Senin, 25 April 2011

ANTI DUMPING LAW

ANTI DUMPING, DUMPING DAN SAFEGUARD DALAM PERSFEKTIF

INDONESIA SEBAGAI NEGARA BERKEMBANG

By. Agus P. Pasaribu, S.H.


I. Pendahuluan

Indonesia sebagai negara berkembang (development countries) telah merativikasi Konvesi Internasional di bidang Anti Dumping (Agreement Estabilishing), hal mana telah pula dilakukan oleh negara-negara berkembang lainnya maupun negara maju. Bahkan berdasrkan perkembanganya dalam ranah ekonomi, Xuan Gao menyatakan[1] “The past two decades have seen, inter alia, three changes in the world trading system: significantly reduced traditional trade barriers such as tariffs, the proliferation of the adoption of anti-dumping (AD) laws and of the use of AD instruments by national governments, and the dramatically increasing contribution by developing countries to that proliferation”.

Kebijakan anti-dumping WTO semula dimaksudkan untuk tujuan peningkatan perekonomian dan taraf hidup negara-negara dalam kerangka persaingan yang fair dan independence, terutamanya untuk meningkatkan taraf hidup. Sejalan dengan itu, Xuan Gao menyatakan pula : [2] “Without engaging in trade, every person would have to be an autarkist, i.e., she must produce everything (goods or services) she needs to maintain her life – food, clothes, housing, healthcare, etc. Not surprisingly, nobody can achieve expertise in all these fields in a timespan as short as a human life. However, trade makes it possible for one person to concentrate on one line of production (e.g., farming), while another specialises in another line (e.g., housing). This is the law of ‘comparative advantage’, revealed by David Ricardo (1821) and accepted by many others as a standard economic axiom. (Ricardo 1821; Rothbard [1962] 2004; Samuelson and Nordhaus 1998)”.

Namun, belakangan kebijakan anti-dumping dalam kerangka hukum perdagangan internasional justru menciptakan anomali tujuan. Kenyataannya, negara-negara berkembang dirugikan sebagai akibat kebijakan anti-dumping yang secara mutlak hanya menguntungkan negara maju. Contoh sederhana adalah Indonesia. Sejak diberlakukanya Konvensi Internasional Anti-Dumping mengakibatkan banyaknya produk ekspor Indonesia ditolak di pasaran global oleh negara maju dengan alasan adanya hak melakukan “safeguard” bagi produk dalam negerinya. Alhasil, tidak diragukan lagi Indonesia dirugikan dari aspek ekonomi.

Ketimpangan pelaksanaan dumping, anti dumping dan safeguard dalam strata perdagangan internasional antara negara maju dengan negara berkembang paling tidak dikarenakan tiga faktor penting, yaitu : Kesatu, negara maju dari sisi kekuatan modal jauh lebih kuat. Kedua, tidak terdapat pemisahan persaingan (pengecualian) antara negara berkembang dengan negara maju. Ketiga, aplikasi anti-dumping menjadi alat bagi negara maju melalui Multi National Corporation untuk mengontrol perdagangan di negara berkembang yang lajimnya cenderung sebagai pasar konsumen.

Berdasarkan uraian diatas, maka pertanyaan mendasarnya sekarang adalah bagaimanakan persfektif pemberlakuan kebijakan anti-dumping, dumping dan safeguard bagi negara-negara berkembang, khususnya Indonesia?. Tulisan ini akan membahas kebijakan anti-dumping, dumping dan safeguard dalam perspektif Indonesia sebagai negara berkembang dengan batasan pembahasan mengenai data-data menyangkut produk Indonesia yang terkena kebijakan dumping.

II. Berbagai Pengertian dan Defenisi Teoritis

Dalam ilmu ekonomi, dumping diatikan sebagia[3] “traditionally defined as selling at a lower price in one national market than in another”. Sedangkan Dumping dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia[4] diatikan sebagai sistem penjualan barang di pasaran luar negeri dalam jumlah banyak dengan harga yang rendah sekali (dengan tujuan agar harga pembelian di dalam negeri tidak diturunkan sehingga akhirnya dapat menguasai pasar luar negeri dan dapat menguasasi harga kembali)”.

Oleh karena itu, jika merujuk pada dua defenisi diatas maka tujuan dari dilakukannya dumping semata-mata sifatnya untuk persaingan usaha, sehingga atas dasar kenyataan yang demikian itu, maka secara filosofis tujuan hukum diciptakannya pengaturan anti dumping adalah upaya perlidungan bagi pelaku usaha lokal atau nasional dalam suatu negara. Namun anehnya, dalam konteks UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang dimiliki Indonesia, meskipun substansinya memuat pengaturan larangan praktek persaingan tidak sehat (unfair competition) baik dalam bentuk harga maupun barang, tetapi UU tersbeut sama sekali tidak menyinggung perihal anti dumping. Jadi, seolah-olah tidka terdapat keterkaitan antara persaingan usaha tidak sehat dengan upaya dumping yang dilakukan oleh pelaku usaha asing.

Dalam kerangka mendukung adanya teori kebijakan persaingan yang sampai hari ini masih belum mampu menawarkan konsep yang jelas dan konklusif mengenai prasyarat kebijakan persaingan dan implementasi dari undang-undang antimonopoli. Oleh karena itu peran dari lembaga-lembaga pengawas persaingan merupakan satusatunya instrumen yang dapat digunakan untuk mengamankan proses persaingan.[5] Nampaknya terjadi kekeliruan pemahaman hukum atau kekeliruan perumusan undang-undang Persaingan Usaha yang lahir, kemudian nyatanya tidak mengakomodir praktek anti-dumping sebagaimana yang diatur dalam UU No. 10 tahun 1995 tentang Kepabean.

Sedangkan menurut ketentuan Pasal VI ayat 1 GATT 1947 merumuskan defenisi dumping sebagai : “Product of one country are introduce into the commerce of another country at less than normal value of the product is to be condemned if it causes or threated material injury to an estabilished industry in the teritority pf a contracting party or materially retard the estabilishment of a domestic industry”.

Berdasarkan ketentuan IV diatas, maka Artikel VI GATT 1994 ini mengijinkan otoritas di suatu negara untuk mengenakan biaya tambahan dalam bentuk bea anti dumping terhadap produk-produk impor yang diduga dijual dibawah harga normal atau harga lebih murah dari harga pasar di pasar domestik dari negara asal barang, sehingga praktek yang demikian menimbulkan kerugian bagi industri di dalam negeri dari negara tempat dipasarkan barang tersebut.[6]

Selanjutnya, yang dikatakan dengan anti-dumping adalah kebijakan yang dibuat atau diciptakan oleh pemerintah dalam suatu negara untuk mencegah timbulnya berbagai kegiatan curang oleh pelaku usaha asing melalui produk impor, perbuatan curang ini berkaitan dengan aspek harga dan produk. Mekanisme anti dumping ini selanjutnya menciptakan apa yang disebut sebagai safeguard yaitu suatu upaya perlindungan dari pemerintah suatu negara untuk melindungi produk dalam negeri yang dihasilkan pelaku usaha domestiknya.


III. Aturan Anti Dumping Dalam Hukum Indonesia

Dalam hukum Indonesia, anti dumping diatur pada UU No. 7 thaun 1994 tentang Pengesahan Estabilishing the World Trade Organization sebagaimana Lemabran Negara No. 57 tahun 1994, Tambahan Lembaran Negara No. 3564. Untuk selanjutnya, kebijakan sehubungan dengan anti dumping terkait adalah UU NO. 10 tahun 1995 tentang Kepabean.

Dalam Undang-Undang dan ketentuan yang berhubungan dengna anti dumping termuat dalam Bab IV. Bab ini terbagi atas dua bagian yaitu bagian pertama menyingung tentang bea masuk anti dumping yang dimuat dalam pasal 18, sedangkan bagian kedua menyinggung tentang Bea Masuk Imbalan yang berhubungan dengan masalah subsidi yang dimuat dalam pasal 21 s/d 23.[7]

Untuk melaksanakan amanat yang digariskan oleh Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabean maka dibuatlah Peraturan Pelaksanaan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 34 tahun 1996 tentang Bea Masuk Bea Masuk Anti Dumping dan Bea Masuk Imbalan. Sistematika dari Peraturan Pemerintah (PP) ini adlaah sebagai berikut :[8]

Bab I : Ketentuan Umum (Pasal1 s/d Pasal 5)

Bab II : Komite Anti Dumping Indonesia (Pasal 6 s/d Pasal 7)

Bab II : Penyelidikan (Pasal 8 s/d Pasal 12)

Bab IV : Bukti dan Informasi (Pasal 13 s/d Pasal 16)

Bab V : Tindakan sementara (Pasal 17 s/d 20)

Bab VI : Tindakan Penyesuaian (Pasal 21 s/d Pasal 25)

Bab VII : Penetapan Bea Masuk Anti Dumping dan Bea Masuk Imbalan (Pasal 26 s/d Pasal 33)

Bab VIII : Ketentuan Lain-lain (Pasal 34 s/d Pasal 37).[9]

Namun, harus diakui bahwa dari peraturan-peratuan anti dumping yang diberlakukan Indonesia, secara umum karakteristik pengaturannya belum menunjukkan kekhususan orientasi hukum anti du,ping. Sebenarnya, jika melihat perumusan pasal-pasal maupun penamaan undang-undang, belum menyiratkan secara tegas adanya usaha perlindungan bagi pelaku usaha nasional. Indonesia sudah seharusnya menerapkan penamaan Undang-Undang Anti Dumping. Karena jika melihat konteks UU Kepabean. Kepabean sendiri secara hukum tidak selalu mempunyai karakteristik defenitif usaha untuk melindungi persaingan usaha antara asing dengan lokal dari tindakan kecurangan bisnis, terutamanya penawaran produk di Indonesia. Padahal anti dumping yang diatur dalam WTO sendiri secara substantif dapat diartikan sebagai instrumen hukum untuk mencegah atau mengantisipasi barang dumping. Sehingga, secara normatif pertanyaannya, mengapa Indonesia tidak langsung saja menerapkan UU Anti-Dumping ??? atau paling tidak dicari kesepadanan kata anti-dumping dalam perspektif hukum Indonesia. Dengan lain perkataan, meskipun Indonesia menganggap telah merativikasi kebijakan WTO di bdiang anti dumping sebagaimana UU No. 10 tahun 1995 tentang Kepabean, namun jika mencermati UU No. 10 tahun 1995, ternyata tidak ada satu pasal pun yang megnatur secara tegas pemberlakuan atau pendefenisian anti-dumping secara normatif, hal ini menimbulkan kekaburan hukum yang seringkali menjadi ketidakjelasan dalam lapangan praktek.

Dilain pihak, hukum persaingan usaha di Indonesia, kebijakan persaingan usaha dilaksanakan melalui pengawasan terhadap struktur pasar dari perilaku pasar berdasarkan analisis terhadap masukan inforamsi yang diperoleh dari kinerja pasar.[10] Sedangkan kebijakan persaingan usaha (competition policy) adalah kebijakan yang berkaitan dengan upaya-upaya untuk mencapai kepentingan konsumen.[11] Oleh karena itu, terdapat keterkaitan antara pasar, pelaku pasar dan konsumen. Berkenaan dengan pelaku pasar disini terdapat pelaku usaha asing dan domestik. Apabila terjadi usaha memonopoli harga dalam rangka menciptakan persaingan yang tidak sehat, secara hukum apakah dalam hal ini dikwalifisir sebagai upaya dumping ???. Hal ini yang tidak kita temukan dalam UU No. 5 tahun 1999. Jadi, baik dalam UU Kepabean maupun UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat tidak terdapat ketegasan mengenai perilaku dumping pelaku usaha asing sehubungan dengan mekanisme pasar. Padahal, hukum persaingan usaha Indonesia dapat dikategorikan melakukan pendekatan terbatas. Dimana, larangan tehadap praktik-praktik yang secara khusus dirancang untuk mengurangi atau menghilangkan pesaingnya seperti transaksi yang ekslusif (exclusive dealing) menolak untuk memasarkan barang (refused to deal) atau boikot (boycott).[12]

IV. Berbagai Persoalan Anti Dumping Yang dihadapi Indonesia

Praktek dumping merupakan merupakan tindakan yang jelas-jelas dapat merugikan kerugian yang sangat serius terhadap perekonomian setiap negara yang mana setiap negara memerlukan perlindungan (protection) yang memadai sehingga lahirlah suatu instrumen kebijakan perdagangan yang dikenal dengan istilah antidumping.[13] Jadi, dalam situasi yang demikian, ketentuan pasal VI WTO memberikan kepastian sehubungan dengan penerapan anti-dumping di suatu negara importir. Demikain sebaliknya, bagi negara eksportir dilarang melakukan dumping di negara yang menjadi pasar konsumen.

Persoalannya, seberapa mampukah negara-negara berkembang menegakkan kebijakan anti dumping di negaranya jika mengingat kenyataan bahwa prinsip pelaksanaan anti dumping mempengaruhi implikasi ekonomi antara persaingan negara maju dengan negara berkembang ??. Dalam banyak kasus penerapan anti dumping yang dijalankan ole negara berkembang, pada hakekatnya kebijakan anti dumping tidak dapat dijalankan secara tegas mengingat negara berkembang pada dekade ini masih bergantung kepada investasi asing. Sedangkan investai asing ini diwujudkan dalam bentuk Multi Nasional Corporation (MNC) yang justru berasal dari negara maju.

Kegiatan yang dilakukan oleh Transnasional Corporation (TNC) atau Multinasional Corporation (MNC) adalah perusahaan yang mempunyai jaringan kerja yang mendunia.[14] Melalui MNC ini, cenderung negara-negara berkembang ditekan oleh negara maju dalam memasarkan produk di pasar konsumen. Jadi manakala MNC terbukti melakukan persaingan curang dalam bentuk harga sehingga mempengaruhi pelaku usaha domestik, maka negara berkembang sangat sulit untuk menegakkan anti dumping, mengingat jika hal tersbeuit ditegakkan maka negara maju akan memboikot investasi di negara berkembang dengan bergai cara, apakah melakukan pengurangan modal, atau memberlakukan subsidi, dan sebagainya. Kenyataan ini sudah dialami oleh Indonesia sebagai negara berkembang, dimana banyak kasus-kasus yang sudah direkomendasikan KADI sebagai tindakan dumping, namun pemerintah Indonesia sama sekali tidak berani menerapkan larangan yang tegas. Alhasil, pelaku usaha domestik di Indonesia kalah bersaing. Bahkan, jika dilihat jenis produk di pasaran konsumen dewasa ini, tesisnya adalah Pemerintah Indonesia tidak mampu melindungi pelaku usaha domestik dalam bentuk penerapan kebijakan anti dumping.

Disamping itu MNC dapat meminta pemerintahnya untuk memperjuangkan kepentingan mereka dalam forum internasional. Salah satunya adalah dalam pembentukan perjanjian internasional.[15] Jadi dengan kata lain, MNC mendorong pemerintah negaranya agar menggagas terciptanya perjanjian internasional ayng menguntungkan MNC didalam menjalankan usaha atau bisnisnya di negara berkembang, termasuk didalamnya memonopoli kegiatan pasar dengan jalan persaingan tidak sehat (unfair competition). MNC menerapkan harga murah untuk produk yang dihasilkan di pasaran konsumen. Fakta ini yang kurang disadari oleh pemerintah negara berkembang. Sebagai contoh, di Indonesia banyak sekali produk china, seperti konveksi, peralatan kantor, kebutuhan rumah tangga, alat komunikasi dan sebagainya berasal dari Negara China. Dimana keseluruhan produk China tersebut berada pada level harga terrendah di pasar konsumen. Akhirnya yang terjadi, konsumen meninggalkan produk domestik yang berakibat pada kerugian kalangan pelaku usaha domestik. Pada tingkatan lanjut apabila kondisi ini dibiarkan terus menerus, maka dimasa mendatang Indonesia akan mengalamai ketergantungan terhadap produk impor sebagai akibat rubuhnya pelaku usaha lokal.

Dalam persoalan lain, untuk produk-produk “branded” kualitas barang yang jauh diatas rata-rata dibanding produk domestik akan menimbulkan gesekan kepentingan dalam meraih konsumen di pasar global. Sebagaimana lajimnya produk negara-negara mau, barang-barang bermerek akan diburu oleh konsumen negar aberkmebang, sehingga produk dalam negeri untuk barang yagn sama akan tidak mampu bersaing.

Dengan adanya berbagai persoalan diatas, maka seharusnya pemerintah dalam suatu negara berkembang dapat menerapkan prinsip “safeguard” untuk melindungi pelaku usaha domestik dalam kerangka persaingan global, sekaligus membangun kekuatan ekonomi nasional yang diangkat dari devisa pelaku usaha dalam negeri.

Sejak berlakunya Estabilishing Agreement WTO di bidang anti dumping sebagaimana Pasal VI, Indonesia telah dihujani tuduhan dumping di negara-negara tujuan ekspor. Sebaliknya, pemberlakuan anti-dumping di dalam negeri tidak menunjukkan hasil yang menggembirakan pula, mengingat banyak kasus anti dumping yang dialamatkan terhadap pelaku usaha asing yang memasarkan produknya di Indonesia telah terbukti melakukan dumping namun untuk skala penindakan jauh dibawah harapan.

Bagaimanapun, jika ditelisik secara mendalam, sejak berlakunya kebijakan anti dumping WTO secara faktual Indonesia telah dirugikan dari aspek perekonomian. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya fakta bahwa banyaknya produk Indonesia yang seharusnya menghasilkan devisa, namun terjadi sebaliknya. Banyak produk Indonesia yang ditolak di negara-negara maju. Bahkan, baru-baru ini produk Indonesia ditolak oleh negara Turki. Ada juga produk lain pelaku usaha Indonesia yang ditolak oleh negara maju, seperti negara Korea dan Ameriksa Serikat.

Prinsip anti dumping ini sebenarnya dapat membantu membangun perekonomian nasional Indonesia jika pemerintah mampu memanfaatkan secara jelas. Proses penegakan hukum anti dumping (law enforcement) akan mampu melindungi pelaku usaha domestik jika pemerintah melalui peraturan perundang-undangan ditempatkan dalam tatanan yang sinkron. Disamping itu, perlu dilakukan perbaikan normatif hukum yang mengatur secara tegas hukum anti-dumping, safeguard dan dumping.

Untuk tujuan lain, dalam jangka panjang kebijakan anti dumping yang tidak selaras dengan tujuan perlindungan pelaku usaha nasional akan mengakibatkan hilangnya kemampuan persaingan dari pelaku usaha lokal dalam tatanan perdagangan inernasional.

Sebagai logika ekonomi sederhana dikemukakan disini, produk Indonesia telah terkena larangan beredar untuk 116 jenis produk di negara-negara maju dan berkembang. Jika dihitung kalkulasi keuntungan yang seharusnya didapat dan keberlangsungan ekonomi nasional, karena adanya penyerapan tenaga kerja, pemanfaatan sumber daya alam, dan pajak dalam negeri, maka jelas secara sederhana Indonesia telah mengalami kerugian besar. Secara fakta, kurangnya daya saing pemerintah negara berkembang dalam merumuskan kebijakan internasional telah berdampak bagi keberlangsungan pelaku usaha domestik di masa mendatang.

Oleh karena itu perlu diterapkan strategi perlindungan yang jelas terhadap pelaku usaha domestik. Strategi ini dapat dicapai melalui berbagai instrumen. Paling tidak didasrkan pada tiga elemen penting, yaitu : Budaya Hukum, Institusi (aparat hukum) dan Substansi Hukum. Ketiga elemen ini dalam lapangan praktek yang seringkali tidak padu.

Misalnya saja, Disatu sisi, peredaran produk China di pasar konsumen sangat besar, padahal disisi lain, pemerintah telah menerapkan bea-masuk atas produk impor tersebut untuk menyeimbangkan harga antara produk domestik dan asing untuk jenis produk yang sama. Pertanyaannya, jika memang telah tercipta keseimbangan harga di pasar konsumen melalui bea masuk, namun mengapa produk impor China pada kenyataanya masih jauh lebih murah apabila dibandingkan dengan produk nasional ???. Disini perlunya aparat instansi dilakukan pengawasan dalam proses penegakan kebijakan anti-dumping. Belum lagi pemerintah harus berupa menggalakkan budaya masyarakat kita yang cenderung memilih produk negara maju atas nama branded apabila dibandingkan produk lokal. Budaya masyarakat berkenaan dengan mindset, oleh karena itu budaya masyarakat ini yang perlu diadaptasi melalui instrumen hukum agar beralih kepada prioritas mengutamakan produk dalam negeri.

V. Penutup

Bercermin dari uraian pembahasan yang disebutkan diatas, maka kesimpulan yang diperoleh sehubungan dengan permasalahan sebagai berikut :

a. Penerapan anti-dumping, dumping dan safeguard dalam hukum Indonesia masih dalam tahap sinkronisasi, bahkan kecenderungan UU yang ada tidak menegaskan apa itu dumping, anti dumping dan safeguard. Hal ini dapat dilihat dari lahirnya UU Kepabeaan dan UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehata ;

b. Kebijakan Anti-dumping, dumping dan safeguard dalam perspektif Indonesia sebagai negara berkembang pada kenyataanya telah merugikan perekonomian, sehingga jika dimasa mendatang pemerintah tidak melakukan upaya penegakan hukum, melalui : budaya hukum, substansi dan Institusi (aparat hukum), maka akan timbul ketergantungan produk asing yang justru mutlak menguntungkan pelaku usaha asing dan merugikan pelaku usaha domestik yang ujung-ujungnya merugikan perekonomian nasional dalam jangka panjang.


END NOTE :

[1] Xuan Gao, “Proliferation of Anti-Dumping and Poor Governance in Emerging Economic”, Case Sutdy of China and Africa, Nordiska Africainstitute, UPPSALA, GML Print on Deman AB, Stockholm, 2009, hal. 7

[2] Xuan Gao., Ibid. hal 8

[3]John H Jackson and William J. Davey, “Legal Problems of Economics International”, Cases, Materials and Tax (2nd Edition), hlm. 654-655.

[4]Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta, 1997 hal 246

[5]Sukarmi,Praktek Dumping Dalam Persfekti Hukum Persaingan Usaha”, Makalah disampaikan pada acara Seminar : Implementasi Peraturan Anti dumping Sera Pengaruhnya Terhadap Persaingan Usaha Dan Perdagangan Internasional, diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 21 Juni 2008 hal 5.

[6]Rita Erlina, “Anti Dumping Dalam Perdagangan Internasional : Sinkronisasi Peraturan Anti Dumping Indonesia Terhadap WTO Anti Dumping Agreement”, Tesis, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2007, hal iv.

[7] Christhopurus Barutu, “Antidumping Dalam General Agreement on Tariff and Trade (GATT) dan Pengaruhnya Terhadap Peraturan Anti Dumping Indonesia”, Mimbar Hukum Volume 19, Nomor 1, Februari 2007, hal 57.

[8] Christhopurus Barutu, hal 58

[9] Lebih lanjut upaya hukum dibidang anti dumping di Indonesia dalam konstruksi yang lebih luas menyangkut pula pemberlakuan Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

[10]Johnny Ibrahim, “Hukum Persaingan Usaha”, Bayumedia, Malang, 2009, hal 96.

[11]Johnny Ibrahim, Ibid.

[12]Johnny Ibrahim., Ibid., hal 99.

[13]Chisthoporus Barutu, op.,cit hal 54.

[14]Hikmahanto Juwana, “Hukum Internasional Dalam Perspektif Indonesia Sebagai Negara Berkemabng”, Yarsif Watampone, Jakarta, 2010, hal 17

[15]Hikmahanto Juwana., Ibid hal 19

Tidak ada komentar:

Posting Komentar