi dari kebutuhan dan
nilai-nilai umum yang sama.
Perilaku jahat yang ditunjukan para pelaku perampokan merupakan bagian dari ekspresi
keberanian untuk melakukan tindak kejahatan secara vulgar karena dianggap lebih mudah,
gampang, efisien dan memenuhi tuntutan keinginan dari para pelaku.



IV. Penutup

Berdasarkan pembahasan diatas, maka jelaslah kiranya bahwa aksi perampokan bank yang apabila dikaji dari sembilan proposisi teori Assosiasi Diferensial yang diperkenalkan oleh Edwin H. Shuterland dengan Donald R. Cressey, maka terbukti bahwa kejahatan perampokan bank yang dilakukan oleh para pelaku didasarkan pada suatu pembelajaran teknik, proses komunikasi, dan prinsip kejahatan yang dilakukan secara vulgar sebagai bagian dari pilihan untuk melanggar hukum untuk memenuhi tuntutan keinginan para pelaku, serta kejahatan bukanlah semata-mata lahir karena adanya pewarisan (diturunkan) dari keluarga yang menjadi pelaku.




DAFTAR PUSTAKA

BUKU :

Edwin H. Sutherland dan Donald R. Cressey, “Principles of Criminology”, New York Lippincontt Company, 1974, New York

Delos H. Kelly, “Deviant Behavior”, ST. Martin Press, 1979 New York.

Kusno Adi, “Kebijakan Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Oleh Anak”, UMM Press, 2009, Malang

Lilik Mulyadi, “Bunga Rampai Hukum Pidana Persfektif, Teoritis dan Praktik”, PT. Alumni Bandung, 2008, Bandung

Otje Salman.,Anthon F. Susanto, “Beberapa Aspek Sosiologi Hukum”, PT. Alumni Bandung2004, Bandung

Mark Costanzo, “Psycology Applied to Law”, Wardswort / Thomson Learning”, 10 Davis Drive, Belmont, USA

Soerjono Soekanto, “Pokok-Pokok Sosiologi Hukum”, PT. RajaGrafindo Persada, 2003, Jakarta

Tubagus Ronny Rahman Nitibaskara, “Ketika Kejahatan Berdaulat”, M2 Print, Cetakan Kedua 2004, Jakarta.



MAKALAH / ARTIKEL :

Lilik Mulyadi,“Kajian Kritis dan Analitis Terhadap Dimensi Teori-Teori Kriminologi Dalam Persfektif Ilmu Pengetahaun Hukum Pidana Modern”, Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Merdeka Malang, Malang, 2009

Alfin Nitihardjo, “Perilaku Menyimpang”, http://www.alfinnitihardjo. ohlog. com/ perilaku-menyimpang.oh112678.html, September 2010

Kompas, bertaut dengan link : http://wbw-wbw.blogspot.com/2010/08/25 perampokan - besar-di-indonesia- dalam. html, September 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar