BUSSINESS LAW
Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution) di Indonesia,
DAPATKAH DITERAPKAN Melalui Arbitrse Online
by. Agus Pranki Pasaribu, S.H.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebelas ribu perkara saat ini masih belum tertangani di Mahkamah Agung (MA), tunggakan tersebut meliputi perkara dari 2001 hingga 2005. Selama 2006 MA menerima sekitar 500-600 perkara perdata. Untuk perkara kriminal jumlahnya juga mencapai ratusan. Sedangkan jumlah kasus yang telah berhasil diselesaikan oleh Mahkamah Agung pada 2005 lalu mencapai 11.800 perkara.
[1]Berdasarkan perolehan data tersebut, dapat dibayangkan berapa lama suatu perkara harus diselesaikan melalui proses peradilan (litigation). Bahkan, tidak jarang suatu kasus perdata membutuhkan tiga sampai dengan enam tahun untuk mendapatkan putusan / penyelesaian. Permasalahannya tidak berhenti sampai disitu, meskipun putusan telah didapatkan kemungkinan besar para pihak yang merasa tidak puas atas putusan tentu akan mengajukan upaya hukum lainnya, seperti : banding, kasasi, ataupun peninjauan kembali maupun bantahan. Apabila dijumlahkan, maka total waktu yang dibutuhkan sampai dengan adanya suatu putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap rata-rata bisa mencapai lima belas hingga dua puluh tahun lamanya. Berdasarkan waktu yang sangat panjang ini, justru akan menimbulkan permasalahan baru jika putusan tersebut hendak dieksekusi. Tidak jarang, ketika putusan hendak dieksekusi, objek sengketanya telah musnah, belum lagi pihak ahli waris yang kalah mengajukan gugatan baru dan lain sebagainya
Selain membutuhkan waktu yang lama, ada lagi permasalahan lain yang timbul ketika seseorang ingin menyelesaikan suatu sengketa melalui jalur litigasi. Contohnya, diperlukan biaya yang tidak sedikit (mahal) dalam menyelesaikan perkara, mekanisme persidangan yang ruwet, tidak efektif dan lain-lain. Hal tersebut dapat dipahami, karena waktu yang lama selalu berkorelasi dengan besarnya biaya yang dikeluarkan. Terkadang biaya besar yang dikeluarkan para pihak yang bersengketa, justru tidak digunakan secara langsung untuk proses pengadilan, melainkan biaya tersebut banyak digunakan untuk urusan di luar pengadilan. Besarnya biaya perkara yang demikian tentu sangat kurang adil bagi mereka yang memang ingin memperoleh keadilan melalui lembaga hukum.
Berkaitan dengan permasalahan tersebut, perlu kiranya diciptakan terobosan baru di bidang hukum, khususnya mengenai mekanisme penyelesaian sengketa, sehingga akan memenuhi rasa keadilan dan tercapainya asas hukum acara perdata yang menyatakan peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Cara yang dapat ditempuh adalah menerapkan mekanisme alternatif dalam penyelesaian sengketa (non litigation) yaitu salah satu mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau yang biasa disebut sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS). Istilah APS merupakan terjemahan dari Alternative Dispute Resolution (ADR).
[2]Di Indonesia, Alternatif Penyelesaian Sengketa (dalam tulisan ini cukup disebut : APS) sudah lama dikenal dalam konstruksi hukum adat. Secara historis-sosiologis, kultur masyarakat Indonesia sangat menjunjung tinggi pendekatan penyelesaian masalah secara kekeluargaan. Apabila timbul perselisihan di dalam masyarakat adat, anggota masyarakat yang berselisih lebih memilih penyelesaian secara adat pula, misalnya melalui tetua adat dan atau melalui musyawarah sebagia media (sarana). Sesungguhnya penyelesaian sengketa secara adat ini merupakan salah satu benih / cikal-bakal tumbuh kembangnya APS di Indonesia. Faktanya, APS sendiri sudah lama hidup dalam masyarakat Indonesia, menjadikan mekanisme penyelesaian sengketa di luar Pengadilan ini menjadi lebih mudah diterima oleh masyarakat.
Seiring semakin kompleksnya permasalahan hukum yang dihadapi oleh manusia di era modern ini, penyelesaian masalahnya pun semakin kompleks dan banyak pilihan. APS yang awalnya sederhana, saat ini sudah menjadi lebih lengkap dan mempunyai banyak pilihan, tergantung keinginan para pihak. Pilihan tersebut antara lain adalah Negosiasi, Mediasi, Neutral Fact Finding, Mini-Trial, Ombudsman, dan Summary Jury Trial. Masing-masing APS memiliki kelebihan dan kekurangannya dalam praktek pelaksanaannya. Dalam APS tidak dikenal istilah “one size fits for all” yang artinya tidak semua masalah dapat diselesaikan dengan APS dan seandainya dapat diselesaikan melalui APS, perlu dicari mekanisme mana yang tepat digunakan.
[3]Berbeda dengan yang terdapat di Amerika dan beberapa negara lain, bentuk APS yang dikenal di Indonesia adalah melalui konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1 butir 10 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
[4] Dalam tulisan ini, mekanisme APS yang akan dibahas adalah arbitrase online.
[5]Dalam hubungannya dengan menkanisme penyelesaian sengketa, dibeberkan fakta berikut ini bahwa berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyatakan bahwa pada akhir 2005 pelanggan Internet di Indonesia mencapai 1,5 juta pelanggan sementara pengguna Internet sendiri di Indonesia telah mencapai 16 juta pengguna.
[6] Tidak tertutup kemungkinan terjadi sengketa antara pengguna jasa Internet, di mana sengketa itu terjadi dalam lalu-lintas komunikasi elektronik secara online. Misalnya terjadi sengketa mengenai perdagangan secara online atau yang biasa disebut e-commerce. Timbulnya sengketa elektronik yang terjadi secara online di Internet, diharapkan mampu diselesaikan secara online juga. Berdasarkan hal tersebut muncul gagasan menarik yaitu bagaimana cara menyelesaikan perselisihan yang terjadi di Internet melalui mekanisme penyelesaian sengketa yang juga melalui Internet.
[7]Berdasarkan permasalahan tersebut diatas, gagasan / ide yang demikian dikembangkan menjadi mekanisme arbitrase online untuk menyelesaikan sengketa akibat perbuatan hukum secara elektronik pada khususnya dan sengketa lain pada umumnya. Terbatas pada sengketa yang berdasarkan undang-undang memang dapat diselesaikan melalui proses alternatif penyelesaian sengketa.
B. Perumusan MasalahBerdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, dirumuskan dua pokok permasalahan yang akan dikaji dalam tulisan ini, yaitu:
1. Dapatkah arbitrase online diterapkan di Indonesia, mengingat dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak mengatur secara tegas mengenai arbitrase online ?
2. Bagaimana prosedur pelaksanaan arbitrase online dalam suatu penyelesaian sengketa di Indonesia, jika ternyata arbitrase online dapat diterapkan sesuai Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 ?
C. ujuan PenulisanTujuan penulisan ini dibagi menjadi dua, yaitu tujuan secara umum dan tujuan khusus, adapun tujuannya, sebagai berikut :
1. Tujuan Umum
Tujuan umum penulisan adalah memberikan gambaran alternatif penyelesaian sengketa di Indonesia. Selain itu ditekankan pada pelaksanaan arbitrase yang dilakukan secara online dan bagaimana relevansinya terhadap peraturan perundang-undangan Indonesia yang mengatur hal tersebut.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penulisan ini adalah sebagai berikut:
a. Mengetahui apakah arbitrase online dapat diterapkan di Indonesia dengan mengacu pada ketentuan Normatif Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
b. Mengetahui bagaimana tata cara atau prosedur yang dilakukan dalam penyelenggaraan arbitrase online di Indonesia, serta memahami segala kelebihan dan kekurangan serta hambatan-hambatan yang mungkin terjadi.
D. Kerangka Konseptual
Dalam penulisan makalah yang berjudul Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution) di Indonesia Melalui Arbitrse Online ini akan digunakan berbagai istilah dalam bidang hukum. Untuk menghindari kesimpangsiuran pengertian dan pemahaman mengenai istilah yang digunakan dalam penulisan ini, berikut dijelaskan definisi dari istilah yang erat kaitannya dengan topik yang akan dibahas.
1. Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah :
Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar Pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
[8]2. Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
[9]3. Online Arbitration adalah : Online Arbitration is similar to traditional arbitration, except that all communications take place online.
[10] Terjemahan bebasnya adalah : “Proses arbitrase yang sama dengan arbitrase konvensional, hanya saja segala komunikasi para pihak dilakukan secara online.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode penelitian yang bersifat yuridis teoritis dengan metode analisis data bersifat kualitatif. Data yang digunakan dalam penulisan ini berupa data sekunder. Berkaitan dengan data sekunder, bahan hukum yang digunakan meliputi bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.
Bahan hukum primer yang digunakan adalah peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan yang digunakan adalah Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang paling banyak digunakan dalam penulisan ini. Bahan hukum ini meliputi buku, artikel ilmiah, artikel dari Internet, Jurnal Hukum online di West Law. Selanjutnya bahan hukum tersier yang digunakan dalam penulisan ini berasal dari kamus hukum “Black’s Law” online yang diakses melalui fasilitas penelusuran data dalam West Law dan ensiklopedia online yang diakses melalui website Wikipedia <
http://www.wikipedia.org/> dan ensiklopedia online Encarta <
http://encarta.msn.com>.
Ditinjau dari sudut sifatnya, tipologi penelitian dalam penulisan ini adalah penelitian deskriktif eksplanatoris, karena penulisan ini bertujuan untuk menjelaskan secara mendalam pelaksanaan arbitrase online dan menggali informasi yang relevan dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia mengaturnya.
F. Kegunaan PenulisanPenulisan ini memiliki beberapa kegunaan, yaitu kegunaan teori dan kegunaan praktis, adapun kegunaanya sebagai berikut :
1. Kegunaan Teoretis
Kegunaan penelitian ini bagi ilmu pengetahuan hukum adalah sebagai gambaran mengenai proses alternatif penyelesaian sengketa yang dilakukan melalui arbitrase online. Dengan adanya tulisan ini diharapkan pembentuk undang-undang dan para praktisi hukum dapat mengakomodir mekanisme penyelesaian sengketa melalui arbitrase online ini. Sehingga dikemudian hari peraturan perundang-undangan, khususnya undang-undang tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa dapat mengatur mengenai konstruksi penyelesaian secara online.
2. Kegunaan Praktis
Dengan penulisan ini diharapkan penyelesaian sengketa tidak lagi terpusat pada lembaga peradilan sehingga tidak lagi terjadi penumpukan perkara. Selanjutnya masyarakat dapat merasakan manfaat dari pemberdayaan mekanisme alternatif penyelesaian sengketa melalui Arbitrase online dan diharapkan penyelesaian sengketa dapat dilakukan lebih efektif, efisien, murah, serta nilai konfidensial tetap terjaga.
G. Sistematika PenulisanTulisan ini dibagi menjadi empat bab. Bab I (kesatu) akan menjelaskan mengenai latar belakang yang menjadi pokok permasalahan, tujuan penulisan baik tujuan umum maupun tujuan khusus, kerangka konsepsional, metode penelitian yang digunakan, kegunaan teoritis serta kegunaan praktis.
Bab II (kedua) merupakan materi tentang tinjauan umum arbitrase. Sub babnya akan menguraikan hubungan arbitrase dalam kerangka APS. Alasan penggunaan istilah Alternatif Penyelesaian Sengketa, beberapa pendapat ahli mengenai arbitrase, kelebihan dan kekurangan arbitrase, serta prosedur arbitrase menurut Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999.
Bab III (ketiga) yang berjudul “Arbitrase Online Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia.” Dalam bab ini akan dibahas pengaturan arbitrase online, perjanjian arbitrase, prosedur pelaksanaan arbitrase online, serta membahas kelebihan, kekurangan dan hambatan pelaksanaan arbitrase online di Indonesia.
Bab IV (keempat) adalah bab terakhir dalam penulisan yang berisi kesimpulan sebagai jawaban atas pokok permasalahan yang dikemukakan sebelumnya pad abab I 9kesatu) serta rekomendasi saran yang diberikan untuk mencapai tujuan umum dan tujuan khusus di dalam penulisan ini.
BAB II
TINJAUAN UMUM ARBITRASE
A. Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Berdasarkan judul Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 yaitu Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, terlihat arbitrase merupakan bagian tersendiri dan bukan merupakan alternatif penyelesaian sengketa. Hal ini juga terlihat dalam konsiderans undang-undang tersebut yang menyatakan “...penyelesaian sengketa perdata di samping dapat diajukan ke peradilan umum juga terbuka kemungkinan diajukan melalui arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa.”
[11] Untuk lebih memahami permasalahan tersebut, perlu diingat penggunaan kata alternatif penyelesaian sengketa adalah hasil terjemahan kata Alternatif Dispute Resolution (ADR). Dalam pengertian aslinya, ADR sering diartikan sebagai alternative to adjudication dan alternative litigation.
[12] Apabila mengartikan ADR sebagai alternative to adjudication, konseksuensinya adalah arbitrase bukan merupakan bagian dari ADR. Hal ini disebabkan sifat penyelesaian sengketa dari Arbitrase melibatkan pihak ketiga yang memiliki wewenang untuk memutus sengketa para pihak yang putusannya final dan mengikat. Pihak ketiga ini sering dipersamakan dengan hakim atau biasa disebut dengan istilah “hakim swasta”. Dengan demikian yang dapat dikatakan sebagai ADR menurut pengertian ini hanyalah konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
Jika ADR diartikan sebagai alternative to litigation cakupan pengertiannya akan menjadi lebih luas. Dengan pengertian ini, selain konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli, arbitrase juga merupakan ADR. Arbitrase dapat dikatakan sebagai ADR dalam pengertian ini, karena arbitrase sendiri lahir akibat adanya masyarakat yang ingin menyelesaikan sengketa tetapi tidak ingin melalui proses litigasi, sehingga memilih menyelesaikannya melalui mekanisme alternatif penyelesaian sengketa.
[13] Dengan perkataanm lain, segala penyelesaian sengketa yang dilakukan di luar proses litigasi dapat disebut sebagai ADR. Pernyataan ini sejalan dengan pendapat dari Priyatna Abdurrasyid yang mengatakan :
Arbitrase pada awalnya merupakan prosedur yang berdiri sendiri, akan tetapi dewasa ini dipandang sebagai bagian dari APS walaupun hampir sama dengan litigasi dalam pendekatannya melalui simplifikasi prosedur. Arbitrase disebutkan sebagai bagian dari APS, karena pemahaman dan pelaksanaannya dalam penyelesaian sengketa telah mempengaruhi proses yang dipakai dalam APS...
[14]Melihat konstruksi kalimat yang digunakan dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999, terlihat bahwa undang-undang membedakan proses penyelesaian sengketa berdasarkan dua proses, yaitu melalui proses litigasi dan tidak melalui proses litigasi. Arbitrase dibedakan dengan alternatif penyelesaian sengketa lainnnya, seperti : konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli berdasarkan metode penyelesaiannya saja karena arbitrase mempunyai ketentuan, cara, dan syarat-syarat tersendiri untuk pemberlakuan formalitasnya.
[15] Permasalahan selanjutnya adalah penggunaan padanan kata ADR menjadi Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS). Dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Lingkungan dan beberapa literatur terkait pembahasan lingkungan hidup dikatakan padanan yang tepat untuk ADR adalah Pilihan Penyelesaian Sengketa (PPS).
[16] Dalam penulisan ini istilah yang digunakan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) dengan pertimbangan, kata Alternative menurut kamus Inggris – Indonesia diartikan sebagai pilihan antara dua hal, alternatif, jalan lain, dengan demikian kata alternative selain bisa diartikan sebagai pilihan antara dua hal dapat juga diterjemahkan langsung melalui penyerapan bahasa menjadi alternatif.
Selain itu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata alternatif diartikan sebagai pilihan di antara dua kemungkinan, sehingga penggunaan kata “alternatif” sebagai padanan kata alternative.
[17] Jadi dalam kata alternatif sudah terkandung kata pilihan, untuk itu digunakan istilah alternatif penyelesaian sengketa tidak bertentangan dengan kaedah bahasa Indonesia.
B. Arbitrase: Pengertian, Syarat, dan Prosedur
Pasal 1 butir 1 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 memang telah memberikan pengertian / batasan arbitrase yaitu cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Namun, pengertian yang diberikan tersebut belum menggambarkan pengertian arbitrase secara menyeluruh. Untuk memahami pengertian arbitrase secara menyeluruh diperlukan penjelasan yang diberikan oleh para ahli. Selain itu perlu dijelaskan mengenai syarat-syarat suatu sengketa agar dapat diselesaikan melalui mekanisme arbitrase serta bagaimana prosedur pelaksanaan arbitrase. Adapun uraiannya sebagai berikut :
1. Pengertian Arbitrase Menurut Ahli Hukum
Untuk memahami pengertian arbitrase dua orang ahli telah memberikan pengertian mengenai arbitrase yaitu :
Menurut Priyatna Abdurrasyid :
Arbitrase adalah salah satu mekanisme alternatif penyelesaian sengketa – aps yang merupakan bentuk tindakan hukum yang diakui oleh undang-undang di mana salah satu pihak atau lebih menyerahkan sengketanya – ketidaksefahamannya – ketidaksepakatannya dengan satu pihak lain atau lebih kepada satu orang (arbiter) atau lebih (arbiter – arbiter – majelis) ahli yang professional, yang akan bertindak sebagai hakim / peradilan swasta yang akan menerapkan tata cara hukum negara yang berlaku atau menerapkan tata cara hukum perdamaian yang telah disepakati bersama oleh para pihak terdahulu untuk sampai kepada putusan yang final mengikat.
[18]Menurut R. Subekti arbitrase adalah penyelesaian suatu perselisihan (perkara) oleh seorang atau beberapa orang wasit (arbiter) yang bersama-sama ditunjuk oleh para pihak yang berperkara dengan tidak diselesaikan lewat Pengadilan. Berdasarkan pendapat kedua ahli tersebut, dapat disimpulkan pengertian dari arbitrase, yaitu: Proses penyelesaian sengketa diantara para pihak yang mengadakan perjanjian untuk menunjuk seorang atau lebih sebagai arbiter dalam memutus perkara yang sifat putusannya adalah final mengikat.
[19]2. Syarat Perjanjian ArbitraseBerdasarkan pengertian arbitrase, perlu ditegaskan syarat utama dari berlangsungnya suatu arbitrase adalah perjanjian dari para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui mekanisme arbitrase. Maksudnya, perjanjian dapat lahir sebelum adanya sengketa atau sesudah adanya sengketa.
[20] Jika arbitrase dijalankan tanpa adanya perjanjian arbitrase di antara para pihak yang bersengketa, maka itu bukanlah arbitrase.
[21] Dengan adanya perjanjian arbitrase, Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak tersebut.
[22] Pelaksanaan perjanjian arbitrase tidak mempersoalkan masalah pelaksanaan perjanjian, akan tetapi yang dipermasalahkannya adalah cara dan lembaga apa yang berwenang menyelesaikan perselisihan yang terjadi antara pihak yang berjanji.
[23] Perjanjian arbitrase harus memenuhi syarat yaitu persetujuan mengenai perjanjian arbitrase tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak.
[24]Perjanjian arbitrase sering juga disebut sebagai klausul arbitrase yang berada dalam badan perjanjian pokok. Hal tersebut dapat diartikan suatu perjanjian pokok diikuti atau dilengkapi dengan persetujuan mengenai pelaksanaan arbitrase. Klausul arbitrase ini diletakkan dalam perjanjian pokok sehingga disebut sebagai perjanjian aksesori. Keberadaannya hanya sebagai tambahan dari perjanjian pokok, sehingga tidak berpengaruh terhadap pemenuhan perjanjian pokok. Tanpa adanya perjanjian pokok, perjanjian arbitrase ini tidak bisa berdiri sendiri, karena sengketa atau perselisihan timbul akibat adanya perjanjian pokok.
Timbul suatu konsekuensi dari sifat perjanjian arbitrase yang merupakan perjanjian aksesori. Dengan sifat aksesorinya, suatu perjanjian arbitrase tidak akan hapus karena berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok. Selain itu, perjanjian arbitrase juga tidak akan hapus oleh keadaan meninggalnya para pihak, bangkrutnya salah satu pihak, novasi, insolvensi salah satu pihak, pewarisan, dan pengalihan perjanjian kepada pihak ketiga atas persetujuan pihak yang mengadakan perjanjian arbitrase.
[25]3. Prosedur Pelaksanaan Arbitrase
Prosedur arbitrase perlu dipahami untuk melihat apakah prosedur arbitrase konvensional seperti yang terdapat di dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 dapat diterapkan menjadi mekanisme online. Secara garis besar, prosedur arbitrase dapat dibagi ke dalam tiga tahap sebagai berikut.
1. Prosedur sebelum dengar pendapat. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase, diawali dengan prosedur sebelum dengar pendapat yang terdiri dari beberapa tahap sebagai berikut.
a. Pemberitahuan kepada arbiter tentang penunjukannya. Langkah pertama yang perlu dilakukan untuk melakukan arbitrase adalah pemberitahuan secara tertulis kepada seorang ahli bahwa ia telah dipilih sebagai arbiter untuk menyelesaikan suatu sengketa.
b. Persiapan arbiter. Hal penting yang perlu diperhatikan oleh arbiter adalah penunjukkannya sudah dilakukan berdasarkan hukum sesuai dengan peraturan yang berlaku;
c. Pemeriksaaan pendahuluan. Berdasarkan praktek, biasanya arbiter mengadakan pertemuan terlebih dahulu dengan para pihak sebelum mengadakan dengar pendapat secara resmi.
d. Prosedur pelaksanaan tugas arbiter. Berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999, arbiter berwenang untuk memerintahkan dan melakukan interogasi dalam proses dengar pendapat. Dalam proses tersebut, arbiter dapat bersikap aktif, yaitu arbiter bertindak mencari data. Namun, arbiter juga dapat bersikap pasif, yaitu para pihak lah yang menyampaikan data-data sedangkan arbiter cukup mendengarkan saja.
e. Menentukan waktu dan dengar pendapat. Jika ada salah satu pihak yang tidak datang pada saat dengar pendapat, maka arbiter tetap dapat melakukan dengar pendapat tersebut.
f. Komunikasi perorangan para pihak. Apabila salah satu pihak dalam proses arbitrase menghubungi arbiter tanpa sepengetahuan pihak lain, arbiter wajib menolaknya.
2. Prosedur pada waktu dengar pendapat. Arbiter memiliki kedudukan sebagai seorang hakim berdasarkan adanya kesepakatan penunjukan para pihak yang bersengketa. Penunjukan oleh para pihak ini memberikan wewenang kepada arbiter untuk dapat memutus berdasarkan fakta yang diberikan kepadanya. Pada saat proses arbitrase berlangsung pihak ketiga atau pihak lain (umum) tidak diperbolehkan hadir dalam proses. Hal ini merupakan cerminan dari sifat arbitrase yang menjaga kerahasian para pihak yang bersengketa.
3. Pelaksanaan putusan. Dalam melaksanakan putusan arbitrase ada tata cara pelaksanaan yang harus ditempuh. Berdasarkan Pasal 59 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999, tata cara pelaksanaan pokok-pokok di dalam putusan tergantung pada telah didaftarkannya di pengadilan atau belum.
C. Kelebihan dan Kekurangan ArbitraseMembicarakan kelebihan dan kekurangan arbitrase tidak terlepas dari sifat arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa yang proses proseduralnya bersifat adjudikasi hal ini sejalan dengan pendapat yang mengatakan bahwa “Arbitration is the most formalized alternative to the court adjudication of disputes.”
[26] Akan dijelaskan mengenai kelebihan arbitrase dibandingkan dengan proses litigasi biasa sebagai berikut.
1. Konfidensial. Artinya kerahasiaan para pihak yang bersengketa dalam arbitrase akan dijaga, sehingga dampak negatif yang timbul dari terlibatnya para pihak dalam suatu perselisihan tidak menjatuhkan kredibilitas para pihak. Hal ini terkait dengan nama baik para pihak yang saat ini merupakan salah satu aset perusahaan yang harus dilindungi.
Tercemarnya nama baik suatu pihak dapat menyebabkan kerugian yang besar bagi pihak tersebut. Nama baik suatu pihak biasanya akan tercemar apabila pihak tersebut mengalami suatu perselisihan yang diketahui oleh publik. Dalam proses litigasi dikenal adanya asas terbuka untuk umum, artinya siapa saja dapat menyaksikan proses persidangan yang sedang berlangsung. Hal ini tentu akan berdampak buruk bagi pihak yang mengalami sengketa dan penyelesaian sengketanya melalui jalur litigasi lalu proses persidangannya diekspose kepada publik. Dengan sendirinya nilai kepercayaan publik kepadanya akan berkurang
Melalui arbitrase, konfidensial para pihak tetap terjaga. Berbeda dengan pengadilan umum, arbiter tidak diwajibkan untuk menyampaikan putusannya secara terbuka. Tidak hanya dalam penyampaian putusan, berdasarkan Pasal 27 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 dikatakan bahwa: “Semua pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase dilakukan secara tertutup.”
[27] Dengan demikian maka nilai kerahasiaan para pihak akan terjaga.
2. Biaya untuk arbitrase lebih murah dari biaya litigasi dan penyelesaian sengketanya lebih cepat. Pendapat mengenai biaya ini masih diperdebatkan, tidak selamanya biaya untuk arbitrase lebih murah dari biaya litigasi. Sebagai contoh apabila terjadi sengketa antara pengusaha asal Indonesia dengan pengusaha asal Vietnam lalu mereka sepakat menunjuk arbiter yang berada di New York untuk menyelesaikan sengketanya di Singapore. Maka perlu dihitung berapa yang harus dikeluarkan untuk pendaftaran perkara, biaya akomodasi arbiter, biaya akomodasi para pihak, honorarium untuk arbiter, dan biaya saksi ahli seandainya digunakan. Tentu para pihak akan mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk arbitrase tersebut.
Di sisi lain, bagi seorang pengusaha yang membutuhkan kepastian hukum dalam sengketa yang menyangkut usahanya, biaya tersebut tidak seberapa dibandingkan ia harus berlama-lama menyelesaikan perkara di pengadilan karena harus menunggu urutan perkaranya disidangkan dan ia tidak bisa melanjutkan usaha. Bagi mereka semakin cepat masalah sengketanya selesai dan memperoleh kekuatan hukum, semakin cepat pula untuk kembali berusaha mendapatkan keuntungan, sehingga secara umum biaya akan lebih murah.
Penyelesaian sengketa dalam arbitrase lebih cepat dari proses litigasi karena dalam arbitrase para pihak tidak usah menunggu perkaranya disidangkan. Para pihak bisa langsung memilih arbiter untuk menyelesaikan sengketa mereka, sehingga tidak dibutuhkan waktu tunggu sebagaimana pada proses litigasi. Selain itu, dalam penyelesaian sengketa dapat dilakukan kapan saja berdasarkan kesepakatan para pihak sehingga sangat mungkin dalam satu minggu dilakukan beberapa kali proses pemeriksaan sengketa. Hal ini berbeda dengan proses litigasi. Dalam proses litigasi, Majelis Hakim tidak hanya memeriksa satu perkara, sehingga dalam satu minggu perkara kemungkinan besar hanya diperiksa satu kali.
[28] Dengan kata lain, keterlambatan-keterlambatan yang bersifat prosedural dan administratif dapat dihindari.
3. Para pihak dapat memilih arbiter berdasarkan keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang memadai mengenai masalah yang disengketakan.
[29] Dalam proses litigsi, para pihak tidak bisa memilih hakim yang akan memutuskan sengketa melainkan sudah ditentukan oleh Ketua Pengadilan Negeri berdasarkan penetapannya.
Kelemahan dari penetapan tersebut adalah kemampuan Hakim yang terbatas pada pengetahuan hukum sementara pengetahuan lain hanya dikuasainya secara umum. Dengan arbitrase, para pihak dapat memilih arbiter yang memang menguasai bidang atau pengetahuan yang sedang dipersengketakan, sehingga putusannya lebih komprehensif dan profesional.
4. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan sengketa, proses, dan tempat penyelenggaraan arbitrase. Kelebihan ini dirasakan oleh pihak yang merasa akan mengalami diskriminasi apabila bersengketa di tempat kedudukan hukum pihak lawannya.
Pada kenyataannya apa yang disebutkan sebelumnya tidak semuanya benar, sebab di negara tertentu proses peradilan dapat lebih cepat daripada proses arbitrase. Satu-satunya kelebihan arbitrase terhadap pengadilan adalah sifat kerahasiannya karena keputusannya tidak dipublikasikan. Namun, penyelesaian sengketa melalui arbitrase masih lebih diminati daripada litigasi, terutama untuk kontrak bisnis bersifat internasional.
[30] Selain itu terdapat juga kelemahan dari proses arbitrase sebagai berikut.
1. Berdasarkan Pasal 1 butir 1 jo. Pasal 5 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999, sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase terbatas pada sengketa perdata, khususnya mengenai perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Dengan demikian tidak semua perkara bisa diselesaikan melalui arbitrase. Meskipun perkara yang ada berupa sengketa perdata, belum tentu juga dapat diselesaikan dengan arbitrase.
2. Meskipun putusan arbitrase bersifat final dan mengikat, proses arbitrase tetap membutuhkan Pengadilan Negeri untuk melaksanakan proses eksekusinya.
[31]3. Pelaksanaan arbitrase asing dapat terhambat akibat adanya asas nasionalitas dan asas resiprositas. Asas nasionalitas menyatakan bahwa untuk menentukan dan menilai apakah suatu putusan arbitrase dapat dikualifikasikan sebagai putusan arbitrase asing, harus diuji menurut ketentuan hukum RI.
Menurut asas resiprositas tidak semua putusan arbitrase asing dapat diakui (recognize) dan dieksekusi (enforcement). Putusan arbitrase asing yang diakui dan dapat dieksekusi hanya terbatas pada putusan yang diambil di negara asing yang mempunyai ikatan bilateral dengan negara RI dan terkait bersama dengan negara RI dalam suatu konvensi internasional. Adanya asas nasionalitas dan resiprositas ini menyebabkan tidak adanya kepastian hukum bagi sengketa yang diputus oleh arbitrase asing yang tidak memenuhi persyaratan kedua asas tersebut. Sebagai contoh kasus sengketa yang timbul antara Karahabodas Company melawan Pertamina (Pemerintah R.I), yang pada masa itu putusan arbitrase internasional memenangkan pihak Carahabodas Company, namun tidak dapat dieksekusi di Indonesia, bahkan Pertamina mengajukan upaya hukum gugatan perdata melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
BAB III
ARBITRASE ONLINE SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DI INDONESIA
A. Arbitrase Online dan Pengaturannya di Internet
Arbitrase online berasal dari arbitrase secara konvensional, yang berbeda hanyalah mengenai cara yang digunakan, yaitu menggunakan sarana elektronik dalam penyelenggaraannya. Dalam arbitrase online, pendaftaran perkara, pemilihan arbiter, pembuatan putusan, penyerahan dokumen, pemusyawarahan arbitrator, pembuatan putusan, serta pemberitahuan akan adanya putusan dilakukan secara online.
[32]Pembahasan mengenai arbitrase online secara garis besar berkaitan pengaturan soal keabsahan perjanjian arbitrase yang dibuat secara online, prosedur arbitrase online, dan masalah putusan arbitrase online. Selain itu, pembahasan akan menyangkut regulasi Internet sebagai media online dalam proses arbitrase. Arti penting pembahasan regulasi Internet adalah mengenai kenyataan Internet yang bersifat global dan melintasi batas negara. Untuk itu perlu dijelaskan siapa pihak yang berhak untuk meregulasi Internet. Hal ini terkait dengan kenyataan banyaknya sengketa yang terjadi dan diselesaikan melalui arbitrase online adalah sengketa yang terjadi akibat aktifitas online di Internet, salah satunya adalah sengketa perdagangan elektronik atau e-commerce. Timbul kecenderungan suatu bentuk sengketa e-commerce akan mempengaruhi pilihan hukum dalam berarbitrase.
[33]Dalam pelaksanaan arbitrase para pihak bebas menentukan akan menggunakan pilihan hukum yang akan digunakan, tetapi saat ini sebagian besar perjanjian arbitrase dibuat dalam suatu klausula baku atau yang dikenal dengan istilah Standart Contract, sehingga penunjukan kompentensi relatif dan pilihan hukum suatu perjanjian arbitrase hanya ditentukan oleh salah satu pihak. Untuk itu perlu diketahui ketentuannya yang terlihat dari kebiasaan yang berlangsung dalam pergaulan internasional.
Menurut Viktor Mayer-Schönberger terdapat tiga pendapat mengenai bentuk pengaturan mengenai siapa yang berhak meregulasi Internet.
[34] Pendapat pertama dikenal dengan teori The State-Based Traditionalist Discourse mengatakan sebaiknya pihak yang mengatur Internet adalah pemerintah melalui peraturan perundang-undangan. Berdasarkan pendapat ini bentuk pengaturan Internet akan diatur oleh masing-masing negara. Kelebihan teori ini adalah penegakan hukum terhadap pengaturan Internet lebih terjamin. Sementara itu, kelemahan dari pengaturan ini adalah dilupakannya dasar dari Internet yaitu sifat global. Tidak mungkin suatu negara dapat memaksakan peraturan negaranya bagi warga negara lain yang menggunakan fasilitas Internet di negaranya.
Pendapat kedua mengatakan, Internet sebaiknya diatur oleh masing-masing pihak berdasarkan kebiasaan atau dikenal dengan istilah The Cyber-Separatist Discourse. Pendapat ini memisahkan antara kehidupan sosial di dunia nyata dengan kehidupan di dalam cyberspace. Berdasarkan pendapat ini sebaiknya pengaturan mengenai Internet tidak usah dilakukan oleh negara, karena tidak akan ada peraturan yang cocok untuk mengatur kemajemukan di Internet. Karena pengaturan Internet menggunakan kebiasaan, para pengguna Internet akan merasa lebih dapat menerima peraturan yang ada. Akan tetapi, kelemahan dari pendapat ini adalah tidak adanya penegakan hukum seandainya terjadi sengket antara para pihak.
Pendapat ketiga yaitu aliran The Cyber-Internationalist Discourse, mengatakan pengaturan Internet sebaiknya melalui ketentuan internasional. Jadi, ada suatu ketentuan hukum berlaku secara internasional yang mengatur mengenai Internet. Pendapat ini mengarahkan pandangannya kepada usaha untuk mengunifikasikan peraturan Internet. Kelemahan dari aliran ini adalah, tidak semua negara mau mengakui pengaturan mengenai Internet yang berlaku tersebut, karena tiap negara memiliki karakterisitik tersendiri.
Kecenderungan yang terjadi dalam proses arbitrase online khususnya dalam penyelesaian sengketa e-commerce yang dilakukan antara business to consumer (B2C), pilihan hukum yang digunakan adalah berdasarkan hukum nasional dari si pelaku bisnis, karena konsumen hanya memiliki pilihan menerima klausula baku arbitrase yang tersedia atau tidak melakukan e-commerce sama sekali (take it or leave it). Hal ini dipengaruhi hukum positif yang mengatur Internet di negara tersebut, sehingga di pengaturan mengenai e-commerce mengikuti hukum yang mengatur tentang koneksi e-commerce dalam hubungan Internetnya. Dengan demikian proses arbitrase akan menggunakan pilihan hukum dimana media Internet yang menjalankan e-commerce berada.
Apabila sengketa yang terjadi dalam hubungan e-commerce antara client to client (C2C). Pengaturan hukum Internet yang biasa digunakan adalah menganut pada aliran The Cyber-Separatist Discourse yaitu mereka akan mengatur tersendiri mengenai pilihan hukum mana yang akan digunakan. Selanjutnya, apabila sengketa tersebut melibatkan sesama pelaku bisnis mengenai suatu hal yang berlaku secara internasional, mereka akan menganut pada aliran The Cyber-Internationalist Discourse yaitu ketentuan hukum internasional yang berlaku. Contoh sengketa pada kasus ini adalah sengketa mengenai “nama domain” atau domain name di mana pihak penyedia domain name untuk Top Level Domain seperti dot com, dot org, dan dot net menyerahkan sengketanya untuk diselesaikan melalui arbitrase dengan pilihan hukum, hukum internasional yaitu Uniform Domain Name Dispute Resolution Policy.
[35]
B. Perjanjian Arbitrase Online dalam Konstruksi Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase
Untuk menyelenggarakan arbitrase online, dibutuhkan suatu dasar hukum. Meskipun dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tidak secara tegas diatur mengenai prosedur arbitrase online, Pasal 4 ayat (3) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 menyatakan:
Dalam hal disepakati penyelesaian sengketa melalui arbitrase terjadi dalam bentuk pertukaran surat, maka pengiriman teleks, telegram, faksimili, e-mail atau dalam bentuk sarana komunikasi lainnya, wajib disertai dengan suatu catatan penerimaan oleh para pihak.
Selain kata “e-mail” adanya kata “bentuk sarana komunikasi lainnya” dalam ketentuan tersebut dapat dijadikan dasar hukum pelaksanaan arbitrase secara online. Hanya masih menjadi masalah bagaimana prosedur operasional arbitrase online. Telah dijelaskan sebelumnya, arbitrase online tidak berbeda dengan arbitrase konvensional, yang berbeda hanyalah tata cara pelaksanaannya. Namun, timbul permasalahan menyangkut syarat sah dari perjanjian arbitrase yaitu tertulis dalam suatu dokumen dan ditandatangani.
[36] Permasalahannya adalah bagaimana cara pemenuhan syarat tersebut dalam arbitrase online. Untuk itu perlu dijelaskan sebagai berikut.
1. Perjanjian Arbitrase, Tertulis Tidak Selalu Harus Tercetak
Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 memang menentukan perjanjian arbitrase harus tertulis. Timbul suatu pertanyaan, apakah yang dimaksud dengan tertulis berarti tulisan diatas media kertas. Undang-undang tidak menjelaskan lebih lanjut.
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase konvensional mendasarkan kegiatannya pada pertukaran dan pemeriksaan dokumen bermedia kertas (paperbase). Sedangkan, dalam arbitrase online, media kertas telah digantikan oleh data digital sehingga tidak lagi diperlukan adanya dokumen berbentuk kertas (paperless). Jika isu orisinalitas yang menjadi acuan harus digunakannya dokumen cetak bermedia kertas, saat ini sudah tidak relevan lagi. Masyarakat sering memahami bahwa suatu dokumen yang asli adalah dokumen yang tertulis di atas kertas, padahal untuk suatu sistem dokumentasi yang menggunakan komputer, dokumen yang asli sebenarnya adalah dalam bentuk data elektronik (softcopy) yang tersimpan dalam hardisk komputer bukan dalam bentuk cetaknya (hardcopy).
[37] Dengan demikian, nilai ataupun eksistensi suatu pernjanjian secara substansial tidak bergantung pada media apa yang digunakan sebagai fiksasinya, melainkan tergantung pada proses terjadinya perjanjian itu sendiri. Contohnya, suatu perjanjian arbitrase yang tertulis di atas kertas pun kalau proses penyusunannya tidak memenuhi syarat sah perjanjian maka batal demi hukum.
Dapat disimpulkan, meskipun perjanjian arbitrase dibuat dalam bentuk data elektronik dan di-online-kan, sepanjang dapat dibuktikan prosesnya berjalan dengan baik dan dilakukan oleh pihak yang berhak, tetap memiliki kekuatan mengikat para pihak yang membuatnya.
[38] Dalam hal ini berlakulah ketentuan dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan “perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
[39]Sebagai contoh sudah diterimanya perjanjian arbitrase online dalam pelaksanaan arbitrase online dapat dilihat ketentuan pelaksanaan arbitrase yang dikeluarkan oleh America Arbitration Association (AAA) pada Supplementary Rules untuk arbitrase online yang telah mengadopsi perjanjian dalam bentuk online. Hal ini terlihat dari pengantar Supplementary Rules yang menyatakan:
The purpose of the Supplementary Procedures for Online Arbitration
is to permit, where the parties have agreed to arbitration under these Supplementary Procedures, arbitral proceedings to be conducted and resolved exclusively via the Internet. The Supplementary Procedures provide for all party submissions to be made online, and for the arbitrator, upon review of such submissions, to render an award and to communicate it to the parties via the Internet...
[40]2. Perjanjian Arbitrase Harus DitandatanganiBerdasarkan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999, perjanjian arbitrase dimuat dalam satu dokumen dan ditandatangani. Artinya, suatu perjanjian arbitrase sah apabila telah ditandatangai oleh para pihak yang membuatnya. Timbul suatu pertanyaan, apakah tanda tangan dalam pasal tersebut hanya diartikan secara sempit yaitu sebagai tanda tangan hitam diatas putih? Perkembangan teknologi telah menggeser bentuk tanda tangan yang sebelumnya hanya di atas kertas, kini tanda tangan dapat berupa tanda tangan digital atau yang biasa disebut Digital Signature (DS).
Penggunaan tanda tangan dalam kegiatan sehari-hari secara harfiah disamakan dengan penggunaan DS dalam Internet yaitu ditujukan untuk nilai keotentikan suatu data atau informasi. Perbedaannya adalah, tanda tangan lazimnya merupakan kombinasi atau variasi dari nama atau singkatan nama seseorang. Di lain pihak dalam Internet tanda tangannya berupa kombinasi digital, yaitu kombinasi dari bilangan biner 0 dan 1 yang diinterpretasikan menjadi karakter yang unik dan melalui proses penyandian (enkripsi).
Tanda tangan digital sering disalahartikan menjadi tanda tangan di atas kertas lalu dengan melalui proses scanning, tanda tangan tersebut dimasukkan (input) kedalam komputer sehingga menjadi gambar tanda tangan yang kemudian dilekatkan dengan suatu dokumen untuk menyatakan dokumen tersebut “telah ditandatangani”. Tidak jarang tanda tangan digital juga dipahami sebagai tanda tangan yang dibuat langsung di komputer menggunakan mouse sehingga berbentuk tanda tangan seperti lazimnya tanda tangan di atas kertas.
[41]Kembali ke pokok permasalahan yaitu apakah tanda tangan yang dimaksud Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 terbatas pada pengertian tanda tangan sebagai hitam di atas putih? Perlu dilihat dari pentingnya tanda tangan dalam perjanjian arbitrase. Dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 dikatakan apabila para pihak tidak menandatangani perjanjian arbitrase, maka perjanjian tersebut dibuat dalam bentuk akta notaris. Pasal ini menjelaskan tujuan tanda tangan dalam perjanjian arbitrase yaitu untuk keperluan pembuktian keotentikan perjanjian arbitrase tersebut.
Mark Taylor dalam tulisannya yang berjudul Uses of Encryption: Digital Signatures mengatakan :
Digital signatures designed in such a way that the authenticity and integrity of the data to which they are attached can be assured. In essence, the key issues for data which have been signed digitaly are:
whether those data have been altered between their being signed and being read or received by the intended recipient; and
whether those data were actually signed by the person by whom the data purport to have been signed or whether the signature attached to them is forged in some way.
[42]Jadi, apabila keperluan tanda tangan dalam perjanjian arbitrase adalah untuk pembuktian, perlindungan keotentikan suatu dokumen yang menggunakan tanda tangan digital jauh lebih kuat, karena sebuah tanda tangan digital memiliki karakter yang sangat unik dan telah tersandikan (encrypted) sehingga kemungkinan ditiru sangat kecil. Berdasarkan hal tersebut, seharusnya penggunaan tanda tangan digital dalam perjanjian arbitrase, khususnya perjanjian arbitrase online tidak usah dipermasalahkan. Justru dengan adanya tanda tangan digital seluruh data dalam proses arbitrase akan terlindung kerahasiaan dan keotentikannya, karena yang dapat membuka data tersebut hanyalah pihak yang tanda tangannya telah di-accept dalam dokumen saja yang dapat membuka dokumen.
Selain harus dipenuhinya persyaratan perjanjian arbitrase sebagaimana dijelaskan sebelumnya, suatu proses arbitrase online memerlukan prosedur dan kelengkapan yang berbeda dengan proses arbitrase konvensional. Dalam sub bab selanjutnya akan diuraikan prosedur dan kelengkapan yang dibutuhkan untuk melangsungkan arbitrase online.
C. Kelebihan dan Kelemahan Arbitrase Online Dibandingkan Arbitrase Konvensional
Pada bab sebelumnya telah dijelaskan mengenai kelebihan proses arbitrase dibandingkan proses litigasi. Setelah dibandingkan, ternyata tidak sepenuhnya proses arbitrase unggul atas proses litigasi, khususnya menyangkut biaya. Dengan adanya arbitrase online, kelemahan arbitrase konvensional yaitu biaya yang terkadang justru lebih mahal dari proses litigasi dapat diminimalisir.
[43] Adapun kelebihan dari arbitrase online sebagai berikut.
1. Biaya arbitrase dapat ditekan. Penekanan biaya beracara dapat ditekan karena para pihak tidak perlu untuk hadir disuatu tempat untuk melaksanakan penyelesaian sengketa. Dalam arbitrase online, para pihak dapat tetap berada ditempat masing-masing asalkan dari tempat tersebut dapat mengakses Internet. Para pihak tidak perlu lagi mengeluarkan biaya untuk perjalanan dan akomodasi arbiter dan saksi ahli selama penyelesaian sengketa.
2. Proses beracara dapat dilakukan lebih cepat, karena pengiriman dokumen dapat dilakukan lebih cepat menggunakan fasilitas e-mail atau di-upload ke website tempat penyelenggara arbitrase online. Dengan penggunaan e-mail, biaya korespondensi juga dapat ditekan.
3. Karena para pihak tidak perlu hadir dalam proses arbitrase, kemungkinan para pihak semakin bersitegang ketika bertemu semakin kecil. Selain itu ketidakhadiran para pihak juga menambah nilai kerahasiaan dari sebuah sengketa.
Sementara itu, kelemahan dari arbitrase online ini adalah dibutuhkan seperangkat kelengkapan dan dukungan prosedural serta akses Internet yang memadai agar proses arbitrase online dapat berjalan dengan lancar dan untuk memenuhinya diperlukan persiapan yang terencana. Mengenai kelengkapan proseduralnya akan dibahas pada sub bab berikutnya.
D. Prosedur dan Kelengkapan Arbitrase Online
Untuk melaksanakan arbitrase online menggunakan media Internet, kelengkapan yang diperlukan adalah layanan Internet yang dapat memenuhi kebutuhan pelaksanaan arbitrase. Layanan tersebut adalah website dengan yang terintegrasi dengan aplikasi database untuk menampung permohonan yang masuk, daftar arbiter, peraturan yang diperlukan mengenai permohonan untuk berarbitrase. Untuk menjamin kerahasiaan dan keotentikan data serta dokumen yang digunakan selama proses arbitrase online, diperlukan aplikasi security yang memadai dan dilengkapi dengan teknologi enkripsi yang baik.
Agar para pihak dapat berkomunikasi perlu dibangun suatu sarana komunikasi yang interaktif. Penyediaan chating room dan bulletin board yang berbasis real time audio visual streaming dapat menjadi solusinya. Dengan adanya aplikasi untuk berkomunikasi, para pihak dapat menyampaikan data, fakta, informasi, atau tangapannya melalui jalur ini. Tidak adanya formalitas yang kaku seperti proses litigasi diharapkan para pihak dapat lebih tenang dan mampu menyampaikan fakta secara jelas.
Untuk arbiter sendiri, perlu dikembangkan aplikasi berbasiskan Content Management System, di mana aplikasi itu merupakan akhir (dump) dari proses awal arbitrase yaitu permohonan berarbitrase, proses pemilihan arbiter, proses pembuktian hingga proses pembuatan putusan. Aplikasi ini sebaiknya dilengkapi dengan template untuk mempermudah arbiter memasukkan fakta yang terungkap selama beracara.
E. Penerapan Arbitrase Online di Indonesia Berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999
Proses beracara dalam arbitrase bebas diatur oleh masing-masing pihak sepanjang telah ditetapkan secara tegas dan tertulis, hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 31 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999. Berdasarkan pasal tersebut, para pihak dapat menentukan sendiri bentuk acara dalam proses arbitrase, termasuk melangsungkan arbitrase online. Selanjutnya, ketentuan Pasal 31 ayat (3) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 mengatur, apabila para pihak tidak memilih akan menggunakan acara arbitrase tertentu, proses acara arbitrasenya akan mengikuti ketentuan dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999.
Bagaimana seandainya para pihak ingin menyelesaikan sengketanya melalui arbitrase online tetapi dalam perjanjian arbitrasenya mereka tidak menentukan secara tegas dan tertulis akan menggunakan arbitraser online? Apakah mereka tidak bisa menyelesaikan sengketanya melalui acara arbitrase online? Jika melihat ketentuan beracara yang terdapat dalam Pasal 27-64 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999, tidak terdapat pasal yang menyatakan dalam acara sesuai dengan undang-undang, para pihak harus berhadapan atau bertatap muka secara fisik.
Dalam proses beracara arbitrase yang diatur Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999, para pihak tidak diwajibkan untuk hadir selama proses arbitrase sehingga tidak dapat bertatap muka secara langsung dalam proses arbitrase online bukan suatu masalah. Selain itu, dengan adanya Pasal Pasal 4 ayat (3) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999, tetap terbuka kemungkinan para pihak dapat menyelesaikan sengketanya secara online.
Pelaksanaan arbitrase online di Indonesia telah sesuai dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada, khususnya Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999. Meskipun, dasar hukum pelaksanaan arbitrase online telah ada, permasalahannya adalah tidak ada aturan pelaksanaan yang mengatur bagaimana arbitrase online itu dijalankan. Apabila pengaturan pelaksanaan arbitrase online diserahkan kepada para pihak untuk mengaturnya sendiri, dikhawatirkan tidak ada standar yang baku tentang pelaksanaan arbitrase online yang efektif dan efisien.
Selain tidak adanya aturan pelaksanaan mengenai arbitrase online, hambatan terbesar pelaksanaan arbitrase online di Indonesia menyangkut sarana dan prasarana arbitrase online. Hambatan pelaksanaan arbitrase online di Indonesia sebagai berikut.
1. Belum ada arbiter atau lembaga arbitrase di Indonesia yang secara tegas menyediakan layanan penyelesaian sengketa melalui arbitrase online. Hal ini disebabkan kecenderungan berfikir, sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase online adalah sengketa dalam perdagangan elektronik atau e-commerce saja dan di Indonesia jenis perdagangan ini belum populer, sehingga jarang ditemui kasusnya.
2. Akses Internet yang tidak merata. Berdasarkan data yang dikeluarkn oleh APJII, penyebaran pengguna Internet hanya terjadi di kota besar di Indonesia.
[44] Akibatnya adalah, akses untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase online terbatas pada penduduk yang tinggal di kota besar saja.
3. Ketergantungan terhadap vendor software asing, hal ini terlihat dari data yang menyatakan 89% pengguna komputer Indonesia menggunakan software asing berlisensi komersil.
[45] Untuk menyelenggarakan jasa arbitrase online dibutuhkan kurang lebih sepuluh software. Dapat dihitung berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk membeli lisensi dari software tersebut. Tentu biaya belanja software ini akan berpengaruh terhadap biaya jasa arbitrase online tersebut. Solusi untuk masalah ini adalah penggunaan software yang berlisensi open source untuk menekan biaya belanja software dan update software yang harus dibeli.
[46]4. Meskipun telah lama berakar pada nilai masyarakat, masyarakat Indonesia belum terbiasa untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan apalagi melalui mekanisme online. Hal ini dipengaruhi oleh pemikiran pelaksanaan putusan dalam proses litigasi lebih mudah dilakukan, karena dapat menggunakan upaya paksa. Sesungguhnya pemikiran ini tidak sepenuhnya tepat. Suatu putusan arbitrase, eksekusinya dapat dilakukan dengan upaya paksa, selama putusan arbiter telah memenuhi persyaratan yang diatur dalam Pasal 59-64 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999.
Dengan demikian, meskipun peraturan perundang-undangan telah membuka jalan dalam pelaksanaan arbitrase online di Indonesia, ternyata masih terdapat hambatan yang terjadi meliputi unsur sumber daya manusia Indonesia yang sudah tidak terbiasa untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan. Selain itu, tidak tersediannya fasilitas untuk menyelenggarakan arbitrase online di Indonesia.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan apa yang telah diuraikan diatas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut.
1. Berdasarkan Pasal 4 ayat (3) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999, pelaksanaan arbitrase online di Indonesia dapat dilakukan. Dengan demikian meskipun proses arbitrase online tidak diatur secara tegas dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999, arbitrase online dapat dilakukan. Selain itu, karena dasar pelaksanaannya suatu arbitrase adalah adanya perjanjian arbitrase, ketentuan dalam Pasal 1338 KUHPerdata berlaku, yaitu perjanjian arbitrase berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Karena sesungguhnya arbitrase online tidak berbeda dengan arbitrase konvensional, yang berbeda hanyalah tata cara pelaksanaannya yang menggunakan fasilitas dari Internet.
2. Prosedur pelaksanaan arbitrase online sama dengan pelaksanaan arbitrase konvensional. Hanya saja ada perbedaan pada prosedural dan kelengkapannya. Untuk melaksanakan arbitrase online menggunakan media Internet, kelengkapan yang diperlukan adalah layanan Internet yang dapat memenuhi kebutuhan pelaksanaan arbitrase adalah website dengan yang terintegrasi dengan aplikasi database untuk menampung permohonan yang masuk, daftar arbiter, peraturan yang diperlukan mengenai permohonan untuk berarbitrase. Untuk menjamin kerahasiaan dan keotentikan data serta dokumen yang digunakan selama proses arbitrase online, diperlukan aplikasi security yang memadai dan dilengkapi dengan teknologi enkripsi yang baik.
B. Saran
Saran yang dapat diberikan dalam penulisan ini sebagai berikut :
1. Pemerintah sebaiknya membuatkan aturan khusus mengenai prosedur dan aturan pelaksana mengenai tata cara pelaksanaan arbitrase online. Hal ini untuk memberikan perlindungan hukum kepada para pihak yang hendak menyelesaikan sengketanya melalui arbitrase online.
2. Perlu diadakan sosialisasi mengenai prosedur pelaksanaan arbitrase online di Indonesia apabila ketentuan tersebut telah diatur. Langkah ini diperlukan agar masyarakat dapat mengetahui arbitrase online memberdayakan proses arbitrase online ini sebagai alternatif penyelesaian sengketa non-litigasi. Diharapkan dengan berjalannya penyelesaian sengketa melalui arbitrase online, tidak lagi terjadi tumpukan perkara di pengadilan.
3. Pemerintah, selain menyempurnakan perangkat peraturan perundang-undangan agar arbitrase online mendapatkan eksistensinya, juga diharapkan mampu untuk membuat peraturan yang dapat mendukung pelaksanaan arbitrase online seperti aturan mengenai reguliasi Internet agar biaya semakin terjangkau. Dengan terjangkaunya harga jasa Internet, daya tarik masyarakat untuk memberdayakan arbitrase online diharapkan lebih tinggi, karena salah satu hambatan penyelesaian sengketa melalui Internet adalah biaya jasa Internet di Indonesia yang cukup mahal.
4. Lembaga atau orang-perorang penyedia jasa arbitrase online hendaknya menggunakan produk software yang bersifat open source. Hal ini dilakukan untuk menekan biaya yang dikeluarkan penyedia jasa arbitrase online dalam menyiapkan fasilitas online-nya.
5. Lembaga atau orang-perorang penyedia jasa arbitrase online dapat bekerja sama dengan Penyelenggara Jasa Internet di Indonesia (Internet Service Provider), menyiapkan jalur khusus komunikasi untuk pelaksanaan arbitrase untuk menjaga kerahasiaan proses arbitrase online.
DAFTAR PUSTAKABuku
Abdurrasyid, Priyatna. Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Fikahati Aneska, 2002.
Adolf, Huala. Arbitrase Komersial Internasional. Jakarta: Rajawali Pres, 1999
Gautama, Sudargo. Arbitrase Dagang Internasional. Bandung: Alumni, 1979.
Harahap, M. Yahya. Arbitrase Ditinjau dari: Reglemen Acara Perdata (Rv), Prosedur BANI, International Centre for the Settlement of Investment Dispute (ICSID), UNICITRAL Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreing Arbitral Award, PERMA No. 1 Tahun 1990. Jakarta: Pustaka Kartini, 1991.
Margono, Suyud. ADR & Arbitrase: Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum. Bogor: Ghalia Indonesia, 2004.
Nolan, Jacqueline M. and Haley. Alternative Dispute Resolution in a Nutshell. St. Paul: West Publishing Co., 1992.
Siburian, Paustinus. Arbitrase Online (Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdagangan Secara Elektronik). Jakarta: Djambatan, 2004.
Subekti, R. Kumpulan Karangan Hukum Perikatan, Arbitrase dan Peradilan. Bandung: Alumni, 1992.
Taylor, Mark. Uses of Encryption: Digital Signatures. USA: Sweet & Maxwell Limited and Contributors, 1999.
Artikel
Katsh, Ethan. “Bringin Online Dispute Resolution to Virtual Worlds: Creating Processe Through Code.” New York Law School Law Review 2004-2005 (Fall 2004): 271-291.
Karen Stewart, Karen and Joseph Matthews. “Online Arbitration of Cross-Border, Buiness to Consumer Dispute.” University of Miami Law Review (July 2002): 1111-1146.
Lodder, Arno R.
and John Zeleznikow. “Developing an Online Dispute Resolution Enviroment: Dialogue Tools and Negotiation Support System in a Three-Step Model.” Harvard Negotiation Law Review (Spring 2005): 287-337.
Mayer, Viktor and Schönberger. “The Shape of Governance: Analyzing the World of Internet Regulation.” Virginia Journal of International Law (Spring 2003): 605-673.
Schultz, Thomas. “Does Online Dispute Resolution Need Governmental Intervention? The Case For Acrhitectures of Control and Trust.” North Carolina Journal of Law & Technology (Fall 2004): 71-106.
Situs Internet
APJII. “Statistik APJII Updated 2006”, <
http://www.apjii.or.id/dokumentasi/statistik.php>. 18 April 2006.
“11 Ribu Perkara Menunggak di MA.” <
http://www.tempointeraktif.com/>. 18 April 2006.
WSIS. “Definiton of Online Arbitration.”
. 19 April 2006.
Peraturan Perundang-undanganIndonesia. Undang-undang Tentang Arbitrase dan Pilihan Penyelesaian Sengketa. UU No. 30, LN. No. 138 Tahun 1999, TLN. No. 3872.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dengan Tambahan Undang-undang Pokok Agraria dan Undang-undang Perkawinan. Diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. Cet. 33. Jakarta: Pradnya Paramita, 2003.
[1] 11 Ribu Perkara Menunggak di MA,
http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2006/03/13/brk,20060313-75052,id.html, diakses 18 April 2006.
[2] Ada beberapa pendapat mengenai penerjemahan Alternative Dispute Resolution menjadi Alternatif Penyelesaian Sengketa. Di Amerika, sebagai negara yang mencetuskan ide mengenai hal ini, Alternative Dispute Resolution sering diartikan sebagai alternative to litigation atau sering diartikan juga sebagai alternative to adjudication. Lebih lanjut baca Suyud Margono, ADR & Arbitrase: Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004), hal. 36.
[3] Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. Fikahati Aneska, 2002), hal. 11.
[4] Indonesia, Undang-undang Tentang Arbitrase dan Pilihan Penyelesaian Sengketa, UU No. 30, LN. No. 138 Tahun 1999, TLN. No. 3872.
[5] Mekanisme konsultasi dan konsiliasi tidak dijabarkan secara jelas dalam Undang-undang Nomor 30 tahun 1999, apakah sebagai suatu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar Pengadilan atau merupakan suatu tindakan atau proses untuk mencapai perdamaian di luar Pengadilan.
[6] APJII, “Statistik APJII Updated 2006”,
http://www.apjii.or.id/dokumentasi/statistik.php, diakses 18 April 2006.
[7] H. Ahmad M. Ramli, Sambutan Atas Penerbitan Buku Arbitrase Online (Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdagangan Secara Elektronik) oleh Paustinus Siburian, hal. xii.
[8] UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa ps. 1 butir 10.
[9] Ibid., ps. 1 butir 1.
[10] WSIS, “Definiton of Online Arbitration”, <>, diakses 19 April 2006.
[11] UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, op. cit., konsiderans huruf a.
[12] Suyud Margono, ADR & Arbitrase: Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004), hal. 36.
[13] Jacqueline M. Nolan-Haley, Alternative Dispute Resolution in a Nutshell (St. Paul: West Publishing Co., 1992), page. 4.
[14] Aburrasyid. op. cit., hal. 17-18.
[15] Margono, Loc.. cit., hal. 108.
[16] Salah satu literatur tersebut ditulis oleh Mas Achmad Santosa yang berjudul Pelembagaan ADR di Indonesia. Makalah pada Kuliah Umum ADR, (Jakarta: Fakultas Hukum Unika Atma Jaya, 1999) hal. 1-2. Pendapat ini dikutip dari buku Margono, op. cit., hal. 37. Fakultas Hukum Universitas Indonesia menggunakan istilah Pilihan Penyelesaian Sengketa sebagai padanan kata Alternative Dispute Resolution. Pilihan Penyelesaian Sengketa merupakan salah satu matakuliah yang diajarkan. Fokus penyelesaian sengketa dalam matakuliah ini pada proses negosiasi dan mediasi, tidak pada arbitrase.
[17] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hal. 24.
[18] Abdurrasyid, op. cit., hal. 56-57.
[19] Ibid., dikutip dari R. Subekti, Arbitrase Perdagangan (Bandung: Bina Cipta, 1979)
[20] UU Arbitrase Republik Indonesia, op. cit., ps. 1 butir 3.
[21]Paustinus Siburian, Arbitrase Online (Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdagangan Secara Elektronik) (Jakarta: Djambatan, 2004), hal. 42.
[22] UU Arbitrase Republik Indonesia, op. cit., ps. 3.
[23]M. Yahya Harahap, Arbitrase Ditinjau dari: Reglemen Acara Perdata (Rv), Prosedur BANI, International Centre for the Settlement of Investment Dispute (ICSID), UNICITRAL Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreing Arbitral Award, PERMA No. 1 Tahun 1990 (Jakarta: Pustaka Kartini, 1991) hal. 97.
[24]UU Arbitrase Republik Indonesia, op. cit., ps. 9 ayat (1).
[25] Lih. Ketentuan Pasal 10 UU No. 30 tahun 1999.
[26] Nolan-Haley, op. cit., p. 119.
[27] Lih. UU No. 30 tahun 1999, op. cit., Ps. 27.
[28] Selain faktor waktu yang singkat yang menyebabkan biaya arbitrase dapat lebih murah, faktor terpenting terletak kepada para pihak. Apakah para pihak mau menjalankan putusan arbitrase secara suka-rela atau tidak. Apabila putusan arbiter dijalankan secara suka rela maka biaya yang dikeluarkan akan jauh lebih murah. Untuk selengkapnya baca Sudargo Gautama, Arbitrase Dagang Internasional (Bandung: Penerbit Alumni, 1979), hal. 5.
[29] Margono, op. cit., hal. 20.
[30] UU Arbitrase Republik Indonesia, op. cit., penjelasan undang-undang.
[31] Ibid., ps. 59.
[32] Siburian, op. cit., hal. 56-57.
[33] Thomas Schultz, “Does Online Dispute Resolution Need Governmental Intervention? The Case For Acrhitectures of Control and Trust”, North Carolina Journal of Law & Technology (Fall 2004) hal. 72.
[34] Viktor Mayer-Schönberger, “The Shape of Governance: Analyzing the World of Internet Regulation”, Virginia Journal of International Law (Spring, 2003) hal. 607.
[35] Schultz, op. cit., page 109
[36] Lihat UU No. 30 tahun 1999 Loc.cit ps. 4 ayat (2) jo. Pasal 9 ayat (1).
[37] Edmom Makarim, Pengantar Hukum Telematika: Suatu Kompilasi Kajian (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2005) hal. 239.
[38] Adapun dimaksud dengan proses di sini adalah proses pada memasukkan data (input), proses pengolahan data (editing), proses penyimpanan data (storing), proses keluaran data / tampilan data (output). Ouput suatu data tidak selalu harus berupa wujud fisik, tampilan pada layar monitor juga termasuk data output.
[39] Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dengan Tambahan Undang-undang Pokok Agraria dan Undang-undang Perkawinan, diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, cet. 33, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2003), ps. 1338.
[40]American Arbitration Association, “Supplementary Procedures for Online Arbitration”, diperoleh dari penelusuran data pada website WestLaw
yang diakses menggunakan proxy Fakultas Hukum Universtias Indonesia
.
[41]Pembahasan lebih lanjut mengenai digital signature dapat dibaca di Wikipedia, <http://www.wikipedia.org/digital_signature>. Penulis juga pernah menulis tulisan bersifat populer mengenai penggunaan enkripsi termasuk digital signature di dalamnya sebagai usaha perlindungan data di komputer. Artikel dapat dibaca pada situs pribadi penulis di alamat http://www.neoteker.or.id/.
[42] Mark Taylor, Uses of Encryption: Digital Signatures, (USA: Sweet & Maxwell Limited and Contributors, 1999), hal. 2
[43] Siburian, op. cit., hal 49.
[44] APJII, op. cit.
[45] Data didapat dari website Kelompok Pengguna Linux Indonesia di alamat
[46] Lebih lanjut tentang software berlisensi open source dapat dibaca di alamat http://www.opensource.org
Penulis :
Jakarta 2007