PEMBAJAKAN HASIL KARYA CIPTA LAGU DAN MUSIK
DALAM DIMENSI PENEGAKAN HUKUM
(Kajian Dari Sudut Pandang Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi)[1]
By. Agus P. Pasaribu, SH.[2]
Abstract
Pembajakan hak cipta atas musik dan lagu merupakan salah satu persoalan hukum di negara berkembang seperti Indonesia. Bahkan, pembajakan tersebut dianggap lumrah adanya di masyarakat, tanpa peduli strata ekonomi. Pembangunan ekonomi yang didasarkan pada pembaharuan pondasi hukum berkenaan dengan tiga elemen pernting, yaitu : struktur, budaya dan substansi hukum, oleh karena itu ketiga elemen tersebut merupakan titik tolak penting dalam menciptakan penegakan hukum, sehingga sarana check and balance dalam penegakan hukum di bidang hak cipta lagu dan musik dapat diupayakan.
Keywords : Pembajakan, Hak Cipta, Struktur, Budaya, Substansi
I. Pendahuluan
Dewasa ini pembajakan Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) di Indonesia khususnya hasil karya cipta seni (lagu dan musik) sudah sampai pada taraf yang sangat mengkhawatirkan, sehingga kalangan produsen, pelaku usaha, pencipta, musisi, dan penyanyi mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, berupaya memikirkan langkah antisipatif apa yang harus dilakukan untuk mencegah kerugian yang lebih besar dimasa yang akan datang. Bayangkan,[3] sebuah lagu yang belum resmi diedarkan pun, cakram bajakannya sudah beredar luas di lapak-lapak. Pajak penjualan yang seharusnya masuk negara menyelonong ke kantong pembajak. Sebagai contoh, menurut Direktur Nagaswara Rahayu Kertawiguna menyatakan, dikutib:[4]
“Pembajakan atas lagu-lagu produksi nagaswara mencapai puncaknya. Penjualan CD dan MP3 kami tinggal 7.000 keping sebulan dari biasanya 15.000 keping. Tapi, CD bajakan laku keras”.
Untuk mengatasi perdagangan CD dan MP3 bajakan (piracy) tersebut, pihak Nagaswara mengambil kebijakan strategi pemasaran sebagai berikut :
“....bersiasat dengan membuka Nagaswara Original Story (NOS), toko yang menjual CD dan MP3 asli produksi Nagaswara di Plaza Glodok, Jakarta. Harga produk asli alias original itu sama dengan harga cakram bajakan, yakni Rp. 6.000,- per keping. Tidak tanggung-tanggung, NOS dibuka tepat ditengah-tengah pedagang cakram bajakan yang ada”.[5]
Lebih lanjut Rahayu Kertawiguna menyatakan pula (dikutib) :[6]
“Langkah tersebut merupakan simbol melawan pembajakan dengan damai. Kalau pakai cara-cara razia, mereka sudah tidak mempan”.
Persoalan pembajakan hak atas kekayaan intelektual memang persoalan klasik yang mendera negara-negara berkembang pada umumnya, tanpa terkecuali Indonesia, sehingga tidak mengherankan apabila Indonesia dimasukkan sebagai salah satu negara yang patut mendapatkan pengawasan ketat dalam hal penggunaan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HaKI). Bahkan, belakangan Amerika Serikat (USA) sebagai negara maju telah memasukkan Indonesia ke daftar hitam (black list) salah satu negara pembajak HaKI terbesar di dunia. Kondisi yang demikian sangat tidak menguntungkan perekonomian Indonesia dalam jangka panjang, mengingat Indonesia sebagai negara tujuan investasi masih bergantung kepada penanaman modal asing. Kurang maksimalnya penegakan hukum HaKI di Indonesia dengan sendirinya mengurangi kepercayaan investor asing. Namun, persoalannya penegakan hukum HaKI di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia memang sangat rumit dan kompleks, karena mengubah wajah hukum melalui pembenahan sistem hukum yang diletakkan pada tiga elemen, yaitu : struktur, budaya dan substansi hukum. Dimana ketiga elemen tersebut masih dalam keadaan tidak terdesain dengan baik.
Sehubungan dengan pelanggaran HaKI, kepedulian Pemerintah Indonesia terhadap nilai-nilai pengaturan kekayaan intelektual menjadi lebih berbobot dalam situasi sekarang ini, khususnya Hak Cipta yang dimulai dari peraturan kolonial sampai dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 telah mengalami beberapa kali dikeluarkannya Undang-Undang yang mengatur tentang Hak Cipta. Bahkan sebagai anggota dari beberapa organisasi dunia Pemerintah Indonesia telah ikut meratifikasi beberapa peraturan-peraturan internasional tentang Hak Kekayaan Intelektual, dengan meratifikasi Bern Convention of the Protection of Liberary and Artistik Works (Konvensi Bern 1886).[7] Perkembangan perdagangan internasional juga memunculkan HKI sebagai issu yang penting yang dipakai sebagai bagian dari instrumen perdagangan oleh negara-negara maju untuk memaksakan kehendaknya kepada negara berkembang dengan memasukkan HKI sebagai bagian tak terpisahkan dalam Perundingan Putaran Uruguay yang ditandai dengan terbentuknya the World Trade Organisation yang dalam Annex atau lampirannya memuat TRIPs (Trade Related Aspects on Intellectual Property Rights and Counterfeit Goods). Pemerintah Indonesia yang meratifikasi perjanjian WTO maka Indonesia juga harus meratifikasi Konvensi Bern karena konvensi ini merupakan salah satu dari tiga konvensi yang wajib diratifikasi oleh negara peserta WTO. KEPPRES no 18/1997 tentang ratifikasi Konvensi Bern pada tanggal 7 mei 1997 menjadi dasar bagi Pemerintah Indonesia untuk menyesuaikan UU hak cipta sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Konvensi Bern.[8]
Sebagai gambaran kasar, disini diuraikan data pembajakan hak atas kekayaan inteletual terhadap musik sebagai berikut :[9]
“Pembajakan merupakan ancaman terbesar dalam industri musik
Menurut data ASIRI 2007, penjualan musik ilegal atau bajakan mencapai 95,7% sementara musik legal hanya tinggal 4,3%. Hal ini menunjukkan gagalnya penegakan terhadap UU No.19/2002 tentang Hak Cipta.
Bahkan, kasus pembajakan, dalam tahun 2007 saja diestimasikan bahwa jumlah unit bajakan yang terjual naik 15% dibandingkan tahun 2006.[10]
Kasus pembajakan di bidang hak cipta musik tersebut diatas, pada tahun sebelumnya lebih kecil, artinya, tahun demi tahun usaha pembajakan telah menguasai pangsa pasar konsumen.
Fakta diatas merupakan data empiris tentang pembajakan hak atas kekayaan intelektual (musik dan lagu) yang terjadi di Indonesia. Meskipun pemerintah telah berupaya memperbaiki instrumen hukum, namun hasilnya tidak begitu signifikan. Dalam proses penegakannya, Pemerintah sepertinya enggan menyeret para pelaku pembajakan ke meja hijau, hal ini terbukti dari volume kasus di bidang pembajakan musik dan lagu sangat sedikit atau bahkan jarang. Pada konteks yang berbeda, aparat penegak hukum (kepolisian) telah gencar melakukan sweeping di lapangan untuk menangkap para pedagang CD bajakan, namun sangat ironis karena ditengah-tengah upaya penegakan hukum yang demikian, perdagangan CD bajakan justru semakin luas menguasai pasar konsumen, bahkan pembajakan sudah sampai pada taraf industri, sehingga mengakibatkan kerugian pendapatan negara, musisi, penyanyi dan produsen. Budaya pembajakan menjadi sesuatu yang tren dilakukan dan bukan rahasia lagi bahkan terkesan legal. Pelanggaran HaKI tidak perlu ditakuti para pedagang. Sekarang ini, sudah menjadi fakta bahwa penjualan CD bajakan telah memasuki pasar modern seperti pusat perbelanjaan, seperti Mall. Dengan adanya situasi yang demikian itu, secara sederhana masyarakat akan menangkap suatu asumsi bahwa penjualan CD bajak bukan merupakan pelanggaran hukum yang serius. Artinya, secara tidak langsung ditengah-tengah masyarakat terbentuk budaya hukum menurut pola kebiasaan jual-beli produk bajakan yang seolah-olah legal. Meminjam istilah Lawrence M. Friedman, ia mengartikan budaya hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum – kepercayaan, nilai, pemikiran serta harapan.[11]
Pelanggaran hukum HaKI di negara berkembang tidak kalah menariknya jika dibandingkan dengan kerugian yang ditimbulkan karenanya di negara maju, sebagai perbandingan diuraikan data kerugian pembajakan (piracy) HaKI di negara maju sebagai berikut :
“....many software user there also pirate what they use : United State (27 percent of software application in user), Japan (32 percent), Germany (33 percent), and France (44 percent). The dollar losses to software pirates in the United States in 1997 were estimated at nearly US$ 2.8 billion, twice the figure for China, and many of the U.S. “losses” were in fact lose sales. U.S. Dollar losses to pirates in Japan are an estimated 750 million and in Germany more than 500 million (Bussiness Software Alliance 1998).[12]
Dengan tingginya kuantitas maupun kualitas pembajakan hak atas kekayaan inteletual (HaKI) di negara berkembang dalam kaitannya dengan kerugian yang ditimbulkan, maka implikasi nyata yang timbul karenanya adalah kerugian pendapatan, baik bagi pemerintah negara maju maupun berkembang. Negara dari aspek ekonomi akan kurang diuntungkan persoalan tersebut. Kerugian ekonomi ini sebenarnya masih dapat diminimalisir jika saja pemerintahan di tiap-tiap negara berkembang maupun maju melakukan pembenahan terhadap bangunan hukum yang ada dalam bentuk sinergi.
Bercermin dari uraian latar belakang tersebut diatas, pertanyaan yang relevan untuk dijawab adalah bagaimanakah keterkaitan antara struktur, budaya dan substansi hukum dalam sistem hukum sebagai bentuk upaya penegakan HaKI yang berorientasi pada tujuan pembangunan ekonomi?. Makalah ini akan menganalisis peranan hukum terhadap pembangunan ekonomi. Adapun kajian tulisan bersifat deskriktif. Dikatakaan deskriktif karena pembahasan akan menguraikan hubungan sebab akibat antara perbaikan struktur, budaya dan substansi hukum berkenaan dengan penegakan HaKI.
II. Data Pembajakan HaKI Atas Musik di Indonesia
Diantara jenis-jenis ciptaan yang dilindungi Hak Cipta, terdapat tiga produk ciptaan yang paling parah didera pembajakan. Ketiga produk tersebut adalah musik, film, dan software. Dalam dua dekade terakhir ini, para copyright, holder, film, musik dan software sangat serius memerangi praktek pembajakan. Organisasi atau asosiasi di bidang industri musik, distributor film, dan vendor, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, telah aktif melakukan kampanye anti piracy.[13] Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, tingkat pembajakan terhadap hasil karya seni musik dan lagu di Indonesia telah jauh melampaui perdagangan resmi produk asli (original) sehingga sangat merugikan pembangunan ekonomi Indonesia.
Berikut ini disajikan data peredaran produk ilegal karya rekaman suara (dalam unit) yang dipublikasikan oleh Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI) :[14]
Data ASIRI (Asosiasi Industri Rekaman Indonesia) menggambarkan seberapa parah tingkat pembajakan di Indonesia. Apabila pada tahun 1996, perbandingan antara produk dengan bajakan masing-masing mencapai 77.552.008 (legal) dan 23.068.225 (ilegal), pada tahun 1997 perbandingan itu sudah berbalik. Artinya, produk bajakan jauh lebih banyak dibanding produk asli. Perbandingannya, 112.835.989 bajakan, dan 67.356.071. Pada tahun 2000, tercatat angka pembajakan yang mencapai 240.084.555, sementara produk original hanya seperlimanya. Data terakhir tahun 2007 benar-benar mencatat kondisi terburuk, dengan perbandingan 19.398.208 legal, dan 443.556.298 ilegal.[15]
Berdasarkan data tersebut diatas, kerugian yang diderita industri rekaman sebagai akibat pembajakan, tergambar dalam tabel di bawah ini. Angka-angka itu sudah bersifat self explanatory yang sekaligus menggambarkan parahnya praktek pembajakan.[16]
Perkiraan Kerugian Industri Akibat Pembajakan Rekaman Suara
Keterangan:
Harga Jual Tertinggi : VCD Rp.35.000,00, CD Rp.60.000,00 dan Kaset Rp.22.500,00.
Grafik kerugian materil sebagai akibat pembajakan karya cipta musik dan lagu di Indonesia sebagai berikut :
Dari segi kepentingan negara, Pemerintah juga dirugikan akibat hilangnya pendapatan dari sektor pajak. Data di bawah ini akan menjelaskan, betapa total kerugian yang tahun 1996 baru sebesar Rp14.440.779.375,00 pada tahun 2002 telah mencapai Rp1.194.034.945.600,00 (Satu trilyun seratus sembilan puluh empat milyar tiga puluh empat juta sembilan ratus empat puluh lima ribu enam ratus rupiah) atau dengan US$ 100.019.680,00. Data terakhir, pada tahun 2007, kerugian turun dibanding tahun 2002 dan 2003 menjadi Rp1.122.419.212.975,00 atau dengan US$ 94.044.341,00.
Sejalan dengan data kuantitatif diatas, dikawasan Asia Tenggara bukan hanya Indonesia saja yang merupakan tempat yang dinilai sebagai surga pembajakan tetapi ada juga negara-negara lain seperti Malaysia, Thailand, Filipina, dan Singapura. Indonesia sendiri tingkat pembajakan film seperti film-film Amerika semacam kartun, drama, dokumenter, ilmu pengetahuan, action mencapai 98 %.[17]
Sebagai perbandingan, disajikan pula data kerugian neraca perdagangan Ameriksa Serikat (USA) dalam jumlah Dollar AS sebagai akibat pembajakan (piracy) sebagai berikut :
| Film |
| Rekaman Musik |
| Buku |
|
Negara | Rugi | Tingkat Pembajak an | Rugi | Tingkat Pembajak an | Rugi | Tingkat Pembajak an |
Australia | 27,0 | 4 % | 3,8 | 4 % | 1,2 | n/a |
China | 124,0 | 100 % | 3000,0 | 54 % | 125,0 | n/a |
Hongkong | 10,0 | 4 % | 5,0 | 13 % | 2,0 | n/a |
India | 58,0 | 99 % | 10,0 | 30 % | 25,0 | n/a |
Indonesia | 15,0 | 89 % | 2,0 | 9 % | 45,0 | n/a |
Jepang | 108,0 | 10 % | n/a | n/a | 1,5 | n/a |
Malaysia | 42,0 | 85 % | 1,9 | 16 % | 6,0 | n/a |
Filipina | 26,0 | 90 % | 3,0 | 22 % | 70,0 | n/a |
Singapura | 1,8 | 2 % | 2,4 | 9 % | 1,0 | n/a |
Thailand | 29,0 | 65 % | 5,0 | 13 % | 32,0 | n/a |
Taiwan | 29,0 | 15 % | 5,0 | 13 % | 6,0 | n/a |
Sumber : Intelectual Property Alliance IPA dan Eddy Damian (199) sebagaimana dikutib oleh Pretty Rina Prasetyas, dalam tulisan berjudul : “Problematika Hak Cipta di Indonesia : Masalah Upaya Perlindungannya”, Widyariset Vol. 2, 2001, hal. 172[18]
III. Hubungan Stuktur, Budaya dan Substansi Hukum Dalam HaKI
Sebagaimana disinggung diatas, sistem hukum terdiri dari tiga komponen, yaitu : struktur, substansi dan budaya hukum.[19] Stuktur hukum adalah kerangka atau rangkanya, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan keseluruhan. Yang dimaksud dengan substansi adalah aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Budaya hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum – kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Dengan kata lain, bagian dari budaya hukum itulah yang menyangkut sistem hukum.[20]
Ketiga komponen sistem hukum yang disebutkan diatas, akan dibahas pada bagian berikut dalam kaitannya dengan aspek penegakan hukum di bidang Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI). Sebagai komponen dari suatu sistem hukum, maka pembenahan komponen struktur, substansi, dan budaya hukum akan menghasilkan kontrol sosial. Dimana fungsi kontrol sosial disini justru merupakan fungsi daripada hukum. Oleh karena itu, sistem hukum sangat berkait erat pula dengan perilaku aparat yang mengontrolnya.
A. Stuktur
Penegakan hukum dalam sejarahnya selalu berkait erat dengan aparat penegak hukum, seperti Jaksa, Hakim, Pengacara dan Kepolisian. Tanpa adanya aparat penegak hukum, maka sia-sialah rasanya perumusan peraturan yang paling baik sekalipun. Penegakan hukum di bidang HaKI mempunyai relevansi penting dengan peranan hukum dalam pembangunan ekonomi (economic development). Disini, struktur berkenaan dengan tempat para aparat hukum menjalankan fungsi dan kewenangannya untuk menegakkan ketentuan hukum. Penegakan ketentuan hukum dibidang HaKI ini mencakup : proses pengadilan (due process law), pemberian sanksi, pemberian penghargaan (reward), dan mekanisme lain yang dapat ditempuh sepanjang sifatnya menetapkan suatu perbuatan. Meminjam istilah H.L.A. Hart peraturan yang demikian disebut Secondary Rule. Jadi peraturan untuk menegakkan hukum materil HaKI dilandasi oleh aturan penegakan perilaku aparat hukum, seperti: UU Mahkamah Agung, Kejaksaan, Kepolisian, Advokat dan sebagainya yang bersifat hukum formal.
Secara non litigasi, mengingat banyaknya kasus-kasus pelanggaran hak cipta musik dan lagu di Indonesia, maka pemerintah perlu mendesain struktur alternatif penyelesaian sengketa HaKI yang bersifat final dan mengikat (final and binding), seperti Arbitrase, Mediasi, atau Konsiliasi. Sehingga, pelaksanaan putusannya lebih mudah, sederhana, dan tidak menelan biaya (cost) yang mahal. Dengan diciptakannya sistem ADR, maka akan memudahkan proses penegakan hukum HaKI secara perdata (civil).
Sistem penyelesaian sengketa non litigasi (di luar pengadilan} ini sejalan dengan prinsip HKI yang lebih bersifat Hak-hak Pribadi (personal rights), dengan demikian penggunaan ADR dalam menyelesaian sengketa sengketa pelanggaran musik lagu adalah tepat. Penggunaan ADR dan arbitrase dalam menyelesaikan sengketa-sengketa HKI mulai banyak dipergunakan. Penggunaan arbitrase itu panting sebagaimana tersebut diatas disimpulkan, peradilan atas kasus HKI buruk,
dan kondisi pembajakan di Indonesia telah mengakar di masyarakat, perlu proses penanganan alternatif untuk menyelesaikan sengketa HKI. Pada kenyataannya, penyelesaian sengketa musik dan Iagu di Indonesia relatif.masih sedikit dan belum banyak digunakan.[21]
Secara empiris, masih sedikit kasus-kasus pelanggaran hak cipta musik dan lagu yang diselesaikan oleh aparat hukum, apakah itu melalui pemeriksan pidana maupun perdata, baik secara kelembagaan pengadilan (litigasi) maupun diluar pengadilan (non litigasi). Sejalan dengan itu, menurut Martin Suryana menyebutkan,[22] dengan dikembangkannya ADR dan Arbitrase diharapkan dapat menjadi alternatif bagi masyarakat untuk mendapat keadilan dalam penyelesaian perselisihan tersebut. Fungsi hukum yang luas dapat disebut sebagai penyelesaian sengketa (dispute settlement).[23] Menurut Richard L. Abel, sengketa (dispute) adalah pernyataan publik mengenai tuntutan yang tidak selaras (incosistent claim) terhadap sesuatu yang bernilai. Kepemilikan hak atas kekayaan intelektual secara filosofis merupakan hak atas kebendaan. Oleh karena itu, setiap orang wajib menjunjung tinggi atas hak kepemilikan HaKI yang dimilik secara sah.
Berkaitan dengan kepemilikan HaKI ini, maka sudah menjadi tugas aparat hukum untuk menentukan dan menetapkan apa yang menjadi perbuatan melanggar hukum, sehingga bagi pihak yang melanggar dengan cara melakukan pembajakan, wajib dikenakan sanksi apakah dalam bentuk pidana maupun ganti kerugian yang bersifat perdata. Dalam proses penegakan hukum ini, maka disinilah letak peranan struktur sebagai mekanisme menemukan keadilan. Struktur menjadi filtrasi untuk menemukan apa yang menjadi hukum dalam kerangka melindungi hak-hak Individu dari tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh manusia. Kepemilikan HaKI dalam bentuk seni musik dan lagu secara hukum mempunyai nilai ekonomis, oleh karenanya sudah menjadi kewajiban negara melalui struktur hukum yang ada menegaskan aturan hukum dalam rangka perlindungan. Pentingnya stuktur dalam sistem hukum
B. Substansi
Penelaahan hukum sebagai sarana (tools) untuk menciptakan keadilan merupakan prinsip dasar tujuan hukum. Dalam lapangan praktis, penegakan hukum dapat dicapai secara maksimal apabila substansi hukum yang dimuat (dalam arti : primary rules) dalam undang-undang tertata dengan baik. Berkenaan dengan substansi hukum, maka perlu diterapkannya sinkronisasi peraturan undang-undang untuk menghindari ketumpang-tindihan aturan, sehingga dalam proses penegakannya memudahkan bekerjanya struktur hukum, sedangkan di dalam struktur hukum itu sendiri terdapat aparat hukum yang menjadi oknum penegak hukum.
Substansi hukum adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sistem hukum. Substansi hukum yang dibuat harus mencerminkan asas keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Landasan hukum sebagai substansi penegakan hukum dalam bidang hak cipta musik dan lagu tercermin pada pasal-pasal UU No. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta. Lahirnya undang-undang hak cipta di Indonesia dalam implementasinya sangat sulit dijalankan, hal ini karena pada dasarnya substansi UU Hak Cipta hanya mengadopsi hukum HaKI yang berlaku di negara penganut sistem hukum common law. Kesulitan penegakan hukum dibidang hak cipta musik dan lagu karena antara substansi hukum dengan budaya hukum masyarakat tidak sinkron.
Undang Undang No. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta dibuat lebih mengendepankan pengambilan kebijakan yang bersifat top-down. Dengan kata lain, hukum hak cipta dihasilkan melalui suatu proses legislasi yang tidak melihat kebutuhan masyarakat berdasarkan hukum yang hidup (living law). Hal ini yang mengakibatkan sulitnya undang-undang hak cipta yang dibuat untuk beradaptasi terhadap hukum di dalam sistem peradilan Indonesia. Secara umum hukum dengan sistem peradilan dalam ekonomi pasar harusnya mampu :
“(1). Estabilish the standart rules of socio-economic interaction ;
(2). Set the rules of interaction between the public ant the private sector ;
(3). Envorce these rules through the court, and
(4). Resolve conflict among individuals and groups”.[24]
Jadi, dengan perumusan substansi hukum Hak Cipta yang bersifat top-down, maka tidak mengherankan apabila kemudian proses penegakannya akan menghadapi banyak kendala di dalam lapangan praktek hukum. Substansi hukum Hak Cipta kurang dipahami para penegak hukum karena proses pembuatannya kurang didasarkan pada riset atau penelitian yang benar-benar mengacu kepada tingkat kebutuhan masyarakat dibidang hukum hak cipta. Oleh karena itu, setiap proses kodifikasi hukum harus didasarkan pada tujuan berdasarkan kebutuhan substansi.
C. Budaya
Budaya hukum adalah salah satu dari tiga pilar utama pembenahan sistem hukum. Berkaitan dengan budaya hukum masyarakat Indonesia yang cenderung permisif, melahirkan ketidaktaatan hukum sebagai akibat dari kurangnya kesadaran arti pentingnya hak ekonomi hak cipta musik dan lagu bagi pencipta, musisi, produser dan pendapatan negara dalam rangka meningkatkan perekonomian.
Alasan konsumen membeli kaset[25] didasarkan pada kelebihan yang dimiliki oleh produk kaset, karena kepraktisan, harganya murah, awet, mudah didapat, mudah digunakandan dapat digunakan dimana saja dibanding membeli produk industri rekaman yang lain seperti VCD, DVD, MP3 yang belum tentu masyarakat memiliki produk-produk tersebut. Dijualnya produk bajakan kaset oleh pedagang kaki lima diantaranya karena :[26]
“a. Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi ini menjadi pendorong utama terjadinya pembajakan kaset. Kondisi ini tidak lepas dari rendahnya tingkat pendapatan masyarakat serta tingginya angka pengagguran, sehingga ada sebagian masyarakat kita yang mencari produk bajakan memanfaatkan kegiatan-kegiatan yang terjadi dimasyarakat seperti : pasar malam, pasar kaget dan keramaian lainnya,. Pemilihan lokasi penjualan kaset bajakan ini didasarkan strategi bahwa tempat-tempat tersebut hanya berlangsung sesaat, sehingga merasa aman untuk berjualan.
b. Faktor sosisal budaya
Masyarakat kita secara sosial budaya belum terbiasa untuk membeli produk asli, terutama untuk produk industri rekaman.
c. Faktor Pendidikan
Selama ini masyarakat kita kurang mendapat sosialisasi atau penyuluhan mengenai Undang Undang Hak Cipta. Keadaan tersebut mengakibatkan sebagian masyarakat tidak mematuhi ketentuan yang berlaku dalam Undang-Undang Hak Cipta. Ketidakpatuhan terhadap Undang Undang Hak Cipta dipengaruhi oleh faktor ketidaktahuan dan ketidakpahaman masyarakat sebagai akibat kurangnya informasi yang diterima ketidakpatuhan masyarakat terhadap ketentuan yang berlaku dalam Undang Undang Hak Cipta tidak hanya dilakukan oleh masyarakat biasa, tetapi juga dilakukan oleh masyarakat menengah yang mempunyai tingkat pendidikan, sarjana, dan pascasarjana.
d. Rendahnya sanksi hukum yang dijatuhkan
Sanksi hukum terhadap pembajakan kaset dikenakan hanya pada pembajak dan belum sampai keapda konsumen yang membeli produk bajakan”.
Berdasarkan uraian penulis diatas, terlihat bahwa timbulnya pembajakan hasil karya cipta seni musik dan lagu berkait erat dengan budaya hukum dan kepatuhan hukum masyarakat. Bagi sebagian kalangan, pembelian produk bajakan dianggap bukan merupakan pelanggaran hukum yang serius. Oleh karena itu, diperlukan pembinaan budaya hukum masyarakat melalui aspek pendidikan. Pembinaan pendidikan hukum dilakukan dengan merubah orientasi kebijakan yang semula represif menuju preventif sebagai bentuk upaya antisipatif untuk meminimalkan kekeliruan konsumen. Bangunan hukum sehubungan dengan pembinaan budaya hukum masyarakat melalui produk perundang-undangan dibidang Hak Cipta dapat dirumuskan melalui politik hukum undang-undang. Selanjutnya, direalisasikan pendidikan hukum yang didasarkan pada paradigma penghargaan terhadap nilai hak kekayaan intelektual berdasarkan pemahaman ekonomi hak individu. Pembinaan perilaku masyarakat dapat dilakukan melalui berbagai penyuluhan hukum atau sosialisasi bentuk lain, sehingga dalam kehidupan masyarakat terbiasa untuk menghargai hak cipta atas musik dan lagu.
IV. Prinsip Penegakan Hukum Hak Cipta Dalam Pembangunan Ekonomi
Penegakan hukum dalam pembangunan ekonomi merupakan salah satu hal yang mutlak untuk mendapat perhatian di era globalisasi ini. Untuk menentukan apakah suatu hukum signifikan terhadap pembangunan ekonomi, maka hukum harus kondusif terhadap pembangunan. Menurut study hukum dan pembangunan yang dilakukan Burg’s menyatakan sebagai berikut : [27]
“...five qualities in law wich render it conducive to development : (1) Stability ; (2) Predictibility ; (3) Fairness ; (4) Education and (5) The special development abilities of the lawyer.”.
Kelima syarat diatas merupakan faktor penentu bagaimana bekerjanya hukum. Uraian lanjut faktor-faktor tersebut dijelaskan sebagai berikut : [28]
“The need for preditability is specially great in countries where not people are entering for the first time into economic relationship beyond their traditional sosial environment. Included in the stability function is the potentia of law to balance and accomodate competing interest.
Aspect of fairness, suc as due process, equalitiy of treatment, and standars for goverment behaviour, have been emphasized by other writters as necessary for both maintenance of the market mecanism and the prevention of bureaucratic excesses. A lack of standards of fairness is said by some scholars to be one of the greatest problem confronting LDC’s”.[29]
Sedangkan faktor pendidikan hukum dalam pembangunan ekonomi dapat dijelaskan sebagai berikut :[30]
“Closely associated with the goal-giving quality ist the law capability to act as a habit forming force that cvan confirm old habits or create new responses amd condition.
Berkenaan dengan faktor kecakapan para penegak hukum, juga merupakan persoalan penting agar dapat bekerjanya hukum dalam pembangunan ekonomi. Disini peranan penegak hukum mempunyai posisi sentral untuk menegakkan aturan yang diterjemahkan dalam bentuk undang-undang, apakah itu undang-undang yang berasal atau bersumber dari kebijakan yang bersifat botton-up maupun top-down. Penegakan hukum hak kekayaan intelektual dibidang hak cipta seni dan musik di Indonesia bisa dikatakan belum menjadi prioritas pemerintah dalam kerangka pembangunan. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila kemudian belum terdapatnya upaya preventif yang maksimal, melainkan masih sebatas pada tindakan represif itu pun bersifat parsial.
Harus diakui, pelanggaran Hak Cipta dibidang musik tidak hanya menghancurkan industri musik domestik, tetapi juga produser asing. Para pembajak sangat diuntungkan dari praktek ini karena mereka tidak mengeluarkan biaya untuk produksi, pemasaran dan promosi. Tidak jauh dari estimasi IFPI, dua dari lima rekaman musik yang diperdagangkan di Indonesia merupakan barang bajakan.[31]
Lemahnya faktor penegakan hukum atas hak cipta musik dan lagu dalam kerangka pembangunan ekonomi akan mempengaruhi tingkat kepercayaan asing terhadap Indonesia, sehingga dengan sendirinya akan mengubah kebijakan investasi negara asing terhadap Indonesia sebagai salah satu tujuan investasi. Pemerintah dan negara asing maupun pemilik hak atas kekayaan intelektual perlu duduk bersama untuk mengkaji kebijakan sekaligus menciptakan berbagai instrumen hukum yang bersifat preventif maupun represif sebagai upaya penegakan hak atas kekayaan inteletual.
Hak atas kekayaan intelektual merupakan hak ekslusif ekonomi yang dimiliki oleh pemegang hak yang tentunya tidak mau dirugikan sebagai akibat adanya tindakan para pembajak musik dan lagu yang dilakukan di Indonesia. Kebijakan yang diambil dapat dikembangkan di pasar kosumen, seperti apa yang telah dilakukan pihak Nagaswara. Persoalan pokok timbulnya pembajakan hasil karya cipta musik dan lagu adalah adanya perbedaan selisih harga antara produk asli (original) dengan harga bajakan. Sementara, konsumen di negara berkembang umumnya masih pada taraf pendapatan perkapita yang rendah, dengan kata lain, faktor ekonomi merupakan salah satu pemicu mengapa produk bajakan begitu mudah dipasarkan. Sebagai contoh, untuk produk asli CD lagu asing biasanya harga dikisaran Rp. 70.000,- s/d Rp. 100.000,- sedangkan CD bajakan untuk jenis produk yang sama dikisaran harga Rp. 35.00,- s/d 6.000,-.
Para pelaku usaha, pemerintah, dan pemilik hak cipta harus mencari solusi jika ingin meminimalisir pembajakan. Perbedaan harga produk yang cukup kontras dapat ditempuh melalui penurunan harga bagi produk asli. Agar produsen atau pemilik hak cipta tidak dirugikan sehubungan dengan penurunan harga produk musik dna lagu, maka diperlukan peranan produsen untuk mencari alternatif langkah untuk mengurangi biaya poduksi.
Peranan pemerintah sebagai penegak hukum sekaligus wadah untuk menjembatani para pelaku usaha dengan konsumen hak cipta musik dan lagu sangat dibutuhkan. Pada tingkatan ini, pemerintah harus mempersiapkan berbagai kebijakan hukum yang sifatnya memberikan kelonggaran dan dorongan bagi produk asli agar mampu melakukan ekspansi untuk mengalahkan produk bajakan. Dari sisi penegak hukum, maka sudah waktunya pemerintah melakukan penegakan hukum secara tegas baik sanksi pidana maupun perdata bagi pembajak maupun konsumen. Langkah ini penting untuk merubah pola kebiasaan konsumen yang secara sadar selama ini turut serta melakukan pelanggaran hak cipta dengan cara membeli produk bajakan.
Selama ini pelanggaran konsumen karena membeli produk bajakan sudah menjadi budaya, sementara itu pemerintah tidak pernah menerapkan sanksi, sehingga budaya ini terus berkembang merambat kelapisan masyarakat yang berpendidikan sekalipun.
Pentingya penegakan hukum di bidang hak cipta musik dan lagu akan membawa dampak pada iklim perekonomian Indonesia yang stabil dalam pembangunan. Dengan diatasinya upaya pembajakan terhadap hak cipta musik dan lagu, maka negara diuntungkan dan mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Keuntungan ini dari sektor industri musik ini dapat diprediksi dengan perincian :
a. Pendapatan negara dari sektor pajak penjualan ;
b. Kestabilan industri musik akan menyerap tenaga kerja ;
c. Pendapatan negara dari sektor pajak royalti dan konsumen (pajak pembelian) ;
d. Pendapatan dalam bentuk devisa atas lalu lintas produk impor dan ekspor ;
e. Dan lain-lain.
V. Penutup
Peranan hukum dalam pembangunan ekonomi berkenaan dengan penegakan hukum Hak atas Kekayaan Intelektual berupa hak cipta musik dan lagu sebagaimana berdasarkan uraian diatas, maka disimpulkan hal-hal pokok sebagai berikut :
a. Pentingnya dilakukan upaya pembenahan sistem hukum dalam sub-sistem hukum hak cipta yang berkaitan dengan substansi, budaya dan struktur hukum agar penegakan hukum (law enforcement) dapat dijalankan secara maksimal dan sesuai kebutuhan menurut hukum yang hidup dimasyarakat (living law) ;
b. Peranan pemerintah sebagai pengambil kebijakan (decision maker) sekaligus aparat penegak hukum dengan pelaku usaha, pemilik hak atas kekayaan inteletual, dan pencipta perlu duduk bersama-sama untuk merumuskan instrumen hukum di pasar konsumen sehinga mampu mematikan peredaran produk bajakan atas musik dan lagu. Instrumen hukum yang akan dibuat disini harus dipahami sebagai tindakan yang bersifat represif dan preventif.
Daftar Pustaka
Djuwityastuti, “Kajian Yuridis Penerbitan Sertifiakt Lisensi Pengguna Musik Oleh Yayasan Karya Cipta Musik Indonesia (YKCI)”, Yustisia, Edisi No. 69 Sep-Des 2006
Edgardo Buscaglia., William Ratliff, “The Economic Impact of Legal Norms in Developing Countries”, California Hoover Insittution Press, Standford University, 2000
Kompas (Bsw), “Asli, Bajakan dan Pengawal Naga”, Minggu, 13 Maret 2011.
J.D Nyhart, “The Role of Law in Economic Develpoment”, disampaikan pada Konfrensi hukum dan pembangunan ekonomi Sloan School of Management of the Massachusetts Institute of Technology, Massachusetts, Desember 1961
Leonard J. Theberge, “Law ang Economic Development”, Journal of International Law and Policy, Vol. 9, : 231
Lawrence M. Friedman “American Law”, Norton & Company, New York, London,....
Mari Eka Pangestu, “Cetak Biru Industri Musik Nasional”, Bag. 2, 27 Oktober 2009
Pujiono., Dewi Sulistianingsih, “Latar Belakang Timbulnya Pembajakan Hak Cipta di Bidang Musik dan Format Kaset dan Upaya Penanggulangannya di Kota Semarang”, MMH, Jilid 37 No. 3 September 2008
Pretty Rina Prasetyas, “Problematika Hak Cipta di Indonesia : Masalah Upaya Perlindungannya”, Widyariset Vol. 2, 2001
Suryadi Daru Cahyono, “Penyelesaian Sengketa Hak Cipta Musik Melalui Alternative Penyelesaian Snekgeta Menurut Undang-Undang No. 30 tahun 1999”, Abstrak Tesis Pasca Sarjana Universitas Indonesia, dalam http://www.lontar.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id= 111531&lokasi=lokal
Yuliati, Eni Haryati, Cs., “Efektivitas Penerapan UU No. 19/2002 Tentang Hak Cipta Terhadap Karya Cipta Indilable”, Penulis Dosen pada FH-Universitas Brawijaya, Malang.
END NOTE :
[1] Baca pula teori St. Thomas Aquins yang membagi keadilan ekonomi ke dalam 3 jenis : Commutative Justice, Distributive Justice dan Social Justice. Pertama, Commutative Justice adalah berkaitan dengan beroperasinya ekonomi pasar yaitu penghormatan terhadap kontrak dan hak milik pribadi. Individu mempunyai kepentingan yang alamiah, asal tidak melukai orang lain. Kedua, Distributive Justice adalah penting untuk berfungsinya ekonomi. Hal ini berkenaan dengan pertanyaan bagaimana membagikan keuntungan kegiatan ekonomi. Bagaimana membagi “kue ekonomi”, adalah penting untuk alasan kegiatan ekonomi. Ketiga, Social Justice berkenaan dengan kebutuhan ekonomi untuk mempunyai structures dan institutions – jika hubungan ekonomi tidak baik akan berakibat kurangnya produktivitas (dikutib dari artikel karangan Erman Rajagukguk, “Filsafat Hukum Ekonomi”), www.ermanhukum.com.
[2] Agus P. Pasaribu, SH adalah alumni FH-UNRAM, sekarang berprofesi sebagai Advokat di Jakarta dan menjadi anggota PERADI (Perhimpunan Advokat Indonesia), saat ini sedang menyelesaikan studi pada Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Trisakti Jakarta.
[3]Kompas (Bsw), “Asli, Bajakan dan Pengawal Naga”, Minggu, 13 Maret 2011, hal. 26.
[4]Ibid.
[5]Ibid.
[6]Ibid.
[7]Djuwityastuti, “Kajian Yuridis Penerbitan Sertifiakt Lisensi Pengguna Musik Oleh Yayasan Karya Cipta Musik Indonesia (YKCI)”, Yustisia, Edisi No. 69 Sep-Des 2006, hal. 45.
[8]Yuliati, Eni Haryati, Cs., “Efektivitas Penerapan UU No. 19/2002 Tentang Hak Cipta Terhadap Karya Cipta Indilable”, Penulis Dosen pada FH-Univer. Brawijaya Malang, hal. 4
[9]Mari Eka Pangestu, “Cetak Biru Industri Musik Nasional”, Bag. 2, 27 Oktober 2009,
[10]Ibid
[11]Lawrence M. Friedman selanjutnya menjelaskan : “Budaya hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari dan disalahgunakan. Tanpa budaya hukum, sistem hukum itu sendiri tidak akan berdaya....” (lih. Bab I buku berjudul ‘American Law’ , W. Frieddman, WW Norton & Company, New York, London,).
[12]Edgardo Buscaglia., William Ratliff, “The Economic Impact of Legal Norms in Developing Countries”, California Hoover Insittution Press, Standford University, 2000, hal. 21.
[13]Henry Soelistyo, “Perkembangan Proteksi HKI Global : Sebuah Assesment di Bidang Hak Cipta dan Desain Industri”, Fokus, Vol. VI No. 6 Desember 2009, hal. 2
[14]Ibid. hal. 3
[15]Ibid.
[16] Ibid.
[17]Pretty Rina Prasetyas, “Problematika Hak Cipta di Indonesia : Masalah Upaya Perlindungannya”, Widyariset Vol. 2, 2001, hal. 172
[18] Ibid
[19] Lawrence W. Friedman., log.,cit
[20] Ibid.
[21]Suryadi Daru Cahyono, “Penyelesaian Sengketa Hak Cipta Musik Melalui Alternative Penyelesaian Snekgeta Menurut Undang-Undang No. 30 tahun 1999”, Abstrak Tesis Pasca Sarjana Universitas Indonesia, dalam http://www.lontar.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id= 111531&lokasi=lokal.
[22] Ibid.
[23] Lawrence M. Friedman., log.cit
[24]Edgardo Busgalia., William Ratliff., log.,cit. Hal. 3.
[25]Pujiono., Dewi Sulistianingsih, “Latar Belakang Timbulnya Pembajakan Hak Cipta di Bidang Musik dan Format Kaset dan Upaya Penanggulangannya di Kota Semarang”, MMH, Jilid 37 No. 3 September 2008, hal. 184.
[26]Ibid.184 - 185
[27]Leonard J. Theberge, “Law ang Economic Development”, Journal of International Law and Policy, Vol. 9, : 231, hal. 232
[28]Ibid. 232 - 233
[29]Ibid
[30]J.D Nyhart, “The Role of Law in Economic Develpoment”, disampaikan pada Konfrensi hukum dan pembangunan ekonomi Sloan School of Management of the Massachusetts Institute of Technology, Massachusetts, Desember 1961. hal. 402.
[31]HenrySoelistyo, log.,cit. Hal. 2.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar