Selasa, 23 Maret 2010

HUKUM PIDANA

POKOK-POKOK HUKUM ACARA PIDANA

Oleh : Agus P. Pasaribu, SH.


Dalam doktrin hukum, pada umumnya setiap hukum pidana memuat dua hal pokok penting yang meliputi :

1. Memuat ketentuan hukum mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapatnya suatu perbuatan di ancam dengan sanksi pidana ;

2. Memuat ketentuan mengenai sanksi apa yang harus dibebankan terhadap pelaku dan apa yang menjadi reaksi pelaku.

Sehubungan dengan hal-hal tersebut diatas, maka hukum pidana lajim disebut sebagai hukum materil (materieel strafrecht). Hal ini yang membedakannya dengan hukum pidana formil (strafprocesrecht) atau hukum acara pidana.

Dalam hukum acara pidana, terdapat dua macam kepentingan didalamnya, yakni kepentingan orang yang dituntut (terdakwa) dan kepentingan masyarakat umum yang menginginkan dikenakannya sanksi terhadap pelaku.

Dalam sistem hukum acara pidana dikenal ada dua sistem yang diterapkan yaitu sistem “inquisitoir” dan sistem “accusatoir”. Dalam sistem inquisitoir tersangka merupakan objek utama dalam pemeriksaan. Sedangkan dalam sistem accusatoir tersangka dianggap sebagai subyek dimana tersangka memperoleh hak untuk saling mengajukan argumentasi dan berdebat dengan pihak pendakwa.

Sejarah hukum acara pidana Indonesia dimulai dari pembentukan rancangan Undang Undang Hukum Acara Pidana yang dimulai pada tahun 1967 dengan dibentuknya sebuah Panitia Intern Departemen Kehakiman. Pada tahun 1968 diadaKan seminar nasional ke II di Semarang tentang hukum acara pidana dan hak asasi manusia yang diselenggarakan oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN). Selanjutnya pada tahun 1973 Panitia Intern Departemen Kehakiman menghasilkan naskah KUHAP yang kemudian dibahas bersama dengan Kejaksaan Agung, Departemen Hankam termasuk POLRI. Pada tahun 1974 naskah Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana telah disempurnakan, disampaikan oleh Menteri Kehakiman kepada Sekretariat Kabinet. selanjutnya Secretariat Kabinet meminta lagi pendapat Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Departemen Hankam termasuk Polri dan Departemen Kehakiman, maka naskah rancangan tersebut dibahas oleh keempat instansi tersebut. Pada tahun 1979 diadakan pertemuan antara Menteri Kehakiman, Jaksa Agung dan Kapolri dan Wakil dari Mahkamah Agung untuk membahas beberapa hal yang perlu untuk penyempurnaan. Melalui amanat Presiden tanggal 12 September 1979 maka disampaikanlah rancangan undang undang hukum acara pidana tersebut kepada DPR RI untuk dibacakan dalam sidang DPR guna mendapat persetujuan. Pada tanggal 9 Oktober 1979 dalam pembicaraan tingkat I Menteri Kehakiman menyampaikan keterangan pemerintah tentang rancangan UU tersebut dalam sebuah sidang DPR. Pada pembicaraan tingkat II yang dilakukan dalam sidang Paripurna, fraksi-fraksi dalam DPR memberikan pandangan umum terhadap rancangan KUHAP tersebut yang dilanjutkan dengan jawaban dari pihak pemerintah atas pandangan tersebut. Pada pembicaaan tingkat II ini, dilakukan dalam sidang komisi, diputuskan oleh Badan Musyawarah DPR. Selanjutnya dalam pembicaraan tingkat III, rancangan UU hukum acara pidana tersebut dilakukan oleh gabungan Komisi III dan Komisi I DPR. Sidang gabungan komisi III dan Komisi I bersama Pemerintah mulai membicarakan dan membahas rancarangan tersebut dari tanggal 24 Nopember 1979 s/d 22 Mei 1980 di gedung DPR RI. Pembicaraan dalam jangka waktu itu, menghasilkan putusan penting yang disebut dengan 13 kesepakatan pendapat yang mengandung materi pokok KUHAP. Untuk menindaklanjuti putusan tersebut, maka dibentuk team sinkronisasi yang diberi mandat penuh oleh Komisi III dan Komisi I. Team sinkronisasi bersama wakil pemerintah mulai melakukan rapat pada tanggal 25 Mei 1980 untuk membicarakan, merumuskan Rancangan KUHAP, sehingga pada tanggal 9 September 1981 rancangan KUHAP tersebut disetujui oleh Komisi III dan Komisi I DPR RI. Maka, pada tanggal 23 September 1981 setelah menyampaikan pendapat akhir oleh semua fraksi dalam DPR, KUHAP disyahkan sebagai UU. Pengesyahan tersebut dilaksanakan pada tanggal 31 Desember 1981 menjadi UU No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP.

Hak-hak terdakwa, meliputi :

a. Hak tersangka untuk segera mendapat pemeriksaan (ps. 50 ayat 1) ;

b. Hak tersangka untuk segera diajukan perkaranya ke pengadilan oleh Penuntut Umum (ps. 50 ayat 2) ;

c. Hak tersangka untuk segera diadili oleh Pengadilan (ps. 50 ayat 3) ;

d. Hak tersangka untuk diberitahu dengan jelas dalam bahasa yang di mengerti tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai (ps. 51 ayat a) ;

e. Hak terdakwa untuk diberitahu dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang didakwakan kepadanya (ps. 51 ayat b) ;

f. Hak tersangka atau terdakwa untuk memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim (ps. 52) ;

g. Hak tersangka atau terdakwa untuk mendapat bantuan juru bahasa pada tingkat penyelidikan dan pengadilan (ps. 53 ayat 1) ;

h. Hak tersangka atau terdakwa untuk mendapat bantuan hukum dari penasehat hukum pada setiap tingkat pemeriksaan (ps. 54)

i. Hak tersangka atau terdakwa untuk memilih sendiri penasehat hukumnya (ps. 55) ;

j. Hak tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum secara cuma-cuma (ps. 56 ayat 2) ;

k. Hak tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan untuk menghubungi penasehat hukumnya (ps. 57 ayat 1) ;

l. Hak tersangka atau terdakwa untuk mendapat pengetahuan tentang penahanan atas dirinya (ps. 59) ;

m. Hak tersangka atau terdakwa untuk menghubungi dokter pribadinya guna kepentingan kesehatannya ;

n. Hak terdakwa atau tersangka untuk menghubungi dan menerima kunjungan dari pihak yang mempunyai hubungan kekeluargaan atau lainnya dengan tersangka atau terdakwa (ps. 60) ;

o. Hak tersangka atau terdakwa untuk secara langsung atau tidak langsung atau dengan perantara penasehat hukumnya menghubungi dan menerima kunjungan sanak keluarganya (ps. 61)

p. Hak tersangka atau terdakwa untuk mengirim surat kepada penasehat hukumnya dan menerima surat dari penasehat hukumnya (ps. 62 ayat 2) ;

q. Hak tersangka atau terdakwa untuk menghubungi dan menerima kunjungan rohaniawan (ps. 63) ;

r. Hak tersangka atau terdakw untuk diadili di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum (ps. 64) ;

s. Hak tersangka atau terdakwa untuk mengusahakan dan mengajukan saksi (ps. 65) ;

t. Hak tersangka atau terdakwa untuk tidak dibebani kewajiban pembuktian (ps. 66) ;

u. Hak tersangka atau terdakwa untuk meminta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama (ps. 67)

v. Hak tersangka atau terdakwa untuk menuntut ganti rugi dan rehabilitasi sebagaimana diatur dalam pasal 95 (ps. 68).

Hak-hak penasehat hukum, antara lain :

a. Penasehat hukum berhak menghubungi tersangka sejak saat ditangkap atau ditahan pada semua tingkat pemeriksaan (ps. 69) ;

b. Penasehat hukum berhak menghubungi dan berbicara dengan tersangka pada setiap tingkat pemeriksaan dan setiap waktu untuk kepentingan pembelaan perkaranya (ps. 71 ayat 1) ;

c. Penasehat hukum berhak berhubungan dengan tersangka sesuai dengan tingkat pemeriksaannya (ps. 71 ayat 1) ;

d. Penasehat hukum berhak meminta turunan berita acara pemeriksaan tersangka untuk kepentingan pembelaan (ps. 72)

e. Penasehat hukum berhak mengirim dan menerima surat dari tersangka setiap kali dikehendaki olehnya (ps. 73) ;

Pra peradilan berwenang memutus tentang :

- Ganti rugi dan rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyelidikan atau penuntutan (ps. 77) ;

- Sah atau tidaknya benda yang disita sebagai alat bukti (ps. 82) ;

- Tuntutan ganti rugi oleh tersangka atau ahli warisnya (pasal 95 ayat 2) ;

- Permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas penahanan tanpa alasan (ps. 97 ayat 3).

Rehabilitasi adalah hak seseorang untuk mendapatkan pemulihan haknnya dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyelidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang sah berdasarkan UU.

Surat dakwan harus memuat :

a. tanggal dan ditanda tangani oleh Jaksa Penuntut Umum ;

b. nama lengkap, tempat tanggal lahir, umur, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka ;

c. uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan (ps. 143 ayat 2).

Dalam hal syarat-syarat tersebut diatas tidak dipenuhi, maka dakwaan batal demi hukum (ps. 143 ayat 3).

Penuntut umum sebelum pengadilan menetapkan hari sidang dapat mengubah surat dakwaan. Perubahan surat dakwaan tersebut dapat dilakukan hanya satu kali selambat-lambatnya 7 hari sebelum sidang dimulai.

Dalam sidang pengadilan, maka yang pertama didengar keterangan saksi adalah saksi korban, baru saksi-saksi lainnya.

Yang dapat mengundurkan diri sebagai saksi adalah :

a. keluarga sedarah atua semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.

b. saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga.

c. suami atau istri dari terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.

Menurut pasal 184 KUHAP alat bukti yang sah adalah :

1. keterangan saksi

2. keterangan ahli

3. surat

4. petunjuk

5. keterangan terdakwa.

Petunjuk adalah perbuatan kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindakan pidana dan siapa pelakunya.

Perintah penyerahan barang bukti dilakukan tanpa disertai sesuatu syarat apapun kecuali dalam hal putusan pengadilan belum berkekuatan hukum tetap (ps. 194)

Alasan-alasan kasasi adalah :

- Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan sebagaimana mestinya ?

- Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan UU

- Apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.

Grasi adalah hak prerogative negara untuk membatalkan sebagian atau seluruh pidana yang dijatuhkan (dasar hukum grasi UU No. 3 tahun 1950)

Pernyataan grasi dapat diajukan ke presiden dalam tenggang waktu 14 hari terhitung mulai hari berikutnya, hari keputusan hakim itu mempunyai kekuatan hukum tetap.

Dalam hal hukuman mati, maka tenggang waktu mengjujkan grasi tiga puluh hari terhitung mulai hari berikutnya hari daripada hari keputusan itu tidak dapat diubah lagi.

Mengenai hukuman badan yaitu hukuman penjara, hukuman kurungan (principele hechtenis) dan hukuman kurungan pengganti (subsidaire) belum boleh dilaksanakan atau eksekusi selama keputusan grasi itu belum keluar.

Permohonan grasi harus diajukan kepada Panitera Pengadilan Negeri yang memutus perkaranya pada tingkat pertama. Kemudian, ketua PN mengirimkan berkasnya disertai pertimbangan-pertimbangan ke Kepala Kejaksaan yang ada hubungannya dengan perkara itu. Selanjutnya Kejaksaan meneruskan surat-surat tersebut kepada Mahkamah Agung. Mahkamah Agung meneruskannya kepada Menteri Kehakiman. Selanjutnya, Menteri Kehakiman mengirimkan berkasnya kepada Presiden.

Peninjauan kembali (herziening). Putusan peninjauan kembali yang dijatuhkan tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula (ps. 266 KUHAP).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar