TERORIS DALAM PERSFEKTIF PENYIMPANGAN PERILAKU
Oleh : Agus Pranki Pasaribu, S.H.
Oleh : Agus Pranki Pasaribu, S.H.
Perilaku menyimpang didefenisikan oleh Paul B. Horton adalah setiap perilaku yang dinyatakan sebagai pelanggaran terhadap norma-norma kelompok atau masyarakat. Dalam paradigma yang demikian, setidaknya perilaku menyimpang mensyaratkan adanya tiga unsur pokok, yaitu: Pertama, adanya perilaku, Kedua : adanya pelanggaran, Ketiga : yang dilanggar norma-norma. Oleh karena itu, isitilah penyimpangan itu berkait erat dengan pola kebiasaan sehari-hari yang dianut dalam masyarakat secara sosiologis, tanpa terkecuali pula kondisi psikologis (dalam arti : fisikis) dalam tatanan masyarakat majemuk maupun homogen di era modernisasi dewasa ini.
Baru-baru ini, kita dihentakkan oleh laporan berbagai media tentang menjamurnya upaya-upaya kelompok tertentu yang berusaha mendorong perubahan negara menuju kepada paham-paham yang diyakininya melalui tindakan intimidasi yang sehari-hari disebut sebagai pelaku terorisme, contoh aksi bom bunuh diri. Aksi-aksi terorisme yang timbul bahkan sudah sampai pada taraf sangat mengkhawatirkan, terutama menyebabkan keresahan di masyarakat.. Atas dasar itu, tidak heran apabila kemudian negara melalui proses legislasi mengundangkan secara khusus hukum di bidang teorisme (dalam hal ini UU Terorisme) yang merupakan manifestasi dari lex specialis KUHPidana.
Menariknya, aksi-aksi terorisme yang terjadi di dunia secara umum dan Indonesia secara khusus cenderung semakin hari menunjukkan gejala-gejala yang mengedepankan bentuk intimidasi fisik yangt bersifat vulagar. Perkembangan aksi-aksi teroris di dunia sampai saat ini diperkirakan sudah lebih dari 50 kelompok. Pengelompokan ini dapat dilihat dari tujuan, motivasi dan idiologinya, kelompok teroris yang terkenal antara lain : Irlandia Utara (IRA), Red Army of Japan, Red Bridge Italia, dan Red Army Faction (dismapaikan oleh Komjen. Pol. Drs. Ahwil Lutan, SH.,MBA.,MM dalam seminar sehari Sosisologi Hukum Pascasarjana UPH, 25 Maret 2002). Bahkan, aksi terorisme yang mencengangkan kita sebagaimana peristiwa 11 September 2001 yang menimpa negara Adidaya Amerika Serikat, untuk selanjutnya berjejer pula aksi-aksi terorisme yang terjadi di Indonesia.
Dasar Ideologi
Dalam kacamata para pelaku terorisme, bentuk penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan melalui kekerasan fisik adalah aktualisasi paham kebenaran (ideologi) yang dianut. Jadi tidak mengherankan apabila kemudian pelaku seringkali secara terang-terangan menyatakan permusuhan terhadap suatu rejim pemerintahan, negara, agama, ras, ideologi, dan kelompok masyarakat tertentu. Tindakan kekerasan ini dalam persfektif para pelaku semata-mata dimaksudkan untuk tujuan menunjukkan eksistensi, kemampuan, kekuatan, dan keinginan terhadap suatu hal (balas dendam). Sampai pada tatanan ini, pelaku teorisme biasanya menganut paham kebenaran sejati yang secara psikologis timbul sebagai akibat kurangnya pemahaman prnisip-prinsip kemanusiaan yang benar. Gejala yang terlihat secara empirik menggambarkan fakta sosial yang kuat bahwa kecenderungan para pelaku teroris mengedepankan penghalalan segala cara untuk meraih atau merebut tujuan yang telah ditetapkan. Apakah itu tujuan yagn bersifat aspiratif, politis, ideologis dan sebagainya.
Ideologi yang dianut para pelaku teroris biasanya mengedepankan kepentingan kelompok diatas kepentingan negara, keluarga dan masyarakat. Sejak semula, suatu kelompok teroris melakukan perekrutan dan selanjutnya diberikan pelatihan mental dan spritual untuk mengubah prinsip dasar pola ideologi yang dianut calon anggota. Dalam proses perekrutan ini unsur piskologis mempunyai peranan besar, kecenderungannya, bahwa unsur piskologis yang dimainkan perekrut berhubungan erat dengan kehidupan calon anggota. Indikator yang dapat kita lihat bahwa faktor sosial ekonomi (kemiskinan), pengetahuan (wawasan) dari calon anggota yang menjadi pemicu utama orang untuk bersedia memasuki suatu kelompok teroris tertentu. Ditambah lagi, di era modernisasi saat ini harus diakui adanya suatu fakta bawah timbulnya kesenjangan antara negara-negara maju dengan negara0negara dunia ketiga. Jadi tidak mengherankan apabila kemudian adanya timbul kelompok-kelompok teroris tertentu yagn anti kepada kemapanan bangsa eropa.
Dalam kajian ilmu sosologi telah banyak kita jumpai teori tentang sebab-musabab lahirnya kejahatan yang dibangun para ahlinya, termasuk dan tanpa terkecuali kejahatan yang dicirikan secara fisik (biologis) pelaku, sebagaimana dikemukakan oleh Cesare Lombrosso dalam bukunya berjudul “Crime, It’s causes and Remedies” (1918). Menurutnya : “bahwa pelaku kejahatan ditinjau dari segi biologis penjahat itu keadaan fisiknya kurang maju apabila dibandingkan dengan keadaan fisik orang-orang biasa. Lombrosso berpendapat bahwa orang yang jahat dicirikan dengan ukuran rahang dan tulang-tulang pipi panjang, kelainan pada mata yang khas, tangan, beserta jari-jarinya dan jari-jari kaki relatif besar, serta susunan gigi yang abnormal”.
Meskipun teori yang disebutkan diatas tidak sepenuhnya benar, namun paling tidak memberikan kita gambaran bagaimana perilaku jahat yang dalam konteks ilmu sosilogis disebut sebagai perilaku menyimpang. Lain dengan Lamrosso, menurut Teori Assosiasi Difernsial (Differential Assosication Theorie) yang dicentuskan oleh Edwin H. Sutherland menyatakan bahwa sebab-musabab suatu kejahatan terjadi didasarkan pada sembilan premise pokok. Premise-premise yang dibangun oleh Edwin H. Sutherland terutamanya menyimpulkan bahwa kejahatan terjadi karena dipelajari, bukan diturunkan, dimana proses pembelajaran tersebut menyangkut : teknis kriminalitas, danya bimbingan untuk melakukan kejahatan, motif atau dorongan yang dipelajari dari batasan-batasan aturan hukum yang menguntungkan dan tidak menguntungkan dan proses pembelajaran diperoleh dari suatu komunikasi terdekat dengannya.
Mencermati sudut pandang ideologi yang dibangun oleh para pelaku teroris dalam kaitannya dengan teori asosiasi difernsial yang disebutkan diatas, maka kita dapat menyimpulkan suatu fakta bahwa perilaku menyimpang itu sebagai bagian dari proses pembelajaran. Dimana bagi pelaku atau kelompoknya menganggap suatu penyimpangan perilaku adalah sebuah keidealan untuk mencapai tujuan. Perilaku yang demikian itu dikatakan ideal, karena secara sadar pelaku teroris mengerti dan mengetahui perbandingan antara nilai-nilai moralitas yang hidup dan dianut oleh masyarakat dengan niai-nilai ideologi yang dianut olehnya. Namun kenyataan yang demikian bagi pelaku justru tidak mempunyai batasan-batasan kelayakan dalam tatanan hukum, oleh karna itu pelaku berasumsi bahwa dengan cara-cara pelanggarna hukum yang dianggap layak untuk mencapai tujuan secara cepat dna benar. Oleh karena itu, unsur ideologi yang menjadi faktor utama timbulnya penyimpangan perilaku tersebut.
Baru-baru ini, kita dihentakkan oleh laporan berbagai media tentang menjamurnya upaya-upaya kelompok tertentu yang berusaha mendorong perubahan negara menuju kepada paham-paham yang diyakininya melalui tindakan intimidasi yang sehari-hari disebut sebagai pelaku terorisme, contoh aksi bom bunuh diri. Aksi-aksi terorisme yang timbul bahkan sudah sampai pada taraf sangat mengkhawatirkan, terutama menyebabkan keresahan di masyarakat.. Atas dasar itu, tidak heran apabila kemudian negara melalui proses legislasi mengundangkan secara khusus hukum di bidang teorisme (dalam hal ini UU Terorisme) yang merupakan manifestasi dari lex specialis KUHPidana.
Menariknya, aksi-aksi terorisme yang terjadi di dunia secara umum dan Indonesia secara khusus cenderung semakin hari menunjukkan gejala-gejala yang mengedepankan bentuk intimidasi fisik yangt bersifat vulagar. Perkembangan aksi-aksi teroris di dunia sampai saat ini diperkirakan sudah lebih dari 50 kelompok. Pengelompokan ini dapat dilihat dari tujuan, motivasi dan idiologinya, kelompok teroris yang terkenal antara lain : Irlandia Utara (IRA), Red Army of Japan, Red Bridge Italia, dan Red Army Faction (dismapaikan oleh Komjen. Pol. Drs. Ahwil Lutan, SH.,MBA.,MM dalam seminar sehari Sosisologi Hukum Pascasarjana UPH, 25 Maret 2002). Bahkan, aksi terorisme yang mencengangkan kita sebagaimana peristiwa 11 September 2001 yang menimpa negara Adidaya Amerika Serikat, untuk selanjutnya berjejer pula aksi-aksi terorisme yang terjadi di Indonesia.
Dasar Ideologi
Dalam kacamata para pelaku terorisme, bentuk penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan melalui kekerasan fisik adalah aktualisasi paham kebenaran (ideologi) yang dianut. Jadi tidak mengherankan apabila kemudian pelaku seringkali secara terang-terangan menyatakan permusuhan terhadap suatu rejim pemerintahan, negara, agama, ras, ideologi, dan kelompok masyarakat tertentu. Tindakan kekerasan ini dalam persfektif para pelaku semata-mata dimaksudkan untuk tujuan menunjukkan eksistensi, kemampuan, kekuatan, dan keinginan terhadap suatu hal (balas dendam). Sampai pada tatanan ini, pelaku teorisme biasanya menganut paham kebenaran sejati yang secara psikologis timbul sebagai akibat kurangnya pemahaman prnisip-prinsip kemanusiaan yang benar. Gejala yang terlihat secara empirik menggambarkan fakta sosial yang kuat bahwa kecenderungan para pelaku teroris mengedepankan penghalalan segala cara untuk meraih atau merebut tujuan yang telah ditetapkan. Apakah itu tujuan yagn bersifat aspiratif, politis, ideologis dan sebagainya.
Ideologi yang dianut para pelaku teroris biasanya mengedepankan kepentingan kelompok diatas kepentingan negara, keluarga dan masyarakat. Sejak semula, suatu kelompok teroris melakukan perekrutan dan selanjutnya diberikan pelatihan mental dan spritual untuk mengubah prinsip dasar pola ideologi yang dianut calon anggota. Dalam proses perekrutan ini unsur piskologis mempunyai peranan besar, kecenderungannya, bahwa unsur piskologis yang dimainkan perekrut berhubungan erat dengan kehidupan calon anggota. Indikator yang dapat kita lihat bahwa faktor sosial ekonomi (kemiskinan), pengetahuan (wawasan) dari calon anggota yang menjadi pemicu utama orang untuk bersedia memasuki suatu kelompok teroris tertentu. Ditambah lagi, di era modernisasi saat ini harus diakui adanya suatu fakta bawah timbulnya kesenjangan antara negara-negara maju dengan negara0negara dunia ketiga. Jadi tidak mengherankan apabila kemudian adanya timbul kelompok-kelompok teroris tertentu yagn anti kepada kemapanan bangsa eropa.
Dalam kajian ilmu sosologi telah banyak kita jumpai teori tentang sebab-musabab lahirnya kejahatan yang dibangun para ahlinya, termasuk dan tanpa terkecuali kejahatan yang dicirikan secara fisik (biologis) pelaku, sebagaimana dikemukakan oleh Cesare Lombrosso dalam bukunya berjudul “Crime, It’s causes and Remedies” (1918). Menurutnya : “bahwa pelaku kejahatan ditinjau dari segi biologis penjahat itu keadaan fisiknya kurang maju apabila dibandingkan dengan keadaan fisik orang-orang biasa. Lombrosso berpendapat bahwa orang yang jahat dicirikan dengan ukuran rahang dan tulang-tulang pipi panjang, kelainan pada mata yang khas, tangan, beserta jari-jarinya dan jari-jari kaki relatif besar, serta susunan gigi yang abnormal”.
Meskipun teori yang disebutkan diatas tidak sepenuhnya benar, namun paling tidak memberikan kita gambaran bagaimana perilaku jahat yang dalam konteks ilmu sosilogis disebut sebagai perilaku menyimpang. Lain dengan Lamrosso, menurut Teori Assosiasi Difernsial (Differential Assosication Theorie) yang dicentuskan oleh Edwin H. Sutherland menyatakan bahwa sebab-musabab suatu kejahatan terjadi didasarkan pada sembilan premise pokok. Premise-premise yang dibangun oleh Edwin H. Sutherland terutamanya menyimpulkan bahwa kejahatan terjadi karena dipelajari, bukan diturunkan, dimana proses pembelajaran tersebut menyangkut : teknis kriminalitas, danya bimbingan untuk melakukan kejahatan, motif atau dorongan yang dipelajari dari batasan-batasan aturan hukum yang menguntungkan dan tidak menguntungkan dan proses pembelajaran diperoleh dari suatu komunikasi terdekat dengannya.
Mencermati sudut pandang ideologi yang dibangun oleh para pelaku teroris dalam kaitannya dengan teori asosiasi difernsial yang disebutkan diatas, maka kita dapat menyimpulkan suatu fakta bahwa perilaku menyimpang itu sebagai bagian dari proses pembelajaran. Dimana bagi pelaku atau kelompoknya menganggap suatu penyimpangan perilaku adalah sebuah keidealan untuk mencapai tujuan. Perilaku yang demikian itu dikatakan ideal, karena secara sadar pelaku teroris mengerti dan mengetahui perbandingan antara nilai-nilai moralitas yang hidup dan dianut oleh masyarakat dengan niai-nilai ideologi yang dianut olehnya. Namun kenyataan yang demikian bagi pelaku justru tidak mempunyai batasan-batasan kelayakan dalam tatanan hukum, oleh karna itu pelaku berasumsi bahwa dengan cara-cara pelanggarna hukum yang dianggap layak untuk mencapai tujuan secara cepat dna benar. Oleh karena itu, unsur ideologi yang menjadi faktor utama timbulnya penyimpangan perilaku tersebut.
Psikologis Pelaku
Disamping unsur ideologi yang diuraikan diatas, sebagaimana telah disinggung bahwa unsur prikologis juga sangat berperan penting dalam menentukan bangunan ideologi uyang diciptakan oleh suatu kelompok teroris. Hal ini dapat dilihat jika mencermati beberapa fakta berikut :
1. Keberanian untuk mati bagi pelaku bom bunuh diri ;
2. Melakukan aksi perampokan untuk membiayai aksi-aksi pelaku ;
Tindakan terorisme yang lebih mengedepankan segala cara untuk mencapai tujuan dibarengi dengan piskologi yang kuat. Dalam benak pelaku atau kelompoknya bahwa upaya penciptaan kekerasan sebagai manifestasi dari prinsip psikologis yang dihasilkan adalah faktor penentu untuk berhasil atau tidaknya usaha untuk menimbulkan ancaman atau keresahan bagi masyarakat. Dalam persfektif teori Assosiasi Diferensial kejahatan secara sengaja dipelajari, jadi dapat dikatakan disini bahwa aspek psikologis yang dicapai oleh pelaku teroris didasarkan pada usaha pembelajaran, dimana perilaku menyimpang yang meskipun secara moral keliru, namun psikologis yang dibangun pelaku justru menyatkan sebaliknya, bahkan menganggap penyimpangan tersebut sebagai sebuah hakekat keharusan atas nama ideologi yang dipertahanian. Oleh karena itu, penyimpangan perilaku melalui aksi terorisme tiada lain dan tiada bukan merupakan bentuk penyimpangan perilaku berdasarkan aspek psikologis.
1. Keberanian untuk mati bagi pelaku bom bunuh diri ;
2. Melakukan aksi perampokan untuk membiayai aksi-aksi pelaku ;
Tindakan terorisme yang lebih mengedepankan segala cara untuk mencapai tujuan dibarengi dengan piskologi yang kuat. Dalam benak pelaku atau kelompoknya bahwa upaya penciptaan kekerasan sebagai manifestasi dari prinsip psikologis yang dihasilkan adalah faktor penentu untuk berhasil atau tidaknya usaha untuk menimbulkan ancaman atau keresahan bagi masyarakat. Dalam persfektif teori Assosiasi Diferensial kejahatan secara sengaja dipelajari, jadi dapat dikatakan disini bahwa aspek psikologis yang dicapai oleh pelaku teroris didasarkan pada usaha pembelajaran, dimana perilaku menyimpang yang meskipun secara moral keliru, namun psikologis yang dibangun pelaku justru menyatkan sebaliknya, bahkan menganggap penyimpangan tersebut sebagai sebuah hakekat keharusan atas nama ideologi yang dipertahanian. Oleh karena itu, penyimpangan perilaku melalui aksi terorisme tiada lain dan tiada bukan merupakan bentuk penyimpangan perilaku berdasarkan aspek psikologis.
Penutup
Berdasarkan hal-hal diatas, maka perlu kiranya diteliti lebih lanjut bagaimana peranan psikologis dalam kaitannya dengan pembentukan bangunan ideologi yang menyebabkan perilaku menympang dalam bentuk aksi terorisme. Sejalan dengan itu, kedepannya negara sebagai lembaga yang bertujuan menciptakan kesejahteraan (walfare state) perlu diciptakan kondisi-kondisi psikologis masyarakat yang kuat dalam tatanan sosial, apakah itu melalui usaha pendidikan psikologi, ideologi, moral, agama, hukum dan aspek lain yang berkenaan dengannya, sehingga dapat meminimalisir aksi-aksi kekerasan yang menamakan diri terorisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar