Kamis, 25 November 2010

RINGKASAN REFLEKSI TENTANG HUKUM

BAB I

HUKUM DAN BAHASA

Hukum, Teori Hukum dan Bahasa

Istilah “hukum” dan “teori”, dari istilah “teori hukum” yang harus didefinisikan, muncul dalam definisinya itu sendiri. Dengan “teori” orang secara sederhana dapat mengartikan suatu “keseluruhan pernyataan (klaim, beweringen) yang saling berkaitan”. Jika orang meletakkan seperangkat pernyataan dalam suatu hubungan, maka dengan begitu orang sudah dapat berbicara tentang suatu teori.

Untuk dapat disebut teori ilmiah, maka teori itu harus memenuhi berbagai syarat (tuntutan). Secara umum orang berpendapat bahwa pada sebuah teori ilmiah setidak-tidaknya harus ada hipotesis atau sebuah penetapan permasalahan yang (hendak) digumuli oleh teori itu ; harus ada metode tertentu yang dalam teori itu harus dilegitimasi, dan harus ada seperangkat pernyataan yang konsisten dan dapat dikontrol, yang mewujudkan teori itu sebagai produk dari kegiatan ilmiah.

Dengan “teori” kita mengartikan keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan, maka “teori hukum” dapat ditentukan lebih jauh sebagai suatu keseluruhan pernyataan-pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan hukum. Dengan “hukum” saya mengartikan sebuah “sistem konseptual kaidah-kaidah hukum dan keputusan-keputusan hukum “(rechtsbeslissingen)” Penentuan hukum sebagai sistem konseptual saya temukan juga pada G.C.J.J.van den Bergh, Recht en Taal, 1979:26.

Hukum positif itu ada hanya karena kenyataan bahwa manusia memiliki bahasa. Orang bahkan dapat lebih jauh lagi dan mengemukakan pendapat bahwa juga hukum sebagai sistem konseptual hanya dapat memperoleh bentuk dalam pikiran manusia, karena bahasa yang ia gunakan untuk berbicara.

Mengenai masalah kefilsafatan tentang seberapa dekat pikiran dan bahasa berkaitan, tidak dimasuki lebih jauh di sini. Bahwa keberkaitan itu ada, dapat diterima dan itu sudah cukup untuk dalam Teori Hukum memberikan perhatian pada hubungan antara hukum dan bahasa. Dalam kerangka itu, dalil bahwa mempelajari hukum adalah tidak lain berarti ikhtiar menguasai bahasa para yuris, dapat dipertahankan. Jika demikian halnya, maka yuris tidak dapat mengabaikan keterjalinan Filsafat Bahasa dan ilmu bahasa.

Apa Yang Kita Artikan Dengan Bahasa?

Penentuan batasan pengertian “bahasa” dari P.W. Brouwer (Taal en Begripsvorming, dalam InLeiden tot de Rechtswetenschap, 1990:2). Ia mengatakan “kita berbicara tentang suatu bahasa jika terdapat suatu sistem tanda-tanda yang memenuhi syarat-syarat berikut :

1. Dibuat oleh manusia ;

2. Mengabdi komunikasi atar manusia ;

3. Diterima dalam suatu masyarakat manusia ;

4. Terdiri atas bunyi-bunyi dan/atau tanda-tanda”.

Pada penentuan batasan pengertian ini segera tampak bahwa ia berkenaan dengan suatu “penentuan” (bepaling) dalam arti pembatasan (inperking).

Syarat pertama, disimpulkan bahwa kita dalam buku ini tidak memandang “bahasa” binatang sebagai bahasa. Syarat kedua, memberikan fungsi utama dari bahasa sering kali tentang hal ini digunakan model sederhana; pihak yang berbicara (atau menulis) adalah pengirim dan pihak yang mendengar (atau membaca) adalah penerima, dan terkait padanya bahasa adalah sarana yang menyampaikan informasi. Dalam kenyataan, komunikasi itu lebih majemuk (rumit), sebab penerima itu menginterpretasi informasi dengan caranya sendiri, yang dikirim kepadanya oleh pengirim. Syarat ketiga, yang di dalamnya aspek sosial bahasa sekali lagi ditampilkan, saya tidak akan mendalami lebih jauh, sebab syarat ini sesungguhnya merupakan pra-pengandaian bagi yang kedua, komunikasi. Syarat keempat, merupakan baik pembatasan maupun pembedaan dalam bahasa. Tanda-tanda bahasa harus terdiri atas bunyi-bunyi atau tanda-tanda tertulis, semua tanda lain adalah bukan tanda bahasa. Di sampingnya terdapat dua jenis tanda-bahasa, lisan dan tulisan (aksara).

Sesungguhnya tanda-bahasa jenis kedua diturunkan (diderivasi) dari yang pertama. Sangat banyak bahasa yang belum lama memiliki tanda-bahasa tulisan. Beberapa bahasa belum memiliki tulisan, yang tidak berarti bahwa bahasa-bahasa itu inferior.

Beberapa Pembedaan Dalam Bahasan

Disamping pembedaan dalam bahasa lisan dan bahasa tulisan terdapat pembedaan lain berkaitan dengan bahasa. Yang paling terkenal adalah antara bahasa pergaulan (omgangstaal) atau bahasa alamiah (natuurlijketaal) dan bahasa artifisial (kunstmatige taal) atau bahasa alamiah (wetenschappelijke taal).

Di dalam hukum juga terdapat banyak formulasi tradisional yang telah lepas dari bahasa pergaulan. Jadi bahasa hukum dalam asasnya masih merupakan bahasa pergaulan, tetapi bahasa hukum itu demikian banyak menggunakan perkataan dan ungkapan yuridik yang khas, sehingga ia tampak merupakan bahasa teknikal tersendiri. Memberikan bantuan hukum sering terdiri atas “menerjemahkan” bahasa hukum kedalam bahasa pergaulan.

Paradoks-paradoks seperti yang dikemukakan di atas menyebabkan orang mengadakan pembedaan antara kedua tataran bahasa, yang berkenaan dengannya pada akhirnya tataran-meta yang menentukan kebenaran dari sebuah putusan. Namun ini dalam dirinya membawa konsekuensi bahwa orang tidak dapat menunjuk bahasa yang berbicara tentang hubungan antara bahasa-objek dan dunia yang ia paparkan (gambarkan). Bukankah hal itu hanya dapat terjadi dalam sebuah meta-bahasa, karena disini dibicarakan tentang suatu bahasa lain (bahasa-objek).

Namun bahasa itu harus sekaligus berkenaan dengan benda-benda (hal-hal) di dalam dunia dan dengan itu per-definisi juga adalah bahasa-objek. Itu membawa pada kesimpulan bahwa bahasa itu sekaligus meta-bahasa dan bahasa-objek, yang menyebabkan pembedaan itu kembali menjadi kurang bermakna.

Filsuf Wittgenstein dalam Filsafat Bahasa terdahulunya mencoba ke luar dari kesulitan dengan berpegang teguh pada titik tolak bahwa bahasa itu hanya bermakna jika ia mencerminkan dunia kenyataan. Mengingat meta-bahasa tidak melakukan hal itu, maka ia menurut Wittgenstein akan tidak bermakna.




BAB II

HUKUM DAN ILMU BAHASA

Beberapa Pembedaan Dalam Ilmu Bahasa

Semiotik adalah ilmu tentang tanda – tanda. Pembagian yang dilakukan oleh Ch. Morris pada tahun 1946 dalam bukunya “Sign language and behaviour”. Di dalamnya semiotik dibagi menjadi tiga bagian:

1. Sintaktik : Disini dipelajari perkaitan di antara tanda – tanda satu dengan yang lainnya. Pusat perhatiannya adalah bentuk atau struktur tanda – tanda itu. Jika ihwalnya berkenaan dengan tanda – tanda bahas, maka sintaktik itu berkaitan erat dengan apa yang di atas sudah kita sebut Gramatika. Sintaktik dapat dipelajari terlepas dari semantik. Tetap, yang sebaliknya tidak demikian halnya. Jika dikehendaki sebuah kalimat memiliki arti, maksudnya menghasilkan proposisi yang dapat dipahami, maka kalimat itu secara tepat harus mengikuti (memenuhi) aturan – aturan sintaktikal. Hal semantikal dalam arti memiliki sebuah makna, dengan demikian, mengandalkan hal sintaktikal dalam arti memenuhi aturan – aturan sintaktikal.

2. Semantik : Teori tentang arti – arti. Disini dipelajari perkaitan antara tanda – tanda dan yang diartikan (de betekende). Pusat perhatiannya adalah isi tanda – tanda itu. Di dalam semantik kita juga berurusan dengan gejala – gejala, yang dari sudut suatu perspektif lain harus dibedakan yang satu dengan yang lain, pembedaan tersebut timbul dari pandangan kedua tentang apa arti itu. Jadi, pertama – tama terdapat pembagian-tiga berdasarkan keluasan satuan bahasa. Dapat dibedakan : 1. Perkataan, 2. Kalimat, 3. Uraian. Kedua, terdapat pembagian-tiga berdasarkan faset – faset semantikal yang berbeda dari bahasa menurut pandangan kedua. Dapat dibedakan : 1. Tanda, yang berada pada tataran kebahasaan; 2. Yang diartikan, yang kebanyakan berada pada tataran empirikal; arti, yang berada pada tataran konseptual. Tiga terori kebenaran:

a. Teori Korespondensi à Kebenaran adalah kesesuaian (kesamaan) antara putusan atau proposisi dengan dunia kenyataan.

b. Teori Koherensi à kebenaran putusan atau proposisi ditautkan pada konteks sistematikal yang didalamnya ia berada.

c. Teori kebenaran Pragmatik à Dalam teori ini diajukan bahwa bahasa hanya memiliki fungsi instrumental untuk semua orientasi yang munkin diatas dunia. Dengan demikian teori ini, berlawanan dengan Teori Koherensi, konteks non-kebahasaan memainkan peranan besar.

3. Pragmatik: Disini dipelajari perkatian antara tanda – tanda dan pemakainya. Pusat perhatiannya adalah fungsi tanda – tanda. Kita sudah mengatakan bahwa pragmatik itu berkaitan dengan relasi antara tanda dan para pemakai. Menurut banyak orang Pragmatik meliputi medan yang demikian luas, sehingga semua keadaan yang relevan untuk pemakaian kata – kata atau ungkapan termasuk ke bawahnya, bahkan jika ini tidak secara langsung menyangkut pada pemakai. Dewasa ini orang beranggapan bahwa ikatan antara pragmatik dan semantic juga demikian kuat, sehingga Semantik dipandang sebagai suatu abstraksi dari pragmatik.

Klasifikasi Putusan, Proposisi dan Tindakan Bahasa

Dalam paragraph berikut dan terkahir, berdasarkan klasifikasi – klasifikasi itu akan diletakkan perkaitan antara sintaktik, semantik, dan prakmatik. Setelah itu bab ini ditutup dengan harapan bahwa kompleksitas dari bahasa sudah cukup dimunculkan dengan harapan bahwa hubungan dengan hukum dan teori hukum.

1. Sintaktik. Pada dataran ini terdapat kalimat atau putusan. Pada klasifikasi kalimat ini di dalam sintaktik kita tidak perlu berhenti lama, sebab hal itu sudah lama ditanamkan kepada kita dalam pelajaran gramatika.

2. Semantik. Pada dataran ini terdapat proposisi atau pendapat. Berkenaan dengan proposisi dibuat beberapa pembagian. Pertama – tama terdapat perbedaan antara proposisi kognitif dan proposisi non-kognitif. Jenis proposisi yang pertama memiliki isi pengetahuan akal-budi (keninhoud), yang kedua tidak. Pada penggolongan kedua dibedakan tiga jenis proposisi berikut:

a. Proposisi yang memberikan pemberitahuan tentang fakta – fakta, yang dinamakan proposisi informatif atau proposisi empirik;

b. Proposisi yang memerintahkan, melarang atau mengizinkan perilaku tertentu, yang dinamakan proposisi normatif;

c. Proposisi yang memiliki sifat menilai, yang dinamakan proposisi evaluatif. Dalam kerangka ini sering dibedakan tiga jenis penilaian: aestetikal (bagus atau jelek); b, moral atau etikal (baik atau buruk); c. teknikal atau pragmatikal (tepat atau salah).

3. Pragmatik. Sebagaimana yang sudah dapat diharapkan berdasarkan apa yang baru dikemukakan, kalsifikasi proposisi berdekatan dengan klasifikasi tindakan-bahasa. Klasifikasi ini tindakan-bahasa yang paling terkenal adalah klasifikasi J. Searle, ahli bahasa kedua yang di samping Austin mempelajari problematika tindakan-bahasa. Searle sampai pada lima jenis tindakan-bahasa, yang kemudian oleh ahli – ahli bahasa lain ditambahkan yang keenam, yaitu:

a. Tindakan-bahasa deskriptif atau informatif.

b. Tindakan-bahasa direktif.

c. Tindakan-bahasa ekspresif.

d. Perikatan.

e. Tindakan-bahasa institusional.

f. Tindakan-bahasa mengevaluasi.

BAB III

HUKUM DAN PENGERTIAN

Apa Yang Kita Artikan Dengan Hukum ?

Pengertian adalah isi pikiran (gedachteninhoud) yang dimunculkan oleh sebuah perkataan tertentu jika sebuah objek atau seorang pribadi memperoleh sebuah nama. Pengertian adalah apa yang timbul dalam pikiran kita sebagai arti dari perkataan, mengingat penunjukan perkataan itu pada objek atau orang tertentu. Harus dikemukakan bahwa objek atau orang itu tidak perlu merupakan sesuatu yang secara empirical dapat diraba yang ada di dalam kenyataan.

Menurut P.W Kamphuisen 1938 : 7, yang mengartikan pengertian sebagai : sesuatu yang dipikir, tiap sesuatu yang telah dibentuk dalam jiwa manusia, yang sepenuhnya mengesampingkan pertanyaan epistemologikal tentang apakah sesuatu yang dipikir itu, pengertian itu sesuatu yang sesuai dengan yang ada dalam kenyataan di luar kesadaran.

Pada bidang hukum, pembentukan pengertian itu tidak hanya penting sekali dalam Dogmatika Hukum, melainkan juga dalam perundang-undangan. Karena sebuah undang-undang dimaksudkan untuk mengatur perilaku para warga masyarakat, maka harus dibuat jelas bagi mereka perilaku apa yang diharapkan (dituntut) dari mereka. Ha itu dilakukan dengan jalan dalam undang-undang itu diberikan defenisi istilah-istilah yuridis yang digunakan. Untuk selanjutnya, setiap kali ditemukan istilah dalam undang-undang yang bersangkutan, maka orang memberikan arti pada istilah sebagaimana yang disebut batasan pengertian itu.

Pada banyak undang-undang tercantum istilah pada permulaan undang-undang (bagian ketentuan umum) dengan uraian pengertian terkait, seperti Undang-Undang Senjata dan Amunisi tertanggal 5 Februari 1986 yang pada pasal 1 ayat pertama berbunyi :

“1. Menteri kita : menteri Kehakiman kita ;

2. Kepala polisi setempat .......... ;

3. Senjata api : sebuah benda yang dapat diguankan untuk menembakkan proyektil atau bahan melalui sebuah laras, yang dampaknya menimbulkan ledakan kimiawi atau reaksi kimiawi lain, atau, sejauh muara energi kinetiknya lebih tinggi dari 2,2 joule, yang daya kerjanya bertumpu pad aproses fisika ;

4. amunisi : ... dan sebagainya”.

Dari contoh ini tampak pada pengertian-pengertian dalam perundang-undangan (wetterlijke begrippen) terdapat penenentuan batasan pengertian. Namun dengan pengertian tersebut, tidaklah berarti tercipta kejelasan yang sempurna tentang isi dari istilah itu. Sebab, sebuah istilah hanya memperoleh arti dari sudut konteks kebahasaan dan bukan kebahasaan. Dalam tata hukum kita, hakimlah yang dari sudut pandang kejadian-kejadian kongkret yang diharapkan kepadanya, yang memberikan arti pada isitilah perundang-undangan.

Dalam proses penemuan hukum, adalah tugas hakim untuk misalnya menilai apakah fakta-fakta dari kejadian tertentu termasuk pengertian “perbuatan melanggar hukum”. Dalam teori penemuan hukum dewasa ini, model hermeneutikal dipandang sebagai pemaparan proses yang paling baik.

Bahwa, bahasa hukum akan selalu memperlihatkan perkaitan dengan bahasa pergaulan, karena bahasa hukum menggunakan struktur yang sama dengan bahasa pergaulan. Namun antara kedua bahasa tersebut terdapat perbedaan. Dalam hukum terdapat pengertian-pengertian yang khas bersifat yuridikal, sehingga perkataan-perkataan tertentu di dalam hukum memiliki arti yang berbeda (sebagian) dari arti di dalam bahasa pergaulan. Contohnya adalah sebagai berikut : Aksi (action) : gugatan (rechtsvordering) dari penggugat, eksepsi (exceptio) : perlawanan mengelak dari tergugat, revindikasi (revindicatio) : hak menuntut kembali dari pemilik, titel (titulus) : dasar hukum.

Intensi Dan Ekstensi Pengertian

Pada tiap pengertian diadakan pembedaan antara isi pengertian (begripsinhoud) dan lingkup pengertian atau luas pengertian (begripsomvang). Isi pengertian disebut intensi atau konotasi dari pengertian. Intensi dalam bahasa Inggris disebut “sense” dan dalam bahas Perancis disebut “signification”. Sedangkan ektensi dalam bahasa Inggris disebut “refrence” dan dalam bahasa Perancis disebut “designation”.

Intensi dari sebuah pengertian pada tataran bahasa pertama adalah sama seperti proposisi pada tatanan bahasa kedua. Sedangkan dalam ilmu bahasa sendiri yang dimaksud dengan proposisi tidak jelas, demikian juga halnya dengan intensi.

Hubungan antara intensi dan ekstensi pengertian dapat dinyatakan dalam dua dalil (vuistregel). Dalil pertama berbunyi : “intensi menentukan ekstensi”. Dalil ini menyatakan bahwa isi sebuah pengertian menentuan keluasan lingkup pengertian. Sedangkan dalil kedua : “intensi berbanding terbalik dengan ekstensi”, yang berarti semakin sedikit intensi pengertian yang memuat ciri-ciri, jadi isi pengertian itu ditetapkan kurang persis, maka semakin banyak objek atau orang yang termasuk ke dalam ekstensi pengertian itu, jadi pengertian itu lebih luas. Selanjutnya menyangkut pengertian “peristiwa hukum” memuat ciri-ciri :

1. peristiwa ;

2. yang dalam dirinya membawa serta akibat-akibat hukum ;

3. yang ditautkan pada peristiwa itu oleh hukum positif.

Mengabstraksikan dan Mengkonsentrasikan

Dengan bantuan intensi dan ekstensi dari pengertian dapat dikemukakan dua proses berfikir manusia yang penting yaitu : mengabstraksikan dan mengkongkretisasi. Pada hal ikwal mengabstraksi, orang berfikir dari sebuah pengertian kongkret, artinya sebuah pengertian dengan ciri-ciri yang banyak dan dengan demikian lingkupnya sempit. Dengan kata lain, orang berfikir dari pengertian yang lingkupnya abstrak menuju kepada suatu pengertian yang kongkret. Jadi mengabstraksi adalah menghilangkan ciri-ciri dari sebuah pengertian, sehingga timbul pengertian yang lebih luas. Sedangkan mengkongkretisasi adalah menambahkan ciri-ciri sehingga terdapat pengertian yang lebih sempit.

Jenis-Jenis Pengertian

Berbagai jenis pengertian :

1. Sinonim adalah isitlah yang menyatakan pengertian yang sama. Contoh ‘goal’ adalah tujuan, ‘vonis’ adalah putusan, ‘literatur’ adalah kepustakaan, dsb ;

2. Istilah bermakna ganda, lawan dari sinonim merupakan istilah-istilah atau pengertian yang bermakna ganda, contohnya isitlah jalan dalam undang-undang lalu lintas ;

3. Pengertian yang kabur, adalah pengertian yang isinya tidak dapat ditetapkan persis, sehingga lingkupnya tidak jelas, contoh pengertian “mahasiswa”.

Dalam penemuan hukum, tugas penting dari hakim adalah menentukan peristiwa-peristiwa apa yang termasuk ke dalam pengertian-pengertian yang ditetapkan dalam undang-undang dan yang mana tidak.

Isi aturan yang didalamnya muncul istilah-istilah itu disebut sebagai “kaidah kosong” (blanketnorm), dalam hukum Jerman untuk pengertian ini orang menggunakan istilah (“generalklausein”). Pengertian-pengertian yang kabur populer dalam ilmu hukum terutama karena memungkinkan tatanan hukum menyesuaikan diri pada tatanan masyarakat yang berubah yang menjadi tujuan pengaturan hukum.

K. Engisch (1983 : 106 - 103) membuat pembedaan, yang sebagian tumpang tindih, sebagai berikut :

1. Pengertian tidak dibatasi (unbestimmten begriff). Pengertian ini berhadapan dengan pengertian-pengertian tertentu (yang dibatasi).

2. Pengertian normatif. Pengertian ini berhadapan dengan pengertian deskriktif dan hampir selalu kabur.

3. Pengertian diskresioner. Ini adalah pengertian yang juga memiliki muatan evaluatif, tetapi pada pengertian itu hanya atas dasar penilaian pribadi yang subjektif saja dimungkinkan untuk menentukan apa yang termasuk ke dalamnya dan apa yang tidak.

Pengertian Terbuka

Yang dimaksud dengan pengertian terbuka adalah pengertian-pengertian yang isi intinya memuat ciri-ciri yang dalam perjalanan waktu mengalami perubahan. Sebagai contoh, untuk argumen ini, bahwa tidak ada pengertian yang aman dari perubahan arti yang ditimbulkan oleh perubahan-perubahan keadaan dan pandangan kemasyarakatan, beberapa contoh pengertian terbuka adalah : “kerkhof” (pekuburan), “gulden” yang sekarang tidak lagi terbuat dari emas, “afbouwen” yang dengan kini orang mengemukakan bahwa orang sedang merobohkan sesuatu ketimbang sedang membangun.

BAB IV

HUKUM DAN DEFINISI

Apa yang kita Artikan Dengan Defenisi ???

Definisi adalah sebuah pengertian dengan sifat-sifat khusus. Dalam sebuah definisi orang mengungkapkan isi sebuah perkataan atau sebuah istilah (pengertian) dalam sejumlah perkataan, di mana pengungkapan perkataan tersebut harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Maksud dari sebuah definisi adalah untuk menentukan batas-batas sebuah pengertian sepersis (secermat) mungkin, sehingga jelas bagi setiap orang, apa yang diartikan oleh pembicara atau penulis dengan sebuah perkataan atau istilah tertentu. Syarat-syarat yg ditetapkan pada pendefinisian adalah sebagai berikut :

1. Definien harus lebih jelas ketimbang definiendum

Definien terdiri atas perkataan-perkataan yang mewujudkan definisi. Definiendum adalah perkataan yang harus di definisikan.

2. Definiendum tidak boleh ada dalam definien

sebuah definisi dari misalnya “pelajar” sebagai “seseorang yang belajar” membuat perkataan “pelajar” sangat kurang jelas. Definisi yang mengatakan sedikit ini disebut definisi-sirkuler.

3. Definien tidak boleh negatif

Sebuah definisi dari misalnya “wanita” sebagai “seseorang yang bukan pria” juga memberi kejelasan yang terlau sedikit. Berkaitan dengan hal ini memang berlaku pengecualian untuk perkataan-perkataan yang menyatakan “ketiadaan” (gemis). Mendefinisikan “kebutaan” sebagai “ketiadaan kemampuan melihat” misalnya adalah boleh.

4. Definiendum dan definien harus dapat dipertukarkan (Convertible)

dengan syarat ini orang memaksudkan bahwa definiendum dan definien harus sedemikian identik, sehingga mereka dalam setiap konteks dapat saling menggantian.

Defenisi-Urusan dan Defenisi-Nama

Mendefinisikan adalah mencoba memperoleh pengetahuan tentang kenyataan (secara harafiah Mendefinisikan berarti menetapkan batas-batas).

1. Definisi-urusan atau definisi-riil. Dengan ini orang memaksudkan cara pendefinisian berdasarkan teori pengetahuan kuno yang baru saja dibicarakan. Definisi ini menyatakan “apa sesuatu itu”. Orang bertolak dari pandangan bahwa definisi-definisi ini meletakkan jembatan antara bahasa dan kenyataan. Mereka bertumpu pada gejala-gejala di dalam kenyataan.

Sekema 1

Bahasa definisi

Kenyataan gejala

2. Definisi nama atau definisi nominal. Dengan ini orang memaksudkan cara pendefinisian berdasarkan teori bahasa modern. Definisi ini menyatakan “apa yang di tunjuk oleh sebuah perkataan di dalam bahasa”.

Definisi nominal dapat di ungkapkan dalam skema berikut :

Skema 2

Dalam bahasa definiendum

definien

Kenyataan gejala

Jenis-Jenis Defenisi

Dalam paragraf ini akan di bahas dua penggolongan :

1. Defenisi Internasional dan Defenisi Ekstensional

Penggolongan pertama adalah pembedaan antara definisi intesional dan definisi ekstensional. Kriterium penggolongan ini adalah cara penyusunan definien. Intensi pengertian adalah isi pengertian, yang terdiri atas seperangkat ciri-ciri yang mewujudkan pengertian itu. Seperti sudah di katakan, sebuah definisi adalah suatu pengertian yang harus memenuhi syarat-syarat khusus. Definiai intensional adalah definisi yang definiennya disusun dengan cara sedemikian rupa, sehingga ia mengungkapkan ciri-ciri dari pengertian itu, yang masing-masing pada dirinya sendiri merupakan syarat yang perlu (mutak harus ada) untuk identifikasi definiendumdengan definien dan yang bersama-sama merupakan syarat yang cukup untuk itu. Definisi intensional adalah definisi yang paling cocok.

Istilah “syarat yang” cukup dan “syarat yang perlu” berasal dari logika. C(iri) adalah syarat yang cukup untuk P(engertian) jika keberadaan dari C membawa pada kesimpulan bahwa P juga ada, tetapi ketidakberadaan dari C tidak membawa pada kesimpulan bahwa P juga tidak ada.

2. Defenisi Leksikal, Defenisi Presisi, dan Defenisi Stipulatif

Kriterium pada penggolongan ini adalah asal-usul dari definien. Dalam konteks ini orang menggunakan pembedaan berikut:

a. definisi Leksikal adalah penentuan isi suatu pengertian berdasarkan pemakaian yang lazim dari istilah itu dalam bahasa pergaulan. Definis jenis ini sering ditemukan dalam kamus-kamus.

b. arti Mempresisi adalah penentuan isi suatu pengertian yang padanya orang memberikan arah yang agak berlainan pada isi yang biasa dari pengertian itu untuk mempertajam pengertian tersebut.

c. definisi stipulatif adalah penentuan isi suatu pengertian yang sama sekali baru, yang di dalamnya orang mencoba meletakkan pikiran-pikiran yang baru dikembangkan dalam definisi-definisi. Definisi ini tentu saja harus dipersentasikan secara jelas.

BAB V

ATURAN HUKUM DAN KAIDAH HUKUM


Aturan Hukum dan Kaidah Hukum

Arti dari suatu aturan hukum ditunjuk dengan istilah “kaidah hukum” (rechtsnorm). Pengertian (begrip) sebagai arti dari suatu bahasa terkecil, perkataan atau istilah, dapat dibandingkan dengan kaidah hukum sebagai arti dari satuan bahasa yang lebih luas, aturan hukum. Isi kaidah (norminhoud) adalah keseluruhan ciri (unsur-unsur) yang mewujudkan kaidah itu. Lingkup kaidah (normomvang) adalah wilayah penerapan (toepassingsgebied) kaidah yang bersangkutan. Berarti, arti dari aturan hukum itu harus ditautkan pada isi kaidahnya.

Dua dalil (vuistregel) berkenaan dengan hubungan antara intensi dan ekstensi dari pengertian berlaku di sini:

1. Isi kaidah menentukan wilayah penerapan ;

2. Isi kaidah berbanding terbalik dengan wilayah penerapan.

Dalil terakhir menyatakan bahwa semakin sedikit isi kaidah hukum memuat ciri-ciri, maka wilayah penerapannya semakin besar. Sebaliknya, ini berarti bahwa semakin banyak isi kaidah hukum memuat ciri-ciri, maka wilayah penerapannya semakin kecil. Perubahan-perubahan isi kaidah dapat ditimbulkan oleh para pengemban kewenangan hukum (rechtsautoriteiten, pejabat hukum) dengan dua cara :

1. Pembentuk undang-undang (wetgever) dapat menimbulkan perubahan-perubahan dengan merumuskan kembali sebuah aturan hukum. Orang sesungguhnya masih dapat mengatakan bahwa hal itu tidak berkaitan dengan perubahan isi kaidah hukum (yang lama), tetapi yang terjadi di sini adalah bahwa disamping kaidah hukum yang lama itu telah terbentuk satu kaidah hukum yang baru.

2. Berkaitan dengan suatu perubahan pada isi dari sebuahkaidah hukum sementara aturan hukumnya tetap tidak berubah. Orang menyebut hal ini suatu interpretasi restriktif terhadap aturan hukum. Dengan itu maka wilayah penerapan kaidah hukumnya menjadi lebih besar. Ini disebut interpretasi ekstensif terhadap aturan hukum

Kaidah Hukum Sebagai Perintah

Pada pandangan pertama, tampaknya pendapat bahwa prototipe kaidah hukum adalah perintah dengan jangkauan umum yang sangat dapat diterima. Ia memunculkan gambaran yang berlaku tentang pembentuk undang-undang yang dengan bersaranakan undang-undang memberikan perintah-perintah, dan yang untuk masalah-masalah yang sulit oleh hakim dilengkapi dengan isi yang lebih persis dan berkenaan dengannya pemerintah (penguasa) mengemban tugas untuk memberikan kekuatan pada perintah-perintah yang dirumuskan dalam undang-undang dengan jalan melakukan tindakan mengenakan sanksi dalam hal terjadi ketidakpatuhan (ongehoorzaamheid).

Sebuah contoh kritik terhadap pandangan bahwa sebuah kaidah hukum adalah perintah dengan jangkauan umum, adalah yang dikemukakan oleh J. F. Glastra van Loon dan F. Bohtlingk. Mereka mengemukakan hal berikut:

1. Jika sebuah kaidah hukum itu adalah sebuah perintah, maka juga harus ada seorang pemberi perintah. Seringkali untuk itu ditunjuk pembentuk undang-undang. Namun, terdapat cukup banyak kaidah hukum, yakni kaidah-kaidah hukum tidak tertulis, yang tidak mempunyai pemberi perintah.

2. Suatu perintah biasanya ditujukan hanya kepada mereka yang harus mematuhi perintah itu. Namun, kaidah hukum memiliki jangkauan yang lebih luas. Kaidah itu tidak hanya menunjukan diri kepada mereka yang mematuhi, tetapi juga kepada orang-orang lain yang terlibat dalam pergaulan sosial mereka. Dengan kata lain: “sebuah perintah menetapkan hubungan antara pengalamat (adressant) dan teralamat (geadresseerde), sebuah aturan menetapkan hubungan antar-teralamat” (Glastra van Loon dan Bohtlingk, 1959:63).

3. Untuk bekerjanya kaidah hukum tidak diperlukan bahwa setiap teralamat sendiri mengetahui tentang isi kaidah hukum itu.

4. Kaidah hukum juga berbeda dari perintah. Harapan-harapan (ekspektasi), berkenaan dengan perilaku penerima perintah, dari mereka, yang terlibat dalam pergaulan sosial dengan penerima perintah,menyandang sifat legitimasi.

J.F. Glastra van Loon / F. R. Bohtlingl, 1959:61, dalam kritik mereka juga mengarahkan diri pada teori perintah J. Austin. Imperatieventheorie yang dipertahankan K. Engisch adalah juga contoh dari sebuah teori perintah.

Orang dapat memenuhi suatu perintah semata-mata karena ia dipaksa untuk itu. Perasaan dirinya berkewajiban ini adalah suatu dimensi pada kepatuhan terhadap kaidah hukum, yang pada kepatuhan terhadap suatu perintah tidak perlu ada (H. L. A. Hart, The Concept of Law, 1961: 22-25).

Jadi, kesimpulannya adalah bahwa model kaidah hukum sebagai perintah harus ditolak. Para pengemban kewenangan hukum menetapkan kaidah hukum yang timbul dari dalam masyarakat itu sendiri atau yang mereka rancang sendiri, tetapi mereka tidak memberikan “perintah”.

Jenis Kaidah Hukum

Teori H. L. A. Hart, 1961: 92 tentang meta-kaidah “secondary rules”: “They specify the ways in which the primary rules may be conclusively ascertained, introduced, eliminated, varied, and the fact of their violation conclusively determined”.

Kaidah Hukum sebagai Kaidah Perilaku

Perintah perilaku,yang mewujudkan isi kaidah itu, dapat menampilkan diri dalam berbagai wajah (sosok). Penggolongan yang paling umum adalah sebagai berikut:

1. perintah (gebod) : kewajiban umum untuk melakukan sesuatu;

2. larangan (verbod) : kewajiban umum untuk tidak melakukan sesuatu;

3. pembebasan (vrijstelling, dispensasi) : pembolehan (verlof) khusus untuk tidak melakukan sesuatu secara umum diharuskan;

4. izin (toestemming, permisi) : pembolehan khusus untukmelakukan sesuatu yang secara umum dilarang.

Kaidah Hukum sebagai Meta-Kaidah

Hart menyebut tiga macam meta-kaidah:

1. Kaidah Pengakuan (Kaidah Rekognisi). Kaidah yang menetapkan kaidah perilaku mana yang di dalam sebuah masyarakat hukum tertentu harus dipatuhi.

2. Kaidah Perubahan. Kaidah yang menetapkan bagaimana suatu kaidah dapat diubah.

3. Kaidah Kewenangan. Kaidah yang menetapkan oleh siapa dan dengan melalui prosedur yang mana kaidah perilaku ditetapkan, dan bagaimana suatu kaidah perilaku harus diterapkan jika dalam suatu kejadian tertentu terdapat ketidakjelasan.

Ada Juga yang disebut dengan Kaidah Mandiri dan Kaidah Tidak Mandiri.

Perumusan Kaidah Hukum Dalam Aturan Hukum

Walaupun kita dapat menemukan kaidah hukum yang sama dalam berbagai perumusan yang agak berbeda, namun dalam Teori Hukum terdapat suatu perumusan baku, yang berlaku bagi prototipe aturan hukum. Prototipe itu sebagai ketentuan (perintah) hipotekik. Hipotekik terdiri dari dua bagian: syarat dan akibat-hukum. bagian yang pertama memaparkan suatu peristiwa tertentu, misalnya suatu situasi, suatu kejadian atau suatu perbuatan. Bagian yang kedua mengaitkan pada peristiwa tertentu itu akibat hukum. Aturan hukum yang demikian itu disebut ketentuan hipotekik, karena akibat hukum dalam bagian yang kedua baru akan terjadi, jika syarat yang disebut dalam bagian yang pertama dipenuhi.

Kesimpulan

Kaidah hukum diungkapkan dengan banyak cara yang berbeda dalam aturan hukum. kaidah hukum tidak hanya memainkan peranan dalam hubungan antara pemberi perintah (pembentuk undang-undang) dan penerima perintah (justisiabel), melainkan mempunyai jangkauan yang lebih luas. Kaidah hukum adalah kaidah sosial yang hidup dalam masyarakat hukum, yang berkaitan dengannya para justisiabel mempertautkan harapan-harapan (expectations) yang sah, terlepas dari apakah aturan hukum itu secara langsung ditujukan kepada mereka atau tidak.

Arti aturan hukum pada akhirnya tidak dapat dibaca hanya berdasarkan semata-mata bentuk sintaktik dari aturan itu sendiri. Aturan hukum yang sama dibaca dari suatu optik yang berbeda oleh pembentuk undang-undang, para hakim dan para justisiabel, yang berdasarkannya mereka dapat menderivasi kaidah-kaidah hukum yang berbeda-beda.

BAB VI

ASAS HUKUM DAN SISTEM HUKUM

Pengertian Asas Hukum

Pada basis (landasar) suatu sistem kaidah hukum terdapat kaidah-kaidah penilaian yang fundamental, yang dinamakan asas-asas hukum. Gagasan tentang asas hukum sebagai kaidah penilaian fundamental dapat ditemukan pada karya-karya dari teoritis hukum, seperti Paul Scholten misalnya yang menguraikan (memberi defenisi) asas hukum sebagai berikut : “Pikiran-pikiran dasar, yang terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim, yang berkenaan denganya ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai penjabarannya”.

Apakah asas hukum itu dapat dipandang sebagai bentuk yang kuat atau yang lemah dari meta kaidah ???. Terhadap hal ini terdapat dua jawaban, yaitu :

1. Dalam hal bentuk yang kuat, asas hukum itu dapat dipandang sebagai suatu tipe kaidah berkenaan dengan kaidah perilaku, dan dengan demikian secara prinsipil dapat dibedakan dari jenis kaidah ini.

2. Dalam hal bentuk yang lemah, asas hukum itu dipandang termasuk dalam tipe kaidah yang berkenaan dengan kaidah perilaku, namun memiliki fungsi sejenis seperti kaidah perilaku.

Dari defenisi Scholten dapat disimpulkan bahwa asas-asas hukum mewujudkan sejenis sistem sendiri, yang sebagian termasuk ke dalam sistem hukum dan sebagian lagi tetap berada diluarnya. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa asas hukum sebagai jenis meta kaidah berkenaan dengan kaidah perilaku, sementara itu asas hukum juga dapat memenuhi fungsi yang sama seperti kaidah perilaku.

Asas Hukum dan Kaidah Perilaku

Perbedaan antara asas hukum dan kaidah perilaku di dalam hukum bergantung pada apa yang diartikan dengan asas hukum dan kaidah perilaku. Kaidah perilaku adalah kaidah yang ditujukan pada perbuatan warga suatu masyarakat hukum tertentu. Sedangkan asas hukum adalah kaidah yang memuat ukuran (kriteria) nilai. Asas hukum itu befungsi sebagai meta kaidah terhadap kaidah perilaku, karena menentukan interpretasi terhadap aturan hukum, tetapi asas hukum juga berpedoman bagi perilaku.

Perbedaan asas hukum dengan kaidah perilaku, yaitu :

- Pertama, asas hukum bersifat umum, sedangkan kaidah perilaku bersifat khusus ;

- Kedua, kaidah perilaku memiliki isi yang jauh lebih kongkret yang menyebabkan aturan itu dalam penemuannya dapat diterapkan secara langsung, sedangkan terhadap asas hukum berlaku sebaliknya ;

- Ketiga, kaidah perilaku bertumpu pada kewibawaan dari pembentuk undang-undang atau dari hakim, sedangkan asas hukum halnya tidak langsung demikian ;

- Keempat (menurut Dworkin), asas hukum tidak memiliki sifa “semua atau tidak” (alles of niets karakter), sedangkan kaidah perilaku berlaku sebaliknya;

- Kelima (Dworkin) jika terdapat suatu kejadian tertentu, maka hanya satu kaidah perilaku yang diterapkan, namun dalam asas hukum berlaku sebaliknya.

Asas Hukum dan Sistem Hukum

Bahwa asas hukum berfungsi baik di dalam maupun dibelakang sistem hukum positif. Sebagai kaidah penilai, asas hukum itu mewujudkan kaidah hukum tertinggi dari suatu sistem hukum positif. Karena itu, asas hukum harus dikongkretisasikan. Demikianlah asas hukum mengemban fungsi ganda, sebagai pondasi dari sistem hukum positif dan sebagai batu uji kritis terhadap sistem hukum positif. Jadi asas-asas hukum yang paling fundamental adalah kaidah-kaidah penilaian yang mewujudkan landasan (basis) dari setiap sistem hukum.

Pengertian Sistem Hukum

Hukum didefenisikan sebagai suatu “sistem konseptual aturan hukum dan putusan hukum”. Hukum adalah suatu gejala yang dari dirinya sendiri menghendaki sistematisasi. Sedangkan sistem hukum adalah suatu produk kesadaran hukum, yang berarti bahwa sistem hukum juga mengandung aspek-aspek irrasional. Unsur-unsur yang mewujudkan sistem hukum adalah :

1. Unsur idil. Unsur ini terbentuk oleh sistem makna dari hukum, yang terdiri dari aturan-aturan, kaidah-kaidah, dan asas-asas. Unsur inilah yang oleh para yuris disebut “sistem hukum”.

2. Unsur operasional. Unsur ini terdiri atas keseluruhan organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga yang didirikan suatu sistem hukum.

3. Unsur aktual. Unsur ini adalah keseluruhan putusan-putusan dan perbuatan-perbautan kongkret yang berkaitan dengan sistem makna dari hukum, baik dari para pengemban jabatan dari para warga masyarakat, yang didalamnya terdapat sistem hukum itu.


BAB VII

KEBERLAKUAN KAIDAH HUKUM

Penghantar

Hukum itu terdiri atas berbagai kaidah yang berbeda beda. Kaidah itu itu mewujudkan isi aturan aturan hukum. Banyak dari kaidah kaidah hukum itu yang oleh pembentuk undang undang dirumuskan dalam aturan-aturan perundangan. Hukum selalu dalam keadaan bergerak. Perubahan yang berlangsung terus menerus itu memunculkan pertanyaan apakah tidak dapat ditentukan lebih jauh, pada kaidah hukum yang mana kita pada suatu saat tertentu harus berpegangan. Itu adalah pertanyaan tentang keberlakuan hukum. Problematika tentang keberlakuan hukum sering dibahas dalam teori-teori tentang kaidah hukum. Dalam teori teori itu dibedakan berbagai sifat kaidah hukum. Dua dari yang paling penting adalah positivitas dan keberlakuan.

Positivitas Hukum

Yang dimaksud dengan positivitas kaidah hukum adalah hal ditetapkannya kaidah dalam sebuah aturan hukum oleh pengemban kewenangan hukum yang berwenang (bevoedge rechtsautoritet). Hukum positif adalah terjemahan dari “ius positum” dalam bahasa latin, yang secara harafiah berarti “hukum yang ditetapkan” (gested recht). Jadi hukum positif adalah hukum yang ditetapkan oleh manusia.

Beberapa penulis mengidentikan, jika mereka sedang mempersoalkan kaidah hukum mereka berkeyakinan bahwa hukum positif per-definisi adalah hukum yang berlaku, sebab hukum positif itu dibuat oleh orang yang berwenang untuk itu.

Terhadap pengidentikan dua sifat kaidah hukum ini terdapat tiga keberatan :

1. Keberatan pertama bersifat teori hukum. Jika orang mengidentifikasikan positivitas dan keberlakuan kaidah hukum, maka orang mendasarkan keberlakuan pada sesuatu yang bersifat faktual. Yakni pada fakta ditetapkannya kaidah hukum dan aturan hukum dengan tindakan faktual para pengemban kewenangan hukum.(Sesuatu yang normatif dilandaskan pada sesuatu yang faktual). Peralihan yang demikian itu oleh banyak teoritikus hukum dipandang salah.

2. Keberatan kedua adalah bahwa orang pada pengidentikan tersebut bertolak dari suatu pengertian keberlakuan yang terlalu sempit.

3. Keberatan ketiga adalah bahwa orang juga dapat berbicara tentang keberlakuan kaidah hukum yang tidak termasuk dalam hukum positif, sebab tidak semua hukum ditetapkan oleh pejabat hukum yang berwenang.

Keberlakuan Kaidah Hukum

Orang dapat menyatakan pendapat tentang hukum dalam arti empiris, normative dan evaluatif. Peristilahan yang sama juga digunakan pada pembedaan berbagai jenis keberlakuan hukum. Dalam teori hukum, pembagian tiga dalam keberlakuan empiris, normatif dan evaluatif paling sering dilakukan.

Aulis Aarnio dalam artikelnya membagi keberlakuan hukum sebagai berikut: Systemic Validity, Factual validity dan axio logical validity.

Ulrich Klug, membedakan jenis jenis keberlakuan sebagai berikut :

1. Keberlakuan Yuridis; positivitas suatu kaidah hukum.

2. Keberlakuan Etis ; hal ini aka nada jika jika sebuah kaidah hukum mempunyai sifat mewajibkan.

3. Keberlakuan Ideal; jika suatu kaidah bertumpu pada kaidah moral yang lebih tinggi.

4. Keberlakuan Riil; keberlakuan ini ada jika para teralamat kaidah berperilaku dengan mengacu pada kaidah hukum itu.

5. Keberlakuan Ontologis; akan tidak memiliki keberlakuan jika dipositifkan oleh pembuat undang-undang yang tidak berpegangan pada tuntutan tuntutan fundamental.

6. Keberlakuan Sosio Relatif; kaidah hukum yang tidak memiliki keberlakuan yuridis, etis dan riil.

7. Keberlakuan Dekoratif; yang hanya memiliki fungsi lambang

8. Keberlakuan Estetis ; ada jika suatu kaidah hukum memiliki elegansi tertentu

9. Keberlakuan Logikal; kaidah hukum yang secara internal tidak bertentangan.

Keberlakuan Faktual atau Empiris Kaidah Hukum

Orang mengatakan bahwa kaidah hukum berlaku secara faktual atau efektif, jika para warga masyarakat, untuk siapa kaidah hukum itu berlaku, mematuhi kaidah hukum tersebut. Dengan demikian, keberlakuan faktual dapat ditetapkan dengan bersarankan penelitian empiris tentang perilaku para warga masyarakat.

Keberlakuan Normatif atau Formal Kaidah Hukum

Orang berbicara tentang keberlakuan normative suatu kaidah hukum, jika kaidah itu merupakan bagian dari suatu sistem kaidah tertentu yang didalamnya kaidah-kaidah hukum itu saling menunjuk yang satu terhadap yang lain. Sistem kaidah hukum yang demikian itu terdiri dari atas suatu keseluruhan hirarki kaidah hukum khusus yang bertumpu pada kaidah kaidah umum.

Keberlakuan Evaluatif Kaidah Hukum

Kita berbicara tentang keberlakuan efaluatif suatu kaidah hukum, jika kaidah hukum itu berdasarkan isinya dipandang bernilai.

Hubungan Antara Berbagai Pengertian Keberlakuan

Bahwa hukum itu sendiri sudah membawa dalam dirinya aspek sistematika. Pada dasarnya hukum hukum itu adalah suatu sistem konseptual aturan hukum dan putusan hukum. Jadi pada hukum cocok sekali bahwa berbagai kaidah memperlihatkan hubungan saling bertautan. Semakin hal itu demikian, maka semakin kuat hukum memiliki keberlakuan formal atau normatif.


BAB VIII

BAGIAN-BAGIAN TEORI HUKUM

Penghantar : Teori Hukum Dalam Arti Luas

Teori Hukum adalah suatu keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum, dan sistem tersebut untuk sebagian yang penting dipositifkan.

Filsafat Hukum mewujudkan landasan dari keseluruhan Teori Hukum (jadi dalam arti luas). Pada tataran kedua terdapat Teori Hukum (dalam arti sempit), dan di atasnya terdapat bentuk terpenting pengembangan hukum teoretik, yakni Ilmu Hukum. Ilmu Hukum ini mengenal lima bentuk: Dogmatika Hukum, Sejarah Hukum, Perbandingan Hukum, Sosiologi Hukum dan Psikologi Hukum. Pembagian Meuwissen berbeda dari pembagian kita, karena ia dengan caranya sendiri mendefinisikan berbagai bagian Teori Hukum dalam arti luas. Apa yang persisnya ia artikan dengan itu masih akan kita jumpai dalam paragraf ini. Pembagian Meuwissen menghasilkan skema berikut.

Skema 16

Dogmatika Hukum

Sejarah Hukum

Perbandingan Hukum

Sosiologi Hukum

Psikologi Hukum

Ilmu Hukum

Berbagai Bagian Teori Hukum Dalam Arti Luas

Sosiologi Hukum

Kita dapat mendefinisikan Sosiologi Hukum sebagai “teori tentang hubungan antara kaidah-kaidah hukum dan kenyataan kemasyarakatan”. Hubungan itu dapat dipelajari dengan dua cara. Orang dapat mencoba menjelaskan kaidah hukum dari sudut kenyataan kemasyarakatan, tetapi orang juga dapat menjelaskan kenyataan kemasyarakatan dari sudut kaidah-kaidah hukum.

Hasil penelitian itu menuntun pada kesimpulan, bahwa ada kemungkinan bahwa perubahan undang-undang itu sungguh-sungguh mencapai tujuannya, yang untuk itu undang-undang tersebut diciptakan. Penelitian empirik bidang Sosiologi Hukum dengan demikian memberikan petunjuk bahwa perubahan undang-undang itu efektif.

Skema 17

SOSIOLOGI HUKUM

EMPIRIK

KONTEMPLATIF

Objek

hubungan kaidah-kaidah hukum dan kenyataan kemasyarakatan

Tujuan

Teoretikal atau praktikal

Perspektif

eksternal

internal

Teori Kebenaran

sering: teori korespondensi

teori pragmatik

Proposisi

hanya informatif atau empirik

juga normatif dan evaluatif

Dogmatika Hukum

D.H.M. Meuwissen, 1979:660, memberikan batasan pengertian Dogmatika Hukum sebagai memaparkan, menganalisis, mensistematisasi dan menginterpretasi hukum yang berlaku atau hukum positif. M. van Hoecke, 1982: 75, mendefinisikan Dogmatika Hukum sebagai berikut: cabang Ilmu Hukum (dalam arti luas) yang memaparkan dan mensistematisasi hukum positif yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu dan pada suatu waktu tertentu dari suatu sudut pandang normatif.


Skema 18

DOGMATIKA HUKUM

objek

hukum positif nasional

tujuan

teoretikal, tetapi terutama praktikal

perspektif

internal

teori kebenaran

teori pragmatic

proposisi

informatif, normatif, evaluatif

Teori Hukum Dalam Arti Sempit

Skema 19


Skema 20

TEORI HUKUM

EMPIRIK

KONTEMPLATIF

objek

1. gejala umum dalam hukum positif

2. kegiatan yuridik :

- Dogmatika Hukum

- pembentukan hukum

- penemuan hukum

tujuan

teoretikal

perspektif

eksternal

internal

teori kebenaran

sering : Teori Korespondensi

Teori Pragmatik

proposisi

hanya informatif atau empirik

juga normatif dan evaluatif

Filsafat Hukum

Bandingkan dengan definisi dari D.H.M. Meuwissen, 1979: 658, yang berbunyi: “Filsafat Hukum adalah filsafat”. Karena itu ia merenungkan semua persoalan fundamental dan masalah-masalah perbatasan yang berkaitan dengan gejala hukum.

Menurut M. van Hoecke, Filsafat Hukum adalah filsafat umum yang diterapkan pada gejala-gejala hukum (Wat is rechtsteorie, 1982: 83-87). Dalam filsafat dibahas pertanyaan-pertanyaan terdalam berkenaan dengan makna, landasan, struktur dan sejenisnya dari kenyataan. Dalam Filsafat Hukum juga dibedakan berbagai wilayah-bagian. Van Hoecke menyebutkan yang berikut ini:

1. Ontologi Hukum (ajaran pengada, zijnsleer): penelitian tentang hakikat hukum dan hubungan antara hukum dan moral;

2. Aksiologi Hukum (ajaran nilai, waardenleer): penetapan isi nilai-nilai, seperti kejadian, kepatutan, persamaan, kebebasan, dan sebagainya;

3. Ideologi Hukum (ajaran idea, ideeenleer): pengejawantahan wawasan menyeluruh tentang manusia dan masyarakat;

4. Epistemologi Hukum (ajaran pengetahuan, kennisleer): penelitian terhadap pertanyaan sejauh mana pengetahuan tentang ‘hakikat’ hukum dimungkinkan;

5. Teleologi Hukum (ajaran tujuan, finaliteitsleer): menentukan makna dan tujuan dari hukum;

6. Teori-ilmu dari hukum: ini adalah filsafat sebagai meta-teori tentang Teori Hukum dan sebagai meta-meta-teori dari Dogmatika Hukum;

7. Logika Hukum: penelitian tentang kaidah-kaidah berpikir yuridik dan argumentasi yuridik. Bagian ini sering dipandang sebagai suatu bidang studi tersendiri, yang telah melepaskan diri dari Filsafat Hukum.

BAB IX

APAKAH ILMU HUKUM ITU ILMU ?

Penghantar : Dua Jawaban

Ilmu hukum dalam arti sempit disebut “dogmatika hukum”, sedangkan dalam arti luas ke dalamnya termasuk juga tiap teori hukum dalam arti luas. Yang masuk ke dalam ilmu hukum dalam arti luas itu sendiri masih dapat dimasukkan disiplin-disiplin ilmu lainnya seperti : sejarah hukum, hukum ekonomi, psikologi hukum dan perbandingan hukum.

Terhadap ilmu hukum itu apakah dipandang sebagai ilmu?, terdapat dua jawaban yang saling bertentangan yang keduanya timbul dari titik-titik dalam ajaran ilmu hukum yang umum. Kedua pandangan tersebut adalah : “pandangan positivistik” dan “pandangan normatif”. Perbedaan antara pandangan positivistik dan pandangan normatif pertama-tama bertumpu pada perbedaan dalam teori tentang kebenaran yang dianut pandangan-pandangan tersebut.

Pandangan positivistik memberikan nilai tinggi terhadap panca indera manusia. Panca indera akan bekerja secara objektif, sebagai sebuah cermin yang akan memberikan gambaran kenyataan dunia luar sebagaimana adanya tanpa merubahnya. Menurut pandanganya, ilmu hukum dalam arti luas juga menggunakan metode, jika tidak maka penyebutan “ilmu” adalah suatu kekeliruan. Oleh karena itu, ciri pandangan positivistik menganut teori kebenaran.

Sedangkan pandangan normatif menganut teori kebenaran lain, yaitu teori pragmatik. Dalam teori kebenaran pragmatis, suatu teori adalah benar, jika teori itu berfungsi secara memuaskan. Teori yang berhasil memperoleh persetujuan yang cukup, menghasilkan sebagai akibatnya pengetahuan inter-subyektif. Ilmuawannya bekerja dari sudut suatu perfektif internal, artinya ia mendekati gejala-gejala yang hendak dipelajarinya sebagak seorang partisan (deelnemer) yang langsung terkait gejala yang dipelajari, yang ke dalamnya sesungguhnya ia terlibat.

Ideal Ilmu

Ideal ilmu menurut Atoisme Logikal yang dianut filsut dan logikus asal Inggris bernama Bertrand Russel dan Ludwig Wittgeinstein menyatakan bahwa teori korespondensi tentang kebenaran menempati kedudukan sentral. Kita hanya dapat berbicara luas tentang pengetahuan ilmiah jika pengetahuan itu memberikan gambaran yang persis dari kenyataan yang dapat diamati (waarneembare werkerlijkheid). Untuk itu orang harus mengembalikan kenyataan sampai pada unsur-unsur dasar (basis elementen) yang menjadi objek penyadaran langsung. Para penganut Atonisme Logikal menyatakan bahwa pengetahuan dimunculkan dengan dua syarat, yaitu : Pertama, harus bertumpu pada penyadaran (gewaarwording) langsung terhadap fakta-fakta atomair dalam kenyataan. Kedua, keseluruhan putusan-putusan ilmiah itu harus cocok yang satu terhadap yang lainnya secara konsisten logikal. Menurut aliran Atomisme Logikal dan Positivisme Logikal, bahwa metode induksi dan verifikasi yang merupakan kriterium penguji terhadap kebenaran.

Rasionalisme Kritikal

Rasioalisme kritikal adalah aliran yang melawan ajaran ilmu dari para penganut Atomisme Logikal dan Positivisme Logikal. Tokoh terpentingnya adalah Karl Popper, filsut asal Austria. Para penganut aliran rasionalisme kritikal berpendapat bahwa pengetahuan ilmiah harus objektif dan teoritikal dan pada akhirnya merupakan penggambaran dari dunia yang dapat diamati secara inderawi (waarneembare wereld). Aliran rasionalisme kritikal menolak metode induksi dari Atoimisme Logikal dan Positivisme Logikal.

Menurut aliran ini, putusan ilmiah mungkin saja merupakan penggambaran fakta yang dapat diamati, tetapi baru sampai pada putusan ilmiah tersebut, jika orang sebelumnya sudah membentuk suatu hipotesis umum. Sebagai kriterium untuk mengontrol putusan-putusan ilmiah itu, para penganut rasionalisme kritikal mengajukan asas falsifikasi ketimbang asas verifikasi dari Atoimisme logikal dan positivisme logikal. Aliran rasionalisme kritikal masih mengajukan syarat ketiga tentang suatu ideal ilmu, bahwa putusan-putusan ilmiah tersebut juga harus sebanyak mungkin dapat difalsifikasi.

Teori Thomas Kuhn

Thomas Kuhn melakukan pendekatan ilmu secara eksternal, sedangkan aliran positivisme, rasionalimse, dan atoisme logikal mengadakan pendekatan ilmu dari sudut pandang internal. Menurut Kuhn, jika muncul gagasan-gagasan baru yang mungkin saja melanggar (bertentangan dengan) paradigma yang berlaku, tetapi meskipun demikian ternyata membuahkan banyak hasil (subur) maka paradigma itu menjadi goyah, dan dapat dikatakan terjadi suatu revolusi ilmiah. Dengan itu maka paradigma lama dilawan dengan paradigma baru, sampai salah satu keduanya tampil sebagai pemenang. Pemenang ini yang menjadi paradigma yang berlaku. Paradigma menurut Kuhn terdiri atas : generalisasi-generalisasi simbolik atau hukum-hukum alamiah dan defenisi-defenisi, unsur-unsur metafisik, nilai-nilai dan contoh-contoh penyelesaian masalah secara ilmiah.

Hermeneutik dan Pragmatisme

Semula hermeneutik itu teori yang menyibukkan diri dengan ihwal mengimplementasikan naskah. Selanjutnya dibawah pengaruh filsut Jerman (Wihelm Dilthey, 1831 - 1911) hermeneutik diperluas menjadi suatu ajaran metode untuk semua ilmu manusia. Hermeneutik mengembangkan diri menjadi suatu aliran sendiri dalam ajaran ilmu. Suatu hal yang terberi yang menjadi titik tolak (sentral) dalam hermeneutik adalah sehubungan dengan tematik dan ilmu-ilmu manusia tidaklah menempatkan diri sebagai pengamat terhadap kenyataan.

Pandangan hermeneutik mempunyai pengaruh besar terhadap teori penemuan hukum dalam tahun-tahun tujuh puluhan. Adapun hermeneutik dewasa ini menunjukkan kesejajarannya dengan ajaran-ajaran ilmu alam. Kesejajajaran tersebut dapat dilihat dari : Pertama : bahwa konsesus dari lingkungan para ilmuawannya, Kedua : wawasan yang kurang optimistik berkenaan dengan kemajuan dalam ilmu dan Ketiga : dapat dilihat dari munculnya kepermukaan kriteria kebenaran.

Persyaratan Untuk Pengembanan Ilmu Hukum

Jika orang memandang ilmu sebagai proses atau aktivitas, maka dengan segera tampak bahwa terkait padanya adanya suatu proses timbale balik antar ilmuawan hukum, subjeknya, dan materi yang dipelajari, objeknya.

Suatu tuntutan keras berkenaan dengan suatu teori ilmiah adalah bahwa ilmuawan hukum sebelum melaksanakan penelitiannya mempresentasikan permasalahan, dan selanjutnya juga dalam teorinya membahas (memasuki) permasalahan tersebut dan memberikan jawaban tehadapnya. tuntutan penting lainnya sehubungan dengan aktivitas bidang ilmu hukum, hasilnya harus diperoleh dengan cara metode, tuntutan dalam hal ini memuat tiga hal :

1. ilmuawan hukum harus mengemukakan dengan bantuan cara kerja ajeg mana yang hendak ia pergunakan untuk membentuk teorinya ;

2. ia harus mempresentasikan cara kerja itu sedemikian rupa sehingga orang lain dapat mengkaji hasil-hasil dari teori dengan bantuan cara kerja itu ;

3. ilmuawan hukum harus mempertanggungjawabkan (memberi penjelasan rasional) mengapa ia justru memilih cara kerja itu.

Tuntutan ilmuawan hukum yang berikutnya adalah bahwa ia membangun dan mempresentasikan teorinya sejelas mungkin. Dengan itu maka ilmu hukum dapat dilihat sebagai suatu produk.


BAB X

HUKUM DAN MORAL

Penghantar Etika dan Moral

Dalam hukum, keseluruhan kaidah dan nilai itu adalah suatu sistem konseptual yang mewujudkan bagian dari kehidupan rohani manusia. Kaidah-kaidah dan nilai-nilai moral adalah produk kesadaran modal manusia. Moral yang dimaksud disini adalah etika yaitu teori tentang moral dalam arti yang pertama yaitu keseluruhan kaidah dan nilai. Secara global dan menurut W.K Frankena (1973) etika dibagi menjadi tiga, yaitu : etika deskriktif (etika paparan), etika kaidah, dan etika nilai.

Etika Paparan

Etika dalam bentuk ini orang memaparkan moral yang berpengaruh atau yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu. Etika dalam bentuk ini menurut aliran positivistik harus dalam bentuk pendekatan empirik murni tentang moral. Pemaparannya hanya berkenaan dengan studi pemaparan. Sebaliknya menurut sudut pandang aliran normatif, dikemukakan bahwa untuk dapat berhasil dalam mempelajari suatu sistem konseptual, maka peneliti sedikit banyaknya harus mengenal dengan sistem konseptual tersebut.

Perbedaan Antara Etika Kesopanan dan Moral

Secara formal terdapat perbedaan antara kaidah moral dan kaidah kesopanan. Per defenisi, kaidah moral harus dipandang sebagai kaidah terpenting yang dikenal manusia. Kaidah-kaidah dasar berkenaan dengan baik dan buruk adalah kaidah-kaidah yang bersifat moral. Sedangkan kaidah-kaidah lainnya yang juga dipatuhi orang, tetapi yang tidak demikian essensial bagi kehidupan manusia, dinamakan kaidah kesopanan.

Perbedaan Antara Hukum dan Moral

Dalam kehidupan sehari-hari, kaidah hukum dan kaidah moral sangat sulit untuk dipisahkan. Dari tumpang tindihnya kedua sistem kaidah tersebut, dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga jenis kelompok kaidah sebagai berikut :

1. Ada kaidah hukum yang tidak dapat dimasukkan ke dalam kaidah terpenting yang dikenal manusia, dan karena itu tidak bersifat moral.

2. Banyak kaidah hukum yang dipandang sebagai kaidah yang penting bagi manusia, dan kaidah itu adalah kaidah hukum moral.

3. Kelompok terakhir berkenaan dengan kaidah moral yang mengatasi hukum.

Etika-Kaidah

Etika kaidah mencakup teori-teori yang menyatakan bahwa orang melakukan perbuatan yang secara moral baik jika ia mematuhi perintah (aturan), yang dengan bantuan rasionya ia jabarkan dari kaidah moral yang berlaku umum. Istilah lain dari etika kaidah adalah etika asas atau etika aturan. Aliran-aliran dalam etika kaidah ada dua, yaitu :

1. Teori-teori Denotik, menyatakan bahwa teori ini meletakkan kewajiban kepada manusia yang harus dipenuhinya semata-amata karena perbuatan itu secara moral baik.

2. Teori-teori Teleologik, menyatakan bahwa meletakkan kewajiban pada manusia, bahwa manusia tidak harus memenuhi suatu perbuatan walau secara moral suatu perbuatan itu sendiri. Jadi teori ini merupakan lawan dari teori-teori teleologik.

Salah satu aliran yang terkenal lain yakni utilitarianisme menyatakan bahwa orang harus mencapai kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi jumlah terbanyak orang. Utilitarianisme memandang bahwa yang dapat dimilik kaidah-kaidah tertentu bagi kesejahteraan umum sebagai tujuan perbuatan.


Etika Nilai

Etika nilai (waarde ethiek) meliputi teori-teori yang didalamnya diuraikan bahwa manusia melakukan perbuatan baik secara moral jika ia mengacu pada nilai-nilai, yang ia harus berikan bentuk sebanyak mungkin dalam kehidupannya. Dalam filsafat modern seringkali dibedakan lebih banyak nilai-nilai ketimbang nilai-nilai moral, penggolongan yang seringkali ditemui seperti : nilai moral, nilai estetika, nilai reiligus, dan nilai tehnikal atau isntrumen.

Satu nama lain dari etika nilai adalah eitka kebajikan (deugd ethiek). Kebajikan adalah suatu kemampuan khusus untuk memberikan bentuk pada nilai tertentu dalam kehidupan. Jadi kebajikan adalah suatu disposisi atau kesesuaian untuk baik secara moral dalam segi tertentu. Kebajikan yang paling menarik bagi para yuris adalah kebajikan keadilan. Dari situ muncul dua hal berkenaan dengan kebajikan dari keadilan. Pertama-tama, keadilan itu selalu menjangkau hubungan-hubungan sosial, sebab pada pelaksanaan kebajikan ini harus selalu melibatkan lebih dari dua orang. Tambahan pula, relasi dari orang-orang tersebut harus memisah (afstandellijk). Selanjutnya, kedua sebelum menjalankan perwujudan keadilan terlebih dahulu harus ditetapkan “apa yagn menjadi jatahnya” bagi tiap orang itu.

Meta-Etika

Meta etika adalah suatu teori tentang teori (etika) yang mempelajari moral sebagai suatu sistem konseptual. Meta etika juga mengarahkan diri pada satuan bahasa terluas. Dalam hal ini orang sering menggunakan logika, teori argumentasi atau juga mungkin epistemology. Frankena memaparkan berbagai teori pembenaran, berturut-turut ia menyebutkan : defisionisme, intuisionisme, non-kognivitisme, dan relativisme.

Etika Fuller

Bentuk terpenting dari etika adalah etika kewajiban dan etika nilai-nilai. Asas-asas hukum itu memuat ukuran-ukuran nilai (waarde maatstaven) yang berakar pada nilai-nilai tertentu. ukuran-ukuran nilai itu menjalankan pengaruh pada kaidah-kaidah perilaku, yang merupakan kaidah -kaidah hukum terpenting dalam masyarakat. Moral kewajiban menurut Fuller adalah suatu moral yuridis sesungguhnya. moral disini berkenaan dengan syarat-syarat (tuntutan-tuntuan) minimal yagn harus dipenuhi suatu tantan kemasyarakatan. Dalam etika Lon Fuller membedakan antara dua jenis moral, yaitu : moral kewajiban (the morality of duty) dan moral nilai atau moral ikhtiar atau moral aspirasi.

♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣

Tidak ada komentar:

Posting Komentar