PERMASALAHAN IMPLEMENTASI ANTI DUMPING
BAGI INDONESIA DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL
Oleh : Agus P. Pasaribu, S.H.
I. Pendahuluan
Lahirnya globalisasi sebagai salah satu proses pembauran perekonomian antara bangsa di dunia secara otomatis melahirkan pula pembauran hukum. Ada indikator, terjadinya penyatuan hukum melalui transplantasi, pencangkokan dan pengambilan secara utuh hukum internasional. Hukum antara negara menjadi aspek penting dalam kerangka pembangunan ekonomi nasional di tiap-tiap negara, terutamanya negara berkembang, seperti Indonesia. Salah satu rativikasi konvensi internasional yang dijadikan sumber hukum dalam kerangka pembangunan ekonomi nasional di Indonesia adalah disahkan dan diundangkannya UU yang berkenaan dengan Anti dumping dalam persfektif hukum nasional tercermin dalam UU No. 10 tahun 1995 tentang Kepabean dan UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (catatan : UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat merupakan produk hukum Era Reformasi).
Dalam dimensi nasional dan internasional, terjadi hubungan saling ketergantungan dan integrasi ekonomi nasional ke dalam ekonomi global. Proses itu terjadi secara bersamaan dengan bekerjanya mekanisme pasar yang dijiwai persaingan. Tindakan persaingan antar pelaku usaha tidak jarang mendorong dilakukannya persaingan curang, baik dalam bentuk harga maupun bukan harga (price or not price competition). Dalam bentuk harga misalnya terjadi diskriminasi harga (price discrimination) yang dikenal dengan istilah dumping. Dumping merupakan salah satu bentuk hambatan perdagangan yang bersifat non tarif, berupa diskriminasi harga.[1]
Latar belakang filosofis ekonomi lahirnya UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Praktek Usaha Tidak Sehat dimaksudkan untuk menciptakan pemeratan ekonomi dan melindungi konsumen dari aspek harga didalam pasar, sehingga menghindari persaingan tidak sehat. Terutamanya, persaingan antara pelaku usaha lokal dengan pelaku usaha asing yang turut serta meramaikan pasar konsumen di Indonesia.
Langkah diatas patut dijalankan mengingat kecenderungan di era globalisasi, pelaku usaha dari negara-negara maju cenderung memaksakan persaingannya dengan pelaku usaha di negara berkembang, sehingga posisi pelaku sauah di negara berkembang yang masih tergolong lemah dapat sewaktu-waktu akan tersingkir jika tidak dilindungi di dalam pasar. Salah satu kekuatan pasar dari pelaku usaha negara maju apa yang dikenal dengan istilah[2] Transnational Corporation (TNC) atau Multinational Corporation (selanjutnya disingkat “MNC”). MNC adalah perusahaan yang mempunyai jaringan kerja yang mendunia. Keberadaan MNC sebenarnya bukan hal baru....dst. Salah satu masalah yang muncul sehubungan dengan keberadaan MNC adalah kekhawatiran negara berkembang atas kekuatan dominan MNC yang dapat mengancam kedaulatan dan eksistensi negara berkembang.[3]
Berbagai perjanjian internasional yang dibuat ditingkat internasional sebagian merupakan prakarsa MNC yang diajukan melalui pemerintah masing-masing negaranya, sehingga tidak heran apabila kemudian banyak perjanjian antara negara maju dengan negara berkembang dibuat atas dasar kepentingan negara maju belaka.
Perjanjian internasional yang dibuat untuk melindungi kepentingan MNC dapat dikelompokkan paling tidak tiga kategori. Pertama, perjanjian-perjanjian internasional yang bertujuan untuk melindungi MNC dari tindakan sepihak pemerintah setempat. Kedua, perjanjian-perjanjian internasional yang bertujuan untuk melindungi produk, termasuk hak kekayaan intelektual, yang dihasilkan oleh MNC. Ketiga, perjanjian-perjanjian internasional yang memberi jalan keluar (remedy) bagi perselisihan yang terjadi antara MNC dengan pemerintah negara berkembang.[4]
Sehubungan dengan uraian diatas, maka beberapa persoalan berkenaan dengan implementasi hukum anti dumping yang dikenal sebagai bagian dari anti monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dan bea masuk kepabean di Indonesia menjadi bermasalah dan cenderung dilematis. Paling tidak permasalahan dimaksud adalah : Pertama, apakah hukum nasional Indonesia di bidang dumping dapat diterapkan jika mencermati langkah-langkah yang diambil MNC melalui negara-negara maju?. Kedua, bagaimanakah peranan implementasi hukum anti dumping dalam persfektif pembanguan ekonomi nasional?
Permasalahan yang diajukan tersebut diatas menjadi topik kajian dalam makalah ini. Pembahasan makalah menitiberatkan pada analisis tentang bagaimana peranan hukum anti dumping dalam persfektif pembangunan ekonomi Indonesia.
II. Anti Dumping dan Permasalahannya
Sebagaimana telah disinggung diatas, bahwa penerjemahan anti dumping di Indonesia dalam bentuk hukum nasional adalah disahkan dan diundangkannya UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Tujuan diciptakannya UU No. 5 tahun 1999 dari aspek ekonomoni adalah sebagai berikut :[5] “Bahwa pembangunan ekonomi harus diarahkan kepada terwujudnya kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila danUUD 1945”. Lebih lanjut dikatakan pula: [6]
“b.Bahwa demokrasi dalam bidang ekonomi menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi di dalam proses produksi dan pemasaran barang dan atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif, dan efisien sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar yang wajar ;
c. bahwa setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam situasi persaingan yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu, dengan tidak terlepas dari kesepakatan yang dilaksanakan oleh negara Republik Indonesia terhadap perjanjian-perjanjian internasional ;”.
Pada bagian penjelasan Ketentuan Umum UU No. 5 tahun 1999 menguraikan lebih lanjut aspek-aspek penting monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang dikenal pula dengan istilah anti dumping.[7] Dengan kata lain,[8] hakikat dumping sebagai praktek curang bukan hanya karena dumping dipergunakan sebagai sarana untuk merebut pasaran di negara lain. Praktek banting harga itu pun dapat berakibat menggerogoti, bahkan mematikan perusahaan domestik yang menghasilkan produk sejenis.
Secara umum bentuk atau jenis anti dumping yang diatur dalam UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah sebagai berikut :
a. Persaingan yang dilarang ;
b. Kegiatan yang dilarang ;
c. Posisi dominan.
Ketiga elemen yang dilarang dalam UU No. 5 tahun 1999 tersebut dalam implementasinya tidak mudah dijalankan, mengingat kurangnya sarana dan prasarana penegakan hukum yang berkait erat dengan perbaikan struktur hukum, budaya hukum, dan substansi hukum.
Pertama, stuktur hukum berkait erat dengan kelembagaan dan peraturan kelembagaan yang berkenaan dengan Anti Monopoli, seperti Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Fungsi lembaga ini sebagai pengawas dan pemeriksa tentang terjadinya praktek, seperti : monopoli, kartel. Trust, pemboikotan, pembagian wilayah, oligopsoni, monopsoni, integrasi vertikal, penguasaan pasar, dan sebagainya yang secara langsung atau tidak langsung merugikan pasar konsumen dan menimbulkan persaingan tidak sehat. Dalam kapasitas ini, Komisi Pengawas Persaingan Usaha bertindak mewakili pemerintah untuk mengawasi penegakan hukum dibidang persaingan usaha tidak sehat.
Salah satu kelemahan dan sekaligus dilema yang dihadapi negara-negara berkembang seperti Indonesia di bidang kelembagaan yang berfungsi mengawasi persaingan usahat tidak sehat ini dalam praktek sering terjadi. Kurangnya pemahaman karena keterbatasan sumber daya manusia (SDM) seringkali menimbulkan dilema tersendiri dalam menegakkan hukum persaingan usaha tidak sehat. Misalnya saja, Komisi Pengawas Persaingan Usaha melakukan kekeliruan untuk menilai terjadi atau tidaknya persaingan usaha tidak sehat, hal ini dapat berdampak pada kerugian perekonomian negara. Itu bisa terjadi jika pelaku usaha asing yang menjalankan usahanya di Indonesia merasa dirugikan akibat kekeliruan Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam melakukan pengawasan. Sebagai akibat kekeliruan tersebut, pelaku usaha asing dapat menuntut ganti rugi melalui gugatan ganti rugi, hilangnya kepercayaan asing terhadap investasi Indonesia dan sebagainya.
Kesalahan dalam menjalankan fungsi struktur penegak hukum (law enforced) akan berdampak pada hilangnya atau berkurangnya investasi asing yang ujung-ujungnya akan mempengaruhi pembangunan ekonomi Indonesia. Sebagaimana diketahui, untuk stabilnya hukum terhadap pembangunan ekonomi, maka hukum harus dapat diprediksi dan adanya prosedur yang capable. Prosedur yang capable ini mencakup banyak hal, sebagai berikut :[9]
“Substantive rule are given effect through the process set up to resolve dispute. These procerdural institution includes adjudication in a court or administrative tribunal, arbitration, conciliation and even the legislative fungtion itself. They need to operate efficiently if economic activity is to reached its maximum level. Well-estabilished procedural tend to hamper arbitrary action. In a developing country such a tendecy may serve both good and ill”.
Jadi, untuk stabilnya hukum terhadap pembangunan ekonomi, maka hukum harus mampu menghasilkan efek yang cukup untuk mengangakt perangkat prosedural untuk menghasilkan keputusan konflik. Disini dapat kita lihat bagaimana peranan stuktur hukum dalam pembangunan ekonomi, termasuk dan tanpa terkecuali mekanisme penyelesaian sengketa melalui pengadilan, arbitrase, konsiliasi dan fungsi legislatif sebagai pembuat undang-undang.
Dalam banyak kasus, perkara persaingan usaha tidak sehat seringkali diartikan secara keliru oleh Komisi Pengawas Pesaingn Usaha. Terbukti, banyaknya kasus-kasus yang ditolak oleh Mahkamah Agung. Dengan lain perkataan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha selaku terjemahan pemerintah dikalahkan dalam berbagai kasus ysang mengemuka.
Kurangnya dorongan kuat dari pemerintah untuk melakukan pembenahan dari aspek stuktur lembaga pengawas persaingan usaha tidak sehat mengakibatkan ketidakpastian hukum. Alhasil, para pelaku usaha yang berasal dari negara asing lebih cenderung membatasi modal dalam melakukan investasi di Indonesia.
Berbagai komisi lain yang ada di Indonesia sehubungan dengan penindakan kegiatan anti dumping adalah Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) dan Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI). Komite ini bertugas melakukan pengawasan langsung terhadap tindakan anti dumping yang dilakukan para pelaku usaha asing yang memasukkan produknya ke Indonesia, apakah itu berdasarkan penerimaan laporan aduan dari pengusaha lokal maupun penyidikan atau pemeriksaan sendiri yang dilakukan oleh komisi.
Kurangnya tindakan tegas yang diambil komite anti dumping sangat mempengaruhi banyak aspek didalam pasar, seperti : meningkatnya produk impor barang dan jasa yang berbasis harga murah, berkurangnya pendapatan negara dari sisi devisa, kerugian bagi pelaku usaha nasional, dan sebagainya.
Kedua, Budaya Hukum, berkenaan dengan budaya hukum dalam praktek kegiatan usaha di Indonesia salah satu permasalahan pokok yang dihadapi adalah masyarakat kita, khususnya pelaku usaha masih berkutat pada ekspansi bisnis yang mengutamakan persaingan lokal daripada persaingan ditingkat internasional. Kurangnya dukungan pemerintah terhadap persaingan usaha antara lokal dan asing mengakibatkan timbulnya suatu pola kebiasaan yang dipegang teguh bahwa satu-satunya cara dalam membangun kegiatan ekonomi nasional adalah melalui invesasi asing. Prinsip ini merupakan budaya hukum yang kurang menguntungkan bagi pelaku usaha nasional, sehingga dalam berbagai praktek kegiatan usaha, asing lebih diuntungkan oleh pemerintah. Salah satu contoh kasus menarik mengenai anti dumping dalam sehubungan dengan kurangnya dukungan pemerintah Indonesia terhadap persaingan antara pengusaha lokal dengan pengusaha asing di negara asing adalah tuduhan anti dumping yang dialamatkan pengusaha korea melalui Komisi Anti Dumping Korea terhadap Pengusaha Indonesia di bidang produksi kertas.[10]
Dalam kasus tuduhan anti dumping tersebut, produk kertas Indonesia dilarang masuk ke pasar konsumen Korea dengan alasan bahwa harga kertas yang diterapkan oleh pengusaha Indonesia tidak bersaing. Padahal, jika dikaji dari kriteria anti dumping menurut WTO justru pengusaha Indonesia tidak masuk dalam kategori persaingan curang atau tidak sehat. Demikian pula jika dikaji dari aspek hukum nasional, bahwa pengusaha Indonesia tidak dapat dikategorikan melakukan anti dumping. Selanjutnya, pemerintah Indonesia memprakarsai untuk membawa kasus tersebut kepada proses penyelesaian sengketa dengan mengajukan gugatan terhadap pengusaha korea ke panel Dispute Settlement Mechanism WTO (DSB-WTO). Meskipun WTO memenangkan pengusaha Indonesia, namun sampai saat ini pemerintah Indonesia tidak berdaya untuk memaksakan dijalankannya putusan untuk mencabut larangan anti dumping yang diterapkan negara Korea.
Ketiga, Substansi hukum, bahwa substansi hukum berkenaan erat dengan bagaimana hukum dapat diprediksi (predictability), sehingga hukum mampu bertahan dalam persfektif kemajuan jaman dan persaingan global. Yang dimaksud dengan predictability adalah sebagai berikut :[11]
“The need for stability is especially great in countries where most people are entering for the first time into economic relationships beyond their traditional social environment”. Included in the stability function is the potential of law to balance and acomodate competing interest”.
Sudah merupakan rahasia umum, bahwa substansi hukum di bidang persaingan usaha di Indonesia dalam kerangka anti dumping kurang diterapkan secara tepat. Hal ini dapat dilihat dari berbagai studi kasus dan laporan yang mengemukakan bahwa lebih murahnya produk import dibandingkan produk lokal untuk jenis dan barang yang sama. Persaingan harga yang tidak sehat ini dikarenakan faktor kekuatan ekonomi antara pelaku usaha negara eksportir dengan negara importir secara kontras berbeda. Adanya indikasi penguasaan pasar nasional untuk berbagai industri di Indonesia yang dilakukan asing secara sadar kurang mendapat antisipasi dari pemerintah Indonesia, sehingga otomatis pelaku usaha lokal sedikit demi sedikit mengalami kerugian, seperti : produk-poduk pertanian impor yang sangat murah.
Sampai saat ini,[12] sekurangnya terdapat 64 negara yang menerapkan anti dumping. Untuk negara berkembang India adalah negara yang paling sering menerapkannya. Sementara negara yang paling sering terkena tindakan anti dumping adalah China.[13] Atas sikap India yang sangat tegas dalam menerapkan ketentuan anti dumping melalui perangkat hukum ayng dimilikinya menyebabkan negara ini banyak mendapatkan gugatan dari negara-negara lain melalui WTO. Namun demikian dengan cara inilah yang merupakan satu-satunya jalan bagi India untuk melindungi industri dalam negeri dari kehancuran perekonomian.
Sedangkan di Indonesia, kurangnya pemahaman subsansi hukum berkenaan dengan pengaturan anti dumping menimbulkan berbagai efek berkenaan dengan upaya penguatan ekonomi nasional. Implikasinya, banyak perusahaan nasional mengalami kebangkrutan karena kurangnya daya saing ditengah-tengah pasar. Melainkan, yang terjadi adalah tren pada oritentasi ke arah harapan investasi asing tanpa melihat potensi usaha nasional.
Pondasi ekonomi yang demikian itu sebenarnya kurang menguntungkan perekonomian nasional dalam jangka panjang, mengingat kebijakan anti dumping yang seharusnya melindungi pengusaha lokal, justru kurang mendapat prioritas dari pemerintah. Kondisi yang demikian cepat atau lambat akan menghancurkan sendi-sendi ekonomi nasional yang hanya bergantung kepada investasi asing. Contoh sederhana buruknya ketergantungan ekonomi ini dapat dilihat pada kasus penerapan bea masuk pajak tinggi terhadap film Hollywood yang dilakukan pemerintah Indonesia. Alhasil, akibatnya negara asing selaku investor mengancam akan menarik produk perfilman asing dari Indonesdia sebagai konsekuensi penerapan kewajiban pajak tinggi tersebut. Jika hal ini terjadi, maka usaha lokal dibidang perfilman seperti lisensi film, bioskop, tenaga kerja akan menjadi masalah baru di Indonesia.
Penerapan hukum anti dumping di Indonesia kurang begitu nyata, mengingat peraturan di bidang anti dumping yang bersumber pada konvensi Internasional WTO lebih menguntungkan pihak negara maju. Disamping adanya hukum persaingan usaha, peraturan lain yang berlaku di Indonesia sebagai bagian dari antisipasi anti monopoli adalah Undang Undang No. 10 tahun 1995 tentang Kepabean.
Rendahnya tindakan anti dumping pemerintah di Indonesia terhadap para pelaku usaha asing dalam rangka melindungi pelaku usaha lokal setidaknya dapat dilihat dari table dibawah ini.
Kasus Dumping, Subsidi, Safeguard di Indonesia
(1996-2005)[14]
Status | Dumping | Subsidi | Safeguard | Jumlah |
Dihentikan | 75 | 5 | 6 | 86 |
Dikenakan | 27 | 5 | 6 | 38 |
Dalam Proses | 14 | 1 | 1 | 16 |
Total | 116 | 11 | 13 | 140 |
III. Perlindungan Pelaku Usaha Nasional dan Pembangunan Ekonomi
Salah satu aspek penting pembangunan ekonomi nasional adalah terciptanya network pelaku usaha nasional yang mampu bersaing pada level perdagangan internasional. Untuk sampai pada taraf ini, maka peranan negara sebagai fasilitator sangat dibutuhkan, terutamanya dalam melakukan negosiasi atau perjanjian kerjasama dalam lingkup bilateral maupun multilateral.
Sumber hukum anti dumping berasal dari pelaksanaan Pasal VI GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) tentang Dumping dan Bea Masuk Antidumping. Oleh karena dumping merupakan salah bentuk persaingan yang tidak sehat dalam perdagangan intemasional, GATT/WTO mernbuka kemungkinan bagi negara anggotanya untuk membebani pelaku dumping dengan bea masuk antidumping.[15]
Salah satu kasus menarik lainnya sehubungan dengan perlindungan negara terhadap pengusaha nasionalnya adalah kasus dimana Indonesia bertindak sebagai complain-ant adalah pada kasus seng-keta Argentina-Safeguard Measures on Imports of Footwear pada tahun 1998 dan United States- Continued Dumping and Subsidy Offset Act of 200013 pada tahun 2000.[16]
Tujuan dari perlindungan pelaku usaha nasional maupun lokal ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan curang dari pelaku usaha asing yang turut serta meramaikan pasar konsumen, apakah itu melalui produk import maupun eksport. Pentingnya pelaku usaha disini karena pembangunan ekonomi dijalankan melalui proses investasi baik asing maupun dalam negeri. Investasi ini yang menciptakan siklus dalam pembangunan, seperti terciptanya lapangan kerja, tersedianya produk, harga murah, dan sebagainya.
Pembangunan ekonomi berkelanjutan (sustanable development) merupakan tujuan setiap negara, tanpa terkecuali Indonesia. Pembangunan ekonomi (development economic) dapat dicapai melalui kebijakan hukum investasi, baik itu pengenaan tarif, kemudahan mendirikan usaha, termasuk pula kebijakan anti dumping dalam kerangka melindungi (safety) kegiatan usaha nasional.
Langkah-langkah yang dijalankan Indonesia untuk melaksanakan kewajibannya sebagai anggota WTO dimaksudkan untuk mendukung azas transparansi dalam hubungan perdagangan internasional seperti penyampaian berbagai notifikasi10 dan lembaga-lembaga di dalam negeri yang bertindak sebagai contact points/enquiry points. Sejumlah notifikasi dimaksud meliputi Praktek-praktek State Trading Enterprise (STE), Perubahan konsesi tarif untuk tekstil dan produk tekstil, Customs Valuation, Preshipment Inspection, Anti Dumping, Subsidy and Countervailing Measures, Safe-guard, Import Licensing, Technical Barriers to Trade, dan Sanitary and Phytosanitary.[17]
Tujuan perdagangan internasional dalam hukum nasional adalah untuk meningkatkan pendapatan negara dalam rangka membangun perekonomian, oleh karena itu, melalui konvensi anti dumping WTO, Indonesia merativikasi perjanjian internasional tersebut, sehingga menjadi daya tarik tersendiri bagi iklim investasi Indonesia karena adanya kepastian hukum di bidang anti dumping.
Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya disingkat “UU No. 5 / 1999”) yang sampai saat ini dianggap sebagai hukum payung dan paling komprehensif yang mengatur issue persaingan usaha di Indonesia.[18] Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa UU Persaingan Usaha memiliki peranan yang penting bagi pelaku usaha dan bagi pembangunan ekonomi Indonesia. Namun sayangnya, materi hukum yang diatur dalam UU No. 5 tahun 1999 substansinya masih banyak belum menyentuh praktek hukum jika dikaitkan dengan tindakan dumping.
Perlunya pembangunan ekonomi dijalankan melalui replacement hukum, sehingga terdapat keseimbangan antara kegiatan usaha dibdiang produk dan jasa dengan kondisi persaingan nasional maupun antara negara. Untuk menciptakan hal yang demikian negara harus mampu memperbaiki budaya hukum, substansi hukum dan struktur hukum. Perbaikan mutlak diperlukan sehingga kepentingan nasional dalam kerangka perdagangan internasional melindungi pelaku usaha lokal dati tindakan-tindakan dumping pelaku usaha asing.
Stabilnya persaingan usaha dalam negeri akan melahirkan pertumbuhan ekonomi yang berujung pada pembanguan ekonomi nasional secara tepat sasaran dan bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
IV. Penutup
Berdasarkan uraian penulis tersebut diatas, disimpulkan hal-hal yang berkenaan dengan implementasi anti dumping dalam pembangunan ekonomi nasional sebagai berikut :
a. Pembaharuan stuktur hukum melalui komisi pengawas persaingan usaha dan komisi antidumping sebagai langkah awal memberbaiki iklim investasi mutlak diperlukan Indonesia, sehingga dalam prakteknya tidak mengganggu pasar investasi dan melindungi pelaku usaha nasional maupun lokal ;
b. Hukum anti dumping secara substantif harus dilakukan perubahan karena dalam pelaksanannya peraturan-peratuan yang ada sekarang masih belum tepat guna memberikan perlindungan nyata terhadap pelaku usaha nasional, sehingga akan mempengaruhi maju mundurnya pembangunan ekonomi indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Chirstophorus Barutu, “Anti Dumping Dalam General on Tariffs and Trade (GATT) dan Pengaruhnya Terhadap Peraturan Anti Dumping Indonesia”, Mimbar Hukum, Vol. 19 No. 1 Februari 2007
Hikmahanto Juwana, “Hukum Internasioanl Dalam Persfektif Indonesia Sebagai Negara Berkembang”, PT. Yarsif Watapone, Jakarta, 2010
J.D Nyhart, “The Role of Law in Economic Development”, The Meeting was a three-day Confrence on Law and Economic Development by the Solan School of Management of the Massachusetts Institute of Technology, Desember 1962
Johanes Widijantoro, “Peranan Komite Antidumping Indonesia (KADI) Dalam Mewujudkan Persaingan Usaha Yang Sehat (Fair Competition) Dalam Dunia Usaha”, pada situs : http://www.lontar.ui.ac.id//opac/themes/libri2/detail.jsp?id =78342&lokasi=lokal.
Leonard T. Theberge, “Law and Economic Development”, Journal of International Law and Policy, Vol 9 : 231.
Sukarmi, “Praktek Dumping dalam Persefektif Persaingan Usaha”, Makalah disampaikan pada acara seminar : “Implementasi Peraturan Anti Dumping Serta Pengaruhnya Terhadap Persaingan Usaha dan Perdagangan Internasional, Diselenggarakan oleh FH-Universitas Airlangga, Surabaya 21 Juni 2008
_________ “Regulasi Anti Dumping Dalam Bayang-Bayang Pasar Bebas”, Sinar Grafika, Jakarta
Sulistyo Widayanto, “Negosiasi Untuk Mengamankan Kepentingan Nasional di Bidang Perdagangan”, Edisi 43/KPI/2007, Jakarta
Syamsul Maarif., B.C. Rikrik Rizkyana, “Posisi Hukum Persaingan Usaha Dalam Sisitem Hukum Nasional”, disampaikan sebagai bahan bacaan seminar sehari “lima tahun UU No. 5 /1999, Jakarta/Surabaya, 2004.
[1] Sukarmi, “Praktek Dumping dalam Persefektif Persaingan Usaha”, Makalah disampaikan pada acara seminar : “Implementasi Peraturan Anti Dumping Serta Pengaruhnya Terhadap Persaingan Usaha dan Perdagangan Internasional, Diselenggarakan oleh FH-Universitas Airlangga, Surabaya 21 Juni 2008, hal. 1.
[2] Hikmahanto Juwana, “Hukum Internasioanl Dalam Persfektif Indonesia Sebagai Negara Berkembang”, PT. Yarsif Watapone, Jakarta, 2010, hal. 17.
[3] Ibid. hal. 18.
[4] Ibid
[5] Lih. butir a bagian menimbang UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
[6] Butir b dan c UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
[7] Penjelasan Ketentuan umum UU No. 5 tahun 1999 menyatakan (dikutib) : “....Undang-undang ini disusun berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serta berasaskan pada Demokrasi Ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara pelaku usaha dan kepentingan umum dengan tujuan untuk : menjaga kepentingan umum dan konsumen ;menumbuhkan iklim usaha yang kondusif melalui terciptanya persaingan usaha yang sehat dan, menjamin kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi setiap orang ; mencegah praktek-prkatek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehatyang ditimbulkan oleh pelaku usaha ; serta menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha dalam rangka meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salahs atau upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat”.
[8] Sukarmi, “Regulasi Anti Dumping Dalam Bayang-Bayang Pasar Bebas”, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal. 7l
[9] J.D Nyhart, “The Role of Law in Economic Development”, The Meeting was a three-day Confrence on Law and Economic Development by the Solan School of Management of the Massachusetts Institute of Technology, Desember 1962, hal. 119.
[10]Pelaku usaha eksportir Indonesia yang terdiri dari PT. Indah Kiat Pulp and Paper, Tbk., PT. Pindo Deli and Mills, Cs., dinyatakan melakukan anti dumping oleh Korean Trade Commission (KTC) pada 20 September 2002 yang mengakibatkan berkurangnya pendapatan brutto Indonesia. Tuduhan anti dumping diprakarsai oleh para pelaku usaha Korea yang bergerak dibdiang produk yang sama.
[11] Leonard T. Theberge, “Law and Economic Development”, Journal of International Law and Policy, Vol 9 : 231, comment faculty, page 232.
[12] Chirstophorus Barutu, “Anti Dumping Dalam General on Tariffs and Trade (GATT) dan Pengaruhnya Terhadap Peraturan Anti Dumping Indonesia”, Mimbar Hukum, Vol. 19 No. 1 Februari 2007, hal. 59
[13] Ibid.
[14] Sumber : Direktorat Pengamanan Perdagangan Departemen Perdagangan Republik Indonesia
[15] Johanes Widijantoro, “Peranan Komite Antidumping Indonesia (KADI) Dalam Mewujudkan Persaingan Usaha Yang Sehat (Fair Competition) Dalam Dunia Usaha”, pada situs http://www.lontar.ui.ac.id//opac/themes/libri2/detail.jsp?id=78342&lokasi=lokal.
[16] Sulistyo Widayanto, “Negosiasi Untuk Mengamankan Kepentingan Nasional di Bidang Perdagangan”, Edisi 43/KPI/2007, Jakarta, Hal. 8.
[17] Ibid. hal. 7
[18]Syamsul Maarif., B.C. Rikrik Rizkyana, “Posisi Hukum Persaingan Usaha Dalam Sisitem Hukum Nasional”, disampaikan sebagai bahan bacaan seminar sehari “lima tahun UU No. 5/ 1999, Jakarta/Surabaya, 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar