Selasa, 23 Maret 2010

HUKUM KETENAGAKERJAAN

EFEKTIVITAS PEMBERLAKUAN UU NO. 13 TAHUN 2003 TENTANG
KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA




Lahirnya undang-undang ketenagakerjaan sebagai salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan perekonomian rakyat menuju masyarakat yang berkesejahteraan (‘walfare state’), mandiri dan berkelanjutan (‘suistanable’) sebagaimana pula diatur dalam konstitusi pasal 28 h Jo. pasal 33 (1) UUD’ 1945 tidak begitu efektif berjalan setelah hampir satu dasawarsa berjalan. Bahkan, pemberlakuan undang-undang ketenagakerjaan secara kasat mata jika ditelisik cenderung justru menimbulkan berbagai persoalan baru dari sekian banyak persoalan ketenagakerjaan yang ada dewasa ini, seperti pengaturan kerja paruh waktu (‘freelance’), sistem kontrak (‘work of contract’) melalui lembaga “outsourching”, penempatan tenaga kerja asing, sistem pengupahan dan masih banyak lagi permasalahan lainnya, sehingga tidak menjamin adanya kepastian hukum sebagai konsekwensi diterapkannya UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
Bercermin dari permasalahan diatas, yang menarik pada saat diberlakukannya UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan adalah tidak adanya upaya pemerintah untuk mengimbangi pemberlakuan aturan normatif dibdiang ketenagakerjaan dengan kontrol. Padahal, salah satu politik hukum yang mendasari lahirnya UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan ini sebagaimana yang dinyatakan pada butir b pada bagian menimbang yang menyebutkan bahwa pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan.
Jika melihat problematika tersebut diatas, dimana antara cita-cita hukum yang ingin dicapai dengan realitas yang terjadi dalam masyarakat sangat ironis dan berbanding terbalik, mengingat antara pelaksanaan undang-undang dengan hasil yang dicapai tidak mencerminkan adanya keharmonisan. Oleh karena itu, tidak heran apabila kemudian muncul berbagai arus demonstrasi yang menentang berbagai peraturan pemerintah yang berkenaan dengan kebijakan dibidang ketenagakerjaan.
Tulisan ini merupakan pemaparan beberapa permasalahan pokok sehubungan dengan UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dalam kaitannya dengan efektifitas penerapan maupun penegakan hukum dalam suatu hubungan hukum keperdataan dibidang tenaga kerja.



Essensi UU Ketenagakerjaan

Permulaan dari berlakunya UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan diawali dengan timbulnya berbagai permasalahan hukum yang sekian lama menggerogoti pranata sosial dalam hubungan hukum ketenagakerjaan antara pihak pekerja dengan pengusaha di Indonesia. Hal ini telah mendorong pemerintah, baik eksekutif maupun legislatif untuk menciptakan undang-undang baru yang diharapkan akan dapat mendongkrak kesejahteraan pekerja disatu sisi, sedangkan disisi lain meningkatkan iklim investasi yang membawa dampak pada pembangunan ekonomi secara nasional.
Ekspektasi diatas merupakan tujuan pokok yang mendasari lahirnya UU ketenagakerjaan yang baru, sehiggga logis apabila kemudian di dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan tersebut telah diterapkan berbagai pasal-pasal yang sifatnya imperatif, seperti aadanya sanksi pidana, pengaturan tentang upaya hukum perselisihan, batasan penggunaan tenaga kerja asing dan lain sebagainya. Jadi esensi penting lahirnya UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dapat dilihat dari aspek-aspek pengaturan pasal-pasal yang cenderung merefleksikan perlindungan hukum dari sisi tenaga kerja dibanding sisi pengusaha. Essensi ini cukup penting, mengingat dalam UU ketenagakerjaan yang terdahulu harus diakui bahwa kurangnya jaminan sosial berkaitan dengan perindungan terhadap tenaga kerja dibandingkan pihak pengusaha.



Akumulasi Persoalan Ketenagakerjaan

Dalam perspektif UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan memang harus diakui bahwa pengaturan hubungan hukum antara pihak pekerja dengan pengusaha sudah lebih tertata sedemikian rupa, apakah itu menyangkut sistem kelembagaan, kaidah sanksi, kesepakatan kerja maupun Vide pasal 116 s/d pasal 135 UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Hal ini membuktikan, bahwa paling tidak usaha pemerintah untuk membangun kerangka dasar hukum ketenagakerjaan yang kuat sesuai dengan UUD’ 1945 telah diusahakan secara optimal. Namun, usaha diatas ternyata masih terbentur dengan persoalan mendasar yakni penerapannya. Secara materill, pemberlakuan UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan masih memiliki banyak masalah dibandingkan dengan sistem yang dianut Pancasila maupun UUD‘ 1945 sebagai kerangka filosofis hidup bangsa.
Beberapa permasalah yang timbul sebagai bagian dari akumulasi penerapan UU No. 13 tahun 2003 penulis uraikan sebagai berikut :

a. Pengistilahan Tenaga Kerja Paruh Waktu dan Kontrak

Dalam pelaksanaanya, pengistilahan “tenaga kerja paruh waktu” seringkali masih didefenisikan bias dan tidak mempunyai persamaan persepsi baik dikalangan pengusaha maupun pekerja sendiri. Permasalahan akan timbul kemudian karena terjadinya perbedaan pemahaman mengenai batasan kerja paruh waktu yang berimplikasi pada hak dan kewajiban apa yang harus dipenuhi masing-masing pihak.
Pada konteks yang berbeda lagi, pengistilahan “tenaga kerja paruh waktu” seringkali menjadi kamuflase belaka bagi kalangan pengusaha untuk mengurangi beban pajak penghasilan terhadap negara, yang akan berujung menambah keuntungan di pihak pengusaha. Jadi, tenaga kerjanya yang seharusnya dikenakan pajak penghasilan yang lebih besar manakala sifat pekerjaannya tetap, justru mendapat keringanan pajak akibat tidak terdaftarnya tenaga kerja yang bersangkutan sebagai tenaga kerja tetap. Alhasil, baik negara maupun pekerja akan sangat dirugikan oleh status pekerjaan tersebut. Bahkan dengan diistilahkannya tenaga kerja sebagai pekerja paruh waktu, maka hak-haknya secara perdata akan lebih kecil bila dibandingkan pekerja yang berstatus tetap. Anehnya lagi, meskipun tenaga kerja yang bersangkutan berstatus sebagai pekerja paruh waktu, namun acapkali hak-haknya tidak terpenuhi menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada. Oleh karena itu, maka sudah seharusnya pemerintah menerapkan secara tegas batasan pengistilahan pekerja paruh waktu.
Mencermati fakta yang terjadi di lapangan, banyak sekali pekerjaan yang seharusnya tidak dapat dijadikan sebagai pekerjaan paruh waktu melainkan tetap, namun jutru dijadikan sebagai pekerjaan yang berstatus paruh waktu. Sementara dilematisnya lagi, dari sisi pekerja hal yang demikian tidak dipahami atau dengan kata lain pekerja tidak mengerti akan hak-haknya secara hukum, sehingga mengakibatkan pekerjaan yang seharusnya berlangsung sebagai pekerjaan tetap dalam suatu hubungan hukum tidak diterapkan, demikian berlangsung secara terus menerus. Hal ini tentu sangat merugikan dari sisi pekerja, bahkan tidak jarang pekerjaan paruh waktu ini tidak mempunyai surat kontrak perjanjian kerja (KKB) sebagaimana yang diamanatkan oleh pasal 57 ayat (1) UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Lain lagi dengan permasalahan diatas, dalam hubungan kerja yang berkenaan dengan tenaga kerja kontrak melalui out sourching, pihak out sourching seringkali hanay memanfaatkan pekerja sebagai bagian dari pencarian “profit oriented”. Tenaga kerja dengan menggunakan sistem hubungan hukum yang bersifat kontrak di Indoensia telah beralih fungsi menjadi upaya bagi kalangan pengusaha dengan pihak outsourching untuk tetap menekan status pekerja sebagai pekerja kontrak. Hal ini pun tentu sangat menguntungkan pihak pengusaha disatu sisi dan menguntungkan pihak out sourching pula disisi lain. Karena paling tidak, dengan status pekerja yang tetap sebagai pekerja kontrak, maka kewajiban dipihak pengusaha akan berkurang. Mulai dari sistem pengupahan, hak-hak pekerja dalam hal terjadinya PHK, jaminan keselmatan kerja, tunjangan-tunjangan dan lain sebagainya yang sekiranya merupakan hak-hak pekerja sebagaimana amanat undang-undang. Secara yuridis sosilogis, pemberlakuan sistem kontrak dalam bekerja sebagaimana diatur dalam pasal 59 UU No. 13 tahun 2001 tidak membawa adanya kepastian hukum dan jaminan keberlangsungan masa depan pihak pekerja.


b. Sistem PengupahDalam Kaitannya Dengan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

Salah satu kelemahan dari UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan adalah pemberlakuan sistem pengupahan, sebagaimana diatur mulai dari ketentuan pasal 150 sampai pasal 172. Dikatakan kelemahan karena UU No. 13 tahun 2003 tidak efektif berlaku manakala terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK). Apakah itu menyangkut alasan PHK, pemenuhan hak-hak dan kewajiban salah satu pihak sampai dengan tidak mudahnya diterapkan sistem sanksi pidana manakala salah satu pihak tidak melaksanakan hak dan kewajibannya, sebagaimana pasal 183 s/d pasal 189 UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan
Memang secara normatif hak dan kewajiban para pihak dalam suatu hubungan kerja telah diatur dalam UU No. 13 tahun 2003, namun hal tersebut bukan berarti sudah adanya kepastian dan keadilan menurut hukum.
Hal tersebut mengingat alasan-alasan sebagai berikut :
1). Sistem pemberian kompensasi dalam hal terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) belum memenuhi rasa keadilan bagi pekerja ; Sebagaimana menurut ketentuan pasal 156 mengenai perhitungan pesangon dalam hal terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) kurang menjamin keberlangsungan dan masa depan pekerja, karena pemberian pesangon dalam hal pekerja yang bekerja lebih dari 20 (sepuluh) tahun kurang maksimal. Padahal, secara logika apabila seorang pekerja sudah bekerja lebih dari 20 (dua puluh) tahun, dalam hal terjadinya pemutusan hubungan kerja, tentu pekerja yang bersangkutan sudah tidak produktif dan sangat sulit diterima kembali bekerja pada perusahaan yang berbeda. Sedangkan, secara ekonomis pemberian pesangon dari tempat tenaga kerja yang bersangkutan tidak memadai dan cenderung tidak menjamin keberlangsugnan hidup pekerja. Hal ini tentu akan menjadi problema tersendiri bagi pekerja yang bersangkutan.
2). Dalam sanksi pidana yang diatur UU No. 13 tahun 2003 tidak memberikan kepastian hukum tentang penegakan hukum dan penerapan sanksi terhadap aparat pemerintah dan atau pengawas yang tidak menjalankan dana tau menerapkan sanksi pidana terahdap pihak-pihak yang terbukti melanggar atau melakukan tindak pidana dalam hubungan perjanjian kerja ;

c. Tenaga Kerja Asing

Dalam ketentuan UU No. 13 tahun 2003 tentang ketegakerjaan, pemanfaata tenaga kerja asing diatur mulai dari pasal 42 s/d pasal 49. Meskipun pasal-pasal yang dimuat didalamnya sudah memuat dasar hukum alasan penggunaan tenagakerja asing, namun dalam pelaksanaanya terbukti pemerintah tidak optimal untuk menerapkan pasal-pasal tersebut. Contoh sederhana, dalam pasal 42 ayat (1) UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan menyatakan (dikutib) : “Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Perumusan ketentuan pasal 42 ayat (1) UU NO. 13 tahun 2003 tesebut, sebenarnya telah mengindikasikan bahwa dalam hal adanya pemanfaatan tenga kerja asing di Indonesia, maka terlebih dahulu harus mendapat ijin dari menteri dan atau pejabat terkait. Namun pada dasarnya hal yang demikian tidka selamanya dapat diterapkan didalam praktek, mengingat secara kasuistik jutru di daerah-daerah banyak digunakannya tenaga kerja asing yang tidak mempunyai ijin kerja. Bahkan untuk ukuran perusahaan-perusahaan yang berskala tehnologi tinggi seperti pertambangan miny dan gas bumi, batu bara dan lain seabgainya, banyak sekali tenaga kerja asing yang didayagunakan sebagai tenaga ahli. Padahal, dilihat dari sumber daya manusianya, tenaga kerja Indonesia juga sebenarnya telah mempunyai kemampuan yang sama dibanding tenaga kerja asing tersebut.
Pemanfatan tenaga kerja asing yang dewasa ini cenderung semakin besar-besaran setelah berlakunya UU NO. 13 tahun 2003 sebagai dasar hukumnya, justru semakin berdampak pada kurangnya kesempatan tenaga kerja Indonesia untuk meningkatkan kemampuannya dalam bidang yang sama, sehingga tidak heran apabila kemudian justru menambah persoalan sosial baru yakni semakin meningkatnya jumlah pengaggur yang terampil dan produktif.
Pemanfaatan tengakerja asing ini harus dilihat sebagai sebuah polemik baru karena tidak diimbangi dengan penggunaan tenga kerja Indonesia yang terampil dan produktif sebagaimana disebutkan diatas tadi. OLeh karena itu, pemanfaatan tenga kerja asing yang seyogiyanya masih dapat digantikan dengan tenaga kerja Indonesia harus di efektifkan, sehingga menciptakan keseimbangan serta meningkatkan taraf hidup tenaga kerja Indoensia.


Penutup

Bercermin dari berbagai permasalahan hukum yang diuraikan sehubungan dengan pemberlakuan UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan tersebut diatas, maka UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan sudah patut diformulasikan kembali, mengingat arti pentingya peranan tenaga kerja dalam pembangunan di Indonesia. Perlunya dilengkapi pasal-pasal yang berkenaan dengan pengaturan tenaga kerja asing (pembatasan), penerapan sistem kerja kontrak (outsourching), kerja paruh waktu dan lainnya, sehingga dapat dicapai tujuan dan cita-cita kesejahteraan bagi pekerja yang sesuai dengan pancasila dan UUD’ 1945.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar