Kamis, 23 April 2009

ARTICLE

PEMILU, MAHALNYA SEBUAH NEGARA DEMOKRASI.
Oleh : Agus P. Pasaribu, S.H.

Pemilu Legislatif tanggal 9 April 2009 telah dilangsungkan, namun masih terang dalam ingatan kita bagaimana kekacauan pemilu yang timbul, mulai dari skup wilayah terkecil sampai nasional, sehingga tak heran apabila belakangan sebagian besar masyarakat maupun partai politik sudah tidak respek terhadap hasil pencapaian pemilu dalam suatu tatanan negara demokrasi. Bahkan, masyarakat cenderung skeptis apabila bicara sistem pemilihan yang diterapkan, padahal ke depannya tidak lama lagi pemilihan presiden (pilpres) telah menunggu. Hal ini tentu menjadi pertanyaan bagi kita mengapa hal yang demikian terjadi, pemilu yang seharusnya bertujuan mengakomodir hak pilih masyarakat untuk menentukan nasib bangsa kedepannya, justru menjadi sesuatu yang ironis karena warga negara kehilangan hak pilih. Alih-alih mendapat hak suara, terdaftar saja sebagai pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) tidak.

Banyak masyarakat yang ada di daerah tidak mengetahui kapan diadakan pemilihanan umum (pemilu). Sampai-sampai pernah terjadi sesuatu kejadian yang jenaka sekaligus memprihatinkan, dimana seorang warga bertanya kepada Panitia Pemilu pasca pemilihan legislative lalu dengan mengajukan : “mencontreng sudah selesai, kapan mencoblosnya?. Jadi pertanyaan bagi kita, apa saja yang dilakukan pemerintahan setelah sekian lama berkenaan dengan pendidikan berpolitik warga negaranya ?? Bukankah pendidikan politik merupakan hak asasi?. Namun fakta empiris membuktikan, pada pemilu legislative lalu warga negara banyak yang secara tidak langsung dipaksa untuk tidak berpartisipasi dalam pesta demokrasi sekali lima tahun tersebut. Seolah-olah masyarakat kita secara de jure (baca : menurut hukum) dianggap bukan sebagai warga yang mempunyai hak pilih di republik ini. Bahkan, warga negara yang memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) sekalipun tidak serta merta menjadi jaminan secara hukum untuk mempunyai hak pilih. Terbukti, KTP tidak cukup menjadi alas hak mendapat hak pilih sebagai warga negara. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis dengan maksud untuk memberikan refleksi tentang kenyataan sistem kesembrawutan manajemen pemilihan umum kita yang bermuara pada dirugikannya hak politik warga Negara, sehingga merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat.

Pemilu, Tanggung Jawab Siapa ?
Sejak terbuktinya ketidakberesan pemilu 9 April 2009 lalu, banyak pihak yang seharusnya patut dimintai “tanggung jawab”, malah justru berpura-pura tidak tahu-menahu dan cenderung saling menyalahkan, bahkan sebisa cuci tangan atas segudang persoalan yang menimpa pemilu legislative (pileg). Sangat tidak mengherankan, panggung perpolitikan kita semakin hari diramaikan oleh kontradiktif komentar tentang dunia politik dan mekanisme pemilu kita.
Kenyataannya, siapapun tahu bahwa Komisi Pemilihan Umum jauh-jauh hari telah dibentuk oleh pemerintah dan orang-orang yang terpilih telah pula di uji kelayakan (fit and propertest) melalui mekanisme UU di lembaga legislatif (DPR), sehingga masih menjadi alasankah mempertanyakan siapa pihak yang patut dimintai pertanggung-jawaban atas kekacauan pemilu, atau jangan-jangan kekacauan sistem pemilu jangan-jangan dikehendaki oknum-oknum tertentu sebagai suatu upaya sitemik yang berorientasi pada harapan mendapat andil dengan situasi yang tercipta. Pemilu yang terlaksana dengan berbagai kekurangannya yang dipadu dengan kekacauan disana-sini, justru sempat ditanggapi dingi oleh pemerintah, seolah-olah menutup mata sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk terselenggaranya pesta demokrasi sekali lima tahun tersebut. “Pemerintah” justru bersikap pasif dan apriori tanpa pernah memberikan penjelesan kepada publik atas persoalan yang sedang dihadapi. Pemerintah baru memberi respon atau tanggapan setelah arus demonstrasi dan konflik mulai bermunculan di daerah-daerah satu demi satu, niat baikkah pemerintah ?, mengapa pemerintah selalu telat menyikapi setiap persoalan di negeri ini. Andaikan saja tidak ada yang protes dengan berbagai kecurangan pileg lalu, jangan-jangan pemerintah akan diam. Anehnya lagi, pemerintah tidak menunjukkan sikap yang determinatif untuk berusaha meminimalisir, mengakomodir, maupun menengahi silang pendapat antara berbagai pihak yang justru semakin meruncing. “Pemerintah” disibukkan dengan manufer politik partai untuk mempersiapkan pemilu presiden (pilpres) yang sudha menunggu. Bagaimanapun, secara moralitas dan struktur organisasi, pemerintah adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas kekacauan pemilu yang ada. Tapi apakah pemerintah secara fair berani mengakui kesalahan dan dewasa dalam hal ini ???. Jadi sangat patulaht apabila masyarakat maupun partai-partai di republik ini menyampaikan mosi tidak percaya.
Pada konteks yang berbeda, KPU selaku penyelenggara pemilihan umum tidak mempunyai keberanian diri secara ksatria untuk mengakui dan menyatakan kesalahan kepada publik sehubungan dengan penyelenggaraan pemilu yang terkesan amatiran. Masing-masing anggota KPU malah disibukkan dengan berbagai usaha untuk menuntaskan persoalan yang ada secara membabi buta tanpa memahami kondisi apa yang telah terjadi. Malahan, para anggota komisi KPU terkesan mencoba-coba lepas tanggung jawab dengan mengemukakan berbagai alasan pembenar untuk berbagai kesalahan yang sudha dialkukan. Padahal, sejak semula pada saat pemilihan anggota komisi, sudah banyak pihak yang menyampaikan protes dan mempertanyakan kredibilitas / kemampuan (skill) orang-orang tersebut, namun pemerintah maupun DPR nampaknya sepakat untuk tidak mendengarkan kritik yang dikemukakan banyak pihak tersebut. Alhasil, pada saat fakta sudha membuktikan bagaimana ketidakmampuan anggota KPU, DPR kita pun cuma bisa terdiam, tanpa pernah berpikir bahwa sebenarnya DPR juga punya andil dan tanggung jawab selaku wakil rakyat yang menguji kompetensi orang-orang yang ada di komisi opemilihan umum tersebut. Jadi dimana tanggung jawab moral yang diemban wakil rakyat kita ?.
Kekacauan jumlah pemilu tetap membuktikan bahwa KPU dan pemerintah tidak mempunyai manajemen kependudukan yang layak, sehingga wajar bila muncul berbagai kontra-produktif sehubungan dengan jumlah masyarakat yang berhak memilih. Padahal Negara ini telah menggelontorkan dana triliunan rupiah untuk terselenggaranya pemilu. Inikah manfaat negara demokrasi ??



Penutup

Melihat realitas tentang penyelenggaraan pesta demoktasi di republik ini, sudah sepatutnya anggota KPU secara sadar untuk bercermin diri untuk merenungkan kembali kemampuannya untuk melaksanakan pemilihan presiden ke depan. Sudah saatnya, apabila ingin melibatkan diri ke dalam suatu sistem pemilihan (baca : anggota komisi pemilihan), terlebih dahulu memahami dan mengukur kemampuan. Dengan demikian, tidak akan merugikan orang lain (baca : masyarakat). Apapun alasannya, pemerintah harus bertanggungjawab terhadap kegagalan pemilu, hal ini menjadi catatan buruk dalam sejarah ketatanegaraan republik ini, terlebih lagi terbukti bahwa di negara ini justru manfaat demokrasi berbanding terbalik dengan yang sebenarnya, bahkan mahalnya sebuah demokrasi harus dibayar dengan hilangnya hak pilih rakyat. Selain itu, pembelajaran politik bagi kita adalah bahwa lembaga legislatif kita telah pula terbukti tidak mampu untuk menguji kelayakan oknum-oknum yang pantas menduduki jabatan sebagai anggota komisi pemilihan umum, sehingga menghasilkan orang-orang yang tidak kredibel dan tidak mampu menjalankan tugas dan tanggung jawabnya menyelenggarakan pemilu. Masihkah kita bertahan dengan ketidakbijakan menggunakan hak pilih kita, mengingat pemilihan presiden kedepan sudah menunggu ? atau masihkah kita mempertahankan orang-orang yang jelas tidak mampu memimpin KPU?, jika itu yang telah dibangun selama ini akan mengalami kemuduran total.
Penulis,
Jakarta April 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar