Kamis, 25 November 2010

MAHKAMAH AGUNG DALAM LINTAS SEJARAH
DAN PERKEMBANGANNYA PADA MASA KINI
by. Agus Pranki Pasaribu, S.H.



I. Pendahuluan

Mahkamah Agung (singk. MA) adalah badan peradilan tertinggi di Indonesia, disamping adanya badan-badan peradilan di tingkat bawah seperti Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri. Secara konstitusional saat ini kelembagaan Mahkamah Agung selaku badan peradilan dan lembaga tinggi negara diatur pada pasal 24 dan 25 Perubahan Keempat UUD’1945. Untuk tujuan penjabaran kedua pasal yang diatur dalam UUD’ 1945 tersebut, maka dikeluarkan Undang Undang Nomor 14 tahun 1970, tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1984 tentang Mahkamah Agung tentang Kedudukan, Fungsi, Tugas dan Wewenang Mahkamah Agung. Secara historis, lembaga Mahkamah Agung sebagai pilar tertinggi dibidang yudikatif dahulu cenderung kurang mempunyai independensi dibandingkan lembaga eksekutif maupun legislatif. Hal ini paling tidak dikarenakan adanya kekeliruan sistem kelembagaan di Era Orde Baru yang menjadikan Mahkamah Agung menjadi bagian yang terstrukur dengan Departemen kehakiman, sedangkan Departemen Kehakiman sendiri merupakan salah satu manifestasi dari pelaksanaan fungsi dan tugas lembaga eksekutif. Jadi dengan kata lain, independensi Mahkamah Agung tidak sepenuhnya dapat dijalankan, mengingat adanya kecenderungan campur tangan lembaga eksekutif (baca : pemerintah).
Mengingat peran MA yang marjinal, maka tidak mengherankan apabila kajian studi tentang institusi peradilan pada umumnya dan MA pada khususnya kurang menarik minat para sarjana. Dibandingkan dengan studi tentang kepresidenan, parlemen, ataupun militer, studi tentang institusi peradilan Indonesia terbilang sangat sedikit. Oleh karena itu, kehadiran buku karya Sebastiaan Pompe, mantan staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Leiden, Belanda, The Indonesian Supreme Court: A Study of Institutional Collapse, seakan menjadi air segar di tengah keringnya studi tentang institusi peradilan di Indonesia. Oleh karena itu, sebenarnya badan peradilan Mahkamah Agung didasarkan pada cikal-bakal teori pemisahan kekuasaan sebagaimana yang dianut oleh Montesquieu dalam bentuk “separation of power” (lajim disebut ‘Trias Politica’). Sebagai perbandingan dikemukakan disini, bahwa di Amerika Serikat parlemen memiliki kekuasaan besar yang bersifat omnipotensi, sehingga tidak berlebihan apabila kemudian kekuasaan eksekustif (baca : Presiden) dianggap sebagai subordinat dari kekuasaan Senat. Hal ini pula yang cenderung terjadi di Indonesia pada masa pemerintahan Orde Baru, sehingga tidak mengherankan apabila kemudian kasus-kasus hukum dalam proses pembuatan putusan (making law) kurang mendapat tempat di hati masyarakat. Bahkan, jika mengkaji fakta empirik dapat disimpulkan bahwa belakangan muncul semacam animo ditengah-tengah masyarakat tentang penegakan hukum di Indonesia yang masih jauh dari harapan dan dipandang sebelah mata.
Lembaga peradilan yang merupakan institusi pelaksana penegakan hukum melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku juga tidak luput dari sejarah. Disini sejarah hukum sebagai ilmu pengetahuan mendapat tempat yang khas, karena sejarah hukum hanya meneliti objek hukum dalam persfektif sejarah yang mempunyai keterkaitan dengan hukum dimasa lalu (ius konstituendum) dengan hukum yang berlaku seakrang (ius constitutum). Lebih lanjut lagi, dapat dikatakan bahwa sejarah hukum mengambil peranan penting sebagai ilmu pengetahuan dengan metode pendekatan hukum dari sarana sejarah melalui penelitian data dan fakta terutama dari peritiwa-peristiwa penting hukum pada masa lalu, dan menganalisanya dengan suatu periode sejarah tertentu yang menjadi sasaran studi. Oleh karena itu sejarah lembaga peradilan tertinggi (baca : Mahkamah Agung) di Indonesia mempunyai relevansi yang sangat erat dengan sejarah berdirinya peradilan pada umumnya, dan peradilan di Indonesia pada khususnya.
Dalam makalah ini perlu kiranya terlebih dahulu diuraikan sejarah singkat berdirinya lembaga peradilan mula-mula di Indonesia, sehingga dapat dipahami kronologi historis apa yang disebut sebagai lembaga peradilan, untuk selanjutnya pembahasan akan menitiberatkan pada uraian deskriktif-historis lembaga peradilan Mahkamah Agung Republik Indonesia, termasuk pula didalamnya konsep peranan lembaga dimasa sekarang setelah pasca reformasi bergulir.
Untuk tujuan tersebut diatas, maka tulisan ini akan membatasi diri dengan mengangkat tiga substansi pokok pembahasan masalah sehubungan dengan sejarah hukum Mahkamah Agung dengan mengajukan pertanyaan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah sejarah peradilan mula-mula di Indonesia ??
2. Bagaimanakah sejarah badan peradilan Mahkamah Agung di Indonesia ?
3. Bagaimanakah lembaga peradilan Mahkamah Agung dalam perkembangannya dewasa ini ?


II. Sejarah Peradilan Mula-Mula di Indonesia

Sejarah lahirnya Mahkamah Agung dibagi dalam beberapa periode, dimana periode ini berorientasi pada bentuk dan pembagian sistem pemerintah jajahan yang pernah menduduki Indonesia sampai kepada pasca reformasi.

a. Sejarah Peradilan Mula-Mula Di Indonesia

Jika menelusuri sejarah panjang peradaban bangsa indonesia, maka jaman dahulu sebelum masuknya penjajahan bangsa Eropa dan Jepang ke Indonesia, sistem peradilan di Indonesia sudah dikenal sebelumnya, hal ini dapat dilihat dari adanya lembaga peradilan adat meskipun lembaga peradilan yang dimaksud bersifat kelompok-kelompok dan cenderung bersifat primitif, mengingat penerapan sanksi dan sistem pembuktian yang diberlakukan masih sebatas monopoli kaum kerajaan selaku pihak yang mengadili. Mengenai peradilan mula-mula ini lebih lanjut dikutib pendapat berikut ini :
“Jika melihat kebelakang, ketika negara ini masih terpisah-pisah menjadi berbagai kerajaan-kerajaan, adalah suatu kenyataan oleh karena kerajaan -kerajaan di Indonesia itu yang berdaulat adalah raja, yang berkuasa secara mutlak, dimana soal hidup dan mati rakyat ditangannya, maka kekuasaan mengadili pun ada ditangannya sendiri. Sebagai conton di zaman Kerajaan Kalingga, Peradilan dipimpin sendiri oleh Ratu Shima yang menghukum adiknya sendiri karena melanggar aturan yang dibuat oleh kerajaan”.
Oleh karena itu, perkembangan lembaga peradilan pada masa ini tidak begitu terlihat mencolok jika dibandingkan dengan setelah masuknya kaum penjajah ke Indonesia. Peradilan di masa kerajaan-kerajaan masih lebih mengedepankan permusyawaratan bersama apabila sengketa yang dihadapi di bidang perdata, sedangkan di bidang pidana pemberian sanksi lebih mengedepankan sanksi moral daripada sanksi tegas berupa pemberian hukuman badan, apakah itu penjara atau pencabutan hak-hak lainnya.

b. Masa Pemerintahan Hindia Belanda

Sejarah lembaga peradilan, pada khususnya Mahkamah Agung jika ditelisik dokumen-dokumen sejarah, maka awal mulanya dapat ditemukan pada tahun 1807 disaat Mr. Herman Willem Deandels diangkat menjadi Gubernur Jenderal oleh Lodewijk Napoleon untuk mempertahankan jajahan–jajahan Belanda di Indonesia terhadap serangan – serangan penjajah asing seperti Inggris.
Deandels yang menjadi Gubernur Jenderal pada masa itu banyak sekali mengadakan perubahan – perubahan di lapangan peradilan, diantaranya pada tahun 1798 telah merubah Raad van Justitie menjadi Hooge Raad. Kemudian tahun 1804 Betaafse Republiek telah menetapkan suatu Charter atau Regeringsreglement untuk daerah – daerah jajahan di Asia. Dalam Pasal 86 Charter tersebut, yang merupakan perubahan – perubahan nyata dari jaman Pemerintahan Deandels terhadap peradilan di bumi Indonesia, ditentukan sebagai berikut :
“Susunan pengadilan untuk bangsa Bumiputera akan tetap tinggal menurut hukum serta adat mereka. Pemerintah Hindia Belanda akan menjaga dengan alat – alat yang seharusnya, supaya dalam daerah-daerah yang langsung ada dibawah kekuasaan Pemerintahan Hindia Belanda sedapat-dapatnya dibersihkan segala kecurangan-kecurangan, yang masuk dengan tidak diketahui, yang bertentangan dengan tidak diketahui, yang bertentangan dengan hukum serta adat anak negeri, lagi pula supaya diusahakan agar terdapat keadilan dengan jalan yang cepat dan baik, dengan menambah jumlah pengadilan-pengadilan negeri ataupun dengan mangadakan pengadilan-pengadilan pembantu, begitu pula mengadakan pembersihan dan pengenyahan segala pengaruh-pengaruh buruk dari kekuasaan politik apapun juga”;

Charter tersebut tidak pernah berlaku, oleh karena Betaafse Republiek segera diganti oleh Pemerintah Kerajaan, akan tetapi ketentuan dalam “Charter” tidak sedikit mempengaruhi Deandels di dalam menjalankan tugasnya selaku Gubernur Jenderal.

c. Masa Pemerintahan Inggris

Pada saat Sir Thomas Stamford Raffles tahun 1981 diangkat menjadi Letnan Gubernur untuk pulau Jawa dan wilayah di bawahnya, maka ia mengadakan perubahan-perubahan antara lain di kota – kota Batavia, Semarang dan Surabaya dimana dulu ada Raad van Justitie, kemudia didirikan Court Of Justitice yang bertugas untuk mengadili perkara sipil maupun kriminal. Court of Justice yang ada di Batavia juga merupakan Supreme Court of Justitice dan Court of Appeal terhadap putusan-putusan Court onvoeldoende gemotiveerd Justitice yang ada di Semarang dan Surabaya.

d. Masa Penjajahan Kembali Pemerintahan Hindia Belanda (1816-1942)

Pada saat berakhirnya perang di Eropa dengan jatuhnya Kaisar Napoleon pada masa itu, maka menurut Conventie London 1814, semua daerah – daerah jajahan Belanda yang diduduki oleh Inggris harus dikembalikan kepada Pemerintahan Negeri Belanda. Penyerahan kembali Pemerintahan Belanda tersebut di atur dalam St.1816 No. 5, yang berisi ketetapan bahwa akan dibuat Reglement yang mengatur acara pidana dan acara perdata yang berlaku bagi seluruh Jawa dan Madura, kecuali Jakarta, Semarang dan Surabaya dengan daerah sekitarnya. Bagi Jakarta, Semarang dan Surabaya dengan daerah sekitarnya untuk perkara pidana dan sipil tetap menjadi kekuasaan Raad van Justitie. Dengan demikian ada perbedaan dalam susunan pengadilan buat Bangsa Indonesia yang bertempat tinggal di kota – kota dan sekitarnya dan bangsa Indonesia yang bertempat tinggal di “desa – desa” (di pedalaman). Lebih jauh lagi., hukum yang diberlakukan oleh Pemerintahan Hindia Belanda didasarkan pada pembagian golongan penduduk sebagiamana diatur dalam pasal 163 Indishce Staatregeling.
Untuk bangsa Eropa, berlaku susunan Pengadilan sebagai berikut, Hooggerechtshof di Jakarta dengan Raad van Justitie yaitu masing-masing di Jakarta, Semarang dan Surabaya. Dengan Keputusuan Gubernur Jenderal tanggal 3 Desember 1847 No.2a (St.1847 No. 23 jo. No.57) yang diberlakukan tanggal 1 Mei 1948 (R.O) ditetapkan bahwa Susunan Peradilan di Jawa dan Madura sebagai berikut :
- Districtgerecht ;
- Regentschapsgerecht ;
- Landraad ;
- Rechtbank van omgang ;
- Raad van Justitie ;
- Hooggerechtshof ;

Dalam fungsi judisialnya, Hooggrechtshof memutus perkara – perkara banding mengenai putusan – putusan pengadilan wasit tingkat pertama di seluruh Indonesia, jikalau nilainya lebih dari £.500 dan mengenai putusan – putusan residentiegerechten – di luar Jawa dan Madura.


e. Masa Penjajahan Jepang (1942 – 1945)

Setelah pulau Jawa diduduki dan dikuasai sepenuhnya oleh Pemerintahan Jepang, maka dikeluarkanlah Undang-Undang No. 1 tanggal 8 Maret 1942, yang menentukan bahwa untuk sementara segala Undang – Undang dan peraturan – peraturan dari Pemerintahan Hindia Belanda dahulu terus berlaku, asal tidak bertentangan dengan peraturan – peraturan Jepang. Mengenai peradilan sipil, maka dengan Undang – Undang No. 14 tahun 1942 ditetapkan “Peraturan Pengadilan Pemerintah Dai Nippon”. Atas dasar peraturan ini didirikan pengadilan – pengadilan sipil yang akan mengadili perkara – perkara pidana dan perdata. Disamping itu dibentuk juga Kejaksaan. Pengadilan – pengadilan bentukan Dai Nippon adalah sebagai berikut :
Gun Hooin (Pengadilan Kewedanaan) lanjutan districtsgerecht dahulu ;
Ken Hooi (Pengadilan Kabupaten) lanjutan regentschapgerecht dahulu ;
Keizai Hooin (Pengadilan Kepolisian) lanjutan landgerecht dahulu ;
Tihoo Hooin (Pengadilan Negeri) lanjutan Landraad dahulu, akan tetapi hanya dengan seorang hakim saja (tidak lagi majelis ), kecuali terhadap perkara tertentu apabila Pengadilan Tinggi menentukan harus diadili dengan 3 orang Hakim ;

Dengan dicabutnya Undang – Undang 1942 No. 14 dan diganti dengan Undang – Undang 1942 No. 34, maka ada penambahan badan pengadilan diantaranya Kootoo Hooin (Pengadilan Tinggi), lanjutan dari Raad van Justitie dahulu dan Saikoo Hooin (Mahkamah Agung) , lanjutan dari Hooggerechtshof dahulu.


f. Masa Terbentuknya Republik Indonesia

Pada saat berlakunya Undang – Undang Dasar 1945, di Indonesia tidak ada badan Kehakiman yang tertinggi. Satu satunya ketentuan yang menunjuk kearah badan Kehakiman yang tertinggi adalah pasal 24 ayat 1 Undang – Undang Dasar 1945. Maka dengan keluarnya Penetapan Pemerintah No. 9/S.D. tahun 1946 ditunjuknya kota Jakarta Raya sebagai kedudukan Mahkamah Agung Republik Indonesia yang mana Peraturan tersebut hanya penunjukan tempatnya saja. Kemudian setelahnya, baru pada saat Undang – Undang No. 7 tahun 1947 ditetapkan tentang susunan kekuasaan Mahkamah Agung dan Kejaksaaan Agung yang mulai berlaku pada tanggal 3 Maret 1947. Pada tahun 1948, Undang – Undang No. 7 tahun 1947 diganti dengan Undang-Undang No. 19 tahun 1948 yang dalam pasal 50 ayat (1) yang menyatakan bahwa Mahkamah Agung Indonesia ialah pengadilan federal tertinggi. Pengadilan – pengadilan federal yang lain dapat diadakan dengan Undang-Undang federal, dengan pengertian bahwa dalam Distrik Federal Jakarta akan dibentuk sekurang – kurangnya satu pengadilan federal yang mengadili dalam tingkat pertama, dan sekurang – kurangnya satu pengadilan federal yang mengadili dalam tingkat apel. Oleh karena kita telah kembali ke Undang – Undang Dasar 1945 dan tidak sesuai dengan keadaan, maka pada tahun 1965 dibuat Undang – Undang yang mencabut Undang – Undang No. 19 tahun 1948 dan Undang – Undang No. 1 tahun 1950 dengan Undang – Undang Nomor 13 tahun 1965 tentang Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung.
Pada jaman pendudukan Jepang pernah Badan Kehakiman tertinggi dihapuskan (Saikoo Hooin) pada tahun 1944 dengan Undang – Undang (Osamu Seirei) No. 2 Tahun 1944, yang melimpahkan segala tugasnya yaitu kekuasaan melakukan pengawasan tertinggi atas jalannya peradilan kepada Kooto Hooin (Pengadilan Tinggi). Meskipun demikian kekuasaan kehakiman tidak pernah mengalami kekosongan. Namun sejak Proklamasi Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 dari sejak diundangkannya Undang – Undang Dasar Republik Indonesia 1945 tanggal 18 Agustus 1945, semakin mantaplah kedudukan Mahkamah Agung sebagai badan tertinggi bidang Yudikatif (peradilan) dengan kewenangan yang diberikan oleh pasal 24 Undang-Undang Daser 1945, dimana Mahkamah Agung diberi kepercayaan sebagai pemegang kekuasaan Kehakiman tertinggi.
Mahkamah Agung pernah berkedudukan di luar Jakarta yaitu pada bulan Juli 1946 di Jogyakarta dan kembali ke Jakarta pada tanggal 1 Januari 1950, setelah selesainya KMB dan pemulihan Kedaulatan. Dengan demikian Mahkamah Agung berada dalam pengungsian selama 3 1/2 (tiga setengah) tahun.
Mulai pertama kali berdirinya Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung itu berada di bawah satu atap dengan Mahkamah Agung, bahkan bersama di bawah satu departemen, yaitu Departemen Kehakiman. Dulu namanya Kehakiman Agung pada Mahkamah Agung, seperti Kejaksaan Negeri dulu namanya Kejaksaan Pengadilan Negeri.
Kejaksaan Agung mulai memisahkan diri dari Mahkamah Agung yaitu sejak lahirnya Undang – Undang Pokok Kejaksaan (Undang-Undang No. 15 tahun 1961) di bawah Jaksa Agung Gunawan, SH yang telah menjadi Menteri Jaksa Agung.
Para pejabat Mahkamah Agung.(Ketua, Wakil Ketua, Hakim Anggota dan Panitera) mulai diberikan pangkat militer tutiler adalah dengan Peraturan Pemerintah 1946 No. 7 tanggal 1 Agustus 1946, sebagai pelaksanaan pasal 21 Undang-Undang No. 7 tahun 1946 tentang Pengadilan Tentara.


1) Masa menjelang pengakuan Kedaulatan

Pemerintah Belanda Federal yang mengusai daerah-daerah yang dibentuk oleh Belanda sebagai negara-negara Bagian seperti Pasundan, Jawa Timur, Sumatera Timur, Indonesia Timur, mendirikan Pengadilan Tertinggi yang dinamakan Hoogierechtshof yang beralamat di Jl. Lapangan Banteng Timur 1 Jakarta, disamping Istana Gubemur Jenderal yang sekarang adalah gedung Departemen Keuangan.

Hooggerechtshof juga menjadi instansi banding terhadap putusan Raad no Justitie. Mr. G. Wjjers adalah Ketua Hooggerechtshof terakhir, yang sebelum perang dunia ke II terkenal sebagai Ketua dari Derde kamar Read van Instills Jakarta yang memutusi perkara – perkara banding yang mengenai Hukum Adat (kamar ketiga, hanya terdapat di Raad van Justitie Jakarta). Pada saat itu Mahkamah Agung masih tetap berkuasa di daerah¬ – daerah Republik Indonesia yang berkedudukan di Yogyakarta. Dengan dipulihkannya kembali seluruh wilayah kedaulatan Republik Indonesia (kecuali Irian Barat), maka pekerjaan Hooggerechtshof harus diserahkan kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Sejak tanggal 1 Januari 1950 Mr. Dr. Kusumah Atmadja mengoper gedung dan personil serta pekerjaan Hooggerechtshof. Dengan demikian maka para anggota Hooggerechtshof dan Procurer Genera! meletakkan jabatan masing-masing dan selanjutnya pekerjaannya diserahkan pada Mahkamah Agung Republik Indonesia Serikat. Mahkamah Agung pada saat itu tidak terbagi dalam majelis – majelis. Semua Hakim Agung ikut memeriksa dan memutus baik perkara – perkara Perdata maupun perkara – perkara Pidana, hanya penyelesaian perkara pidana diserahkan kepada Wakil Ketua.


2). Masa Republik Indonesia Serkat (27 Desember 1949 sampai dengan 17 Agustus
1950)


Sebagaimana lazimnya dalam suatu negara yang berbentuk suatu Federasi atau Serikat, maka demikian pula dalam negara Republik Indonesia Serikat diadakan 2 macam Pengadilan; yaitu Pengadilan dari masing-masing negara Bagian disatu pihak. Pengadilan dari Federasi yang berkuasa disemua negara – negara bagian, dilain pihak untuk seluruh wilayah Republik Indonesia Serikat (RIS) ada satu Mahkamah Agung Republik Indonesia Serikat sebagai Pengadilan Tertinggi, sedang lain Badan – Badan pengadilan menjadi urusan masing – masing negara Bagian. Undang – Undang yang mengatur Mahkamah Agung Republik Indonesia Serikat adalah Undang – Undang No. 1 tahun 1950 tanggal 6 Mei 1950 (I-N. tahun 1950 No. 30) yaitu tentang Susunan dan Kekuasaan Mahkamah Agung Republik Indonesia Serikat yang mulai berlaku tanggal 9 Mei 1950.
Undang-Undang tersebut adalah hasil pemikiran Mr. Supomo yang waktu itu menjabat sebagai Menteri Kehakiman Republik Indonesia Serikat, menurut Undang – Undang Dasar RIS pasal 148 ayat 1 Mahkamah Agung merupakan forum privilegiatum bagi pejabat – pejabat tertinggi negara. Fungsi ini telah dihapuskan sewaktu kita kembali kepada Undang – Undang Dasar 1945.
Selanjutnya, dengan keluarnya Undang – Undang No. 1 tahun 1950 (I.N. tahun 1950 No. 30) yang juga mengatur tentang lembaga kasasi menentukan bahwa lembaga kasasi tidak terbatas pada lingkungan peradilan umum. Pada tahun 1965 diundangkan sebuah Undang – Undang No. 13 tahun 1965 yang mengatur tentang Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung. Sayang, Undang – Undang tersebut tidak memikirkan lebih jauh mengenai akibat hukum yang timbul setelah diundangkannya tanggal 6 Juni 1965, terbukti pasal 70 Undang-Undang tersebut menyatakan Undang – Undang Mahkamah Agung No. 1 tahun 1950 tidak berlaku lagi. Sedangkan acara berkasasi di Mahkamah Agung diatur secara lengkap dalam Undang – Undang No. 1 tahun 1950 tersebut. Timbullah suatu problema hukum yaitu adanya kekosongan hukum acara kasasi. Jalan keluar yang diambil oleh Mahkamah Agung untuk mengatasi kekosongan tersebut adalah menafsirkan pasal 70 tersebut sebagai berikut :
“Oleh karena Undang – Undang No. 1 tahun 1950 tersebut disamping mengatur tentang susunan, kekuasaan Mahkamah Agung, mengatur pula tentang jalannya pengadilan di Mahkamah Agung, sedangkan Undang – Undang No. 13 tahun 1965 tersebut hanya mengatur tentang susunan, kedudukan Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung dan tidak mengatur tentang bagaimana beracara di Mahkamah Agung, maka Mahkamah Agung menganggap pasal 70 Undang – Undang No. 13 tahun 1965 hanya menghapus Undang – Undang No. 1 tahun 1950 sepanjang mengenai dan kedudukan Mahkamah Agung saja, sedangkan bagaimana jalan peradilan di Mahkamah Agung masih tetap memperlakukan Undang – Undang No. 1 tahun 1950”.

Pendapat Mahkamah Agung tersebut dikukuhkan lebih lanjut dalam Jurisprudensi Mahkamah Agung yaitu dengan berpijak pada pasal 131 Undang – Undang tersebut.
Perkembangan selanjutnya dengan Undang – Undang No. 14 tahun 1970 tentang; “Ketentuan – ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman” tanggal 17 Desember 1970, antara lain dalam pasal 10 ayat (2) disebutkan bahwa Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara tertinggi dalam arti Mahkamah Agung sebagai badan pengadilan kasasi (terakhir) bagi putusan – putusan yang berasal dari Pengadilan – pengadilan lain yaitu yang meliputi keempat lingkungan peradilan yang masing – masing terdiri dari:
- Peradilan Umum ;
- Peradilan Agama ;
- Peradilan Militer ;
- Peradilan Tata Usaha Negara ;

Bahkan, Mahkamah Agung pula sebagai pengawas tertinggi atas perbuatan Hakim dari semua lingkungan peradilan.
Sejak tahun 1970 tersebut Mahkamah Agung mempunyai Organisasi, administrasi dan keuangan sendiri. Mahkamah Agung menjalankan tugasnya dengan melakukan 5 fungsi yang sebenarnya sudah dimiliki sejak Hooggerechtshof, sebagai berikut :
- Fungsi Peradilan (pelayanan) ;
- Fungsi Pengawasan ;
- Fungsi Pengaturan ;
- Fungsi Memberi Nasehat ;
- Fungsi Administrasi ;
Namun hingga saat ini dari perjalanan panjang yang telah dilaluinya lembaga peradilan di Indonesia ini agaknya masih kurang mendapatkan respon yang baik di mata masyarakat di negeri ini, khususnya bagi mereka para pencari keadilan. Kurang puasnya pencari keadilan terhadap putusan pengadilan, pelayanan yang tidak memuaskan dari pegawai di lingkungan pengadilan sampai pada isu perpanjangan usia Hakim Agung menjadi tantangan yang harus dihadapi oleh Mahkamah Agung di masa mendatang.


3) Masa Pemerintahan Sejak Tahun 1966

Sebagai perbandingan, menurut Anthony Lewis menyatakan :
“Bahwa Mahkamah Agung Amerika Serikat hanya memeriksa sebagian kecil putusan pengadilan-pengadilan federal dan pengadilan-pengadilan negara-negara bagian, untuk meneliti apakah pegnadilan terdahulu telah memberikan putusan yang benar dan tepat.”

Dalam praktek pelaksanaan lembaga peradilan dimasa orde lama, Mahkamah Agung mempunyai peranan yang sangat monopolistik, hal ini setidaknya terlihat dari pendapat sebagai berikut :
“Bahwa Mahkamah Agung memegang monopoli peradilan karena Mahkamah Agung sebagai peradilan negara tertinggi merupakan puncak bagi Peradilan Umum, Agama, Militer dan Tata Usaha Negara”.

Lain dengan kedua pendapat tersebut diatas, menurut pendapat Soedikno Mertokusumo, SH., sehubungan dengan fungsi Mahkamah Agung, dikutib :
“tidak dilaksanakan cara melaksanakan peradilan yang harus dituruti merupakan peraturan kasasi yang lebih tepat dari ketentuan UU No. 13 tahun 1965, karena tujuan dari kasasi adalah kesatuan peradilan”.

Lebih lanjut Soedikno Mertokusumo, SH., menyatakan pula proses peralihan peranan Mahkamah Agung dengan uraian :
“1. berdasar pasal 1 ayat 2 UU No. 19 tahun 1965 tentang Mahkamah Agung, Mahkamah Agung
melaksanakan peradilan “atas nama Republik Indonesia”.
2. berdasar pasal 133 dan pasal 134 Mahkamah Agung mengadakan pengawasan tertinggi atas
para Notaris dan para Pengacara serta pemeriksaan dalam rumah penjara.
3. berdasar pasal 132 UU MA itu, Mahkamah Agung berfungsi memberi laporan atau
pertimbangan hukum apabila diminta Pemerintah. Mahkamah Aung telah memberikan legal
opinion melalui surat No. 488/P/907/M tertanggal 8 Maret 1956, atas permintaan Presiden
tentang sah tidaknya sidang DPR mengenai Rancangan Undang-Undang tentang Pembatalan
Uni Indonesia Belanda pada tanggal 28 Februari 1956. Dalam praktek peradilan legal opinion
selalu dimintakan pemerintah, legal opinion mana biasanya turut menyelesaikan kasus politik
yang terjadi pada zaman itu.
4.berdasar pasal 131 UU MA, Mahkamah Agung berwenang menentukan sendiri bagaimana
harus diatur jika dalam jalannya peradilan ada soal-soal yang belum diatur dalam undang-
undang. Dalam praktik peradilan akhir-akhir ini, Mahkamah Agung telah menerbitkan
berbagai SEMA dan PERMA untuk kelancaran jalannya peradilan.”.

Berdasarkan uraian diatas, sangatlah jelas bagaimana peranan Mahkamah Agung setelah dijadikan sebagai lembaga tertinggi badan peradilan di Indonesia pasca berlakunya UU No. 13 tahun 1965 tentang Mahkamah Agung.




III. Perkembangan Mahkamah Agung Sebagai Lembaga Peradilan Tertinggi
Dewasa ini


Selanjutya, sejak pemerintahan Orde Baru (singk. Orba), badan peradilan Mahkamah Agung dapat dikatakan tidak mengalami perubahan mengenai fungsi, tugas dan kewenangan yang signifikan sebagaimana lajimnya Mahkamah Agung selaku salah satu badan tinggi negara yang diatur secara tegas dalam konstitusi UUD’45. Namun demikian, kecenderungan Mahkamah Agung pada pemerintahan Orde Baru kurang maksimal dikarenakan adanya campur tangan politik pemerintahan terhadap suatu lembaga peradilan. Hal ini dapat dimaklumi, mengingat badan peradilan Mahkamah Agung masih berada dibawah pengawasan Departemen Kehakiman. Dengan kata lain, Mahkamah Agung berada dalam struktur keorganisasian Departemen Kehakiman, baik itu menyangkut pembiayaan, anggaran, maupun sistem keadministrasian peradilan.
Pada masa orde baru, Mahkamah Agung diatur dalam Undang-Undang No. 14 tahun 1985 yang diumumkan dalam Lembagaran Negera R.I No. 1985/73, TLN No. 3316 untuk selanjutnya diundangkan pada tanggal 30 Desember 1985 dan UU MA mulai diberlakukan pada saat diundangkan. Oleh karena itu, UU No. 13 tahun 1965 dinyatakan tidak berlaku lagi. Pemberlakuan UU No. 14 tahun 1985 didasarkan pada alasan pertimbangan bahwa UU No. 13 tahun 1965 dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan semangat yang dimaksud dalam UU No. 14 tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. tujuan pembentukan peradilan yang independent sebagiamana ditetapkand alam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dianggap sebagai cita-cita pokok negara hukum (rechtstaat), walaupun dalam praktek pelaksanaannya campur tangan politik dari pemerintah (baca : eksekutif) dibidang hukum masih terkesan dominan.



IV. Perkembangan Fungsi dan Tugas Mahkamah Agung Setelah Pasca Reformasi

Tuntutan reformasi yang bergulir pada pertengahan tahun 1998 ternyata membawa dampak (impact) terhadap badan peradilan Mahkamah Agung dewasa ini. Hal ini terlihat paling tidak dari banyaknya dibentuk lembaga badan-badna khusus peradilan pada tingkat pengadilan engeri, seperti peradilan pajak, perikanan, kepailitan, perselisihan hubungan industrial, dan lain sebagainya yang secara keseluruhan berpusat pada Mahkamah Agung sebagai badna peradilan tertingkat yang berfungsi melaksanakan penyelesaian sengketa.
Oleh karena itu, tuntutan era reformasi juga berkaitan dengan perkembangan peranan MA, melalui sistem peradilan. Pada dasarnya masing-masing peradilan yang dibuat dalam dua tingkatan, yang dewasa ini peradilan di Indonesia terdiri dari Peradilan Umum dan Tiga Peradilan Khusus. Masing-masing lingkungan peradilan berpusat di Mahkamah Agung (single system of courts). Belakangan dengan berlakunya PERMA No. 1 tahun 1993 maka Mahkamah Agung juga berhak melakukan uji materil terhadap peraturan-peraturan yang berada diabwah Undang-Undang.
Perubahan selanjutnya mengenai pengaturan badan peradilan Mahkamah Agung R.I yang semula diatur dalam UU No. 14 tahun 1985 diubah menjadi UU No. 5 tahun dan 2004 dan diubah kembali (peruahan kedua) sebagaimana UU No. 3 tahun 2009 tentang Mahkamah Agung. Mengenai hak uji materil peraturan-peraturan dibawah undang-undang ini mempunyai perbedaan antara Mahkamah Agung di Indonesia dengan Mahkamah Agung di Amerika Serikat.
Di Indonesia hak menguji materil ini disamping ditemukan dalam PERMA, pengaturan hak uji materil di Indonesia dimulai dalam UU No. 14 tahun 1970 tentang Pokok Pokok Kekuasaan Kehakiman (yang beberapa ketentuan telah diubah dengan UU No. 35 tahun 1999), sebagaimana ditetapkan pasal 26, yang kesimpulannya :
1. Hanya hakim agung yang diberi kewenangan untuk menguji materill, badan-badan kehakiman
lainnya tidak diberikan kewenangan untuk itu.
2.putusan mahkamah agung dalam rangka pelaksanaan hak uji materill tersebut berupa
pernyataan tidak sah peraturan perundang-undangan yang diuji tesebut dan dengna alasan
bahwa isi dari peraturan yang dinyatakan tidak sah tersebut bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya.
3.yang dapat diuji hanya bentuk hukum berupa peraturan perundang-undangan dan jenis yang
dapat diuji adalah peraturan perundang-undangan yang derajatnya dibawah UU atau
peraturan pemerintah kebawah.
4. hak menguji materil dapat dilakukan dalam pemeriksaan tingkat kasasi.
5. peraturan yang telah dinyatakan tidak sah tersebut dicabut oleh instansi yang bersangkutan
atau yang menetapkan.”

Jadi jelaslah, bahwa Mahkamah Agung di Indonesia mempunyai hak menguji peraturan dalam perkembangannya, dibanding pada saat pembentukan Mahkamah Agung dahulu, saat ini Mahkamah Agung telah diperluas kewenangannya baik melalui peraturan setingkat undang-undang maupun peraturan lainnya, seperti PERMA. Disamping pengaturan hak uji materil ditemukan dalam UU No. 14 tahun 1979, pegnaturan yang sama juga dapat ditemukan dalam UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Dewasa ini perkembangan Mahkamah Agung sudah begitu terlihat dengan jelas, hal ini dapat dicontohkan seperti sistem perekrutan hakim agung yang harus mengikuti proses “Vit and proper test” di lembaga legislatif (DPR) untuk mengetahui kemampuan akademis maupun praktis calon hakim agung yang bersangkutan. Disamping itu, sistem perekrutan hakim agung juga dapat melalui hakim karier maupun non karier (praktisi).
Salah satu eufhoria reformasi yang patut dihargai mengenai perkembangan badan peradilan Mahkamah Agung ini, dimana secara kekuatan (power) Mahkamah Agung sudah mendapat tepat kekuasaan yang setara dengan lembaga-lembaga tinggi lainnya, seperti DPR, Presiden dan BPK. Hal ini dikarenakan undang-undang sudah mengatur secara tegas bahwa Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan dan salah satu lembaga tinggi negara adalah bersifat independen, tanpa adanya campur tangan dari organ negara lainnya. Bahkan, secara organisatoris Mahkamah Agung yang tadinya berada dibawah kekuasaan kehakiman, saat ini telah memisahkan diri sebagai lembaga yang tidak terkait dengan Departemen Kehakiman, sehingga secara praktis Mahkamah Agung berwenang menyelenggarakan kewenangan sendiri untuk mengatur adminstratif peradilan, keuangan (anggaran) dan sistem kepegawaian dalam rangka mendukung independensi yang diamanatkan undang-undang tersebut.




V. Penutup

Berdasarkan uraian diatas, ditarik beberapa kesimpulan sehubungan dengan sejarah lahirnya Mahkamah Agung sebagai puncak kekuasaan tertinggi badan peradilan di Indonesia sebagai berikut :
1. Pertama, sebelum lahirnya Mahkamah Agung di Indoensia zaman dahulu sudah mengenal
adanya peradilan yang puncak kekuasaannya berada ditangan raja, karena kerajaan-kerajaan
pada masa itu berhak secara mutlak untuk melaksanakan pengadilan sendiri ;
2.Kedua, masukkan penjajah ke Indonesia yang menerapkan hukum Kolonial didasarkan pada
peraturan-peraturan yang melahirkan lembaga Mahkamah Agung dengan kewenangan pada
masa itu terbatas pada pemeriksaan untuk semua tingkatan perkara.
3.Ketiga, setelah lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia, badan peradilan Mahkamah
Agung sebagai puncak kekuasan tertinggi peradilan mulai dilakukan penataan sejak
diberlakukannya UU No. 13 tahun 1965 tentang Mahkamah Agung untuk selanjutnya diubah
menjadi UU No. 14 tahun 1985, kemudian diubah lagi menjadi UU No. 5 tahun 2004 dengan
perubahan terakhir sebagaimana UU No. 3 tahun 2009. Bahkan, pada fase setelah
kemerdekaan ini, Mahkamah Agung sudah mempunyai kewenangan untuk melakukan uji
materill terhadap peraturan-peraturan di bawah Undang-Undang. Selain itu fungsi, tugas
serta kewenangan Mahkamah Agung menjadi bagian yang terpisah dari Departemen
Kehakiman R.I.






DAFTAR PUSTAKA


BUKU :

C.S.T. Kansil, SH., Christine S.T> Kansih, SH., “Penghantar Ilmu Hukum”, Balaik Pustaka, Jakart, 2002

Henri Pandapotan Panggabean, “Peranan Mahkamah Agung Melalui Putusan-Putusan Hukum Perikatan”, Alumni, Bandung, 2006

_____________________“Fungsi Mahkamah Agung”, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2002

John Gilissen., Frits Gorle, “Sejarah Hukum Suatu Penghantar”, (diterjemahkan oleh Freddy Tengker), Refika Aditama, Bandung, 2005.

R. Tresna, “Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad”, Pradnya Paramitha, Jakarta, 1977

Soedirjo., “Peninjauan Kembali Dalam Perdata”, Akademika Presindo, , Jakarta, 1986

Soedikno Mertokusumo,SH, “Sejarah Peradilan dan Perundang-Undangan di Indonesia Sejak tahun 1942 dan Apakah Kemanfaatannya Bagi Kita Bangsa Indonesia”, Edisi Pertama, Cetakan Kedua, Liberty, Jogyakarta, (tanpa tahun terbit),

_________________________ “Hukum Acara Perdata Indonesia”, Edisi Keenam, Liberty Jogyakarta, 1998



ARTIKEL :

Henri Kwok, (Mahasiswa Program Doctoral pada Washington of University - Law School), Seattle, “Diantara Rerntuhan Pilar Mahkamah Agung”, 2002.

Moch. Yulihadi, SH. “Sejarah Lembaga Peradilan di Indoensia”,

Tjipta Lesmana,: “Penetapan Ketua MA, antara Indonesia dan Amerika”, Penerbit Suara Pembaharuan, Jakarta,11 Januari 2001.

IHW/Ali, “Sejarah Ketua MA (dulu - sekarang)”, Hukum Online.com, Jakarta, 26 Januari 2009


MANUSKRIP :

Bahan kuliah Sejarah Hukum yang disampaikan oleh Prof. Dr. Bintan R. Saragih, SH., pada Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, Universitas Trisakti - Jakarta, 2010

Bahan kuliah Teori Hukum yang disampaikan oleh Prof. Dr. Chatamarasjid Ais, SH.,MH. pada Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, Universitas Trisakti - Jakarta, 2010



SITUS YANG DIKUNJUNGI :

http://infohukum.co.cc/sejarah-mahkamah-agung-ri/

http://wahy.multiply.com/journal/item/23/Sejarah_Mahkamah_Agung

http://pksm.mercubuana.ac.id/new/elearning/files.../94018-1170522273418. doc

http://www.bintorolawfirm.com/the-news/87-lembaga-peradilan-di-indonesia.html

http://aryokarlan.blogspot.com/2009/03/sejarah-mahkamah-agung-ri.html

http://www.zamronicenter.com/reportase/40-sejarah-mahkamah-agung.html

http://adekendari.blogdetik.com/2010/04/23/sejarah-legal-review-oleh-extra-judicial/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar